Anda di halaman 1dari 39

PUISI OOK NUGROHO

Kabar Malam

Malam setiap kali datang

Tanpa setahumu, mencoba mengetuk

Kamarmu yang jauh, tapi cahaya

Lelampu menahannya di beranda

Ia ingin menemuimu sendirian saja

Bercakap di ruang tamu yang kedap

Katanya ada warta genting, pesan rahasia

Yang sudah lama disimpannya

Tapi kau setengaj percaya

Separuh tidak, tak mengurusnya

Membiarkan terlantar di serambi

Depan, dan buyar begitu saja saat fajar

Rekah, tapi malam, malam akan sabar

Dan datang kembali setiap kali

Membawa kabar luar biasa penting, yang

Katanya hanya kau berhak mendengarnya

2012
Tema Jason Bourne

Catat dan simpanlah namaku

Sebab tinggal ini saja yang tersisa

Alamat dan asal-usul lainnya

Tertinggal dalam kabut

Mungkin lenyap

Serupa berkas rahasia, kisah busuk

Dalam persekongkolan jahat

Karena itulah agaknya

Ia mesti tamat, tak tercatat

Kecuali nama, sepenggal tema

Bersama tubuh ringkih ini, terseret

Dalam pelarian waktu

Pemburuan sengit

Sebab mereka inginkan permainan ini selesai

Sebelum tiba jejakku

Di batas cuaca

Terminal sentra

Dengan karcis tunggal

Menembus ruang penghabisan

Titik asal kekejian

Sekali lagi, catat dan simpanlah kisahku

Sebab cuma ini yang kupunya

2013
Malam dalam Sebuah Sajak

Cahaya tak mencapai


Ujung boulevard itu
Beberapa batang pohon
Yang tak disebutkan jelas
Jenis dan namanya, berjajar
Mengisi baris awalnya

Malam mungkin jam 2


Rumah-rumah seolah
Memejam menahankan
Beban langit yang merendah
Dengan bulan separuh

Yang mengembang tak acuh


Membiarkan baris dan rima
Bergulir sepanjang boulevard
Yang sudah disebutkan
Pada baris kedua

Lalu seorang lelaki


(yang pasti bukan saya)
Melintas mendadak
Melepas bait ketiga
Tapi jika hadirnya diniatkan
Mengembuskan aroma hidup

Pada ini sajak redup


Mungkin ia tak cukup bernyawa
Cahaya pada baris pertama
Juga gagal mencapai
Parasnya yang pasi
Bayangnya yang sendiri

2013
Di Ruang Itu

Di ruang itu
Kami bertiga saja
Bapa, dia dan saya
Adapun Bapa
Diam dan rahasia
Sebagai biasa

Adapaun dia
(Dan saya)
Saling mereka
Lelakon apa
Tema apa kiranya
Dalam jeda ini
Layak bagi kita
Yang tak muda lagi

Guna kami mainkan


Selaku selingan
Di antara kisa utama
Telanjur ada
Menambahinya warna
Hijau dan merah jingga
Di antara coklat
Dan abu-abu
Layu dan gugur
Daun-daun
Sayangnya tapi
Ini bab terlarang
Tiada tercatat
Dalam halaman
Resmi liturgi
Kabarnya sarat jeruji
Serupa hutan suaka
Teraling bagi dia
Dan saya

Dua pemburu
Gelisah di sampin tabu

2012
Dunia Tak Begitu Buruk

Dunia tak begitu buruk

dalam sebuah sajak. Tapi kau harus

bergulat lebih dulu, merebutnya.

Menyudahi sekat-sekat bahasa

yang menjebakmu dalam sempit

kamar-kamat tak berjendela.

Sesudah itu, sebuah jalan pulang berkelak-kelok

membawamu pada ambang yang bimbang,

hari tanpa almanak. Musti

kau putuskan sendiri kapan kau terlahir

kembali ke dunia. Namamu yang lama

telah terhapus di bawah musim

yang pelan mengembang dari balik

sepuluh jari-jemari anganmu hijau ungu

berganti-ganti. Yakinlah, tiada jadwal

resmi yang dulu merongrongmu,

menderamu dengan tanda-tanda

yang tak ada. Sebab kini kau hanya lengang ruang,

lapang seleganya, bukan lagi sesiapa apa.

Tanpa kiblat selain jagat.

