Anda di halaman 1dari 17

Kumpulan puisi

HEMAT
(Karya: Sutardji Calzoum Bachri)

Dari hari ke hari

Bunuh diri pelan-pelan

Dari tahun ke tahun

Bertimbun luka di badan

Maut menabungKu

Segobang-segobang

PERJALANAN KUBUR
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan

Kau telah membawaku keatas bukit

Ke atas karang ke atas gunung

Ke bintang-bintang

Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku

Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina

Aku menggali-gali dalam diri

Raja darah dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam

Menyeka matari membujuk bulan

Teguk tangismu alina


Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur

Laut-pergi ke laut membawa kubur-kubur

Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur

Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga

Membawa kuburmu alina

LAGU GADIS ITALI


Puisi Sitor Situmorang

Buat Silvana Meccari

Kerling danau di pagi hari

Lonceng gereja bukit Itali

Jika musimmu tiba nanti

Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari

Lonceng gereja bukit Itali

Sedari abang lalu pergi

Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari

Lonceng gereja bukit Itali

Andai abang tak kembali

Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur

Pasir teduh di bawah nyiur

Abang lenyap hatiku hancur


Mengejar bayang di salju gugur.

Membaca Tanda-tanda
(Taufik Ismail)

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas

tapi kita kini mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya

Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil tak lagi berkicau pergi hari

Hutan kehilangan ranting

Ranting kehilangan daun

Daun kehilangan dahan

Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan

Gunung membawa abu

Abu membawa batu

Batu membawa lindu


Lindu membawa longsor

Longsor membawa air

Air membawa banjir

Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah

Kami telah membaca gempa

Kami telah disapu banjir

Kami telah dihalau api dan hama

Kami telah dihujani api dan batu

Allah

Ampunilah dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas

tapi kini kami mulai merindukannya


Hilang (Ketemu)

Karya: Sutardji C. Bachri

batu kehilangan diam

jam kehilangan waktu

pisau kehilangan tikam

mulut kehilangan lagu

langit kehilangan jarak

tanah kehilangan tunggu

santo kehilangan berak

Kau kehilangan aku

batu kehilangan diam

jam kehilangan waktu

pisau kehilangan tikam

mulut kehilangan lagu

langit kehilangan jarak

tanah kehilangan tunggu

santo kehilangan berak

Kamu ketemu aku


walau huruf habislah sudah

alifbataku belum sebatas allah

1979

"O"

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau

resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian

raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian

mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai

siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia

waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas

duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai

oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

oleh : Sutardji Calzoum Bachri

SOLITUDE

Oleh: Sutardji Calzoum Bachri


yang paling mawar

yang paling duri

yang paling sayap

yang paling bumi

yang paling pisau

yang paling risau

yang paling nancap

yang paling dekap

samping yang palling

Kau!

JEMBATAN

Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata

bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi

dalam ewuh pekewuh dalam isyarat dan kilah tanpa makna.

Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang

jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.

Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam

para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.

Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase


indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit

mengucap

tanah air kita satu

bangsa kita satu

bahasa kita satu

bendera kita satu !

Tapi wahai saudara satu bendera kenapa kini ada sesuatu

yang terasa jauh diantara kita? Sementara jalan jalan

mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan

tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah

yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang

di antara kita ?

Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot

linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati

dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu

mengucapkan kibarnnya.

Lalu tanpa tangis mereka menyanyi

padamu negeri

airmata kami.
Kucing

Analisis Puisi Sutardji calzoum

Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas

lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba

darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar

dia macam kucing bukan kucing tapi kucing

ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya

dia meraung dia mengerang jangan beri

daging dia tak mau daging Jesus jangan

beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung

merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari

dia tak makan berapa ribu waktu dia

tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan
mencipta kucingku

tanpa mauku dan sekarang dia meraung

mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia
minta

tuhan jemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang..

Puisi -Sutardji Calzoum Bachri, 1995


ISA

kepada nasrani sejati

Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah

rubuh

patah

mendampar Tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa

bertukar rupa ini segara

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah
12 November 1943

Puisi Oleh: Chairil Anwar

Puisi Cintaku Jauh Di Pulau - Chairil Anwar

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"


Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama 'kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

Karya: Chairil Anwar

Nuh

di tengah luka paya-paya

lintah hitam makan bulan

taklagi matari

jam mengucurkan

detak nanah

tak ada yang luput

bahkan mimpi tak

tanah tanah tanah

beri aku puncak

untuk mulai lagi berpijak!

1977
(Sutardji Calzoum Bachri, 1981, O Amuk Kapak, hlm. 116)

Doa

Kepada pemeluk teguh…

Tuhanku…

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu…

Biar susah sungguh…

Mengingat Kau penuh seluruh…

CahyaMu panas suci…

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi…

Tuhanku…

Aku hilang bentuk,,remuk

Tuhanku…

Aku mengembara di negeri asing


Tuhanku…

Di pintuMu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling…

13 November 1943

Pengarang : Chairil Anwar

HARI PUN TIBA

Sapardi Djoko Damono

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa

kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka

kau pun menyapa: ke mana kita

tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata

tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema

sewaktu hari pun merapat

jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat


AYAT-AYAT API

Mei, bulan kita itu belum ditinggalkan penghujan

di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin

yang langitnya bersih: yang siangnya menawarkan

bunga randu alas dan kembang calung, yang dijemput

angin

Di bukit-bukit yang tidak mudah tersinggung,

yang lebih suka menunggu sampai penghujan,

dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung

(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung),

di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga

yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan.

Doa

Doa ialah burung-burung cahaya yang kuterbangkan ke hadiratmu.

Doa ialah anak-anak panah cinta yang kuarahkan ke dalam kalbumu.


Doa ialah suara-suara ajaib tali jiwa yang kupetik setiap waktu.

Doa ialah bianglala yang menghubungkan keaibanku dengan kegaibanmu.

"Puisi: Doa (Karya Ajip Rosidi)"

Puisi: Doa

Karya: Ajip Rosidi

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena

angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika

langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di

antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,

perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi

pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan

mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.

Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.

Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,

kulupakan wajahmu.

1971

"Puisi: Asmaradana (Karya Goenawan Mohamad)"

Puisi: Asmaradana

Karya: Goenawan Mohamad

Anda mungkin juga menyukai