Anda di halaman 1dari 26

Puisi Wajib

Tanah Air Mata


Karya : Sutardji Calzoum Bachri

Tanah air mata


Tanah tumpah dukaku
Mata air airmata kami
Airmata tanah air kami

Di sinilah kami berdiri


Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu


Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa


Kami coba kuburkan duka lara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang


Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Ke manapun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Ke manapun terbang
Kalian kan hinggap di air mata kami
Ke manapun berlayar
Kalian arungi airmata kami
Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa ke mana pergi
Menyerahlah pada kedalaman air mata.
Puisi Pilihan

Negriku
Karya : Mustofa Bisri

Mana ada negeri sesubur negeriku?


Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia.

Dan burung-burung indah piaraan mereka


Berasal dari hutanku.
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap
Bermula dari lautku.
Emas dan perak perhiasan mereka
Digali dari tambangku.
Air bersih yang mereka minum
Bersumber dari keringatku.

Mana ada negeri sekaya negeriku?


Majikan-majikan bangsaku
Memiliki buruh-buruh mancanegara
Brankas-brankas ternama di mana-mana
Menyimpan harta-hartaku.
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat
Rata-rata pemimpin negeriku
Dan handai taulannya
Terkaya di dunia.

Mana ada negeri semakmur negeriku


Penganggur-penganggur diberi perumahan
Gaji dan pensiun setiap bulan
Rakyat-rakyat kecil menyumbang
Negara tanpa imbalan
Rampok-rampok diberi rekomendasi
Dengan kop sakti instansi
Maling-maling diberi konsesi
Tikus dan kucing
Dengan asyik berkolusi
Sang Pengabdi
Karya : Zaniza
Setiap pagi kau susuri jalan berdebu
Berpacu waktu demi waktu
Tak hirau deru kendaraan lengkingan knalpot
Tak hirau dingin memagut

Kala sang penguasa langit tuangkan cawannya


Wajah-wajah lugu haus kan ilmu
Menari-nari di pelupuk mata menunggu
Untaian kata demi kata terucap seribu makna
Untaian kata demi kata terucap penyejuk jiwa
Ruang persegi menjadi saksi bisu pengabdianmu
Menyaksikan tingkah polah sang penerus
Canda tawa penghangat suasana
Hening sepi berkutat dengan soal
Lengking suara kala adu argumen
Ruang persegi menjadi saksi bisu pengabdianmu
Entah berapa tinta tergores di papan putih
Entah berapa lisan terucap sarat makna
Entah berapa lembaran tumpahan ilmu terkoreksi
Entah berapa ajaran budi kau tanamkan

Waktu demi waktu dijalani hanya demi mengabdi


Berserah diri mengharap kasih Ilahi
Ilmu kau beri harap kan berarti
Satu persatu sang penerus silih berganti
Tumbuh menjadi tunas-tunas negeri
Kau tetap di sini setia mengabdi
Sampai masa kan berakhir nanti.
Dalam Doaku
Karya : Sapardi Djoko Damono

Dalam Doaku
Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang
Semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
Siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
Karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang diatas kepala,

Dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang


Hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
Mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
Yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung


Gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
Yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
Bunga jambu, yang tiba tiba gelisah dan
Terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang


Turun sangat perlahan dari nun disana, bersijingkat
Di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
Di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,


Yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
Yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
Demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
Bagi kehidupanku
Aku mencintaimu,
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
Keselamatanmu
Karawang – Bekasi
Karya : khairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami Cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi .
Naskah Monolog

IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya

Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang
Yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka
Dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak
Ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.

Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan
Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus
Terang mengaku dosa hukumannya ringan.

Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri?
Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk
Pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?

Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia
Dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa
Minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa
Lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera,
Asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.

Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara
Akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga
Iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah,
Tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!

Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar
Satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau
Lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai
Mati!

Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada
Ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang
Ganas.

Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal
Berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun.
Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.

Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang
Itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya
Dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala
Dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak
Megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak
Menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa
Nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri
Teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas
Keberanian ibu.

Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar
Dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi
Kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau
Narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.

Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku
Merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku.
Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan
Siang bersama ibu sebelum dieksekusi.

Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih
Itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap
Tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.

Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu
Pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega
Bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang
Bertentangan dengan kemanusiaan!

Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya
Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya
Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang
Ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!

Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk
tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap
memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat
macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan
tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di
tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-
tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke
tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati
pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia
beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan
kebenaran.

Jakarta, Desmber. 2015


BerandapendidikanNaskah Monolog DARI TIGA KAMAR Karya : Iswadi Pratama
Naskah Monolog DARI TIGA KAMAR Karya : Iswadi Pratama
JBL Desember 18, 2018
MONOLOG DARI TIGA KAMAR Karya : Iswadi Pratama

PANGGUNG DIBAGI DALAM TIGA AREA.

