Anda di halaman 1dari 102

Kata Pengantar:

Segala puji kehadirat Allah swt atas berkah dan kuasanya sehingga buku kumpulan puisi ini
bisa selesai. Karena atasNya, segalanya menjadi mungkin. Serta shalawat dan salam kepada
baginda Rasulullah saw atas perjuangan masa lalu untuk dunia ini.

Buku kumpulan puisi ini memuat beberapa sajak yang saya tulis dalam rentang waktu 2019-
2020 dan menurutku jumlah ini sangat sedikit meskipun produktivitas jumlah bukanlah alat
untuk menyetandarkan derajat kualitas puisi apalagi kepenyairan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih pada ibu Hartini yang telah melahirkkan anaknya ke dunia ini.Terimah kasih
kepada bapak Sahamuddin yang mengajari saya tentang kerja keras dan ketabahan.

Terima kasih kepada adik-adik dan keluarga besar, tempat bermukim segala cinta dan rindu
yang selalu cukup

Terima kasih kepada kawan-kawan: Bang Jaho, Sifu Anas, Hadri h, Arif, Kak Dewi, Kak
Burhan SJ dan orang-orang hebat yang tak bisa kusebutkan namanya satu persatu.

Terima kasih kepada: Komunitas Djelajah Buku, HIMKOS al-fajri, Keluarga Besar
Jurnalistik, FLP RANTING UINAM-Makassar, Napak Tilas Pejalan.

Terima kasih kepada Wati , inspirasi, Rumah segala keluh kesah. Perempuan dengan
keberanian dan ketabahan yang kutemukan di tubuhnya.
TENTANG PENULIS

Harsandi Pratama Putra

Biasa dipanggil Sandi, lahir pada 17 Mei 1998 di Pulo Bembe, Kabupaten Kepulauan
Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar (UINAM) dengan mengambil Prodi Jurnalistik. Telah
menerbitkan empat buku kumpulan puisi dan beberapa antologi dengan penulis lainnya.

Penerima Anugerah Literasi dari kampus ini juga aktif di kegiatan alam terbuka.

Blurb:

Orang-orang beranjak menuju kekekalan

Menitipkan tubuhnya pada kata-kata

Kenangan adalah ruang-ruang sunyi yang tak ingin mati ditikam waktu

Serupa do’a ibu, abadi sepanjang sujudnya

Lalu kutemukan tubuhmu

Renta dan tak mati-mai

Bersama puisi dan nafas menari-nari.


IBU ADALAH CAHAYA

Setelah semangkuk sayur asam tersedia di meja makan

Ibu meletakakkan segenggam harapan untuk hidup yang lebih adem

Di tangan kebalnya yang selaksa baja

Telah lahir anak-anak semesta tanpa prematur

Mengajarkan tentang ketabahan lalu keberanian untuk mengatakan kata hati

Setiap hari, ibu duduk menyulam di depan pintu

Menjahit baju akhir tahun, sebab katanya awal bulan dia akan terbaring tidur

Menemui mimpi-mimpi di kekosongan malam

Menjumpai temu di altar keabadian

Jari-jari itu telah mengering bagai sumur yang terkoyak musim pada kemarau

Mata cekung menandakan kepulangan tak lama lagi

Keriput telah merampas hak asasi kecantikan pada tubuhnya

Kasih ibu tak pernah tidur

Seperti senyum itu, selalu terbit di bibir pucatnya

Gowa, 2020
PERIHAL

Malam membawa ketakutan di hati yang risau

Di bawah atap bulan, sepi datang membawa nyala pada pertayaan-pertanyaan

Kepala tak pernah ikut mendengkur

Bayangan kepulangan telah membawa waktu peristirahatan menuju igauan ingatan

Dentang jam dinding adalah penanda, bahwa waktu tak pernah berhenti berlari

Layaknya kijang-kijang hutan yang dikejar pemburu

Atau derap langkah kaki kuda membabi buta di tanah lapang

Pada do’a sebelum tidur, keyakinan menjadi sabda penjagaan

Menembus langit-langit semesta

Menemui Tuhan di singgasana Arsy

Kita telah telah terlahir cahaya, lekas menemui kepulangan tanpa padam sinar

Sebab gelap adalah risau lalu menjadi duka abadi

Gowa, 2020
RENYAH TAWA DI MULUT BERDASI

Setelah bercanda di halaman Koran

Mereka lalu pergi menuju kantor-kantor menjulang pongah

Dengan dasi mencekik leher, baju putih tanpa noda hitam

Rambut klimis serupa kaku

Selalu nyamang merebahkan diri di kasur kepala

Tawa dari dinding restoran itu membangunkan anak kecil yang tertidur pulas di depan etalase
toko

Melihat sejenak pada sangkar kaca diantara wajah-wajah bermuka pucat sebab pembicaraan
terlalu ngidul kemana-mana

Tentang sebaris paragraf yang dimuat di halaman Koran tadi pagi

Setelah orang-orang membicarakan sebuah perihal, di nyala mata kelam membabat habis
sebuah cahaya

Teriakan seolah ranting patah yang dilumat oleh pekikan api di hutan sana

Kata-kata memberi harapan, lalu mati menuju selokan di lorong-lorong

Berbau sampah tak ada guna

Kembali menuai perjalanan

Setelah sebuah gambar besar roboh di pinggir jalan

Dasar sampah!!!

Umpat orang-orang diatas trotoar

Gowa, 2020
PERCAKAPAN DI MEJA MAKAN

Andai bukan apa-apa.

Aku tak ingin melangkah jauh.

Aku hanya ingin menetap di rumah.

Menghirup masakan ibu, melihat tungku dapur mengepul di bawah atap bolong-bolong.

Lihat, kini wajah ibu penuh dengan coretan asap.

Tapi sungguh dia tetap cantik.

Setelah sayur kelor terhidang di meja kayu, lalu ikan asing memberi ruang pada mata-mata
sederhana.

Sesekali suara piring ikut tertawa.

Sebab tangan kecil adik tak bisa menggapai bakul nasik atau wajah yang mengukir sedih
sebab ikan terlampau lihai hingga tandas tanpa sadar.

Bapak lalu memindahkan sisa miliknya dengan beralasan kenyang.

“sebab kalian anak-anak bapak, makanlah dan cepatlah tumbuh”.

Di wajah keriput bapak, senyum itu tak pernah lelah merinai jiwa.

Seiring tangisan yang tumpah di piring plastik.

Lalu ibu mengusapnya dengan tangan bajanya.

Bapak bercerita tentang ketegaran.

Ibu mengajarkan makna ketabahan.


Meja makan adalah tempat pulang, tempat berbagi cerita tentang hidup dan rasa syukur.

Masakan ibu adalah rindu yang menolak dilupakan.

Setelah semangkuk jantung pisang merasuk di dinding hati.

Aku tak ingin kemana-mana lagi.

Gowa, 2020
PADA PUISI

Lalu kita mulai berjarak, menjaga langkah. Membunuh tanya.

Batas telah menjadi pelajaran dasar untuk tidak berani lagi bermimpi. Tentang kamu.

Tubuhmu adalah keterasingan. Menolak untuk di terka.

Menyembunyikan seribu pertanyaan sebab jawaban adalah bahasa mudah untuk di tebak.
Kita adalah sepi paling kejam lalu melupa dengan sengaja.

Dan puisi telah menjadi rupa-rupa.

Seseorang telah menjelma pembunuh di dalamnya.

Perindu sedang membakar habis rindunya di kedalaman kata-kata.

Pecinta yang tabah rela merelakan tidurnya hanya untuk mengabadikan satu nama pada
tubuhnya.

Dan aku, membuatnya menjadi tempat untuk menampung kebohongan tentang ekspetasi.
Tentang wajahmu.

Gowa, 2020
DI JALANAN

Setiap hari jalanan menyerap tubuh orang-orang

Kebisingan yang menolak untuk di perbincankan

Igauan sunyi yang begitu takzim dilupakan

Semuanya harap cemas, sebab disini tak ada kata saudara

Langkah serupa lomba lari, sedang Tuhan tak ada tempat untuk bertamu.

Waktu serupa nabi yang dikejar untuk menerima sabda.

Bunyi-bunyi dari gedung warna-warni satu persatu datang menakuti telinga.

Menabuh gendang dengan teriakan prajurit-prajurit malam.

Bauh lusuh tanpa belas kasihan, hanya menyisakan luka pada kepala.

Segala bentuk keterasingan telah memberi batas antara hati dan keyakinan.

Dari hangatnya pelukan sepasang kekasih renta sampai tubuh kedinginan seorang bocah
belasan tahun.

Lalu mereka mendadak lupa, kita adalah debu dari rahim sama.

