Segala puji kehadirat Allah swt atas berkah dan kuasanya sehingga buku kumpulan puisi ini
bisa selesai. Karena atasNya, segalanya menjadi mungkin. Serta shalawat dan salam kepada
baginda Rasulullah saw atas perjuangan masa lalu untuk dunia ini.
Buku kumpulan puisi ini memuat beberapa sajak yang saya tulis dalam rentang waktu 2019-
2020 dan menurutku jumlah ini sangat sedikit meskipun produktivitas jumlah bukanlah alat
untuk menyetandarkan derajat kualitas puisi apalagi kepenyairan.
Terima kasih pada ibu Hartini yang telah melahirkkan anaknya ke dunia ini.Terimah kasih
kepada bapak Sahamuddin yang mengajari saya tentang kerja keras dan ketabahan.
Terima kasih kepada adik-adik dan keluarga besar, tempat bermukim segala cinta dan rindu
yang selalu cukup
Terima kasih kepada kawan-kawan: Bang Jaho, Sifu Anas, Hadri h, Arif, Kak Dewi, Kak
Burhan SJ dan orang-orang hebat yang tak bisa kusebutkan namanya satu persatu.
Terima kasih kepada: Komunitas Djelajah Buku, HIMKOS al-fajri, Keluarga Besar
Jurnalistik, FLP RANTING UINAM-Makassar, Napak Tilas Pejalan.
Terima kasih kepada Wati , inspirasi, Rumah segala keluh kesah. Perempuan dengan
keberanian dan ketabahan yang kutemukan di tubuhnya.
TENTANG PENULIS
Biasa dipanggil Sandi, lahir pada 17 Mei 1998 di Pulo Bembe, Kabupaten Kepulauan
Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar (UINAM) dengan mengambil Prodi Jurnalistik. Telah
menerbitkan empat buku kumpulan puisi dan beberapa antologi dengan penulis lainnya.
Penerima Anugerah Literasi dari kampus ini juga aktif di kegiatan alam terbuka.
Blurb:
Kenangan adalah ruang-ruang sunyi yang tak ingin mati ditikam waktu
Menjahit baju akhir tahun, sebab katanya awal bulan dia akan terbaring tidur
Jari-jari itu telah mengering bagai sumur yang terkoyak musim pada kemarau
Gowa, 2020
PERIHAL
Dentang jam dinding adalah penanda, bahwa waktu tak pernah berhenti berlari
Kita telah telah terlahir cahaya, lekas menemui kepulangan tanpa padam sinar
Gowa, 2020
RENYAH TAWA DI MULUT BERDASI
Tawa dari dinding restoran itu membangunkan anak kecil yang tertidur pulas di depan etalase
toko
Melihat sejenak pada sangkar kaca diantara wajah-wajah bermuka pucat sebab pembicaraan
terlalu ngidul kemana-mana
Setelah orang-orang membicarakan sebuah perihal, di nyala mata kelam membabat habis
sebuah cahaya
Teriakan seolah ranting patah yang dilumat oleh pekikan api di hutan sana
Dasar sampah!!!
Gowa, 2020
PERCAKAPAN DI MEJA MAKAN
Menghirup masakan ibu, melihat tungku dapur mengepul di bawah atap bolong-bolong.
Setelah sayur kelor terhidang di meja kayu, lalu ikan asing memberi ruang pada mata-mata
sederhana.
Sebab tangan kecil adik tak bisa menggapai bakul nasik atau wajah yang mengukir sedih
sebab ikan terlampau lihai hingga tandas tanpa sadar.
Di wajah keriput bapak, senyum itu tak pernah lelah merinai jiwa.
Gowa, 2020
PADA PUISI
Batas telah menjadi pelajaran dasar untuk tidak berani lagi bermimpi. Tentang kamu.
Menyembunyikan seribu pertanyaan sebab jawaban adalah bahasa mudah untuk di tebak.
Kita adalah sepi paling kejam lalu melupa dengan sengaja.
Pecinta yang tabah rela merelakan tidurnya hanya untuk mengabadikan satu nama pada
tubuhnya.
Dan aku, membuatnya menjadi tempat untuk menampung kebohongan tentang ekspetasi.
Tentang wajahmu.
Gowa, 2020
DI JALANAN
Langkah serupa lomba lari, sedang Tuhan tak ada tempat untuk bertamu.