DI SISI KANAN PANGGUNG ADALAH SEBUAH KAMAR SEDERHANA DENGAN MEJA DAN
BANGKU KAYU YANG SUDAH RAPUH, DI ATASNYA BERSERAK BEBERAPA BUKU. DI SUDUT
MEJA TERDAPAT SEBUAH VAS BUNGA DARI BAHAN TANAH LIAT DENGAN HIASAN BUNGA
ILALANG YANG MASIH SEGAR. DI SISI LAINNYA, TERDAPAT SEBUAH JENDELA YANG
MENGHADAP KE SEBENTANG SAWAH YANG TERLETAK DI SAMPING RUMAH.

DI SISI KIRI PANGGUNG ADALAH KAMAR DENGAN TATA RUANG YANG SAMA. DI ATAS MEJA
TERDAPAT SEBUAH MESIN TULIS TUA DAN VAS BUNGA DARI BAHAN GELAS DENGAN HIASAN
BUNGA ILALANG YANG SUDAH KERING, JUGA BEBERAPA TUMPUK BUKU FIKSI DAN JENIS
TULISAN LAINNYA YANG TAMPAK LEBIH TERAWAT. JENDELA KAMAR MENGHADAP KE ARAH
LANSKAP KOTA.

DI PANGGUNG BAGIAN TENGAH; SEBUAH MEJA DAN BANGKU, SETUMPUK BUKU, SEBUAH
LAPTOP.

I
KETIKA LAMPU MULAI MENYALA, DI PANGGUNG BAGIAN KIRI, TAMPAK SEORANG
PEREMPUAN USIA 30-AN, (BISA JUGA LAKI-LAKI) SEDANG MENULIS PADA MESIN TULIS
TUANYA.

LARUT MALAM. LAMAT-LAMAT MUSIK BERNUANSA LEMBUT MENGALUN DITINGKAHI SUARA


“TAK TIK” MESIN TULIS.

BEBERAPA SAAT KEMUDIAN PEREMPUAN ITU BERDIRI, MERENTANGKAN LENGANNYA,


MENGUAP LEBAR, MEREGANGKAN OTOT-OTOT BADANNYA. LALU MENOLEH KE PANGGUNG
YANG ADA DI SISI KANAN RUANGANNYA.TERSENYUM GETIR. BERSAMAAN DENGAN ITU,
LAMPU DI PANGGUNG SEBELAH KANAN MENYALA, LALU TERDENGAR SUARA-SUARA
SERANGGA DAN HEWAN DI MALAM HARI. BEBERAPA SAAT IA HANYA MEMANDANG DALAM
DIAM.

Seharusnya kau ikuti nasihat mereka. Keras kepala. Apa akibatnya? Lihat ini! (menunjuk wajahnya sendiri)
Sampai jadi jelek begini masih pontang-panting. Kau sih, terlalu menuruti gelora jiwa mudamu yang menggebu-
gebu dan kurang pertimbangan. Penuh gairah memang, tapi tak logis. Coba kalau imajinasimu dulu tak
ngawang-ngawang, tak akan sesulit sekarang keadaanku. Apa? Salahku sendiri? Enak saja kau ngomong. Kamu
kan yang memilih semua ini?! Sok romantis! Sok beda dari yang lain! Terlalu percaya pada fiksi, pada puisi!
Gayamu seperti seniman kaliber dunia; “estetika-estetika....” Nih lihat (mendekat ke mejanya sambil menepuk
setumpuk kertas. Debu mengepul dari tumpukan kertas itu) Kamu sangka semua ini bisa membuatmu meraih
apa yang kau impikan?! (Kembali duduk di bangkunya).

HENING

Coba kalau kau dulu bersikap patuh seperti teman-teman sekelasmu. Berfikir dan bertindak sebagaimana anak-
anak yang waras pikirannya. Sekolah dengan baik. Hidup tertib. Menggembleng diri supaya menguasai keahlian
di bidang yang lebih bernilai guna dan bisa diandalkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.....

Kamu malah edan-edanan dengan fiksi, puisi, seni...halah....preettt....

Inilah hasilnya, begadang setiap malam demi menumpahkan segala ide, imajinasi, getaran-getaran lembut dari
palung jiwa terdalam---semua yang tak bisa dienyahkan lagi, membayang-bayangi jiwamu sepanjang
hayat.....mengilhami, menginspirasi, membentuk watak, karakter, keseimbangan......halah (menarik kertas yang
masih terpasang pada rol mesin tulis).

LAMPU PADAM

II
LAMPU MENYALA DI PANGGUNG SEBELAH KANAN. PEREMPUAN/LELAKI YANG TADI
BERBICARA KINI TELAH MENGENAKAN SERAGAM SISWI/SISWA SLTA. DUDUK DI BANGKUNYA
MEMANDANG KE ARAH PENONTON.