Gowa, 2020
DENDAM

Menuju kesepian pada jalan-jalan yang dilalui seorang penyair

Seseorang sedang menangis dalam tulisan

Ada darah diatas ubung-ubung

Kematian menjadi oleh-oleh kepulangan

Kebebasan itu ada pada kemerdekaan berkata-kata

Menyulam huruf pada gelas-gelas kopi diatas meja

Sunyi berkawan malam, dingin menemui tubuhnya yang menggigil

Setitik moral telah menjadi abstrak di meja pengampunan

Lalu kata-kata serupa dendam, hanya ada mayat dibatas akhir sebuah kalimat

Kita tidak berkawan apa-apa

Bukan pada kawan yang membenci

Hati adalah surga bagi kejujuran orang-orang

Lalu semuanya telah dituliskan

Diatas pembaringan sebuah kebenaran

Nyalanya adalah keabadian

Sebelum tubuh ini di sembahyangkan

Kita akan menjadi masa sebuah sejarah

Bukan basa-basi kepalan tangan

Dusta hanya diperuntukkan bagi mulut-mulut tak pandai membaca


Setelah namamu kutulis diatas puisi

Dari serat pohon pada hutan sunyi

Kau adalah kesesatan tanpa nyali

Gowa,2020
KEPADA TUBUH

Kepada tubuh

Penuh luka penuh dendam

Kepada tubuh

Yang terkapar dan terbaring

Kepada tubuh

Yang terawat dalam kaca

Kepada tubuh

Yang di tuhankan dan di tuakan

Kepada tubuh

Yang fana lalu mati

Kepada tubuh

Yang terhormat dan menghormati

Kepada tubuh

Yang menyembah dan sesembahan

Kepada tubuh

Yang tersesat dan menyesatkan

Kepada tubuh

Di jalanan basah dan hutan-hutan

Di kolom jembatang dan di bawah lampu kristal

Menuju abadi di persimpangan

Menjadi apa-apa dan tanpa apa-apa

Gowa, 2020
YANG TERASING LALU PADAM

Disini orang bisa menyamar, tak ada pengecualian tentang itu. Disini sudah tak ada Wiji, Gie,
Udin ataupun Marsinah. Seiring kepulangan teriakan mereka, lenyap diantara riuh
kebisingan. Seperti binar senja yang dilumat habis oleh gedung-gedung tinggi di perkotaan,
diantara teriakan tubuh-tubuh kekar mengusir para pekerja kaki lima.

Bukan tak ada apa-apa, bukan moral ataupun belas kasihan. Kita adalah keterasingan diantara
suara-suara penuh dusta.

Punggung coklat terbakar api, suara tangis menyayat hati. Kematian adalah jalan pulang
menuju kesunyian. Lalu mereka merancang surga diantara suara redam batuk di gubuk
kardus. Menyeduh tawa pada piring-piring keramik, disebuah restorang mewah penuh bau
parfum.

Esok tak ada lagi, setelah kita menjadi serpihan mangsa pada keadaan, tak kenal pada kepala,
melupa pada ingatan, terasing pada diri sendiri.

Lalu aku memaneng janji di warung kopi…

Setelah Pramoedya mengajak bermalam mingguan, menghirup bau tembakau dari cangklon
kejayaan. Aku berencana pulang menuju rahim ibu.

Gowa, 2020
YANG TERASINGKAN PADA SANGKAR

Di kedalaman malam yang sunyi, suara revolver membunuh gendang telinga.

Sebuah tembakan salvo telah membawa ketakutan menuju puncak ubung-ubung.

Orang-orang menjadi sebatang ranting loyo, di pemukiman yang tak menatap pada sepasang
mata.

Do’a-do’a membabi buta menuju langit

Ayat-ayat berhamburan di sela langkah kaki tak beraturan.

Kita menjadi sepasang asing diperempatan, lalu mendadak lupa di pertigaan.

Setelah sebuah kecemasan meledak, tubuhku menggigil kedinginan hilang arah.

Matahari kembali murung, corong-corong asap mengejek dengan polusi.

Kota kehilangan kendali, jalanan terlampau gaduh menyeduh tawa.

Aku mendadak lupa pada kebebasan.

Disini, aku terasingkan lalu kembali padam.

Pulo bembe, 2020


RUPA-RUPA

1.

Orang-orang telah melabeli diri dengan harga.

Tubuh yang menolak menua, yang menolak keriput, lalu menolak tak menjadi putih.

2.

Orang-orang telah memberi batasan.

Merawat hal besar pada kepala.

Berani berkata tidak pada kesia-siaan.

Tidak menjadi palsu pada diri sendiri.

3.

Pada akal dan pikiran, aku memberi hormat kepada yang terhormat.

Menunduk pada kebenaran, lalu memberi salam pada kesederhanaan.

Pulo Bembe, 2020


MEMBUNUH WAKTU

Aku ingin membunuh waktu.

Mematahkan jarum jam di dinding rumah.

Agar langkah kaki tak cepat bergegas.

Agar kepala begitu merdeka untuk menoleh pada kebenaran.

Aku ingin membunuh waktu, mematikan yang membisukan. Memberi leluasa pada rindu
untuk duduk bersama. Menceritakan tentang kita yang tak ingin hidup 1000 tahun lagi. Sebab
bumi terlampau menguras air mata, sebab disini kita menjadi palsu, pada moral dan diri
sendiri.

Lalu kukatakan pada langit kosong, pada hutan lindung yang dinodai, pada kota yang telah
menjadi batu. Aku ingin membunuh waktu , tepat setelah serakah tak membabat habis kepala
orang-orang. Lalu mereka menjadi hidup, dengan cara paling sederhana.

Pulo Bembe, 2020


ALEPPO

Setiap hari maut datang bernyanyi pada kepala.

Diiringi kawanan burung gagak yang membawa ketakutan.

Memangsa kemolekan, membakar yang tersisa dari yang terampas.

Kata-kata hanya serupa seruan, diserunya waktu lalu mendadak bisu.

Kini adalah darah dan air mata, luka menganga dan mayat tergeletak tak bersuara.

Telah menjadi jembatan penyebrangan menuju surga.

Yang diyakini.

Hari ini tak ada roti safiha, Amir.

Sebab ibu bapak telah menjadi bisu, lumpuh lalu fana.

Tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh tentara Tuhan, sebab sabda adalah perintah.

Tentang bakti, katanya.

Langit tak berjanji membasuh duka.

Hanya ada bau anyir merasuki tembok bolong-bolong.

Ledakan mortir, lolongan nasib serupa paduan suara.

Meronta-ronta, menikam jantung. Meloncat-loncat.

Di hadapan rupa, menunduk mengheninkan cipta.

Kutemukan tubuh menolak mati.

Tak mati-mati.

Pulo Bembe, 2020


ANAK-ANAK HARI INI

Disini sinyal seluler telah memangsa kebebasan.

Merampas ingatan masa kecil.

Menikam imajinasi pada kepala.

Setiap hari linimasa menjadi tempat peribadatan, ruang makan, ruang berpikir dan ruang
bercinta.

Meniru pada apa yang terlihat lewat mata Maya.

Maya pandai bercerita tentang bagaimana, menjadi ibu pendongen dari bangun tidur sampai
tertidur kembali.

Lalu meronta, sebab tak mendapat ini, itu pada apa yang terlihat.

Lalu keinginan ada pada apa-apa yang terlihat.

Pada iklan, pada beranda yang menampung tangis, pada do’a-do’a yang sering terucap.

Kepadanya di talkinkan, serupa Tuhan.

Anak-anak hilang ingatan, hilang kendali.

Tempat kepulangan bukan pada rumah.

Tempat kembali bukan pada nasehat ibu bapak.

Sebab telah ada rahim satu, rahim Maya, rahim seluler.

Pulo Bembe, 2020


SEBELUM WAKTUNYA ATAU SESAMPAI

Melawan pada apa yang tertera, maklumat pengakuanku telah menjadi kata,

Sebab rindu adalah bisu lalu kita mengejanya menjadi puisi, menjadi baca.

Kepada tubuhmu aku ingin meninggalkan jejak, tanda.

Lalu aku menemukanmu pada kesunyian yang duka.

Pada hari-hari bisu, pada rahim seorang ibu yang meninggalkan payudaranya untuk
menghidupi kerongkongan anak-anak semesta.

Membasuh yang kerontang menjadi basah.

Memberi cahaya pada lekas yang menolak padam.

Suatu ketika pada satu waktu, kita telah menjadi satu dari keinginan.

Menikam kemungkinan, menolak di terka lalu binasa pada satu waktu lagi.

Mungkin suatu ketika.

Selayar, 08/02/2020
DENGANMU ADALAH HIDUP

Setelah kursi malas menjejaki tubuhku. Aku melihat engkau sedang duduk di muka jendela,
menyulam baju untuk anak-anak kita. Wajahmu yang masih tetap cantik tanpa rias gincu di
bibir pucatmu. Kau adalah perempuan sederhana yang tidak di jajah tubuhnya oleh kosmetik.
Oleh iklan-iklan di TV tetangga.

Aku tak menolak menjadi tua. Dengan kamu.

Aku siap menjadi keriput, aku siap menjadi keropos, aku siap menjadi fana.

Kita merayakan rindu dengan sebaik-baik do’a pada semesta, dengan cara paling sederhana.
Lalu kembali melalui batas. Menyapa bentangan waktu pada imajinasi di kepala, percakapan
di muka ponsel dan renyah tawa di dinding tembok.

Kepada pertanyaan-pertanyaan tentang perihal dan tanda.

Kepada kita yang hakiki dalam menjadi bijaksana.

Kita adalah setunduk-tunduknya sebuah kebenaran.

Gowa, 16/02/2020
KEPADA KITA

Ia berjalan kembali, berhitung tentang idealis dan keberanian.

Ia bertahan pada apa yang disebut pegangan, tentang keyakinan pada kebenaran.