Bauh lusuh tanpa belas kasihan, hanya menyisakan luka pada kepala.
Segala bentuk keterasingan telah memberi batas antara hati dan keyakinan.
Dari hangatnya pelukan sepasang kekasih renta sampai tubuh kedinginan seorang bocah
belasan tahun.
Lalu mereka mendadak lupa, kita adalah debu dari rahim sama.
Gowa, 2020
DENDAM
Lalu kata-kata serupa dendam, hanya ada mayat dibatas akhir sebuah kalimat
Gowa,2020
KEPADA TUBUH
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Kepada tubuh
Gowa, 2020
YANG TERASING LALU PADAM
Disini orang bisa menyamar, tak ada pengecualian tentang itu. Disini sudah tak ada Wiji, Gie,
Udin ataupun Marsinah. Seiring kepulangan teriakan mereka, lenyap diantara riuh
kebisingan. Seperti binar senja yang dilumat habis oleh gedung-gedung tinggi di perkotaan,
diantara teriakan tubuh-tubuh kekar mengusir para pekerja kaki lima.
Bukan tak ada apa-apa, bukan moral ataupun belas kasihan. Kita adalah keterasingan diantara
suara-suara penuh dusta.
Punggung coklat terbakar api, suara tangis menyayat hati. Kematian adalah jalan pulang
menuju kesunyian. Lalu mereka merancang surga diantara suara redam batuk di gubuk
kardus. Menyeduh tawa pada piring-piring keramik, disebuah restorang mewah penuh bau
parfum.
Esok tak ada lagi, setelah kita menjadi serpihan mangsa pada keadaan, tak kenal pada kepala,
melupa pada ingatan, terasing pada diri sendiri.
Setelah Pramoedya mengajak bermalam mingguan, menghirup bau tembakau dari cangklon
kejayaan. Aku berencana pulang menuju rahim ibu.
Gowa, 2020
YANG TERASINGKAN PADA SANGKAR
Orang-orang menjadi sebatang ranting loyo, di pemukiman yang tak menatap pada sepasang
mata.
1.
Tubuh yang menolak menua, yang menolak keriput, lalu menolak tak menjadi putih.
2.
3.
Pada akal dan pikiran, aku memberi hormat kepada yang terhormat.
Aku ingin membunuh waktu, mematikan yang membisukan. Memberi leluasa pada rindu
untuk duduk bersama. Menceritakan tentang kita yang tak ingin hidup 1000 tahun lagi. Sebab
bumi terlampau menguras air mata, sebab disini kita menjadi palsu, pada moral dan diri
sendiri.
Lalu kukatakan pada langit kosong, pada hutan lindung yang dinodai, pada kota yang telah
menjadi batu. Aku ingin membunuh waktu , tepat setelah serakah tak membabat habis kepala
orang-orang. Lalu mereka menjadi hidup, dengan cara paling sederhana.
Kini adalah darah dan air mata, luka menganga dan mayat tergeletak tak bersuara.
Yang diyakini.
Tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh tentara Tuhan, sebab sabda adalah perintah.
Tak mati-mati.
Setiap hari linimasa menjadi tempat peribadatan, ruang makan, ruang berpikir dan ruang
bercinta.
Maya pandai bercerita tentang bagaimana, menjadi ibu pendongen dari bangun tidur sampai
tertidur kembali.
Lalu meronta, sebab tak mendapat ini, itu pada apa yang terlihat.
Pada iklan, pada beranda yang menampung tangis, pada do’a-do’a yang sering terucap.
Melawan pada apa yang tertera, maklumat pengakuanku telah menjadi kata,
Sebab rindu adalah bisu lalu kita mengejanya menjadi puisi, menjadi baca.
Pada hari-hari bisu, pada rahim seorang ibu yang meninggalkan payudaranya untuk
menghidupi kerongkongan anak-anak semesta.
Suatu ketika pada satu waktu, kita telah menjadi satu dari keinginan.
Menikam kemungkinan, menolak di terka lalu binasa pada satu waktu lagi.
Selayar, 08/02/2020
DENGANMU ADALAH HIDUP
Setelah kursi malas menjejaki tubuhku. Aku melihat engkau sedang duduk di muka jendela,
menyulam baju untuk anak-anak kita. Wajahmu yang masih tetap cantik tanpa rias gincu di
bibir pucatmu. Kau adalah perempuan sederhana yang tidak di jajah tubuhnya oleh kosmetik.
