Anda di halaman 1dari 6

PUISI 1

MEMBACA TANDA-TANDA
Karya : Taufik Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan


Dan meluncur lewat sela jari-jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
Tapi, kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut tampaknya
Burung-burung tak lagi berkicau di pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak asam arang
Dan karbondioksida menggilas paru-paru
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
AIRMATA…..
Kita saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
Allah…
Kami telah dilanda gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah…
Ampuni dosa-dosa kami
Berikan kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
Tapi, kini kita mulai merindukannya.
PUISI 2

PERJALANAN KUBUR
Karya : Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan


kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang-bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina

untuk kuburmu alina


aku menggali-gali dalam diri
raja darah dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matari membujuk bulan
teguk tangismu alina

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur


laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
PUISI 3

DOA SERDADU SEBELUM PERANG


Karya : W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Dikutip dari Mimbar Indonesia 18 Juni 1960.


PUISI 4

KRAWANG – BEKASI
Karya : Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1957
PUISI 5

SAJAK ORANG GILA


Karya : Sapardi Djoko Damono

Aku bukan orang gila, saudara


tapi anak-anak kecil mengejek
orang-orang tertawa
ketika kukatakan kepada mereka: aku temanmu
beberapa anak berlari ketakutan
yang lain tiba melempari batu

Aku menangis di bawah trembesi


di atas dahan kudengar seekor burung bernyanyi
anak-anak berkata: lucu benar orang gila itu
sehari muput menangis tersedu-sedu
Orang-orang yang lewat di jalan
berkata pelan: orang itu sudah jadi gila
sebab terlalu berat menafsir makna dunia

Sekarang kususuri saja sepanjang jalan raya


sambil bernyanyi: aku bukan orang gila
Lewat pintu serta lewat jendela
nampak orang-orang yang menggelengkan kepala mereka:
kasihan orang yang dulu terlampau sabar itu
roda berputar dan dia jadi begitu.

Kupukul tong sampah dan tiang listrik


kunyanyikan lagu tentang lapar yang menarik
kalau hari ini aku tak makan lagi
jadi genap sudah berpuasa dalam tiga hari
Tapi pasar sudah sepi, sayang sekali
tak ada lagi yang memberikan nasi
ke mana aku mesti pergi, ke mana lagi

Orang itu sudah lama gila, kata mereka


tapi hari ini begitu pucat nampaknya
apa kiranya yang telah terjadi padanya
Aku katakan pada mereka: aku tidak gila!
Aku orang lapar, saudara.

Ku dengar berkata seorang ibu:


jangan kalian ganggu orang gila itu, anakku
nanti kalian semua diburu
Orang kota semua telah mengada-ada, aduhai
menuduhku seorang yang sudah gila
aku toh cuma menangis tanpa alasan
tertawa-tawa sepanjang jalan
dan lewat jendela, tergeleng kepala mereka:
kurus benar sejak ia jadi gila.

Yogyakarta, 1961

Anda mungkin juga menyukai