2012
Aku Hanya Perlu

Aku hanya perlu secangkir kopi

Untuk menulis sebuah sajak, katanya

Dan segores luka, guna lebih

Menajamkan huruf-hurufnya

Dan segurat luka lagi

Sekadar memastikan ini semua

Bukan pura-pura, bukan cuma tema

Dan gerimis di atas kertas

2012
Gawang

Bergantian nasib buruk

Dan mujur menerpa masuk

Saya tak menampiknya

Pun tak menyetujuinya

Nasib buruk dan mujur

Bagi saya sama belaka

Keduanya pintu selebarnya

Agar sempurna jalinan kisah

Begitulah, di atas segi empat waktu

Sabar saya menantikan

Menguak pintu selebarnya

Merentang peluang selapangnya

Menunggu nasib mujur

Memastikan nasib buruk

Bergantian menyambangi

Merampungkan takdir saya

2012
Laut

Tak ada kata pertama


dalam puisi. Kita hanya ombak sepercik
tercemplung dalam buas

samudra. Mungkin ada yang masih


bermimpi menemu pantai –
serupa garis semu

antara tuju dan asal. Lupakan


tiada yang kita pahami
di luas tak berbelas ini.

Bahkan riwayat kita larut


dalam kalut gelombang. Jarak
telah memisah kita –

memecahnya jadi ribuan alamat


kabur. Ke utara, ke selatan
membentur rawan karang

waktu, menjemput hilang. Kita


buat sesaat yang purba
kekal dalam ini debur

ketiadaan.
Di Rumah Duka

Si mati ini menatap kita


Ia mungkin mau bicara
Sekali lagi, sudah itu baring rata
Mandang pucat lelangit

Kita mungkin melihatnya iba


Menyapa tapi lambai tak sampai
Kosong ruang mewarta tiada lagi
‘Antara kita jurang tinggal’

Si mati ini menyapa kita


Ia mungkin mau bicara
Lagi sekali, sudah itu pejam
Simpan inti kisah jauh di dalam

Mari beri ia tabik mesra


Duka yang tak punya lidah
Satukan dalam kumandang
Madah malam yang sumarah
Ruang

Di dalam sajak pendek ini


Telah kusiapkan ruang untukmu
Aku tahu jauh dari nyaman
Kuharap tapi kau jadi terbiasa

Jendelanya sempit menyapa langit


Sejumlah nama dan kenangan usang
Teronggak begitu saja di sudut
Yang sudah jarang didatangi

Pintunya tak terkunci sejak mula


Sesiapa pun jadi leluasa keluar dan masuk
Merdeka menaruh atau mencuri entah apa
Barangkali sepasang kasut, dan kisah butut

Aku mohon maaf, sebab abai merancang hiasan


Padahal kau teramat suka gambar dan berbunga
Tentulah enam dindingnya jadi lengang terasa
Sebab bayang waktu diam tak berpangkal
PUISI DEDDY ARSYA

Kancing Baju Alimaca

Dalam topi lakenmu yang bundar

cakrawala tiba-tiba pudar, Alimaca

bukit-bukit baru tumbuh dari balik kabut seperti payudara anak gadis tiga belas tahun

ladam kuda memercikkan api di jalan raya, dulu para rodi bergelimpang mati di situ

tapi sebentar lagi lampu-lampu toko menyala di seberangnya menebar harum

sabun wangi yang tercium dari leher gadis-gadis baru pulang dari pemandian air panas

di jalan besar ke pasar kota itu juga, Alimaca

ada kereta api lewat setiap pagi

membawa keranjang-keranjang penuh kampung-kampung yang terseret

troli ke supermarket, truk-truk tentara penuh muatan pernah berjalan di atasnya

membawa kamu bercelana pendek belacu memotong garis damarkasi

bertanya-tanya dalam hati di mana putar roda hidup ini akan berhenti

tapi kini Alimaca kau dengar suara mereka bukan gemerincing suara sabda

yang sampai ke telinga para anbiya

hanya suara hujan yang berguntur di atas kepala, bukan, Alimaca?