Seperti anak-anak perempuan di kampung ini, saya juga tak tahu cerita istimewa apa yang pernah saya miliki
dan bisa saya banggakan—selain cerita yang lumrah dan tak akan mengilhami siapa pun. Tapi sejak Guru
Bahasa Indonesia kami menunjukkan sebuah puisi yang sangat indah, saya merasa seperti ada yang dituangkan
ke dalam kepala dan dada saya, membuat semuanya terasa berbeda. Saya seperti dibimbing oleh kekuatan dari
dalam diri saya dan tak bisa saya jelaskan. Saya tak pernah membenci pelajaran-pelajaran yang lain—tapi saya
jadi cinta banget dengan puisi, novel-novel hebat dari pengarang-pengarang di negeri ini maupun pengarang
dunia, musik, drama, lukisan, tari...semua keindahan dalam karya seniman yang tak habis saya kagumi. Tapi lalu
teman-teman di kelas menganggap saya “sok tua”, “tua sebelum waktunya”, “orang aneh”, “gak matching
dengan umur”, “sok berat”, “seniman anakan”..dan sejumlah “gelar khusus” lainnya saya peroleh. Teman-teman
tidak mengucilkan saya, mereka hanya senang mengolok-olok demi bisa tertawa lantang bersama-sama. Tapi
saya senang, setidaknya saya bisa membahagiakan mereka (Tersenyum kecut).

TIBA TIBA LAMPU DI PANGGUNG SEBELAH KIRI MENYALA

Apa? (menoleh ke arah panggung sebelah kiri). Aku mengacaukan hidupmu? Aku yang mengakibatkan nasib
yang selalu kau keluhkan itu? Hei Nona.....oh maaf, kau masih Nona atau sudah Nyonya? O..masih Nona. Hah?
Non-sens? What? Separuh Nona separuh Nyonya? What the hell.....Ok, apa pun statusmu, dengarkan saya:
Di usia seperti saya sekarang, setiap orang harus membuat pilihan penting bagi hidupnya. Dan saya
melakukannya: memilih! Saya tak mau hanya ikut-ikutan mereka yang menjalani hidup ini seolah-olah seperti
warisan. Tinggal mengulurkan tangan dan menerima apa saja yang diberikan; lalu menjalaninya, menjadi tua
dan mati. Saya tidak seperti itu. Kalau orang lain tak memilih apa yang saya pilih, itu hak mereka dan itu juga
sebuah pilihan. Tapi saya juga tak mau terus-terusan kau salahkan dengan pilihan saya ini: Saya ingin jadi
Pengarang: seniman! (Menggebrakkan tangannya di atas meja). That is my chooice....(Tersenyum) Jadi kau tak
bisa terus-terusan mendatangi saya dan meminta saya mengubah pilihan saya ini. Tiada guna keluhan.
Berhentilah merengek. Biarkan aku istirahat. Biarkan aku sempurna sebagai masa lalumu. Lihat dan terima
hidupmu yang sekarang dengan berani.

(Berbicara pada Audiens)


Saudara-saudara, profesi yang saya pilih ini, mungkin memang tak menjanjikan financial yang hebat,
popularitas berlimpah, atau status yang membanggakan bagi keluarga---Tapi saya harus melakoninya. Dan saya
tahu, saya akan tak mendapat dukungan dari siapa pun. Mungkin mereka tak akan menghalangi saya karena
saya keras kepala—tapi mereka pun tak akan menunjukkan dukungan. Saya hanya akan dibiarkan dengan
pilihan ini, sambil diam-diam mereka berharap saya gagal, sehingga mereka bisa mencibir dan menunjukkan ke
depan muka saya; bahwa pendapat merekalah yang benar. Lalu akan berkata pada saya—persis yang selalu kau
katakan: (Mengubah-ubah bahasa tubuh dan gaya bicaranya demi memeragakan sosok-sosok yang ada di
kepalanya)

“Kapok! Makanya, jadi anak jangan ngeyel!”


“Benar kan Viribus, bagaimana pun jadi PNS itu pilihan terbaik”
“Sudah banyak contoh, jadi profesi sepertimu itu mesti siap susah...kok masih nekat”
“Kalau sudah begini...siapa yang bisa menolongmu...?”
“Sekarang semuanya sudah terlambat, tho? Mau daftar pulisi, mustahil..... sudah berumur, mau ikut parpol
supaya beranjak cepat kariermu...nggak mungkin, paling Cuma kebagian peran hore-hore....Mau merintis bisnis,
modal nggak cukup. Pinjam uang di bank, nggak akan ada yang percaya. Mosok mau sodorkan fiksi-fiksimu itu
sebagai jaminan? (tersenyum sinis)
“Kalau saja kamu melanjutkan kuliah, minimal kamu punya ijazah S-1 untuk melamar kerja”
“Pikiranmu itu terlalu liar. Harusnya kamu bisa seperti anak-anak lain. Beres SMA nyambung kuliah, sesudah
sarjana cari kerja, lalu menikah. Bahagia sampai tua, mati masuk surga! Itu yang bener..!

