Telihat disana,
Kaca menghadang serdadu debu
Rela jerih payah
Menenbus pertahanan senja
Berbaris didalmnya
Hikayat yang telah lama menderu
Bertengger sejuta tawa
Diatas paku jasad batu bata
Namun nyatanya,
Hatiku berjodoh dengan sunyi
Jiwa tetap mengenang sepi
Menghujat rindu agar segera pergi
Supaya hujan tak lagi mendiami diri
Menyiram akar rindu ini.
Arus masa
Lalu apa?
“wahai tuhan yang kekal nan abadi, luluhkan kembali hati pada padi tentang fatwa para kiyai
akan sari-sari baraokah ilahi, aku bersaksi tenatang apa yang tak engkau kehendaki pada
penduduk bumi kelam kini, mereka berkelahi memperebutkan duniawi, mendzolimi diri
sendiri. Ya allah maha pengampun maha pemurah, tumbuhkanlah baroah, jauhkan ai dari
punah, agar petuah-petuah tetap lumrah”
Amien ya rabbal ‘aalamin
Seandainya budaya tak bersama masa
Mungkin etika lebih bermakna.
Sunyi Menepi
Elegi tercipta disela-sela pagi
Termenung mematung dalam mimpi
Menghujat hati tentang sepi
Berlangsung sangat ironi
Entah mengapa?
Rindu menepi tanpa disadari
Menghujam hati merangkai semu
Senda meredup mengirimkan kabar buruk
Tentang rindu tak henti-henti bercumbu
Realita Hampa
Kemana tenggelamnya mereka?
Apa terhanyut buih masa?
Yang pernah berjaya kini tinggal nama
Paduka,
Aku kayu basah tertimpa hujan
Tak apa kau letakkan aku di buntut penantian
Asal dapat ku tatap sungai-sungai milik tuhan
Paduka,
Aku yang menari diantara rombongan bianglala
Telanjangi aku dari dosa digdaya kuasa mahabarata
Bebaskan ikatanku denganmu dari rayuan orang ketiga
Aku hanya ingin berbagi denganmu
Maka tak seorangpun kan mengganggu
Paduka,
Maka Jadikan aku yang berbakti dalam tangkai firmanmu
Tak sabar kucicicpi dipan-dipan itu
Kan kupandang sungai-sungaimu
Jika bukan engaku, siapa lagi?
Bukankah akan kau belah tempat bermain awan-awan
Dan akan kau rapikan alas kami seperti kemeja para pramusaji
Kepada siapa aku akan bersipuh
Kemana aku akan mengawal harapku
Karena engkaulah pencipta hulu
Dan menghentikan hilir
Paduka,
Apakah aku adalah rumputan kering yang engaku hitamkan?
Yang akan hidup dan mati didalamnya
Aromamu!
Berkecamuk bayangmu,
Mengacaukan antrian rindu pada jalan syahdu
Sungguh mempesona bingkai ciptamu tuhan
Menghalang kereta pada mimpi-mimpi
Untuk sampai pada stasiun lamunanku
Aromamu!
Dinding berpamitan pada keabadian
Membekas lukisan bukit
Melambai matahari, pamit
Mendekap rumputan, mengunci kalimat pilu
Sekali lagi,
Penyesalan tiba di stasiun sanubari
Membiarkan kata hilang tanpa ambisi
Memisahkan antara sajak dan diksi
Pernah ditanam sebuah puisi
Kubiarkan ia kehausan
Hangus, mati
Apa aku harus sau ranjang dengan masa lalu?
Ku kira benar sebuah perkataan
“yang lalu biarlah berlalu”
Nyatanya tidak seperti itu
Sepertinya aku harus menjemputnya
Dan membiarkan ia mewangi disampingku