Oleh iklan-iklan di TV tetangga.
Aku siap menjadi keriput, aku siap menjadi keropos, aku siap menjadi fana.
Kita merayakan rindu dengan sebaik-baik do’a pada semesta, dengan cara paling sederhana.
Lalu kembali melalui batas. Menyapa bentangan waktu pada imajinasi di kepala, percakapan
di muka ponsel dan renyah tawa di dinding tembok.
Gowa, 16/02/2020
KEPADA KITA
Ia bertahan pada apa yang disebut pegangan, tentang keyakinan pada kebenaran.
Gedung-gedung membisu dihadapan kepala berjejeran. Rupa-rupa beragam bentuk dan warna
selalu tampak absurd. Kembali bergegas, tubuh tak lama lagi akan menua lalu mati tanpa
perubahan. Setelah angka-angka menjelma penyakit kronis, ditempanya ia pada ruang-ruang
kelelahan. Menampung segala teori dann opini.
Di bunuh waktu, lapuk pada kenyataan. Anak-anak semesta telah menjadi manusia
pengasingan, dihadapan kecaman sebuah perubahan.
Di bunuh peradaban, ia tubuh terlabeli harga. Di sangkar kaca yang menolak tak menjadi
mewah.
Aku merindukamu yang tak mati-mati di tikam zaman. Kusebut dia keabadian.
Gowa, 23/02//2020
PENCARIAN
Gowa, 05/03/2020
KOTA; SEPI MENOLAK HIDUP
Kursi-kursi tua menggigil kedinginan, orang-orang datang mengatur nafas lalu kembali
merelakan tubuhnya pada pelukan kebisingan, diantara teriakan hak sepatu wedges yang
dilalui kaki-kaki berjenjang.
Kini kata-kata di olok-olok lampu jalanan. Dihadapan reklame kebugaran dan pelayan-
pelayan toko yang selalu segar, surga telah benar-benar nyata setelah di bangun manusia-
manusia super.
Sebab kepulangan pada kota, adalah alasan paling nyata. Tentang kita yang tak menyukai
kesunyian, tentang kita yang tak ingin lama-lama bersinggungan dengan sepi.
Gowa, 29/02/2020
MERAWAT KENDALI
Kita kufur pada hidup dan lagi-lagi Tuhan terlampau pengasih kepada yang serakah. Setiap
hari orang-orang sibuk berdemonstrasi ke masjid, gereja. Menyiapkan kepulangan dan
berharap menemukan sekeping surga di penghujun jalan.
Lalu kembali membunuh pohon-pohon. Menjaring air mata, menikam pisau di tubuh semesta.
Diam-diam mereka mempersiapkan kavlin kuburannya sendiri dan menjadi gelisah mencari
lubang untuk tubuhnya nanti. Sebab tanah telah mengeras, anak sungai menutup diri. Kain
kafan telah kehabisan benang dan batu nisan kembali menjadi jenazah
“Mencintai bumi”.
Gowa, 27/02/2020
TERLAHIR ABADI
Matamu adalah celah jendela, tempat terang menyelinap masuk lalu mengganjal luka-luka
itu.
Setelah tangisan pertama yang kau bawa sendiri ke dunia, kekal resah kembali terlepas. Tak
membekas. Mereka memberimu nama, sebab kelak kau memberikan makna pada setiap
hurufnya.
Jari-jari mungilmu merekah, keberanian adalah langkah pasti untuk melawan hidup.
Gowa, 07/03/2020
SENJA KOTA YANG MENAKUTKAN
Setiap hari kebisingan datang membawa kabar, hidup kembali dimulai katanya.
Sebab sepi mengembara terlalu jauh, membawa mimpi di jam-jam tidur yang direnggut
matahari pagi. Setelah klakson berteriak nyaring, jam weker memuntahkan kemarahan.
“Kita akan menggambar sunyi, mencoba memasuki tubuh para sufi yang semakin mabuk
pada ketidak sadaran”
Ia kembali membawa berita, dikerumunan katanya kepalsuan lebih berani menampakkan diri.
Percaya pada Tuhan adalah takzim yang hanya sekedar kata-kata. Tak ada hati bergetar.
Yang menghayati telah mati.
Selepas senja di bawah kaki pencakar langit, riuh kepulangan membawa gaduh. Lalu mereka
telah menjelma menjadi sekumpulan beton. Semua adalah keterasingan.