Gedung-gedung membisu dihadapan kepala berjejeran. Rupa-rupa beragam bentuk dan warna
selalu tampak absurd. Kembali bergegas, tubuh tak lama lagi akan menua lalu mati tanpa
perubahan. Setelah angka-angka menjelma penyakit kronis, ditempanya ia pada ruang-ruang
kelelahan. Menampung segala teori dann opini.

Di bunuh waktu, lapuk pada kenyataan. Anak-anak semesta telah menjadi manusia
pengasingan, dihadapan kecaman sebuah perubahan.

Di bunuh peradaban, ia tubuh terlabeli harga. Di sangkar kaca yang menolak tak menjadi
mewah.

Aku merindukamu yang tak mati-mati di tikam zaman. Kusebut dia keabadian.

Gowa, 23/02//2020
PENCARIAN

Aku telah menemukanmu, perantara menuju surga.

Membawa kematian, senyala api dan ketakutan abadi.

Aku tak menanyakan kebenaran.

Sebab kekosonganku belum terisi jawaban.

Masih menyisakan pertanyaan.

Gowa, 05/03/2020
KOTA; SEPI MENOLAK HIDUP

Puntung-puntung rokok bunuh diri setelah kebenaran hanya sekedar angka.

Kursi-kursi tua menggigil kedinginan, orang-orang datang mengatur nafas lalu kembali
merelakan tubuhnya pada pelukan kebisingan, diantara teriakan hak sepatu wedges yang
dilalui kaki-kaki berjenjang.

Kini kata-kata di olok-olok lampu jalanan. Dihadapan reklame kebugaran dan pelayan-
pelayan toko yang selalu segar, surga telah benar-benar nyata setelah di bangun manusia-
manusia super.

Sebab kepulangan pada kota, adalah alasan paling nyata. Tentang kita yang tak menyukai
kesunyian, tentang kita yang tak ingin lama-lama bersinggungan dengan sepi.

Lalu dimana kita menemukan damai?

Kembali ke masjid, buku dan gunung. Tempat tuhan benar-benar ada.

Sedekat nadi manusia.

Gowa, 29/02/2020
MERAWAT KENDALI

Kita kufur pada hidup dan lagi-lagi Tuhan terlampau pengasih kepada yang serakah. Setiap
hari orang-orang sibuk berdemonstrasi ke masjid, gereja. Menyiapkan kepulangan dan
berharap menemukan sekeping surga di penghujun jalan.

Lalu kembali membunuh pohon-pohon. Menjaring air mata, menikam pisau di tubuh semesta.
Diam-diam mereka mempersiapkan kavlin kuburannya sendiri dan menjadi gelisah mencari
lubang untuk tubuhnya nanti. Sebab tanah telah mengeras, anak sungai menutup diri. Kain
kafan telah kehabisan benang dan batu nisan kembali menjadi jenazah

Dimana kita menemukan kepulangan menuju lorong menakutkan itu?.

Angka-angka di kalender masih terawat dengan baik.

“Ayo kita selamatkan iman”.

“Dengan cara apa?”.

“Mencintai bumi”.

“Mungkin kita tak perlu meminta banyak pada keinginan”.

Selepas senja yang semakin gelap.

Kutemukan ia mengubur bola matanya di sebuah pusat perbelanjaan.

Gowa, 27/02/2020
TERLAHIR ABADI

Untuk: Anum Izzah Almyra

Lalu kutemukan hidup di kerudungmu, nak.

Matamu adalah celah jendela, tempat terang menyelinap masuk lalu mengganjal luka-luka
itu.

Setelah tangisan pertama yang kau bawa sendiri ke dunia, kekal resah kembali terlepas. Tak
membekas. Mereka memberimu nama, sebab kelak kau memberikan makna pada setiap
hurufnya.

Pada tubuhmu, puisi-puisi kebahagiaan kembali lahir.

Menghapus duka lama.

Menyusung kata-kata baru untuk hidup yang lebih adem.

Jari-jari mungilmu merekah, keberanian adalah langkah pasti untuk melawan hidup.

Pada tubuhmu Kartini adalah kau sendiri, mekar senyala abadi.

Lalu kutemukan hidup di kerudungmu, nak.

Pada kecantikan yang nyata.

Pada senyum kecil sederhana. Tak padam.

Gowa, 07/03/2020
SENJA KOTA YANG MENAKUTKAN

Setiap hari kebisingan datang membawa kabar, hidup kembali dimulai katanya.

Sebab sepi mengembara terlalu jauh, membawa mimpi di jam-jam tidur yang direnggut
matahari pagi. Setelah klakson berteriak nyaring, jam weker memuntahkan kemarahan.

Ia datang membawa selembar kertas.

“Kita akan menggambar sunyi, mencoba memasuki tubuh para sufi yang semakin mabuk
pada ketidak sadaran”

Ia kembali membawa berita, dikerumunan katanya kepalsuan lebih berani menampakkan diri.
Percaya pada Tuhan adalah takzim yang hanya sekedar kata-kata. Tak ada hati bergetar.
Yang menghayati telah mati.

Selepas senja di bawah kaki pencakar langit, riuh kepulangan membawa gaduh. Lalu mereka
telah menjelma menjadi sekumpulan beton. Semua adalah keterasingan.

Gowa, 07/03/2020
KAKI GUNUNG LATIMOJONG

Lumpur-lumpur berpasir mengeluarkan pekiknya

Setelah pejalan memuntahkan penat pada kepala

Pegunungan yang menjulang, anak-anak sungai yang selalu berbagi berkah di kerongkongan

Kaki-kaki kecil melangkah tegap menuju mimpi

Seutas senyum pada waja lugu

Ketabahan hanya untuk orang-orang merdeka

Perempuan-perempuan menyusuri bukit

Memetik kopi dan bercerita tentang bahagia

Rambut mereka tergerai

Mereka adalah ibu dari anak-anak terberkahi

Di kaki gunung itu tak ada pekikan kemarahan jalanan

Hidup mengalir diantara suara kaki-kaki berlarian

Puncak Rante mario tersenyum

Mereka melambaikan tangan

Lalu do’a-do’a menggema pada semesta

Latimojong, 09/09/2019
TUBUH KESEPIAN

Muka ketakutan, darah mengental, luka menebal.

Siapa yang datang membawa keranda kematian lalu mengosongkan kata-kata di kepalaku?

Telingaku menebas bunyi, tubuhku kehilangan pencarian.

Segala duka, kemerdekaanku adalah keterasingan.

Lalu dimana kutemukan kebebasan?

Segala tak kukenal, semuanya menjauh.

Di puncak subuh, pada hening yang ketakutan.

Kutemukan diriku di ruang sunyi yang mencekik dirinya sendiri.

Di cengkram kesedihan.

Lalu aku mau apa?

Gowa, 09/03/2020
DI SEBUAH KOTA

Kegelapan, datang melumat cahaya di batas kata.

Membunuh gedung-gedung pongah dengan kesunyian.

Orang-orang sedang merayakan kesedihan, dan menampung tangis pada sebotol bir.

Pada jembatan beton, dibawahnya slogan-slogan tentang kesejahteraan mendengkur miris.

Seorang anak kecil menatap kolom langit, kakek tua masih sibuk menghitun dahak.

Malam akan membunuh pekerja paruh waktu.

Setelah harga-harga membuyarkan mata di depan etalase toko.

Perempuan dengan blus tanpa lengan dan sedikit kata-kata manis di bibir penuh gincu.

Sedikit ingat tentang kematian dan tubuh butuh sentuhan kosmetik.

Ada yang memberi penawaran dibalik kaca sedan.

Lalu kota menatap sinis, pada tubuh-tubuh dekil pembawa koran.

Memberi salam pada bapak walikota.

Di tengah jalan masih ada sisa kecelakaan tadi malam, darah belum kering lalu kini pencuri
buah di pasar kembali di tembak mati hanya karena lari membawa sebutir jeruk.

Disini, mimpi-mimpi masih sebatas nyala tidur. Kota mencoba memadamkannya

Gowa, 29/10/2019
KELUARGA SEDERHANA DI PEMATANG TAWA

Pagi buta, perempuan datang dari kesunyian membawa bakul di kepala.

Membawa apa-apa dari sepetak tanah gembur.

Setelah musim mengucap salam, lalu hujan datang membawa berkah.

Pada tenggorokan kerontang dan do’a-do’a diatas sajadah.

Hasil paneng adalah senyum tuhan yang teramat manis.

Diatas bale, tubuh sederhana berucap syukur.

Setelah kalender mengakhiri masa di penghujun akhir.

Tawa seorang bocah ingusan yang membawa sepetak tanah liat di tangan kanannya.

Meracau tentang kata benda dengan kata sifat yang lucu.

Di bawah atap rumbia yang memanggil namamu.

Aku telah menyelam pada mata-mata teduh di rumah bambu.

Gowa, 29/10/2019
KEPADA ALAM YANG TERBAKAR

Mereka telah pulang, setelah mencari keberanian di hutang-hutang terbakar.

“hari ini tak ada kata-kata, jangan dulu bicara. Sebab kata telah menjadi omong kosong,
orang-orang melolong dengan ludah berceceran”.

Gunung menunduk layu pada kobaran api.

Kedalaman rimba menjadi puing-puing.

Seorang lelaki mendesak menuju dasar jurang.

Dengan ransel di punggung dan darah yang membeku di telapak kaki.

Jangan bawakan kata-katamu kesini.