kancing bajumu tinggal seluruhnya

ketika angin tiba-tiba gusar, Alimaca

menyumbul pusarmu yang besar, menyumbul hari depan yang cepat-cepat buyar

rahasia berhamburan keluar seperti keluang-keluang berhamburan dari mulut gua

pada lantai berderak bunyi jatuhnya bagai derak gigi kereta api di jalan menanjak

angin dataran tinggi membawa kabut bikin arah tak tampak, Alimaca

ladam kuda berdentang-dentang di jalan raya, hari lalu bergetar di atas tempat tidur

seperti getar busur

Alimaca, seperti desis ular mendengkur


Cinta Jahanam

Kalau kau tak mau, Uda, terpaksa pada buhul ini aku minta

janji lama hilang lenyap sumpah tinggal gulali merah muda

jangan beri aku harap, Uda, siampa besar di kerak-kerak neraka

jahanam kau, Uda

kakimu terbalik, bibirmu rata

mulutmu gua bersarang biawak berbisa dan komodo purba

kau memelihara babi dalam kepalamu, Cindaku!

aku bisa kembalikan kapal yang tersorong badai ke samudra

tapi tak bisa kembalikan hati yang terseret riak kecil asmara

di tengah malam menjelang malaikat tidur dalam kepalaku

aku sebut-sebut namamu bagai igau iblis dari dasar kawah

cintaku amuk gunung api, Uda


Sekali Lagi Ratap Kapal Karam

Harimau di atas kapal kami


bergelung di tengah ombak bersabung
tak dibayangkan pulau tersadai di tepi samudra
betapa jauhnya batas senjakala

Seekor tupai berekor pirang


melompat ke dalam lubang pada dinding kapal kami
dia membawa suara ngengat kelapa tumbang
gedebum jatuh mumbang

Pohon pisang jantan terapung-apung


telah lepas dari buah yang dijunjung tinggi
sendirian kini di lepas laut hampa diri

Berang-berang dari dasar lautan


menyumbul ke permukaan
kami terlonjak ketakutan
berlantun jauh – bimbang,
ajalkah yang tengah datang?
padahal dia bawa tarian ubur-ubur riang
dua pasang darwis bercinta dalam kecubungnya
lenguhnya sampai ke sini, kami mengira lenguh sapi
dari dalam kita suci – oh itu lagi

Tak ada yang berani


bunuh diri di atas kapal kami
-toh yang satu ini
hanya persoalan kami
manusia lata ini
Jembatan Ambruk

Jembatan ambruk
di bawahnya sungai
kuning tembikar
ke sudut matamu
menjela sampai

Rombongan sepeda
di atasnya jungkir-balik
antara tertawa dan menangis
kau kata, “habislah dia
habis!”

Sungai berbusa
pahit paya
kaki bakau
ke tepi pipimu
menjulur sampai

Puncak hidup
antara berhiba
dan gembira
kau kata, “derita,
hempas-
hempaslah kami!”

Jembatan ambruk
sisa perang panjang
ke dalam dirimu
runtuhnya sampai
Tini Menemui Ajal

Tini pulang
jam tiga petang
ketika pasar
sedang ramai
seperti bunyi
troli pada kapal
atau ban pecah
di pinggang pendakian

Dan sunyi tiba-tiba menyergap


tepat setelah ramai bersiderap

Rombongan kereta itu


yang lewat cepat di sampingnya
bagai lesat daun bawang
bergoyang hebat dalam angin lisut
dalam cuaca yang jadi
seputih suasa
tiba-tiba terjun
ke lembah tak bersaga
habis mati kalian
dalam gamang
tak berkesudahan

Langit jadi kedap


suaramu kini hanya
lirih terpantul
seperti Tuhan
yang bersiul-siul
dari jarak dekat

Tini pulang
kami menangis
entah girang: hore hore!
selamat berkabung
seluruh kampung

Rombongan kereta itu


pasar yang dilipat dan berkembang
terbayang bagai
perjalanan ke belakang

Lalu hari jadi terang


.
Tapa Barata Anak Bujang

Setelah masuk ke gua tarikah empat puluh hari di Koto Tengah


Dia pulang mengunjungi ibunya
Ibu, aku sudah bertapa
Kita-kitab segala bangsa telah kubuka
Kucari simpul derita dunia dan kupepat dia
Kalau kukata, matinya mati anjing
Terpenjara ia bersama babi segala celeng
Tidak akan hidup lagi dia abadi dalam sengsara

Tapi ibunya bilang: burungmu masih tegak


Hasratmu masih suka berlagak, kerampangmu gelinjang-gelegak
Pergilah ke Gunung Ledang, tempat pendekar pergi bertarak