Gowa, 07/03/2020
KAKI GUNUNG LATIMOJONG
Pegunungan yang menjulang, anak-anak sungai yang selalu berbagi berkah di kerongkongan
Latimojong, 09/09/2019
TUBUH KESEPIAN
Siapa yang datang membawa keranda kematian lalu mengosongkan kata-kata di kepalaku?
Di cengkram kesedihan.
Gowa, 09/03/2020
DI SEBUAH KOTA
Orang-orang sedang merayakan kesedihan, dan menampung tangis pada sebotol bir.
Seorang anak kecil menatap kolom langit, kakek tua masih sibuk menghitun dahak.
Perempuan dengan blus tanpa lengan dan sedikit kata-kata manis di bibir penuh gincu.
Di tengah jalan masih ada sisa kecelakaan tadi malam, darah belum kering lalu kini pencuri
buah di pasar kembali di tembak mati hanya karena lari membawa sebutir jeruk.
Gowa, 29/10/2019
KELUARGA SEDERHANA DI PEMATANG TAWA
Tawa seorang bocah ingusan yang membawa sepetak tanah liat di tangan kanannya.
Gowa, 29/10/2019
KEPADA ALAM YANG TERBAKAR
“hari ini tak ada kata-kata, jangan dulu bicara. Sebab kata telah menjadi omong kosong,
orang-orang melolong dengan ludah berceceran”.
Tali sepatu yang lupa simpul, mantel hujan yang mencekik seluruh badan atau cahaya lampu
senter di kepala.
Aku menyayangimu.
Pada matahari yang berangkat tidur, malam dengan tubuh lentiknya dan mata air membelah
kepalamu.
Gowa, 28/10/2019
SEHABIS SUBUH
Kini aku kembali menelangjangi diriku, menyisakan jiwa yang masih bertafakkur pada sunyi.
Gowa, 10/03/2019
MALAM PANJANG DI WARUNG KOPI
Setelah malam tandas pada secangkir kopi, bibir di cangkir itu masih menyisakan pembicara
handal. Lalu menyelinap pada kegelapan.
Lelucon cabul yang itu-itu saja adalah makanan halal di meja pembicaraan.
Sesosok tubuh telah menjadi kuburan, dihadapannya kini sebuah batu nisan menjadi sebatang
dungu.
Gowa, 10/03/2020
DI TUBUHMU AKU SEDANG TIDUR
Di dirimu.
Sebelum keberangkatan menuju nanti, mencari jeda dan menemukan kesunyian diantara
percintaan kita.
Gowa, 11/03/2020
22 MEI
Masih ingat?
Gowa, 15/09/2019
DUKA SEBUAH KOTA
Kecaman berkerumunan
Teriakan
Makian
Gowa, 15/03/2020
KATA-KATA ADALAH HANTU BISU
Di seberang jalan kita tak berkata apa-apa, hati kembali menutupi fitranya.
Gowa, 16/03/2020
AKU MENEMUKANMU DI KESUNYIAN BERSAMA PUISI DAN KEABADIAN
Sebatang rokok.
Kenangan adalah ruang-ruang sunyi yang tak ingin mati ditikam waktu.
Gowa, 16/03/2020
DO’A
Gowa, 2020
PESAN (untuk) ANAK-ANAK
Nak,
Nak,
Gowa, 2020
MENYUSUN TUBUH IBU
Ingatan
Gowa, 17/03/2020
MEMBACA TANDA
Mencoba menerka
Setiap hari
Gowa, 15/03/2020
SEBUAH USAHA MEMBUNUH NAMA IBU
Gowa, 11/03/2020
TAK INGIN YANG TERAKHIR KALI
Di atas meja masih ada catatan tagihan buku, tangisan rindu yang belum tuntas
Gowa, 2020
PULANG SEBELUM KEBERANGKATAN TIBA
Uban-uban terus bercanda, tentang siapa yang akan kembali gugur hari ini.
Sebab manusia ada dengan ketiadaan yang akan memeluknya terakhir kali.
Ia ingin tanah tempat dia tidur nanti adalah tempat untuk pohon-pohon berlarian.
Sebab kepulangannya ingin menjadi berkah bagi mereka yang menunggu punah.