Tali sepatu yang lupa simpul, mantel hujan yang mencekik seluruh badan atau cahaya lampu
senter di kepala.

Telah kukenang perjalananku di matamu, kini kau mengeluarkan air mata.

Orang-orang menjadi tumpul setelah kau ditinggalkan tanpa kehormatan.

Aku menyayangimu.

Pada matahari yang berangkat tidur, malam dengan tubuh lentiknya dan mata air membelah
kepalamu.

Tapi, kini kau masih menangis.

Gowa, 28/10/2019
SEHABIS SUBUH

Dari puncak subuh yang menggigil kedinginan.

Setelah bedug bertalu-talu membawa gemuruh.

Kini aku kembali menelangjangi diriku, menyisakan jiwa yang masih bertafakkur pada sunyi.

Kesepian di talkinkan serupa do’a-do’a yang dilesatkan menuju puncak langit.

Dirapalkan dengan keberanian.

Ayat-ayat Tuhan berhamburan, memeluk orang-orang tak berpengharapan.

Menyiasati luka, menampung tangis pada pucuk daun mahoni.

Kepada pemeluk keheningan.

Telah kusalami jari-jari di saf terdepan.

Dukaku menjadi sebutir embung yang menetes di jendela pagi.

Setelah kutemui diriku adalah setitik debu.

Menjadi kecil dihadapan yang tertinggi.

Gowa, 10/03/2019
MALAM PANJANG DI WARUNG KOPI

Setelah malam tandas pada secangkir kopi, bibir di cangkir itu masih menyisakan pembicara
handal. Lalu menyelinap pada kegelapan.

Menemukan kegelisahan pada puncak kesunyian.

Tentang tuhan dan mimpi tanpa penafsiran.

Lalu pikiran lebam mereka telah membawa kesesatan.

Kebenaran telah menjadi mayat, ludah-ludah bersekongkol dengan pengakuan.

Lelucon cabul yang itu-itu saja adalah makanan halal di meja pembicaraan.

Idealisme hanyalah barang antik yang selalu di kantongi.

Sebab ini sesunyi bayangan, sesemarak pusat perbelanjaan.

Orang-orang berwajah tirus membawa ketakutan pada diri masing-masing.

Sesosok tubuh telah menjadi kuburan, dihadapannya kini sebuah batu nisan menjadi sebatang
dungu.

Gowa, 10/03/2020
DI TUBUHMU AKU SEDANG TIDUR

Ruang-ruang sunyi telah kutemukan di tubuhmu.

Tempat aku merapal kekhusyukan.

Tempat do’a-do’a bergelantungan.

Tempat puisi melahirkan anak-anak baru.

Tempat ingatan merayakan umurnya.

Tempat mimpi-mimpi melabuhkan tidurnya.

Telah kutemukan benar-benar kepulanganku.

Di dirimu.

Ruang-ruang baru akan kususung di tubuhmu.

Sebelum keberangkatan menuju nanti, mencari jeda dan menemukan kesunyian diantara
percintaan kita.

Gowa, 11/03/2020
22 MEI

Orang-orang pulang dari perjalanan tanya .

Setelah menjadikan diri untuk menjadi pendengar yang baik.

Suara-suara malam terdengar diantara reruntuhan puing-puing kebengisan.

Membangunkan tidur dari mimpi tentang pengorbanan.

Mereka kembali memanggil keadilan yang nyenyak diantara lupa.

22 mei, tubuh-tubuh terkapar di reruntuhan.

Dengan kepala penuh tanda tanya.

“kenapa kami dilenyapkan?”.

Angin malam membawa udara basi ke kuburan.

Daun-daun terdiam dan tanah tak siap menampung duka nestapa.

Langit lenyap, setelah hujan membasuh kesedihan.

Tragedi telah menjadi sejarah dan lagi-lagi dilupakan.

Do’a-do’a telah menjadi abu.

Teriakan-teriakan terus menggema.

Masih ingat?

22 mei, tangan-tangan itu datang membawa nyala api.

Gowa, 15/09/2019
DUKA SEBUAH KOTA

Kota kehilangan selimutnya

Dia kesepian tanpa kawan

Matanya mendadak murung

Cahaya raib entah kemana

Sepanjang aliran di tubuhnya

Tu han Tu han Tu berenang

Menari mencari pusaka

Meracuni adat lalu mulai merancang surga

Udara beku, orang-orang kedinginan

Kecaman berkerumunan

Teriakan

Makian

Telah siap melepas pada genggaman

Segumpal darah bergegas menuju ruang sunyi

Setelah hujan mendadak mati di ranjang bunyi

Gowa, 15/03/2020
KATA-KATA ADALAH HANTU BISU

Orang-orang mulai berembuk di kerumunan, berucap dengan bahasa asing.

Merapal mantra-mantra khas kebisingan.

Lalu pulang dengan muka di genggaman.

Kepala mencetak angka-angka klasik.

Telinga mendadak bisu, mendengung oleh nyanyian gedung-gedung gaduh.

Mata tertutup lembaran portofolio, setumpuk Koran yang menyajikan sensasi.

Selebaran gambar warna warni kembali menakuti tiang-tiang lampu.

Kata-kata romantisasi kekosongan lagi dan lagi mengerayangi tubuhnya.

Membual tentang kerja lalu menjual ludah berwangi surga.

Di seberang jalan kita tak berkata apa-apa, hati kembali menutupi fitranya.

Pada tubuh kita, sepasang anak kecil mendadak mati.

Gowa, 16/03/2020
AKU MENEMUKANMU DI KESUNYIAN BERSAMA PUISI DAN KEABADIAN

Kutemukan senyala api di matamu.

Pada sepasang kaki melangkah tegap.

Membawa perihal menuju kepala dan ingatan.

Sebatang rokok.

Begitu mesra mencumbu.

Begitu romantik bertengger.

Setelah berhari-hari membunuh dirinya sendiri.

Suara mesin ketik yang selalu menari di kesepian.

Nyawa tak hilang satu.

Kini umur bertambah dua.

Orang-orang lalu menitipkan tubuhnya pada kata-kata.

Kenangan adalah ruang-ruang sunyi yang tak ingin mati ditikam waktu.

Serupa do’a ibu, abadi sepanjang sujudnya.

Lalu kutemukan tubuhmu, renta tak mati-mati.

Bersama puisi dan nafas menari-nari.

Gowa, 16/03/2020
DO’A

Pada hari-hari nafasku terkapar lemas

Aku selalu berdo’a dengan cemas

“Ya Tuhan, ampunilah dosaku”

Lalu aku terus mengulanginya

Setelah tubuhku kembali retak, porak-poranda

Aku belum selesai

Gowa, 2020
PESAN (untuk) ANAK-ANAK

Nak,

Dimana kau akan menemukan kebebasan

Kalau tak berani mengutarakan kebenaran

Tubuhmu adalah tuan

Jangan menjadi hamba yang cengen

Tubuhmu adalah kepalan teriakan

Menandakan perlawanan pada setiap kemunafikan

Nak,

Semoga tak ada mendung

Pada matamu yang bening

Gowa, 2020
MENYUSUN TUBUH IBU

Ingatan

Pada tubuh renta, daun-daun lepas ke tanah.

Sepasang payudara mendadak layu.

Sepasang mata berubah sayu.

Do’a ibu yang sunyi.

Tangan lengam tanda hidup selalu kelam.

Ketabahan adalah keberanian untuk bertahan.

Di benak masa kanak-kanak.

Ingatan telah menjadi batu nisan.

Kepalaku berusaha menuntun sebuah senyuman.

Menuju pelukan yang tak akan pernah tanggal.

Pelukan hangat yang tetap tinggal.

Setiap hari, bayang-bayang ibu selalu berkunjung menuju rumah ingatan.

Telah kukunci pintu, tak akan pernah ada namanya kepulangan.

Gowa, 17/03/2020
MEMBACA TANDA

Aku kadang membacamu di kesunyian

Mencoba menerka

Hal-hal rahasia pada kedalaman tubuhmu

Setiap hari

Luka dan lupa kubawa berlari

Reduk redam menjadi mati

Kepada senyum, lengan terentang menunggu pelukan

Aku tak mampu membaca tanda

Para pejalan menerobos sesat

Pada lebatnya sebuah rahasia

Kepulangan telah kau daur ulang

Sebelum kepergian hakiki menjemputmu. Kematian

Kembali kutemukan tubuhmu di kesunyian

Aku ingin membacamu dengan tenang

Mencoba menerka tanda

Gowa, 15/03/2020
SEBUAH USAHA MEMBUNUH NAMA IBU

Setiap hari ia terus berusaha membunuh nama ibu di kepalanya

Disaat kepulangan telah menjadi bayang-bayang masa kelam

Menuju kenangan yang saling berhimpitan

Tentang duka pada perasaan

Ketenangan tak lahir pada sebuah pelukan

Yang ada hanya patahan dendam, selalu terawat dengan seksama

Tak ada pengharapan sebuah kelahiran

Tak ada penolakan tentang takdir Tuhan

Hari ini tak ada sebait do’a

Kini dosa terus berburu

Menjela menjadi lolongan ombak di tengah kebisuan batu karang

Sebuah nama tetap berada dalam lipatan

Disaat kebencian terus memburu seperti peluru

Tak kunjung hilang dibunuh kesunyian

Gowa, 11/03/2020
TAK INGIN YANG TERAKHIR KALI

Aku menunggumu di pertigaan malam menuju pagi

Setelah suara sirine ambulans mengantar jenazah ke rumah duka

Suara tangisan memberi pelukan di ambang pintu

Bukan aku, belum waktunya

Sebanyak apa ketika waktu untuk di talkinkan akan tiba

Sebanyak ingat tentang kematian yang akan menemui tubuh

Bangku-bangku belum sepenuhnya kududuki

Di atas meja masih ada catatan tagihan buku, tangisan rindu yang belum tuntas

Lalu mata merangkak di cahaya samar

Setelah kalender mengakhiri masa di akhir bulan

Tak ada keberangkatan hari ini

Aku belum ingin menemui yang terakhir kali

Gowa, 2020
PULANG SEBELUM KEBERANGKATAN TIBA

Setiap hari aku ingin mengunjungi ibu.