HENING. IA KEMBALI DUDUK ; MEMBELAI-BELAI BUNGA ILALANG YANG ADA DI VAS


BUNGANYA.
Liar...saya tidak liar. Saya hanya ingin berpikir bebas. Saya juga megerti batasan-batasan. Saya Cuma ingin
memilih sendiri hidup yang akan saya jalani, menjelmakan apa yang telah mengilhami dan menggelorakan jiwa
saya. Mengapa sebuah pikiran bebas harus selalu dicurigai dan dianggap berbahaya? Mengapa seorang anak
SMA dianggap tak patut punya pandangan yang melampaui usianya? Apakah seorang remaja hanya pantas
berpikir mengenai hal-hal yang remeh? Serba permukaan? Mengapa seorang remaja yang tidak suka dengan
film dan novel percintaan yang cengeng dan lebay dianggap aneh? Apakah seorang perempuan seusia saya akan
jadi sinting hanya karena menggemari puisi? Sastra? Apakah cita-cita yang dianggap benar harus selalu sesuai
dengan standar hidup orang banyak? Apakah setiap orang yang belajar dan bekerja tekun hanya dianggap benar
kalau bisa jadi PNS?

Polisi?Tentara?Pegawai Bank?Merintis Bisnis? Di luar profesi-profesi yang dianggap menjanjikan itu orang
akan dianggap gagal atau keliru? Apakah menjadi seorang anak remaja sama artinya memenuhi kepalamu
dengan; tempat nongkrong yang asyik, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pertemanan di medsos? Gonta-
ganti status fb supaya up-to date setiap hari? Sedang pe-de-ka-te dengan siapa? Berapa kali sudah ganti pacar
atau masih jomlo? Mengumpulkan daftar hal-hal yang menyebalkan dan menyenangkan untuk jadi obrolan di
hari libur sekolah? Selfie di semua tempat lalu meng-editnya supaya bisa dipajang jadi foto keren? Saya tidak
membenci semua itu! Saya hanya tidak rela kalau hanya itu isi batok kepala saya ini! Saya hanya ingin melihat
dan menjalani hidup saya dengan cara berbeda. Saya hanya tidak ingin hidup saya terlalu penuh dengan buih.
Saya hanya ingin selalu bergelora; digerakkan oleh tenaga yang amat kuat dan murni dari dalam diri saya; terus
menerus terilhami. Dan saya menemukannya dalam puisi, musik, sastra.... dalam seni. Apa itu salah?

Barangkali kalian juga mulai berpikir bahwa kata-kata saya ini, kalimat-kalimat yang saya ucapkan ini, bukan
berasal dari alam pikiran seorang anak SMA? Atau barangkali juga ada yang mulai berkata dalam benaknya,
“ah...bahasanya terlalu tinggi untuk remaja,” atau “ini sih Cuma naskah drama, aslinya nggak begitu..”. Tidak!
Ini memang saya. Semua ini keluar dari benak seorang remaja. Kalau banyak diantara kami hanya mengerti
bahasa yang gampangan, dan selalu kesulitan mencerna bahasa yang sedikit berbobot, itu karena memang yang
diberikan kepada kami terlalu banyak sampah. Beri kami kalimat-kalimat yang kuat, yang bisa menggedor jiwa
kami. Beri kami bahasa yang punya kedalaman dan tempa kami untuk bersusah payah mencernanya; maka kami
akan berbeda. Maka Anda tak perlu lagi menganggap aneh kalau ada seorang remaja seperti saya. (Menahan
tangisnya)

HENING. SUARA SERANGGA MALAM.


(Lalu dia meraih selembar kertas dari mejanya dan membacanya dengan suara lirih dan mendalam)
Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua
Sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil keduanya
Maaf jika aku terpaku lama memandangnya
Kupandang begitu rupa salah satunya
Sampai pada semak-semak di ujung sana
Kupandangi juga jalan yang satu lagi

Sepertinya lebih menarik hati; rumputannya rapi seperti gampang dilalui bagi yang sudah pernah melewati
Mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi.
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
Tak ada jejak-jeka kaki, rerumputan tegak bestari
Oh, kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
Meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
Tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
Suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
Persimpangan seperti jalan bercabang dua
Di mana aku telah berjalan pada salah satunya jalan yang jarang sekali di lalui. Dan itulah beda kita.
(Dia meletakkan kembali kertas itu di mejanya)

Itu tadi “Jalan yang Tak Ditempuh”, Puisi Robert Frost. Guru Bahasa Indonesia kami yang memberikannya pada
saya sebelum ia berhenti mengajar karena ia hanya mengantongi ijazah D-3. Sementara semua guru di sekolah
kami harus bergelar minimal S-1. Dia bilang; “Viribus, pilihah jalanmu sendiri, meski itu tak banyak dilalui
orang lain. Selama ia membuatmu merasa terpaut dengan kuat pada hidupmu, tempuhlah. Dan setiap hari kau
harus bilang pada dirimu sendiri: Raihlah hari ini.”