Gowa, 21/03/2020
MENUNGGU WAKTU PULANG
Suara kecipak air pada kaki-kaki telanjang diatas Kapal dan wajah-wajah yang digelapkan
oleh rasa lapar.
Do’a-do’a menopang tubuh dengan tabah, setiap hari menunggu perantara menuju
kepulangan hakiki.
Kata terangkum dalam perbincangan, mencoba mengelabui waktu yang selangkah lagi
menuju tanggal.
Adakah yang lebih tabah dari sebuah jazad yang menunggu pertanyaan?
Gowa, 23/03/2020
WAJAH-WAJAH TAK KUKENAL
Selembar poster pamflet menatap iba, seekor anak kucing mencari desah nafas di kerumunan.
Ada yang datang membawa sedikit harap diantara kepulangan dengan kantong plastik
menimbun kepalanya.
Lalu lintas kota telah menjadi warna-warni yang suram, menikam wajah-wajah baku.
Pagi kembali memberikan ruang kepulangan, harga diri yang berceceran berangsur-angsur
menuju utuh.
Melihat mereka yang kini tak saling sapa pada satu meja.
Gowa, 25/03/2020
SUATU HARI AKAN DATANG KETIADAAN
Suatu hari
Suatu hari
Segala luruh pada gemuruh dada terus menghitun detak jam dinding yang pergi membawa
kesedihan.
Gowa, 04/04/2020
KITA KEHILANGAN KATA-KATA
Dibawah lapang langit, ada yang berteduh membasuh luka dengan mendiamkan diri dipeluk
malam.
Dilumat kebisuan diantara kebisingan yang kini hanya menjadi ritme tak beraturan.
Mencoba menebak setiap isi pikiran, lalu saling menatap sepasang bola mata.
Gowa, 05/04/2020
SEBUAH PESAN TENTANG CINTA
Dari pintu rahim anak manusia merayakan tangis, setelah penyesalan akan sumpah
membebani kepala.
Pada jiwa dan akal kita akan mengakui tentang yang maha satu. Yang maha dari segala.
Kelahiran
Setiap kepalan melumat segala tragedi sebab bhineka adalah sebaik-baik cinta.
Diantara sela-sela ciuman sepasang embun yang kedinginan, masih ada harapan yang terawat
dengan seksama.
Pada kamar sunyi di dinding kepalamu, pertanyaan-pertanyaan tentang kita tak mati-mati
dilumat sepi.
Rentangan lengan adalah tempat ternyaman untuk menafsirkan sebuah kasih sayang.
Mencoba menebak hal-hal lucu dalam kepala, melihat anak-anak kecil yang tertawa tanpa
batas.
Kesunyian telah menjadi waktu yang kalah, sebab semarak di bangku tunggu itu telah lahir
dari perihal sederhana.
Tawamu yang tak malu-malu, dan kita masih saja menepati janji untuk mengurangi kata-kata.
Selalu memintal nasib untuk tak pernah jatuh dalam perihal mencintaimu.
Hari ini
Arabika kaimana telah menjadi pengantar bagi pembicaraan para pemuda-pemuda idealis
Di meja tengah
Dan kopiku selesai, setelah sesapan terkhir mandailing menyentuh langit-langit mulutku
Dan kesunyian selalu saja mengguyur tubuh lebih deras dari air hujan
Kini kutelusuri waktu, kutemukan beragam tubuh yang telah merobek kepercayaan.
Orang-orang membicarakan kita, membicarakan mereka tapi lupa menafsir diri sendiri
dihadapan kata.
Terlalu mudah untuk mencari pembenaran daripada meletakkan kesalahan pada kepala.
Dusta menebal, segala menyongsong hari dihadapan sejahtera yang dicekik peraturan.
Puisi-puisiku beterbangan.
Membawa seluruh yang tersisa dan meninggalkan ingatan pada belantara lebat
Hari ini cuaca dingin sekali dan tubuhmu menjadi pucat dalm keterasingan
Ingatan yang menyimpang barang-barang eletronik dan cetakan mata bergambar angka-angka
telah meleburkan batasan.
Aku telah mendoakanmu, mendoakan kemanusiaan yang telah dilukai berulang kali.
Aku tak menolak memberi kesaksian dengan atas nama Tuhan bahwa aku mencintaimu,
mencintai kemanusiaan.
Sebab Tuhan dalam diriku dan dirimu adalah pengasih lagi penyayang.