Mencari masa kanak-kanak di puting susunya.

Sesekali melihat masa tua, mendengarkan cerita kematian.

Mengintip kecantikan pada sela-sela keriput di wajahnya.

Uban-uban terus bercanda, tentang siapa yang akan kembali gugur hari ini.

Sebab dia tumbuh dengan takdirnya untuk tercerabut.

Sebab manusia ada dengan ketiadaan yang akan memeluknya terakhir kali.

Cara pulang terlampau misteri. Pulang yang hakiki.

Aku melihat ibu, bercerita tentang hidup.

Ia ingin tanah tempat dia tidur nanti adalah tempat untuk pohon-pohon berlarian.

Sebab kepulangannya ingin menjadi berkah bagi mereka yang menunggu punah.

Ketakutanku yang seliweran di kepalaku telah melahirkan pertanyaan

Akankah aku mengunjungimu sebelum pemakaman menghembuskan aromahnya?

Gowa, 21/03/2020
MENUNGGU WAKTU PULANG

Suara kecipak air pada kaki-kaki telanjang diatas Kapal dan wajah-wajah yang digelapkan
oleh rasa lapar.

Dibalik hujan dan jendela ada duka yang ingin di peluk.

Sepasang mata sekarat, seiiring perjalanan menuju penghabisan.

Do’a-do’a menopang tubuh dengan tabah, setiap hari menunggu perantara menuju
kepulangan hakiki.

Kata terangkum dalam perbincangan, mencoba mengelabui waktu yang selangkah lagi
menuju tanggal.

Sebaris paragraf adalah penanda terakhir.

Pada tubuh nisan ataupun ingatan di kepala.

Tanah gembur, kamar sunyi penuh ketakutan.

Aroma kabung menyelinap di mana-mana.

Mereka berbaris menatap sebelum kesendirian benar-benar merampas sesosok tubuh.

Adakah yang lebih tabah dari sebuah jazad yang menunggu pertanyaan?

Aku masih mengakui ketakutanku.

Tentang pulang dengan cara yang tidak di duga-duga.

Gowa, 23/03/2020
WAJAH-WAJAH TAK KUKENAL

Lampu-lampu kerucut membakar wajah kesunyian.

Di sudut jalan aku melepas diri untuk melangkah seberapa jauh.

Mengitari kekosongan, pada mereka yang berlaku mesra dan berpura-pura.

Selembar poster pamflet menatap iba, seekor anak kucing mencari desah nafas di kerumunan.

Ada yang datang membawa sedikit harap diantara kepulangan dengan kantong plastik
menimbun kepalanya.

”Aku adalah keterasingan, cinta pada sesama tak kutemukan kemanusiaan”.

Lalu lintas kota telah menjadi warna-warni yang suram, menikam wajah-wajah baku.

Pagi kembali memberikan ruang kepulangan, harga diri yang berceceran berangsur-angsur
menuju utuh.

Aku tanpa kawan, berjalan sendirian.

Melihat mereka yang kini tak saling sapa pada satu meja.

Tak saling tanya, tak saling jawab pada pertanyaan-pertanyaan.

Gowa, 25/03/2020
SUATU HARI AKAN DATANG KETIADAAN

Suatu hari

Waktuu membawamu menuju aroma tubuh ibumu.

Dari rimbunnya pelukan, hangatnya ciuman di ubung-ubung lunakmu.

Waktu menyentuh masa kecilmu dengan hangat.

Suatu hari

Pemakaman adalah tempat tertinggal untuk menangisi kepulangan.

Mengutuk kelam, lalu meleburkan do’a-do’a diantara kebisuan batu nisan.

Akan datang hari

Potongan ingatan akan menemuka tubuhnya.

Air mata akan tumpah pada segelas pagi.

Segala luruh pada gemuruh dada terus menghitun detak jam dinding yang pergi membawa
kesedihan.

Di bawah tudung saji.

Kini hanya ada luka dan aroma pemakaman.

Semuanya berkabung pada duka.

Gowa, 04/04/2020
KITA KEHILANGAN KATA-KATA

Aku tak berniat menjadi patung atau pendengar yang ulung.

Mencoba menyembunyikan setiap desah suara dengan tidak berkata-kata.

Mencoba menjadi pemurung dan merayakan pikiran dengan kesepian.

Dibawah lapang langit, ada yang berteduh membasuh luka dengan mendiamkan diri dipeluk
malam.

Dilumat kebisuan diantara kebisingan yang kini hanya menjadi ritme tak beraturan.

Suara yang berpura-pura mesra, berlarian berkejaran tanpa batas.

Kita tidak akan berkata-kata.

Mencoba menebak setiap isi pikiran, lalu saling menatap sepasang bola mata.

Melihat cinta bekerja. Senyum yang tetap mekar.

Lalu membuka pintu kepulangan dengan sebuah pelukan.

Gowa, 05/04/2020
SEBUAH PESAN TENTANG CINTA

Dari pintu rahim anak manusia merayakan tangis, setelah penyesalan akan sumpah
membebani kepala.

Pada jiwa dan akal kita akan mengakui tentang yang maha satu. Yang maha dari segala.

Kelahiran

Masing-masing di tangan kita mempunyai tanda berbeda.

Setiap kepalan melumat segala tragedi sebab bhineka adalah sebaik-baik cinta.

Agama kau sebut rumah.

Beragam warna di dinding tembokmu adalah wajah kemanusian.

Tuhan menciptakan hati.

Tak ada wajah mengandung benci di hadapannya.

Pulo Bembe, 17/04/2020


CINTA PADA TAFSIRAN BERBEDA

Ketika pagi mengawinkan dirinya pada secangkir kopi.

Diantara sela-sela ciuman sepasang embun yang kedinginan, masih ada harapan yang terawat
dengan seksama.

Cinta tak selalu hadir dari rimbunnya percakapan.

Sebab kejujuran sebuah rasa ada pada hati yang berbeda.

Sebab kau terlalu pendiam untuk berbicara rindu.

Pada kamar sunyi di dinding kepalamu, pertanyaan-pertanyaan tentang kita tak mati-mati
dilumat sepi.

Segala perihal belum menemukan jalan pulang.

Sesampainya kita di ujung perjalanan.

Rentangan lengan adalah tempat ternyaman untuk menafsirkan sebuah kasih sayang.

Pulo Bembe, 16/04/2020


MENGURANGI KATA-KATA

Dari rimbunnya percakapan, adalah kita yang memberi jeda.

Mencoba menebak hal-hal lucu dalam kepala, melihat anak-anak kecil yang tertawa tanpa
batas.

Kau tersenyum dan aku mengenangkannya setiap saat.

Kesunyian telah menjadi waktu yang kalah, sebab semarak di bangku tunggu itu telah lahir
dari perihal sederhana.

Tawamu yang tak malu-malu, dan kita masih saja menepati janji untuk mengurangi kata-kata.

Aku ingin merasa khusyuk dalam melihat bola matamu.

Pada kedalaman yang hening, aku menemukan diriku di masa depan.

Sedang duduk berdoa dan untuk tak kembali ke masa lalu.

Selalu memintal nasib untuk tak pernah jatuh dalam perihal mencintaimu.

Pulo Bembe, 25/04/2020


PULANG

Mereka terus saja menjalani tawa

Sampai lupa akan kematian.

Dan tubuh berjalan-jalan kembali

Menyusup kemana-mana, menuju kenangan.

Lalu Cholil mendendangkan kata

“Akhirnya aku usai juga”.

Pulo Bembe, 2020


HARI INI ORANG-ORANG BERUBAH

Hari ini

Orang-orang sibuk meminta

Ketakutan menjelma menjadi hantu bisu

Ada yang membawa nasib pada perenungan

Ada yang menjadi gila dengan pikirannya

Melukis kecemasan dan melihatnya di depan wajah sendiri

Ada yang meninggalkan

Ada yang menetap tapi tak menyapa

Semua menjadi asing dan bermuka masam

Kota mendadak dingin

Dengan suhu tubuh tak terbaca pada thermometer

Hari ini orang-orang sibuk berubah

Di hadapan Tuhan atau ketakutan?

