Anda di halaman 1dari 30

Dzikir kematian

Pada tikar rasa syukur mengakar


Mengingat raga tetap tertata rapi
Melihat perut
Dapat menampung garam dan nasi
Namun tak lupa,
Aku berdzikir tentang mati
Dibawah akar rumputan
Disanalah berjalannya introgasi
Tak satupun eja melarikan diri
Demi bungkmnya lisan yang dulu keji
Hanya sesal kudapati
Bila nafsu terus mendalangi hati
Peran kayu bakar

Sebalok kayu terpaku rapi


Menjadi saksi sosok wanita senja
Dengan beberapa helai uban menghiasi
Bersama seserat senyum
Pesan-pesan tersirat mencekam

Asap menerka aroma


Didepan tungku perapian
Kayu bakar teriakkan nestapa
Tak mau kalah
Belahan bambu memakkan pilu
Demi beras mengeras haru
Membiarkan bahu diukir padat kayu
Debu dalam kenang

Sosok wanita mulia


Telah mengelabui benakku
Haru pilu tenggelam dalam syahdu
Mengingat secarik kain
Masih menyajikan aroma pesing

Telihat disana,
Kaca menghadang serdadu debu
Rela jerih payah
Menenbus pertahanan senja
Berbaris didalmnya
Hikayat yang telah lama menderu
Bertengger sejuta tawa
Diatas paku jasad batu bata

Terngiang dalam kalbu


Deretan nasehat penghindar kuwalat
Menjadi tameng
Pada setiap jengkal nafas
Mengawal kaki
Meniti pada titian berapi
Menjaga lisan
Tertusuk linggis sepanas merapi.
Kisah pagi

Kini pagi memanggilku lagi


Memperkenalkanku dengan matahari
Mengajak burung menari
Menyuruh rumputan bernyanyi

Namun nyatanya,
Hatiku berjodoh dengan sunyi
Jiwa tetap mengenang sepi
Menghujat rindu agar segera pergi
Supaya hujan tak lagi mendiami diri
Menyiram akar rindu ini.
Arus masa

Aku pikir anganku benar


Entah mau kemana teka teki itu
Bahkan aku kira
Angan-angan ini makin membatu
Tak seperti dulu
Ketika aku merengek pada ibu
Menjarah keringat ayah
Bahkan terkadang
Sebelum raga beranjak pergi
Aku mencuri telapak tangan ibu
Melipat tuhan dalam keningku
Namun,
Setelah menetap pada kesunyian sujud
Hasratku terpaksa singgah
Memasrahkanku pada sepi
Aku lupa cara merengek
Cara menjarah
Cara mencuri.
AKU YANG DISINI

Aku rindu pada air mengalir di kaki yang sakral


Hembusan serpihan sabda mulia ku harapkan
Kau titipkan pada kawanan ubun-ubun di kediaman
Pulas tidurmu, kau serahkan pada kicau bintang-bintang

Aku yang disini,


Hanya menikmati aroma keringat bakarmu
Terbungkus rapat keluh asamu

Aku yang disini,


Panas menunggu selimut merayuku
Melukis surga dalam bingkai mimpiku
ROTI MERAH PUTIH
sebuah estetika nyata
disajikan dengan lekuk katulistiwa
dikelilingi selai lava tektonik
berupa toping flora dan fauna nusantara
siraman dua Samudra yang menggoda
dengan taburan beberapa titik tambang menggugah selera
bahkan rempah yang pernah terjamah tetangga
menyulut kerakusan pengagum merah muda
terbayang pada nafsu membara
wajah dua insan bermesraan membangun bangsa

entah siapa, sudah mencicipinya


mungkin tinggal remahnya saja
JIKA IYA, MAKA TIDAK & JIKA TIDAK MAKA IYA
Keheningan mengolok cipta pinta
Membiarkan resah rinai hujan menerka
Pertanyan mengiringku pada Haluan siksa
Mengenal paduka tak dapat pergi, haruskah kugoda ia?
Aku yang takluk memahit dalam muka paduka
Ku eja bait-bait dilemma
“kau tak akan bisa”
Nafas berdiri di mata pisau
Membawaku pada ladang gembala
Berkelana Kembali saat ubun-ubun disapu angin do’a
Pengembala mengatakan,
Bahwa kaulah sang penguasa
Tiada dalang yang serupa
Kau bisa saja menjadi wayang
Lalu kau gerakkan sang dalang
Kaulah aktualisasi penguasa

