Anda di halaman 1dari 5

DALAM DOAKU

Oleh : Sapardi Djoko Damono

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman


tak memejamkan mata, yang meluas bening siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam


doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja


yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang
hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga
jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap
di dahan mangga itu

maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun


sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan
kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di
rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang


dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang
entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi
rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

aku mencintaimu. itu sebabnya aku takkan pernah


selesai mendoakan keselamatanmu
TANAH AIR MATA
Oleh: Sutardji Calzoum Bachr

Tanah airmata tanah tumpah darahku


Mata air airmata kami
Air mata tanah air kami

Di sinilah kami berdiri


Menyanyikan airmata kami

Dibalik gembur subur tanahmu


Kami simpan perih kami
Dibalik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa


Kami coba kuburkan duka lara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang


Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemana pun melangkah
Kalian pijak air mata kami
Kemana pun terbang
Kalian hinggap di air mata kami
Kemana pun berlayar
Kalian arungi air mata kami

Kalian sudah terkepung


Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Krawang-Bekasi
Oleh: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa


tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,


atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenang lah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenang lah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang
Oleh: W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Tak Seperti yang Aku Pikirkan
Oleh: Dame Uli Pasaribu

Teriknya mentari menyentuh kalbu


Tak terasa angin memberi ku rasa
Hanya terasa lelah di dalam jiwa

Ku coba melangkah kesana


Tak juga ku temukan suatu hal
Ku langkahkan kembali kaki ku
Tapi ku masih tak memukan sesuatu itu

Saat aku berhenti untuk bersandar


Ku memohon dan berserah
Agar aku diberi sebuah peluang
Untuk bisa hidup nyaman

Oh Tuhan…
Perjuangan ini sungguh melelahkan
Perjuangan ini sungguh membingungkan
Perjuangan ini belum menemukan jalan yang pasti
Kaki tak kuat untuk melangkah
Jiwa tak kuat untuk bangun
Hati tak sanggup untuk merasa
Otak tak bisa untuk berfikir

Hidupku…
Kenapa kau seperti ini
Hanya berharap dari perjuangan yang tak pasti
Hidup ini terasa sangat membingungkan
Sungguh aku sangat lelah

Tuhan...
Berilah aku keyakinan
Berilah aku kekuatan
Agar aku bisa menjadi seseorang
Yang bisa berguna dalam dunia ini

Anda mungkin juga menyukai