Pulo Bembe, 28/04/2020


SATU WAKTU DI KEDAI KOPI

Orang-orang di depan kita

Dengan kopi satu cangkir diatas meja

Dan tangan, wajah yang tak pernah alpa di beranda ponsel

Disebelah kiri sana sayang

Arabika kaimana telah menjadi pengantar bagi pembicaraan para pemuda-pemuda idealis

Membicarakan kedaulatan, alam dan orang-orang di jalanan

Di meja tengah

Seseorang sedang menunggu rindu

Serta lelagu sisir tanah mengantar imaji

Tak lupa sidikalang ikut menemani

Dan kopiku selesai, setelah sesapan terkhir mandailing menyentuh langit-langit mulutku

Kedai kembali sepi

Kita menuju pulang

Ke kota yang bosan dan kesepian

Pulo bembe, 2019


PERIHAL KITA

Lalu kita mengambil jeda

Rindu menemukan rahimnya kembali disaat mata berusaha membekukan waktu

Tak ada muluk-muluk cerita keromantisan dan masa depan

Cinta adalah kita yang berbicara hati

Bukan kata yang terlalu mudah menorobos sunyi

Segala tentangmu tak pernah selesai dituliskan

Diantara berlembar-lembar puisi, namamu selalu terselip rapi

Akan ada waktu dimana kenangan akan menemukan tubuhnya

Lalu do’a-do’a akan mengabadi dalam kesunyian

Segala pelik, raga akan kembali menemukan

Dalam rentangan sebuah pelukan

Pulo Bembe, 26/04/2020


INGATAN

Yang menikam kepala adalah rindu

Dan kesunyian selalu saja mengguyur tubuh lebih deras dari air hujan

Setiap hari ingatan terus melompat-lompat

Menjumpai kata yang pernah tertuliskan dalam kisah

Menemukan waktu-waktu semarak dalam kenangan masa lalu

Ada yang kembali merayakan kehilangan lalu datang menemukan pencarian

Diseduhnya setiap hari sebuah nama

Dalam kesepian ataupun puisi

Pulo Bembe, 2020


LAWAN!!! SEBUAH IDIOM KEBERANIAN

Kini kutelusuri waktu, kutemukan beragam tubuh yang telah merobek kepercayaan.

Salin melempar tawa dan menyelipkan kata-kata kutukan.

Orang-orang membicarakan kita, membicarakan mereka tapi lupa menafsir diri sendiri
dihadapan kata.

Terlalu mudah untuk mencari pembenaran daripada meletakkan kesalahan pada kepala.

Tak kulihat apa-apa, hanya kekosongan.

Wajah-wajah asing di persimpangan.

Dusta menebal, segala menyongsong hari dihadapan sejahtera yang dicekik peraturan.

Kini kebohongan telah mengambil alih hati nurani.

Puisi-puisiku beterbangan.

Kembali mengutuk sebuah penindasan.

Sekali lagi, kata paling berani adalah LAWAN!!!.

Pulo Bembe, 08/05/2020


PERIHAL YANG DATANG

Sebuah keranda melesatkan tubuhmu menuju peristirahatan

Membawa seluruh yang tersisa dan meninggalkan ingatan pada belantara lebat

Hari ini cuaca dingin sekali dan tubuhmu menjadi pucat dalm keterasingan

Tak ada yang bisa menerka waktu

Sebab yang dikandung di dalamnya adalah tanda tanya

Dan hari esok adalah kenyataan yang masih rahasia

Pulo Bembe, 12/05/2020


KITA TIDAK DI BUNUH BU’

Mata-mata mendadak sayu telah kutemukan di dasar laut.

Setelah berita di layar TV membawa kabar tentang sebuah pencurian.

Dan iklan-iklan kembali menggeser beranda kepala orang-orang, menjadikan mereka


berontak pada kenyataan.

Setelah Tuhan menciptakan lautan, mereka datang dengan membawa kerasukan.

Ingatan yang menyimpang barang-barang eletronik dan cetakan mata bergambar angka-angka
telah meleburkan batasan.

Anak tetangga sedang mengurung diri di kamar.

Setelah menebas kepala bapaknya dengan sebentuk permintaan.

Sedang ibunya kini berusaha merayakan kematian pada pikirannya.

Aku menggambar anak-anak dalaam diriku

Yang tak berbicara pakaian dan sesembahan

Kita tidak di bunuh bu’.

Oleh keinginan-keinginan diluar batasan.

Yang menolak untuk di kejar.

Oleh orang-orang seperti kita.

Pulo Bembe, 15/05/2020


PENGASIH

Aku telah mendoakanmu, mendoakan kemanusiaan yang telah dilukai berulang kali.

Aku tak menolak memberi kesaksian dengan atas nama Tuhan bahwa aku mencintaimu,
mencintai kemanusiaan.

Aku menyayangimu, tepat setelah aku mengasihi sesama.

Sebab Tuhan dalam diriku dan dirimu adalah pengasih lagi penyayang.

Aku menemui seisi alam dan manusia-manusia yang merawat anak-anak dalam dirinya.

Aku memeluk mereka dan mengatakan; Aku mencintaimu.

Pulo Bembe, 19/05/2020


SESEKALI KITA BERBICARA PONSEL DAN KEMATIAN

Sebab sinyal-sinyal kini sedang menepi ke kuburan

Kekosongan menjelma kutukan dan kita telah mengutuk diri sendiri menjadi batu

Layar ponsel di kepala dan selusin kecemasan bermekaran

Setelah Tuhan meredupkannya

Ketakutan akan kematian semakin tak mengenal batas

Dihadapan keinginan yang semakin hari membawah gaduh

Seorang ibu tak pernah selesai menanak do’anya

Anak-anak telah kehilangan tawa

Dibawa murung dalam kurungan

Dalam kesunyian yang meronta-ronta

Kita telah kehilangan kendali pada kepala yang selalu menunduk

Sebab Tuhan dalam genggaman adalah penyerahan paling khusyuk

Pulo Bembe, 24/05/2020


TELAH LAHIR SUNYI

Dari dalam rumah

Layar Tv menyala-nyala

Kecemasan bertambah dua

Dari dalam rumah

Iklan-iklan memaksa kita menjadi lebih

Menertawakan tubuh yang dirundung duka

Sebab mata tak henti-hentinya menghitun angka

Sebab kepala menjelma beringas

Dihadapan keinginan

Kita mematikan kendali

Dari dalam rumah

Di depan layar Tv

Segala kata terucap

Segala-galanya memukau kita

Pulo Bembe, 05/06/2020


AKSI KAMISAN

Tak ada yang lebih tabah dri seorang ibu

Dirawatnaya pertanyaan-pertanyaan setiap waktu

Diselimutinyaa harapan dari dindingnya lupa

Tak ada yang lebih tabah dari segala kebenaran

Dirundung duka, dibunuh mati

Kawan datang menyala-nyala

Menggengam keadilan lalu dipotong kepalan

Mulut bisu disabet cerulit, mata buta dipopor senjata

Kata-kata dipaksa bungkam

Dihambur-hambur di jalanan darah

Kita tahu!!!

Yang berpijak tanpa goyah

Dengan amarah selapang langit

Berteriak pada musuh di depan mata

Melawan tandanya durhaka

Tak ada yang lebih tabah dari itu

Pulo Bembe, 14/06/2020


KEBENARAN

Di hadapanku langit menutup diri

Cahaya berlarian dengan waktu di jendela-jendela pagi

Ingatan membawaku kembali berjalan-jalan

Menemui kisah-kisah yang tersendat di lorong sunyi

Setelah kau pulang dan hanya membawa tubuh yang kelelahan

Sore itu, kata-kata di kepalamu tertidur nyenyak di

ranjangnya

Semua orang membicarakan kebenaran dan kau hanya mengatakan

Bahwa kebenaran adalah tentang keyakinan

Serupa tuhan yang kau anggap ada karena meyakini keberadaannya

Batas adalah jarak yang memisahkan antara kebenaran dan keyakinan

Di sepasang mata, menatapku

Pisau-pisau itu masih kau simpang di mulutmu

Para penguasa menjadikan dirinya penyair

Membolak-balikkan kata-kata di panggun keserakahan

Mereka terlampau takut pada kemarahan dan kecemasan

Kau mengeram, setelah kau sembunyikan ketakutanmu

Lampu-lampu tak berani berbicara pada terang

Sebab suara derat kaki terlalu mendebarkan jantung

Di malam itu ,tak ada redam batuk

Apalagi binar mata yang mengendap di kegelapan


Dan akhirnya kau pulang

Setelah surat selamat tinggal kau tulis di buku sejarah

Gowa,16/09/2019
DO’A SEORANG PEREMPUAN

Do’a-do’a beterbangan dalam riuhnya kota

Setelah diucapkan belasan kali oleh orang-orang yang menggigil kedinginan

Yang tubuhnya kehilangan harapan dalam sepi menusuk-nusuk diri

Malam meleburkan kata dari perjanjian sepasang kepala

Dengan menaksir harga sebuah tubuh

Adakah yang lebih tabah dari mereka yang menggengam keMALUan lalu membawanya pada
peraduan paling sunyi

Pada kepulangan menuju pagi

ada yang diam-diam berdo’a perihal kemuliaan

mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang beterbangan

lalu kembali mensucikan sebauh nama; Perempuuan.