Jika iya, kau tak akan bisa


Jika tidak, maka kaulah yang maha segalanya
ANDAI KATA, BISA

Andai kata, bisa kulabuhkan masa


Tiada cinta tenggelam pada erat pelukan senja
Sesekali aku ingin fajar pulas dalam kelelapan
Hingga tak tampak lagi siang menyilaukan

Senja yang malang,


Fajar yang tak kuharapkan
Dan siang ingin ku tenggelamkan
1000 KEROCONGAN
Pulanglah, maka pulanglah
Puji syukur kau telah mengundang mereka pada pesta tari rumputan
Ditanah itulah kesucian bertaburan
Melalui rumus firmanmu
Yang engkau turunkan pada gigil sunyi gelapmu
Di malam keroncongan
Dan bulan binar memancar, berbincang dengan sayap-sayap itu
Engkau sajikan hidangan pembuka berupa ayat-ayat sucimu
“Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakanmu”
Dan pada kerumunan hijaiyah yang lain
Engkau iring mereka pada dipan-dipanmu
Cukup Padamu
Hanya pada engkau aku memaksa
Yang selalu hadir pada setiap kedipan
Engkau maha tahu gemerlap bintang disepinya malam
Bagaimana denganku ?
Yang kini berada dibawah tawanan kerakusan
Aku memaku resah
Diantara bulu kedinginan
Kepada siapa aku tagih pengampunan
Cukup engkau pembuat tandus kerongkongan
Hanya dikau urat-urat lidah ini membeku
Berusaha menjamah namamu dalam sepi laraku
Lalu Apa ?
Sempat teringat,
Semburat urat yang kian memikat
Merambat melawan Hasrat ekspedisi pengembalaan

Gelas kehidupan tak terhindar dari kicauan


Siapa ingin mahkota menjadi celana ?
Jeritan asa disekap belaka
Manipulasi hayat dibalik jeruji belati lisani

Lalu apa?

Sudah tak lagi timbul tanya


Siapa hidup dengan batu logika
Aka dipenuhi buah busuk
Depan mata kepala
Bola Agungmu
Aku berdiskusi Bersama awan
Bertanya kisah akan bayang-bayang
Kutanyakan juga soal burung
Mengapa selalu saja bernyanyi dengan kabar rindu

