PERMINTAAN
Karya Hamdani Chamsyah
Kini
Kami berhenti menangis dalam raung yang pajang berbilang
musim
Dalam ketakutan melihat darah yang mengalir
Apakah itu darah anak kami, darah orang tua kami, darah
suami kami,
Darah istri kami, darah saudara-saudara kami
Atau darah kami sendiri
Kini
Kami berhenti menangis dalam luka yang mendalam
Dalam suara senapan merenggut nyawa
Apakah itu nyawa anak kami, nyawa orang tua kami, nyawa
suami kami,
Nyawa istri kami, nyawa saudara-saudara kami
Atau nyawa kami sendiri
Kini
Dalam rentang waktu yang tak tahu unjung dalam pinta yang
tak tahu apakah didengar
Jangan ada lagi darah yang mengalir, tangis yang meraung
kehilangan
Tangis orang tua kehilangan anak
Tangis anak kehilangan orang tua
Tangis istri, tangis suami yang hilang kekasihnya
Cukup!
Cukup sudah sejarah luka yang tertoreh di negeri ini
Jangan terulang lagi sejarah pedih yang penuh dengan derita
Cukup sudah air mata kami tumpah
Jangan ada lagi raungan kesakitan
Cukup sudah darah yang mengalir
Jangan ada lagi pembantai di negeri ini
Wahai yang mendengar pinta kami
Biarkan tangis kami berhenti dalam damai yang kami rasa kini.
Aceh, 3 Mei 2012
#7
OMBAK PELUKIS SEJARAH
Karya Maulita
Detik peristiwa pilu kusaksikan
Datang menyapa negeriku
Terasa ngeri dan pilu mengingat masa itu
Berguncang dalam dada
Rasa resah menghujam jiwa raga
Ombak Pelukis Sejarah
Di lembaran terakhir buku kisah haru mewarnai
Bumi pimpinan Sultan Iskandar Muda dulu
Ketika laut bermuara murka negeri bermandi air mata
Pengghuni negeri menanggung derita
Ombak pelukis sejarah
Terukir kisah sampai anak cucu
Mendarah tangis air mata
Membelenggu ribuan duka
Istana diangkut
Gubuk-gubuk hanyut dalam satuan nestapa
Insan pun tak luput
Tak ada yang mampu melawan
Goncangan Aceh dalam kenangan
Ombak pelukis sejarah
Terkenang kisah saudara kita
Berjuang dalam ombak mempertaruhkan nyawa
Ombak pelukis sejarah
Terukir indah kepahitan masa itu
Menenggelamkan sanak saudaraku
Diharu biru laut yang masyhu
Menggoyangkan tanah Aceh dan seluruh penjuru
Ombak pelukis sejarah
Menyapu basah bangunan negeriku
Tak ada sisa dari jalan cerita ombak
Kecuali rumah-rumah Allah yang megah
Dengan kokohnya ia bertahan
Menjadi saksi bukti dahsyatnya kuasa Ilahi Rabbi
Ombak pelukis sejarah
Mengguncang kisah di tanah Acehku
Membawa duka dalam dekapan
Ribuan korban tak tertolong nyawa
Jutaan harta hilang seketika
Ribuan desa lenyap leluasa
Mayat-mayat terkapar dimana-mana
Terhimpit bangunan
Jatuh ke selokan
Terkubur di lumpur hitam
Ada yang hilang tak ketemu jasadnya
Ada yang hanyut dalam genangan ombak
Dan tersungkur entah ke arah mana
Meratapi betapa dahsyatnya bencana
Ombak pelukis sejarah
Terisak tangis, teriris hati, dan sesak di jiwa
Melihat tubuh-tubuh tenggelam dalam air hitam
Tangan-tangan melambai meminta pertolongan
Tapi itu hanya sekedar teriakan
Mereka lenyap seketika
Hanya tersisa lumpur hitam
#20
Hidup, Redup, dan Katup
Febri Mira Rizki
Sedang pijar bukan mengembang,
tersulut binar yang menjalar pada kerdip gemintang,
awan berlabuh pekat!
Sedari mangu di atas kentara langit kamar dan lenggangnya
ruang tamu, tersibak jua redup rindu pada gubuk bambu
peninggalan ibu. Tepas dan kayu menjadi haru. Jauh dari
mewah yang megah, tak ada etalase untuk hialin, guci, dan
manekin, figura keluarga hanya lukisan usang dari arang. Aku
berakrab obor dan semprong!
Dunia semakin tua untuk urusan benda. Saatnya mengenal
bohlam yang menghidupkan temaram, keran untuk
menghentikan kucuran, sampai elektronik dibuat unik dan apik.
Konon, lengit mengintai di balik royalnya rumah tangga, pada
penggunaan yang tak terdata, tanpa sadar keluarga telah
menyiksa alam semesta.
Camar terbang meninggi,
agaknya kabar yang tersiar dari kepak-kepak sayapnya
mewakili: isi hati, pikir membukti, pun suasana bukan mimpi.
Kepada televisi, setrika, kipas angin, penanak nasi, lemari es,
pendingin ruangan, hingga warna-warni lampu telah menjaga
malam. Aku berterima kasih! Ada jasa yang tak terkata.
Sungguh, meminimkanmu bukan benci yang kupunya, justru
sayang luar biasa kutanak dalam dada. Bukankah hemat kita
adalah segelintir usaha untuk sesama? Mari kita jaga!
Medan, 15 Juli 2015
#21
AKULAH DEBU YANG TERSUNGKUR
Karya : Budi Arianto
Inilah arus yang telah menyeretku
di jalan yang lalu lalang
dan kehitaman aspal saat bumi menguap
dalam gerah membakar tubuh
tak juga leleh keringat yang mengkristal
pada jarum-jarum matahari
menusuk pori-pori, tapi darah dalam jantung
masih juga mengalir
malam waktu yang entah di mana bermuara
ia merembes ke mana-mana
pada daun yang menjulur
pada awan luruh
pada burung galau
membawa amis darah
dan matahari melelehkan nanah
dari wajah-wajah yang tersungkur di jalan raya
Inilah arus yang telah menyeretku
di jalan yang berdebu
dan angin menyapu deru-deru
membutatulikan perjalanan
buramkan sketsa yang simpang siur
aku alpa di mana akhir pengembaraan ini