Pulo Bembe, 19/06/2020


DUKA LUKA KITA

Segala-galanya luka

Segala-galanya duka

Dihadapan kita punya muka

Negara meracuni udara

Keadilan ditelanjangi di udara

Telah lahir satu pagi yang suram

Diatas segala tawa yang bergemuruh membawa kesombongan

Mereka membunuh moral dalam sekejap mata

Menyajikan ratapan dan perLAWANan sebagai senjata mematikan

Pisau kata-kata telah merobek dinding hati

Menyajikan 100 kali kecemasan

Kematian datang berulang-ulang

Pulo Bembe, 20/06/2020


TUBUHMU, RUMAH DARI SEGALA

Tubuhmu, do’a-do’a merawat keberanian

Dalam kata, dalam nafas

Satu tercipta dari bahasa-bahasa sunyi

Tubuhmu mengekalkan segala waktu

Membunuh dinginnya cuaca

Tempat rembulan memetakan sinarnya

Bermukim segala nyala, cahaya tanpa padam

Kepulanganku yang tak kemana-mana, telah kutemukan kedamaian

Disampingmu aku memecah kata

Mengucap perihal cinta dan kembali menumbangkan keangkuhanku

Aku tidak bepergian jauh

Sebab langkahku telah menjadi mati di hadapmu

Satu hari tanpa suara dan tingkahmu adalah perjalanan paling panjang menuju pulang

Pulo Bembe, 27/06/2020


TOLONG TUHAN!!!

Layar Handphone telah membunuh kewarasan anak-anak kami

Imajinasi mereka kini tertidur lelap

Disaat mimpi-mimpi seharusnya berontak untuk berlari

Tuhan, bisakah kau membangunkannya?

Pulo Bembe, 2020


IBU YANG TABAH DI HARI KAMIS

Di depan istana presiden

Ibu-ibu mencoreng muka

Hitam-hitam tanda bahaya

Mata-mata mendadak buta

Merawat ingatan

Menolak lupa

Kebenaran tak mati-mati

Ia ada dan gentayangan

Ada yang datang, mengaduk-ngaduk kota dengan kata-kata

Mengekalkan segala waktu dengan pertnyaan-pertanyaan yang masih terawat sama

“ Siapa yang datang di malam itu?, merampas putra pertiwi dan membawanya pada ujung
maut”

Kembali ibu-ibu berteriak lantang

“ Selamat mengucap duka atas kematian ingatan presiden kita”

Pulo Bembe, 14/08/2020


SEBELUM POLITIK WAKTUNYA PESTA

Setiap waktu kata-kata terus bergerak di jalanan

Mengendap pada keramaian

Melebur pada bisingnya wajah-wajah asing

Kata-kata bernada kebenaran

Tidak lahir pada baliho-baliho caleg

Sepasang wajah dengan ongkos pernak-pernik yang mahal

Telah membatu di pentas pencitraan

Menyebarkan perihal omong kosong

Melolong mencari pelukan di musim kampanye

Pulo Bembe, 15/09/2020


SEORANG PENULIS DIBUNUH TEPAT JAM 12 MALAM

Sejak saat itu, ia ditakuti lebih dari Tuhan.

Kesekian kalinya, orang-orang berbaju hitam telah diutus ke rumahnya.

Mengendap pada tengah malam buta.

Mencari waktu untuk membawanya pada pemakaman lebih cepat dari takdir.

Pulo Bembe, 16/09/2020


MASAKAN IBU

Tak kutemukan apa-apa di restoran cepat saji

Selain beragam tubuh yang menyimpang banyak pengakuan dalam kepala

Warna darah di bibir dan bau parfum yang lebih berbahaya dari polusi udara

Kini menyebar dan menusuk paru-paru bocah kecil diluar kaca

Aku pulang

Ibu telah membangun surga di rumah

Dengan senyum tulus tanpa campuran formalin

Kini masakannya masih saja memberiku udara

Pulo Bembe, 19/09/2020


IBU YANG MENUNGGU

Ibu menanak do’anya dengan tabah

Setiap hari merawat harapan

Dalam tubuhnya rindu bergejolak lebih deras dari aliran darah

Menunggu, hal-hal tak terduga datang membawa kabar

Di kejauhan, dinginnya kota telah melumat habis kata pulang dari kepala sang anak

Setelah cahaya lampu berlarian seperti arus kendaraan di jalanan

Satu perihal kembali lahir

Melupa pada tempat tumbuh berkembang

Kenangan tergenang dalam lumpur keramaian

Tawa berderai diatas tangisan yang tertampung dalam sajadah

Dipeluknya sebuah gambar

Dirawatnya setiap inci keinginan

Ketukan pada daun pintu adalah dering yang ditunggu getarnya selama belasan tahun

Pulo Bembe, 2020


KOPI; CINTA TUHAN

Dengan memejamkan mata, ibadah kita pada kopi telah menjadi ritual paling khusyuk untuk
menjahit kata-kata perlawanan.

Merawat cinta dari harapan petani-petani tabah yang merelakan keringat mereka berlarian
menuju langit dan turung menjadi derasnya hujan.

Do’a-do’a mendiami kesunyian, orang-orang meminta musim menjadi lebih baik.

Berharap perayaan kali ini, senyum Tuhan hinggap lebih besar dari biasanya.

Sunyi paling gila, puisi-puisi bergerak lebih leluasa.

Dihadapan secangkir kopi, kemanusiaan tak mati-mati dilindas waktu.

Pulo Bembe, 2020


RAMBUT

Setelah sekian lama ada cerita dari rambut yang

tak pernah kau potong

Terus tumbuh menjalar pada kepala dan masih

menyimpang kenangan

“pergilah ke tukang cukur, kau bisa

menyuruhnya menggunduli kepalamu sekaligus

membabat habis rindu itu di dalamnya”

Sepanjang hari dia terus memanjang

Meliuk-liuk tertawa kala menyentuh punggun badang

Perihal kemerdekaan adalah berdiri diatas rambut sendiri

Bukan pada ucapan apalagi pekikan

Ibu memberiku gunting dan sisir yang terus berteriak

Tapi, aku enggan menyentuhnya

Karena di kepalaku tentangnya masih berkicau

Aku masih jatuh cinta

Gowa, 22/08/2019
KEPADA PULANG

Pulanglah

Ibu menunggumu di rumah

Sudah ada pelukan yang akan menyambutmu di ambang pintu

Bau masakannya telah berkunjung di mimpimu

Membuat rindumu menjadi pecah

Tak ada lagi ucapan selamat tinggal

Sebab itu adalah kata-kata usang

Di rumah telah ada kenangan

Menarikmu kembali pada waktu

Sebab masa lalu ada hal yang harus diingat

Tentang apa dan mengapa kita menjadi dewasa

Ibu telah duduk di kursi tamu

Ada uban diatas meja yang dipetik dari kepalanya

Mata ibu berkaca-kaca melihat uban itu

“hitam telah menjadi putih, yang terawat akan

kembali rusak. Hanya rindu yang terus berbenah”

Pulanglah dan tetap menetap

Selamat datang dan tinggallah lebih lama


Sekiranya kau bisa melihat uban ibu memutih semua

Petiklah dan simpang menjadi kenangan

Akan ada waktu kau menjadi pelupa dan itu adalah pengingat

Wajo, 25/07/2019
PEREMPUAN ITU IBUMU

Ada yang bertanya padaku tentang perempuan

Ibumu adalah perempuan

Disanalah wajah sebenarnya

Di matanya ada ketabahan

Di mulutnya ada aminnya untukmu

Di puting susunya ada cinta mengalir

Di bawah tangannya yang sedang memanjatkan do’a ada keteduhan untukmu

Wajo, 26/07/2019
PERIHAL KITA TAK BERKESUDAHAN

Langit mendung, jendela-jendela tua kehilangan cahayanya

Do’a-do’a terjebak diantara kesadaran

Batas kembali memenjarakan temu dan apa yang terpikirkan

Diantara orang-orang patah hati

Ada kehilangan diratapi

Keberadaan hanya mulut-mulut tak berbunyi

Kembali lonceng di gereja sana bergetar menyentuh

telinga para peziara malam

Lalu mati di kedalaman sunyi

Aku tak bisa kembali mengunjungi mimpi di jam-jam tidur

Hanya mampu memungut rindu yang berserakan di bekas rambutmu

Di bawah kelender yang bernyanyi riang

Waktu-waktu berkejaran, membawa masa lalu dan masa depan

Aku hanya memanjakan ingat pada kesunyian

Setelah seharian ibu mengajariku tentang cinta

Tentang menunggu yang tak membosankan

Gowa, 23/08/2019
BELAJAR CINTA (dari) IBU

Ibu sedang duduk di beranda

Menjahit kancing bajuku setelah pulang dari perjalanan

Tangan ibu adalah kedamaian

Membantuku membuka kancing bajunya untuk mencari puting susunya

Aku mencoba mengenakan senyum ibu

Setelah belajar keikhlasan dan kesabaran

Di matanya selalu ada riak-riak sungai yang mengalir

Ketika aku terlambat pulang ataupun pergi dengan lambaian tangan

Suara ibu yang sedang memanjatkan do’a terus berkejaran bersama uban-uban di kepalanya

Setiap hari berguguran, helai demi helai seakan mengajak berbincang tentang ketiadaan

“kuat bukan berarti kau tak boleh menangis” katanya

Sebab air mata adalah cara untuk melegakan diri

Merdeka dari kesedihan adalah dengan cara menumpahkan air mata

Ibu kembali menatapku

Mulutnya berbicara perihal cinta

Gowa,24/08/2019
PERIHAL LAUT

Aku bertanya pada laut

Setelah ditikam lebih dalam

Kini masih mampu tersenyum untuk orang-orang yang melempar sauh di tubuhnya

Lalu kenapa?