Tiada hasratku tanpa lafadz agungmu


Setiap petik lirihku, engkau hadir dengan rintihku
Ku tau hakikat jari menggulir kesucianmu
Menjamah puja-pujimu
Memutar-mutar nama kebesranmu
Bersamamu, kutiduri sepertiga malammu
Selalu begini
Ramalanku benar
Aku akan tertidur bila bunga sudah mekar
Aku akan terlelap bila cahaya telah terpancar
Jiwaku melayu ketika tersiram
Padahal aku sudah diberi kursi
Malah minta dibasahi
Sudah terlalu lama aku memenjarakan puisi
Mengubur dalam antrian diksi
Bahkan melipat abjad-abjad dalam lemari
Berkali-kali aku di tagih lembar
Lebih-lebih dipukul pena, sampai memar
Sampai-sampai warna darah pada jari memudar
Sejenak Berdiskusi
Satu kursi panjang tanpa busa
Mengumpulkan kami dalam naungan keluarga
Derik nada kayu lapuk membuat sakit rusuk
Paku pun mengeluh akan berat dosa yang menumpuk
Kami yang duduk setengah membungkuk
Mulai berseteru dan saling bercemburu
Sebab, sinetron terlanjur menonton
“Ubah saluran, aku ingin melihat bualan negara.”
Cakap ayah
Aku sebagai penerima nafkah, patuh sajalah!
Ayahku mulai melotot, matanya makin tersorot
Ibuku juga ngotot agar peringai adik tak merosot
Sebab, tontonan tak lagi terboikot
“Diamlah! Reporter sedang menyanyikan lirik penguasa,
Perhatikan saja agar kalian tahu bencana terbaru apa
Yang mereka tayangkan.” Seru ayah
Tiba-tiba ayah bermain basah-basahan
Anehnya, ia sambil mengigau dengan mata yang berkilauan
“Di nusantara sudah terlalu banyak kuburan
Sinar bintang sudah mulai buram
Kepala banteng dijadikan pernak-pernik rumahan
Pohong beringin tertebang digunakan rusuk tahta penguasa jabatan
Padi pun masuk tertelan,
Kapasnya disulap menjadi bantal kesayangan
Oleh mereka para petinggi-petinggi sialan.”
Ia pun tertidur di pangkuan
Namun, sebelum terlelap ia menyelipkan pesan:
“Kasihan BungKarno dan BungHatta
Kini, mereka telah tinggal di pigura
Padahal mereka yang meletakkan pondasi
Hampir berkali-kali nyawa mereka terjarah dengan ngeri
Sekarang sudah terlanjur begini
Rumah yang dulu tegak berdiri
Kini dirongrong rayap-rayap berkemeja rapi
Gentingnya sudah dipenuhi lubang korupsi
Dengar! Musuh kita bukan hanya orang-orang luar negri
Namun, nyatanya juga orang dalam negri yang punya banyak materi.”
Fatwanya mendadak lenyap
Suaranya sedikit serak dan tak memberi harap
Ku kira ia makin lelap
Nyatanya ia pergi dan tak lagi menetap
Tak lagi membungkam
Genangan hujan menutup jalan
Enggan mengulang suram,
Meratapi pilunya malam
Ia lihat lentera memburam
Pudar pada nalar
Takut barokah tak lagi mengakar
Ia duduk tersipu menghadap tuhan
Mengharap segalanya sesuai ketetapan
Seraya merajut surat mengubah harapan
Barisan kata ia persembahkan pada paduka
Ia mengadu tentang pucuk padi
Yang tak lagi bertingkah suci
Hingga bertapalah ia pada malam penuh sunyi

“wahai tuhan yang kekal nan abadi, luluhkan kembali hati pada padi tentang fatwa para kiyai
akan sari-sari baraokah ilahi, aku bersaksi tenatang apa yang tak engkau kehendaki pada
penduduk bumi kelam kini, mereka berkelahi memperebutkan duniawi, mendzolimi diri
sendiri. Ya allah maha pengampun maha pemurah, tumbuhkanlah baroah, jauhkan ai dari
punah, agar petuah-petuah tetap lumrah”
Amien ya rabbal ‘aalamin
Seandainya budaya tak bersama masa
Mungkin etika lebih bermakna.
Sunyi Menepi
Elegi tercipta disela-sela pagi
Termenung mematung dalam mimpi
Menghujat hati tentang sepi
Berlangsung sangat ironi

Entah mengapa?
Rindu menepi tanpa disadari
Menghujam hati merangkai semu
Senda meredup mengirimkan kabar buruk
Tentang rindu tak henti-henti bercumbu
Realita Hampa
Kemana tenggelamnya mereka?
Apa terhanyut buih masa?
Yang pernah berjaya kini tinggal nama

Duafa hanya menyeruput hangat kopi


Namun acuh pada ideologi
Apalagi mereka para petinggi, hatipun tak disisipi
Adab hanya bongkahan bingkai frasa
Rakyat disajikan sisa-sisa