Tapi Guru yang selalu mengerti bagaimana membuat murid-muridnya berani melihat ke dalam dirinya sendiri
itu, sudah tersingkir karena selembar ijazah. Untunglah dia punya keterampilan lain; membuka bengkel sepeda.
Dari dia saya mendapat banyak buku-buku yang membuat jiwa saya selalu lapar pada hikmah; pada sesuatu
yang bisa membuat pikiran saya terus menerus terjaga.

Dia pula yang membuat saya percaya dan tidak takut melakoni hidup. Lihat! Saya sanggup dan mungkin saya
akan berhasil!

III
PEREMPUAN/LELAKI YANG BARUSAN BICARA BERALIH KE PANGGUNG SEBELAH KIRI DAN
DENGAN CEPAT MENGUBAH PENAMPILANNYA MENJADI LEBIH DEWASA. IA TAMPAK CAPEK
DAN KECEWA.

Akan? Mungkin? Pemilihan tensis yang salah! Lihat, ini bukan lagi future tense, ini sudah present continous
tense. Kamu sudah gagal. Lihat saya; ga-gal! Kalau saja dulu kamu tidak “sok puitis”, tidak nyecer guru Bahasa
Indonesiamu untuk menjelaskan makna puisi itu, tentu kamu tidak akan keracunan ilham seperti itu. Kalau saja
kamu tetap melanjutkan kuliahmu dan membiarkan Bapak menjual sepetak sawahnya untuk biaya
pendidikanmu, tentu saya sudah jadi sarjana dan bisa dapat pekerjaan lebih bagus. Tapi kamu malah bertingkah
bak filosof Yunani Antik, kamu bilang: “Sawah tak boleh dijual, itu bukan Cuma sumber penghasilan, itu
sumber nilai dan hidup Bapak, itu cara Bapak menjalani hidup, menunjukkan Bhakti pada Tuhan dan kehidupan.
Kalau semua petani berpikir menjual sawahnya demi biaya pendidikan anak-anaknya, bangsa ini akan
kehilangan besar!” Halah....Gayamu...selangit!

Kamu menyedihkan! Menyangka dirimu telah memilih hal yang benar karena mengikuti dorongan dari dalam
jiwamu, padahal akibatnya bisa kau lihat sendiri pada saya sekarang. Kamu menyedihkan! Kamu hanya seorang
yang ingin eksentrik, beda, unik, dianggap berpikiran bebas dan mampu mandiri, sementara diam-diam kamu
abaikan dirimu sendiri. You have no self respect. That is You!

HENING. MUSIK MENGALUN LIRIH.

IV
PEREMPUAN ITU BERALIH KE PANGGUNG TENGAH. USIANYA SEKARANG SUDAH MENJELANG
50 TAHUN. DUDUK DAN MENULIS PADA LAPTOPNYA. BEBERAPA DETIK KEMUDIAN BANGKIT
SERAYA MELEPAS KACAMATANYA. BERBICARA PADA AUDIENCE.

Saya susah sekali mendamaikan keduanya. Mereka terus menerus bertengkar. Padahal cerita ini harus saya
bereskan besok. Pihak penerbit sudah memberi dead-line. Mereka tahu, seluruh anak-anak remaja di negeri ini
membutuhkan bahan cerita yang bisa mengilhami sebuah perubahan besar dalam hidup mereka. Sebenarnya,
sejak 10 tahun terakhir saya agak kewalahan meladeni banyaknya permintaan dari penerbit juga para produser
film yang tertarik pada masalah-masalah remaja. Mereka butuh sesuatu yang lebih punya bobot dan
menginspirasi.
Itu adalah kekuatan untuk bersaing! Saya hampir kehabisan ide, makanya saya ambil dari kisah hidup saya
sendiri. Tapi malam ini saya sudah lumayan capek. Saya akan sangat menghargai kalau Anda semua berkenan
memberi ide bagaimana mengakhiri konflik antara dua tokoh dalam cerita saya ini. Supaya tidak berlarut-larut
dan saya bisa segera istirahat. (Melihat jam) Tapi, tunggu dulu.....sebelum
Anda semua memberi pendapat, saya mohon diri sebentar ke dalam. Anak saya yang paling kecil akan segera
tidur, dan saya harus membacakan dongeng untuknya. Permisi. (Baru beberapa langkah meninggalkan
panggung, Ia kembali lagi). Ssssttt...
Tolong jangan terlalu ribut. Nanti mereka berdua muncul lagi dan bertengkar lagi....