Setelah turun dari Gunung Ledang empat puluh hari kemudian


Dia mengetuk pintu dapur ibunya
Ibu, aku sudah memangkas hasrat
Para gergasi rimba raya dalam tubuhku telah kubebat
Kutemu simpul amarah dunia dan kupancung dia
Kalau kukata, matinya mati pada pangkal
Ke pucuk dia tak akan hidup
Ke urat dia tidak akan tumbuh

Tapi ibunya bilang: Neraka dalam dirimu tak kau padamkan


Gerahammu mengunyah bagai pabrik, lambungmu karet gelang terus regang
Bagaimana mungkin petapa gemuk sepertimu sampai pada makrifah

Kau loba, Siampa!


Menjerat Burung Terbang

Kau ingin menangkap burung, katamu yang terbang di angkasa itu

Maka kau melompat bagai berkelebat pada pohon tinggi itu

Memanjati rantingnya yang berdaun paling ujung

Dari atas sana kau berseru:

Burung-burung bernyanyilah dan daun-daun menarilah

Akan kupasang jerat antara tidur dan jagamu, pada siang dan malammu

Aku seru pada yang hilang akan kembalilah dia padaku selalu

Bercerailah dari tumpukmu dan lepaslah kepakan sayapmu

Tapi tiap kau melenggang ketiakmu lepas ke tahan seperti kain basah

Gelengmu lepas dari kepala yang tidak berani tengadah atau bilang ya

Kau lompati pohon tinggi itu hingga tergapai-gapaikau di udara

Kau pelihara rasa gamang itu bagai lupa dalam buku sejarah

Tak berani kau menitah pada daun-daun dan burung-burung itu

Kau melompat, tapi tumitmu tidak lebih sejengkal dari tanah

Lalu kau kata hendak menangkap yang berubah di udara?


Ratap Kapal Karam

Kapal karam
menjelang di Pulau Pandan
padahal angin hanya diam
dan langit tampak
tak kusam

Mungkin ada tenung


berjalan pada lipatan gelombang
barangkali sumpah
dipesan perantara geram

Laut tenang
kalut dukamu
membawa asin garam
dalam pasang
ke pantai-pantai
panas berdengkang

Nun jauh di tengah,


paus hitam berjumpai putih
duduk diam
sendirian

Laut tenang
dalam deritamu
kapal karam
jadi

silam
Samsinar Pulang dari Pasar

Samsinar pulang
dari pasar
pukul empat petang
membawa santan
berkebat serai
dan rukuruku

Untuk menggulai
ikan macoaji
tangkapan bagan
nelayan Purus
mengelinjang
dalam kuali

Aku suaminya
tidur bergelung
di tengah rumah
hilang marwah

Celaka bapak si anu


kutukmu
dari dapur
yang mengepul
aroma kayu
terbakar basah

Celaka dia!

Amin semesta
Pacu Sapi di Simabur

Di kepalamu ada sapi-sapi besar panjang bertanduk

Berlomba lari di medan pacuan

Membawa karavan yang di atasnya

Masa silam duduk sendirian dengan cemeti di tangan

Sapi yang juga diarak dari masa silammu

Dan orang-orang di sini memancung kepalanya dengan arit

Mengubahnya menjadi sapi buntung masa kini yang berjalan ke depan

Turis-turis dari Jepang membawa rombongan tukang foto ke sini

Menggelar tenda di pinggir arena untuk menunggu momen penting:

Ketika sapi itu berak atau terkencing beramai-ramai

Mengangkat sebelah kaki untuk berkata “waw” seperti anjing

Di kepalamu ada sapi-sapi besar panjang bertanduk yang berpacu

Di gelanggang berbau pesing yang sudah seperti jamban

Karavan di atasnya telah lepas dari punggung

Penunggang itu terlempar ke pinggir pacuan

Meninggalkan cemeti yang melecut-lecut dirinya sendiri

Dan orang-orang di sini sepakat mengumpat:

“Pantat, pantat, nomor empat pantat!”


Kumpulan Puisi Karya W.S Rendra

AKU TULIS PAMPLET INI


Oleh :
W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini


karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
GERILYA

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
HAI, KAMU !

Luka-luka di dalam lembaga,


intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Jakarta, 29 Pebruari 1978


LAGU SERDADU
Oleh :
W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang


ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak
Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah

Nopember 1959
LAGU SEORANG GERILYA
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku.


Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977


MAZMUR MAWAR

Kita muliakan Nama Tuhan


Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.
Dikutip dari:
Sajak-sajak Sepatu Tua
Rendra
Pustaka Jaya
NOTA BENE : AKU KANGEN
Oleh :
W.S. Rendra

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih,


indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI
Oleh :
W.S. Rendra

Dengan latar belakang gubug-gubug karton,


aku terkenang akan wajahmu.
Di atas debu kemiskinan,
aku berdiri menghadapmu.
Usaplah wajahku, Widuri.
Mimpi remajaku gugur
di atas padang pengangguran.
Ciliwung keruh,
wajah-wajah nelayan keruh,
lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
Kemiskinan dan kelaparan,
membangkitkan keangkuhanku.
Wajah indah dan rambutmu
menjadi pelangi di cakrawalaku.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
ORANG-ORANG MISKIN

Orang-orang miskin di jalan,


yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
KUMPULAN PUISI YANWI MUDRIKAH

Sebunga Doa

Aromanya tak pernah hilang


Adalah Engkau
Yang tiap kali menuju satu kata
Senantiasa lafalkan asmanya
Serumpun doa yang tak pernah mati
Adalah wajah mereka
Yang hafalkan mantra-mantra
Keselamatan
Dalam ingat dan dekap
Di suatu masa
Engkau adalah puisi yang tak pernah
Terputus oleh ruang dan kenangan
Hingga kematian menjelang

Darmakradenan, April 2015


Di Batas Senja dan Kotamu

Di batas senja dan kotamu


Terhitung jarak kita
Yang merindu kekhusukanmu
Dalam endapkan kata

Dan sentuhan
Mengeja alis mata
Menafsirkan saraf matamu
Yang tajam

Merajam wajah tanpa arah


Cinta berserah
Pada selaksa sujud
Mewujud lukisan hati

Purwokerto, 25 April 2014


Di Palestina

Anak-anak menyisakan rasa


Yang menjelma senja
Kepada manusia pendulang duka
Berlumuran darah
Menusuk-nusuk nadi

Di Gaza

Orang-orang kembali menjadi debu


Demi mengecup keningnya
Yang serupa pohon kurma
Diterpa angin kering merapuh
Sampai dan terjatuh

Purwokerto, 14 Juli 2014


Wanita Percaya Kepada Kata

Wanita percaya kepada kata


Sekalipun dia tahu sering kosong makna

Tetapi perempuan bermata cinta


Di tengah hidup penuh kemasaan

Prasangka baiknya menjadi realita

Purwokerto, 11 Januari 2015


Cinta Rabi’ah dan Cintaku

Kucintai Kau dengan dua cinta


Cinta untuk diriku, dan cinta sebab kau patut dicinta
Syair rabi’ah al-adawiyah merajah hatiku

Tetapi kucinta Kau dengan dua cinta juga


Cinta kepada Kau, dan cinta kepadanya

Tetapi mengapa aku senantiasa mengingatnya


Dan selalu melupakan-Mu?

Purwokerto, 16 Januari 2015


Kata dan Doa

Kuncup-kuncupmu telah mekar

Seperti mawar di musim semi

Semoga kabar dari langit segera beredar

Sekalipun agak sunyi

Purwokerto, 2015
Jarak

Pada senja berikutnya ia datang padaku


Menyapa dan bertanya
Sepagi apakah impianmu, kekasih?

Angin terasa panjang


Jarak antara waktu dan aku seperti malam dan purnama
Tetapi doa-doa belum menjadi cahaya

Purwokerto, 15 Maret 2015


Wajah Mawar

Beberapa wanita berwajah mawar


Keringkan air mata yang binar

Sekeping sajak dilahap mentah


Semoga bukan musibah

Atas persekutuan mereka


Dan engkau yang anyir
Hasratkan dzikir

Purwokerto, Mei 2015


Barangkali

Barangkali kita masih bisa mengubah rencana?


Menatap langit
Dengarkan lagu nostalgia
Membaca cerita rakyat
Nonton film action

Dan menyaksikan bintang-bintang


Di antara pohon-pohon yang gemetaran

Kita mengukir mimpi


Duduk berdua
Menyaksikan bocah-bocah bermain bekel
Dan ikut tertawa lepas sepatu mereka

Purwokerto, 10 Januari 2016

Anda mungkin juga menyukai