Dimana amanat rakyat diikat


Apa hanya “iya” mereka lantunkan
Tanpa bukti juga penyajian
PADUKA 3
Resah saat kutau kulit menghayati
Helai paku terjamah pilu
Gundah ketika kupahami, nafas menghela pada ujung lereng
Ku eja bilangan angka
Namun tak kusangka, tinggal ku tiup dan mati
Fajar Bersama senja, kuintip meraka
Bercumbu sembari menikmati kepergian waktu
Rambut-rambut itu,
Berlomba-lomba mencapai laju
Mereaih garis putih terpancar sorak rayu
Paduka,
Aku akan segera pulang
Akan ku cuci pakain ini, jangan kau cuci aku
Sediakan aku kamar beserta bidadari-bidadarimu
Ampuni aku
Paduka,
Maka agunglah engkau
Aku yang lemah, tak kuat meski hanya semalam bersamanya
Meski setiap hari aku bedua dengannya
Memakai baju bermotif angka-angka
Menari dengannya, sampai lupa berdansa dengan mereka dihadapanmu
Aku tetap milikmu
Pasrahku padamu, aku menghadap engkau

‫ وذنبي زاءدكيف احتمال‬# ‫وعمري ناقص في كل يوم‬


PADUKA 4
Seperti serigala berbulu dosa
Di malam buta,
Aku terka goresan sesal
Kunyalakan sadar, berhamburan melodi celaka
“Budakmu ini tak mengindahkan sabdamu”
Ia tak pandai menyapa
Bahkan ia kotori telapak surga milik ibu
Semacam gemetar gema mengabdi
Meniti, keringat berkemas pergi
Setapak jalan, sehelai rambut
Berkilau mata pisau menyambut
Bangunlah, kau terlalu pulas
Kau terlalu lama bermesraan dengan kesementaraan
Sementara,
Tungku perapian, tulus melahap
Menatap ketakutan, sesal menertawakan

Paduka,
Aku kayu basah tertimpa hujan
Tak apa kau letakkan aku di buntut penantian
Asal dapat ku tatap sungai-sungai milik tuhan

‫ مقرا بالذنوب وقددعاك‬# ‫إلهي عبدك العاصي أتاك‬


PADUKA 2
Lagi, dan kinipun jadi
Menggumpal, meronta-ronta dahaga
Kotori lautan setetes kebiadaban
Kuteguk sudah untaian birahi
Menyusup dalam segelas sadar ilahi

Paduka,
Aku yang menari diantara rombongan bianglala
Telanjangi aku dari dosa digdaya kuasa mahabarata
Bebaskan ikatanku denganmu dari rayuan orang ketiga
Aku hanya ingin berbagi denganmu
Maka tak seorangpun kan mengganggu

Hanya engkau paduka


Maka terimalah aku

‫ فإنك غافر الذنب العظيم‬# ‫فهبلي توبة واغفرر ذنوبي‬


PADUKA 1
Lembaran mengasuh hati
Terkirim gulungan, kabar kejam terkuliti
Inginku kantongi surga yang menawan itu
Tapi saku milikku dipenuhi kotoran yang mengadu
Paduka,
Aku lebih suka berenang di sungai-sungai itu
Bukankah mereka mengalir dibawah janji-janjimu
Paduka,
Aku tak suka sirkus-sirkus itu
Bukankah mereka membawaku bermain dengan siksamu
Tubuh ini tak pantas ditemani bidadarmu
Juga tak kuat dengan siksa yang kujahit dan kurajut sendiri

‫ والأقوي علي النار الجحيم‬# ‫إلهي لست للفردوس أهال‬


PADUKA 5
Kupersembahkan sisa noda pada lemari paduka
Engkaulah yang maha pembuka dan pembela
Aku tak mau catatanku kau buka
Aku terlalu hanyut bermain dengan hayalanku
Lupalah diri ini dengan surat-suratmu
Sungguh romantis engkau paduka
Aku budakmu
Menggigil dengan bintang-bintang yang akan pergi berjatuhan
Mengenai kehendakmu, aku termasuk penakut akan kebangkitan
Apa yang akan ku bawa menemuimu?
Dusta?
Jangan jadikan aku dari mereka yang berkata
“itu adalah dongeng orang-orang terdahulu”