Ok? Permisi.

Bandar Lampung 14 Januari 2018

TANGAN KECIL AINI


(Monolog)
Karya: Tya Setiawati

SEBUAH RUANG TAMU. TERDAPAT MEJA, DUA BUAH KURSI KAYU,


JENDELA DITUTUP TIRAI, TAMPAK TUMPUKAN KARTON, KORAN DAN
BOTOL BEKAS DI SUDUT RUANGAN.
(Membanting pintu) Aku tidak mau melakukannya lagi, aku tidak mau!
(Melempar botol bekas yang dibawanya) Aku malu, malu dengan teman-teman di
Sekolah! Semua menjauhi sengaja menghindar, menganggap aku tak pantas
bergaul dengan mereka, aku dianggap berbeda tak sekeren mereka. Baju dan
sepatu yang kupakai tak sebagus gadis -gadis penggemar Blackpink itu !
Semula aku menanggapinya acuh tak acuh tapi lama-lama… (Menangis) Lingga,
Kiki, Eza, tiba-tiba menghilang dari peredaran, mereka tak mau bersahabat
denganku lagi (Aini melempar gelang yang dipakainya) Apa arti gelang
persahabatan ini? Tak berguna!

(Terdengar panggilan lirih dari arah kamar) Ainii… (Menyeka air matanya) “Ya mak,
sebentar, obat yang emak pesan sudah Ai beli di warung“ (Menuangkan segelas air
bergegas masuk ke kamar)

(Berbicara ke penonton) Emak sedang sakit, sudah hampir sebulan, Aku belum
sanggup membawanya ke dokter, kata orang biaya berobat ke dokter mahal, Apa?
BPJS? darimana kami membayar cicilan setiap bulannya? bu Siti yang kerja di
puskesmas pernah bilang iuran BPJS yang menunggak atau tidak dibayar,
terancam terkena denda. Ya sudahlah, orang susah dilarang sakit.
(Terdiam beberapa saat) Itulah mengapa, sudah sebulan ini aku menggantikan
pekerjaan emak berburu karton, koran dan botol bekas ke warung-warung dan toko.

Sering aku memungut barang bekas yang sengaja dibuang sembarangan. Aku tak
habis pikir, kenapa orang-orang membuang sampah sembarangan. Tidakkah
mereka tahu bahwa tindakan mereka itu akan merusak bumi yang kita tinggali ini.
Sementara tong sampah dibiarkan kosong tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sejak bapak meninggal lima tahun lalu, emaklah yang mencari nafkah untuk
menyambung hidup. Sempat menjadi buruh cuci dengan upah seikhlasnya, tapi
upah emak yang kecil tak sebanding dengan resiko yang dihadapinya. Kalau ada
pakaian yang luntur atau rusak, emak harus menggantinya dua kali lipat. Lambat
laun tenaga emak semakin berkurang, tak kuat lagi mencuci. Kemudian emak
memilih menjadi pemulung, dalam sehari emak mampu mengumpulkan sampah
sepuluh sampai lima belas kilogram. Tak banyak uang yang dibawanya ke rumah,
sampah yang terkumpul dijual dengan harga tiga ribu rupiah per kilogramnya.
Cukuplah untuk membeli beras, lauk pauk dan sedikit jajan untukku. Hujan terik
matahari tak pernah menyurutkan semangatnya, dengan segala keterbatasan emak
berusaha memenuhi kebutuhan sekolahku. Emak ingin sekali aku jadi guru, menjadi
guru adalah cita-cita emak dulu. “Ai, bagaimana pun pedihnya hidup, ingatlah kamu
masih punya Tuhan, jangan menyerah menggapai cita-cita” begitu pesan emak.
(Terdiam sesaat) Saat ini emak sakit keras,..

(Merapihkan barang bekas yang dibawanya) barang-barang ini telah meyelamatkan


hidup kami. Pepatah bilang sampah satu orang adalah harta bagi orang lain.
Dengan sampah-sampah ini, aku masih bisa makan, sekolah, bahkan jika ada uang
lebih bisa beli pulsa internet. (Mendekati jendela) Lihatlah langit biru Aini, ke sanalah
matamu harus memandang. Apa yang kamu lakukan, akan menjadi cahaya bagi
orang disekitarmu. Berapa ton sampah yang telah kau dan emak selamatkan. Jika
tidak, sampah-sampah ini akan menguburmu !