“aku adalah ketabahan, menolak untuk dendam”

Jika aku murka, berontak lebih dalam

Itu adalah cinta, dalam dimensi yang beda.

Pulo Bembe, 2020


MENYOAL BAHAGIA

Puisi-puisi menitikkan air mata disaat anak-anak di jalanan melebur menjadi kata

Mereka yang setiap hari dihantui ketakutan akan kematian masih terus merengkuh ketabahan
dan belajar mencintai hidup yang ditakdrkan oleh semesta.

Sedang orang-orang dipeluk lebih dalam oleh kesibukan

Setelah mendefinisikan masa depan dengan kepala membatu

Kini tubuh menjadi usang lalu bersiap-siap menjadi tanah

Ada yang menjauh dari keheningan

Berusaha bebal dari waktu-waktu yang terikat manis di meja kerja

Lalu menuju merdeka pada kepala sendiri

Pulo Bembe, 2020


PERIHAL W

Aku masih mendoakanmu

Selayaknya kata yang masih terus tumbuh dan bergerak

Cinta masih terawat dengan seksama

Rindu masih merayakan kemerdekaannya pada tubuhmu

Pulo Bembe, 2020


OMONG KOSONG

Kata-kata telah dimaipulasi

Dijadikan alat untuk menjajah kerendahan hati orang-orang di pelosok

Setelah semangkuk kepercayaan begitu angkuh disajikan

Kini mata-mata teduh berontak bangkit

Harapan di bangunkan

Digelitik lebih dalam

Pernyataan paling besar dilontarkan dengan segala kemewahan kata-kata

Letak pelecehan paling seksual adalah omong kosong orang-orang partai

Hanya ada satu kata; WASPADA!!!

Pulo Bembe, 2020


KEPADA ENTAH

Ia yang ditulis namanya dalam puisi

Kemudian pergi melahirkan luka-luka

Adalah kesialan paling hakiki

Pulo Bembe, 2020


(sebelum) PENGUASA MELIHAT DIRINYA DI TV

Di depan layar TV ia sedang merajut senyum

Luka-luka perlu disiasati, sebab datangnya kadang tiba-tiba

Tubuh mengandung properti kini usang semakin menua

Setelah lama tak mengecup moral sebab muslihat bertumpuk-tumpuk lebih tinggi

Dibawah remang cahaya sunyi, ketakutan bergejolak lebih besar

Mengintai di jendela-jendela ruang tamu dan lemari besi yang menyimpang banyak
pengakuan

Setelah berhari-hari orang-orang menulis testimoni

Semuanya kelam, gelap menikam mata

Kini ia masih melahirkan senyum

Setabah kemanusiaan yang selalu lupa jalan pulang

Pulo Bembe, 21/09/2020


DI SEBUAH KOTA

Lalu malam kembali lenyap

Sesaat setelah lampu-lampu di matikan

Jendela membuka mata

Diantara rimbunnya dedaunan cahaya menatap malu-malu

Para peziarah pulang dari bukit do’a

Setelah menulis kata-kata pada keheningan

Puisi mengikat layu tepat seseorang meludah dengan tangis

Di restoran pinggir jalan

Orang-orang kembali menyimpang luka

Petani-petani menatap sendu

Di tong sampah ada peluh keringat, waktu yang menetes dan darah berceceran

Langit menutup diri

Di gerbong kereta mereka menyeret kaki tanpa sepatu

Setelah tangisan melahirkan kutukan

Sesaat setelah dentuman besar dari dalam mobil truk lewat begitu saja

Hari ini kita kembali sama dengan kemarin


Semuanya memenjarakan

Gowa,21/10/2019
PERTAPA SUNYI

Dan temukanlah aku pada keheningan

Sebab aku ada disana, sedang memejamkan mata

Mencoba merampas kembali waktu-waktu yang pergi pada tubuhku

Dan temukanlah aku pada kekosongan

Bersama angin dan secarik sepi di kepala

Bunyi-bunyi sedang beristirahat dan suara lonceng kematian tak pernah mengirim kabar

Aku yang ketakutan pada kata-kata

Di bawah langit bisu ketika bulan memasukkan tubuhnya pada malam

Kota-kota sudah terlampau tua, sebentar lagi mati

Setelah lama dijejaki tubuhnya oleh corong-corong berasap, baliho caleg dan suara-suara di
mimbar kampanye

Setelah kebosanan memanggil gigil tubuhmu

Temukanlah aku diantara diantara deretan buku-buku di perpustakaan

Diantara rimbunnya kursi yang tak pernah di duduki

Disini hanya ada gemuruh puisi yang sedang berdesakan menuju pintu kesunyian
Dan akhirnya, aku telah memproklamirkan kesepianku

Disini, di kedalaman rimba menuju pulang ke matamu

Gowa, 22/10/2019
PENULIS YANG HIDUP DI KEPALA PENYAIR

Kelak kau hanya akan menjelma menjadi puisi

Yang dimuntahkan penyair dari kepalanya

Sedang tubuhmu sudah lama di koyak-koyak cacing

Di dalam tanah, berharap kesepian tak merampas keberadaanmu.

Pulo Bembe, 2020


KUTUKAN

Di jendela-jendela tua

Ada beberapa ekor puisi berkicau dan menyentuh kepala

Langit-langit terbangun dari malam

Dan matahari pagi kembali mengguyur mata anak-anak jalanan

Di sebuah kota yang kelelahan, senjanya telah pergi entah kemana

Orang-orang berjalan dengan menggerutu, dengan pikiran ganjil di kepala

Sebuah suara dorr di ujung sana

Terdengar setelah teriakan copet menyentuh telinga

Dan satu nyawa kembali hilang di pagi itu

Hanya karena urusan perut kembali anak manusia harus di lenyapkan

Kota-kota kembali menjadi gadis murung

Para penyairnya di buru senjata karena berkatar benar

Setelah sabda tentang kebhinekaan menjelma menjadi puisi perlawanan

Dan orang-orang saleh berpura-pura tak mempunyai

telinga karena sibuk dengan zikirnya


Kemanusiaan telah disinggun dibatas kewajaran

Dan pada akhirnya

Mereka kembali mengutuk

Gowa, 28/08/2019
SELALU ADA KETAKUTAN DARI PIDATO PRESIDEN

Diawal kalimat pembuka “hadirin yang berbahagia”.

Kata-kata ditusuk-tusuk dusta

Tak ada yang berubah

Kali ini, hanyalah pengulangan-pengulangan

Pulo Bembe, 2020


PENGECUALIAN

Anak-anak berontak

Setelah Tuhan meredupkan layar ponsel mereka

Pulo Bembe, 2020


PERIHAL KITA

Denganmu adalah kesederhanaan

Menjadi bijaksana dengan cara sebaik-baiknya

Menjadi merdeka pada setiap kata, rasa dan diri sendiri

Lalu kita tak dimatikan oleh waktu

Di kota tempat kita menanam masa depan di tanah kerontang

Sebab hujan telah tertampung di gedung pencakar langit

Membeku dalam ruangan ber-AC dan kotak-kotak makanan di meja rapat

Kita adalah dialog tanpa jeda, disini saja

Sebab kita tak berkawan apa-apa

Selain sepi yang membawa keromantisan dengan sehormat-hormatnya

Pulo Bembe, 2020


KESEPIAN

Mataku terpejam, tuhan beradu liar di dinding kepala

Ada laki-laki memintal rindu dan seorang perempuan menyulam tangis

Lalu semuanya menjadi gaduh

Suara tangisan bayi di malam buta, dentuman piring di restoran mewah dan sehelai rambut
yang memberi gelisah

Kesepian datang menyekap, tubuhku hilang arah sesaat

Ketika nelayan membawa sisa tidurnya pada subuh hari

Ikan-ikan berangkat pulang pada laut yang kesakitan

Kini aku menunggumu

Membawa ingatanku yang kau curi pada kepala seorang perempuan tua

Aku masih tetap menunduk disini

Dibawah langit-langit kamar yang murung

Yang memberi kebebasan dengan sendirinya

Disini, hanya ada buku-buku yang tertidur sembarangan

Meja tulis dengan sepotong liling diatasnya, rokok yang menggigil kedinginan diatas asbak

Aku menjadi gelisah, setelah kutemukan tubuhku masih bernyawa


Pada kesepian paling menyebalkan

Di kejauhan malam, sebuah jantung meloncat-loncat ketakutan

Gowa, 31/10/2019
TENTANG MALAM INI

Di malam ini, keadilan tertidur nyenyak

Tepat disaat orang-orang dibelenggu hak-haknya dan para penegak keadilan melacurkan diri

Di malam ini, terlampau gelap dan satu-satunya cahaya hanya di layar ponsel

Orang-orang membunuh ucapan, tak ada tegur sapa

Yang ada hanya mulut berpura-pura bisu

Di malam ini, kopi menemui penyesapnya

Sesekali berbicara tentang idealisme dan yang menjadikannya barang dagangan

Di malam ini, pejalan duduk sendirian

Menyalami makna dari setiap langkah kaki

Menafsir keberadaan tuhan dan diri sendiri dalam kesunyian

Di malam ini, kota kembali kedinginan

Penghuninya mencoba berpura-pura bahagia

Wajo,12/07/2019

Anda mungkin juga menyukai