Paduka,
Maka Jadikan aku yang berbakti dalam tangkai firmanmu
Tak sabar kucicicpi dipan-dipan itu
Kan kupandang sungai-sungaimu
Jika bukan engaku, siapa lagi?
Bukankah akan kau belah tempat bermain awan-awan
Dan akan kau rapikan alas kami seperti kemeja para pramusaji
Kepada siapa aku akan bersipuh
Kemana aku akan mengawal harapku
Karena engkaulah pencipta hulu
Dan menghentikan hilir

Paduka,
Apakah aku adalah rumputan kering yang engaku hitamkan?
Yang akan hidup dan mati didalamnya

‫ وإنتترد فمن نرجو سواك‬# ‫فإنتغفر فأنت لذي كأهل‬


Sekali-kali Bersorak

Segera para awan menyelimuti matahari


Ketika tahu, ranjang kita tak sudah tak empuk lagi
Tergesa-gesa para langit menelan prosa kenangan
Saat sadar barisan asap berjingkrak menari
“Punya kami, itu bagian kami…!”
Para semut berbondong-bondong
Memakai ikat kepala
Bersorak-sorak di ujung kaki
Berkali-kali memanggil pundi-pundi
Berharap para gajah berpakaian rapi, menghampiri
Lalu mereka terbangun di pagi hari
Kemudian mereka terima butiran gula
Lalu arum manis bercetak angka, bermerek soekarno-hatta
Beterbangan disambut kantong keroncongan

Tak dipijak untung


Jika ia, jadi puntung.
Aromamu!

Aromamu!
Berkecamuk bayangmu,
Mengacaukan antrian rindu pada jalan syahdu
Sungguh mempesona bingkai ciptamu tuhan
Menghalang kereta pada mimpi-mimpi
Untuk sampai pada stasiun lamunanku

Aromamu!
Dinding berpamitan pada keabadian
Membekas lukisan bukit
Melambai matahari, pamit
Mendekap rumputan, mengunci kalimat pilu

Aku membelai senja,


Angka itu memalingkan fakta
Menorehkan luka pada habitat gembala
RAYUAN PARA PEMBUAL

Mereka inginku aku tidur saja!


Terlelap, berdua mesra Bersama pasrah
Mereka berkata:
“Kembali saja kau, tinggalkan semua petuah, kau hanya akan bertemu dengan hampa”
Menyerahkan kerutan gugur,
Merelakan rinai bintang-bintang
Adalah bunga yang menyendiri menjilat pagi saat fajar menanti

Terngiang pekik hinamu


Menyelinap palung pondasi emosi
Buih-buih itu mengajakku pulang
Tapi ku bilang
Kau sama-sama tak memakai baju
SEGERA KU PADAMU

Malam ini berdua Bersama bulan sebagai saksi


Aku mengirimkan seikat pinta padamu
Tubuhku adalah tanahmu
Segera kanku ketuk pintumu
Aku buta pada jalanmu yang lurus
Segera kau mengetahui kebiadabanku ini
Aku telah menduakanmu
Maghrib & Mengenang

Sekali lagi,
Penyesalan tiba di stasiun sanubari
Membiarkan kata hilang tanpa ambisi
Memisahkan antara sajak dan diksi
Pernah ditanam sebuah puisi
Kubiarkan ia kehausan
Hangus, mati
Apa aku harus sau ranjang dengan masa lalu?
Ku kira benar sebuah perkataan
“yang lalu biarlah berlalu”
Nyatanya tidak seperti itu
Sepertinya aku harus menjemputnya
Dan membiarkan ia mewangi disampingku

Anda mungkin juga menyukai