(Teringat sesuatu) Aini mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya “kalian pasti
bertanya, kenapa aku bisa memiliki handphone Android ini, iya kan? kalian pasti
curiga, karena aku anak pemulung? Baiklah, aku akan sedikit bercerita, dalam
rangka memperingati acara 17 Agustusan tahun lalu, pak Lurah memintaku
mengumpulkan teman-teman untuk mengikuti lomba gerak jalan. Aku ditunjuk jadi
kepala regu, meskipun awalnya ragu, kami berlatih sangat keras, dan akhirnya regu

kami menang. Sambil memegang kumisnya pak Lurah bilang begini “ Aini, kamu
hebat, jempol untuk kamu, tunggu bonus dari bapak ya he, he he “ nah, jelaskan,
asal-usul handphone ini, handphone ini pemberian pak Lurah sebagai bonus. Tuhan
memang maha adil, disaat dibutuhkan, disaat itu pula Tuhan memberikan jalan.
Kalian masih belum percaya? akan kutunjukkan bagaimana aku menjadi kepala
regu (Memperagakan aba-aba dan gerakan baris berbaris) “Majuuuu Jalan,..Kiri,
Kiri, kiri…, Hormat grakk ! Balik kanan majuuu jalan ! kiri-kanan kiri kanan…. kalian
sudah percaya,?

(Teringat sesuatu) eh,.. (Membuka Google) Sampah, sampah, sam-pah…sampah


plastik menyebabkan pencemaran tanah karena sifatnya yang sulit ter..de..kom
posisi, Plastik membutuhkan waktu 10 sampai 20 tahun untuk dapat terurai secara
alami. Saat ini Indonesia masih menghadapi krisis sampah plastik. Konsumsi
penduduk setiap tahunnya terus meningkat tetapi kesadaran untuk mengolah
sampah plastik tidak ikut meningkat.

Tiba-tiba suasana berubah mencekam, Aini terjebak dalam tumpukan plastik


dan barang bekas lainnya. Pukulan besi, kaleng bersahutan memekak telinga.
Aini berusaha keluar meronta namun plastik semakin membenamkannya.
“Dimana ini?!, aaa,..panas sekali , langit pekat, pohon-pohon mati, air, dimana air ?
haus, haus (Seolah-olah menemukan sumber air) kotor dan bau !! (Berjalan
terhuyung-huyung) lihat, kedua mata orang-orang itu memerah, kulitnya
mengelupas “jangan, jangan mendekat. Pergi, pergi,...! berlari ke arah berlawanan
kenapa rambut rontok begini, , kulit aaaaa ! kulit Ai melepuh ughh,..kerongkongan,
, tak bisa bernafas (Terbatuk) tolong, toloong, tolooooonggg !! Aini terbenam
dalam sampah plastik yang terus berhamburan.

Suasana kembali semula. Apakah ini firasat; tangan kecil ini harus berbuat
sesuatu? (Menyusun barang bekas di atas meja. Menatap lama, kemudian
berpindah posisi dan menatapnya kembali) Apa yang bisa kulakukan dengan
barang-barang ini? Hmmm,..

(Berbicara ke penonton) Aku pernah mengunjungi pameran kerajinan daur ulang,


di pintu masuk terpajang spanduk bertuliskan (Berusaha keras mengingat) “Jika tidak dapat mengurangi, maka
gunakan kembali, perbaiki, bangun kembali,
perbaharui, haluskan kembali, jual kembali, dan daur ulang “Aku masih mengingat
tulisan itu. Jujur saja, saat itu aku belum tertarik mengolah sampah, dalam pikiranku
sampah adalah sesuatu yang kotor dan menjijikan. Dan menurutku hasil daur
ulangnya biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa.

Sekali waktu aku diajak ibu guru mengikuti workshop. Disana diajarkan bagaimana
cara mengolah barang-barang yang sudah tak bernilai menjadi bermanfaat, seperti:
vas bunga dari koran bekas, tas plastik kemasan kopi, bunga dari sedotan dan
lampu hias dari botol bekas. Selain bermanfaat, barang-barang itu bisa dijual
dengan harga yang pantas. Hmm,.. lalu, mengapa aku harus minder dan malu ?
sibuk berimajinasi dengan penilaian orang lain. (Lampu Padam)

MUSIK
Membereskan ruang tamu. Cuaca sedang cerah, aku begitu bersemangat
merealisasikan rencana-rencana. La,..la,..tra la la la,.... oh ya, tanggal berapa
sekarang ? (Melingkari angka kalender) tu-juh be-las. Emak mengijinkan ruang
tamu ini digunakan sebagai galeri sekaligus tempat pelatihan. Hasil daur ulang
sampah akan terpajang rapih disini. Tunggu dulu, mmm..bagaimana kalau meja ini
diletakan di sudut sebelah kanan? Nah begini, bagaimana menurut kalian? Cocok?
Bilang saja kalau tidak cocok, kalau begitu geser sedikit. Aku akan mengajak
tetangga, teman sekampung untuk bergabung mendaur ulang sampah-sampah ini
(Terdengar ketukan pintu) siapa? Sebentar,... “Oh, terima kasih pak, sampah ini
saya terima dengan senang hati, jauh-jauh bapak mengantarnya kemari, semoga
warung bapak semakin laris ya pak “.