Aku menemui seisi alam dan manusia-manusia yang merawat anak-anak dalam dirinya.
Kekosongan menjelma kutukan dan kita telah mengutuk diri sendiri menjadi batu
Layar Tv menyala-nyala
Dihadapan keinginan
Di depan layar Tv
Kita tahu!!!
ranjangnya
Gowa,16/09/2019
DO’A SEORANG PEREMPUAN
Adakah yang lebih tabah dari mereka yang menggengam keMALUan lalu membawanya pada
peraduan paling sunyi
Segala-galanya luka
Segala-galanya duka
Satu hari tanpa suara dan tingkahmu adalah perjalanan paling panjang menuju pulang
Merawat ingatan
Menolak lupa
“ Siapa yang datang di malam itu?, merampas putra pertiwi dan membawanya pada ujung
maut”
Mencari waktu untuk membawanya pada pemakaman lebih cepat dari takdir.
Warna darah di bibir dan bau parfum yang lebih berbahaya dari polusi udara
Aku pulang
Di kejauhan, dinginnya kota telah melumat habis kata pulang dari kepala sang anak
Ketukan pada daun pintu adalah dering yang ditunggu getarnya selama belasan tahun
Dengan memejamkan mata, ibadah kita pada kopi telah menjadi ritual paling khusyuk untuk
menjahit kata-kata perlawanan.
Merawat cinta dari harapan petani-petani tabah yang merelakan keringat mereka berlarian
menuju langit dan turung menjadi derasnya hujan.
Berharap perayaan kali ini, senyum Tuhan hinggap lebih besar dari biasanya.
menyimpang kenangan
Gowa, 22/08/2019
KEPADA PULANG
Pulanglah
Akan ada waktu kau menjadi pelupa dan itu adalah pengingat
Wajo, 25/07/2019
PEREMPUAN ITU IBUMU
Wajo, 26/07/2019
PERIHAL KITA TAK BERKESUDAHAN
Gowa, 23/08/2019
BELAJAR CINTA (dari) IBU
Suara ibu yang sedang memanjatkan do’a terus berkejaran bersama uban-uban di kepalanya
Setiap hari berguguran, helai demi helai seakan mengajak berbincang tentang ketiadaan
Gowa,24/08/2019
PERIHAL LAUT
Kini masih mampu tersenyum untuk orang-orang yang melempar sauh di tubuhnya
Lalu kenapa?
Puisi-puisi menitikkan air mata disaat anak-anak di jalanan melebur menjadi kata
Mereka yang setiap hari dihantui ketakutan akan kematian masih terus merengkuh ketabahan
dan belajar mencintai hidup yang ditakdrkan oleh semesta.
Harapan di bangunkan
Setelah lama tak mengecup moral sebab muslihat bertumpuk-tumpuk lebih tinggi
Mengintai di jendela-jendela ruang tamu dan lemari besi yang menyimpang banyak
pengakuan
Di tong sampah ada peluh keringat, waktu yang menetes dan darah berceceran
Sesaat setelah dentuman besar dari dalam mobil truk lewat begitu saja
Gowa,21/10/2019
PERTAPA SUNYI
Bunyi-bunyi sedang beristirahat dan suara lonceng kematian tak pernah mengirim kabar
Setelah lama dijejaki tubuhnya oleh corong-corong berasap, baliho caleg dan suara-suara di
mimbar kampanye
Disini hanya ada gemuruh puisi yang sedang berdesakan menuju pintu kesunyian
Dan akhirnya, aku telah memproklamirkan kesepianku
Gowa, 22/10/2019
PENULIS YANG HIDUP DI KEPALA PENYAIR
Di jendela-jendela tua
Gowa, 28/08/2019
SELALU ADA KETAKUTAN DARI PIDATO PRESIDEN
Anak-anak berontak
Suara tangisan bayi di malam buta, dentuman piring di restoran mewah dan sehelai rambut
yang memberi gelisah
Membawa ingatanku yang kau curi pada kepala seorang perempuan tua
Meja tulis dengan sepotong liling diatasnya, rokok yang menggigil kedinginan diatas asbak
Gowa, 31/10/2019
TENTANG MALAM INI
Tepat disaat orang-orang dibelenggu hak-haknya dan para penegak keadilan melacurkan diri
Di malam ini, terlampau gelap dan satu-satunya cahaya hanya di layar ponsel
Wajo,12/07/2019