Sejak saat itu, aku tak perlu memungut barang bekas ke toko atau warung lagi,
mereka dengan senang hati mengantarnya ke rumah. Semua orang di lingkungan
ini akhirnya memiliki kesadaran memilah sampah dari rumah, ini kemajuan berarti.
Melalui postingan di media sosial, aktivitas daur ulang bisa ditonton lebih banyak
orang, semoga saja, hal sederhana yang aku lakukan, bisa menginspirasi teman-
teman sebayaku (Menghela nafas) Tapi…handphone ini harus dijual, untuk biaya
berobat emak. Emak harus segera dibawa ke dokter, obat yang aku beli di warung
sudah tak mampu mengobati. Emak harus sembuh dari sakitnya. Aini,..Ainii (Suara
panggilan serempak dari luar) “Kalian sudah datang, ayo silahkan masuk teman-
teman, kita pisahkan dahulu barang-barang ini, botol-botol sebelah sini, kardus
sebelah sana, koran bekas di sudut sana, yang lain-lainnya kita kumpulkan disini.
Ini contoh barang yang akan kita buat, vas bunga ini terbuat dari lintingan Koran
bekas, cukup mudah membuatnya.

(Terdengar dering handphone) “Hallo, ya, betul saya Aini, oh iya pak , eu, eu betul
pak, saya dan teman-teman yang mendaur ulang sampah-sampah ini, kapan jadwal
pamerannya pak? (Bingung) oh,eu.. baik pak, akan saya usahakan, boleh pak,
silahkan mampir ke rumah untuk melihat-lihat, baik, baik pak..terima kasih” (Seolah
tak percaya) Teman-teman, kita mendapat undangan pameran bulan depan, Yes!
(antusias) kerajinan daur ulang kita akan dipajang bersama karya pengrajin daur
ulang lainnya. tapi,.. bagaimana kalau produk kita lebih jelek dari mereka? mereka
akan menertawakan, menganggap tak professional. Aduuuh,..bagaimana ini,
apakah tawaran ini harus ditolak? Tidak, tidak,..kita harus optimis, percaya diri dan
yakin !

(Meyakinkan diri) Aini,. ini kesempatan baik. Ayo, lebih giat lagi, lebih kreatif lagi.
(Bersemangat) Sesuaikan dengan gambarnya ya, barang yang sudah jadi simpan
di sudut kiri, hati-hati jangan sampai terjatuh, sebentar kita foto dulu, coba dari sudut
sebelah sini. Mari kita selesaikan yang lainnya, mengguntingnya jangan terlampau
pendek, nanti sulit menyambungkan, coba lihat, pinggirnya harus terlihat rapih....

(Lampu Padam)
Aku baru saja mengantar emak pergi ke dokter, penyakit emak sebenarnya
membutuhkan penanganan khusus, tapi emak bersikeras ingin pulang. Dokter tak
begitu jelas menerangkan apa penyakitnya, dia hanya memberikan instruksi berapa
kali emak harus minum obat dalam sehari, akupun tak sempat bertanya lebih jauh.
Tatapan emak mengisyaratkan supaya cepat membawanya keluar. Di perjalanan
pulang, emak sempat berbisik “Ai kamu pahlawan emak“ mataku berkaca-kaca,
akupun membalas ucapannya ”Ai bangga sama emak karena pahlawan
sesungguhnya adalah emak”

Oh ya, Lingga, Kiki dan Eza hari ini berjanji datang ke rumah, mereka akan
Menyumbangkan botol plastik bekas yang telah dikumpulkannya. Mereka juga akan
Membantu mempublikasikan kerajinan tangan daur ulang ini, ternyata mereka tidak
Benar-benar meninggalkan aku (Mengelus gelang persahabatan yang dipakainya)
Ling, Ki, Za,.....we are best Friends dech, forever...
Tuhan, terima kasih telah mengembalikan hari-hari baik padaku.
(Terdengar suara keras) Maak,……. !! (Terdengar bunyi sirine Ambulance)

Monolog selesai.

Padang Panjang, Maret 2023

Tolong
Karya : N. Riantiarno

(SEKETIKA TERGERAGAP, BANGUN, MENGEJAR KE JENDELA, BERTERIAK)


Tolong! Siapa saja di situ, tolong! Saya di sini! Tolong! Ada manusia di sini. Perempuan. Saya.
Tolong! Jangan pergi! Berhenti! Datanglah, datang! Lekas! Saya di sini. Saya butuh pertolongan.
Berhenti! Dengar teriakan saya! Dan datang ke mari! Jangan pergi … tolong .. jangan pergi ..
tolong ..
(LEMAS. TERKULAI. KATA-KATA TERAKHIRNYA NYARIS TAK TERDENGAR)
Tidak ada yang sudi menolong saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Sudah berapa lama saya disini? Tidak tahu. Sudah berapa lama saya disiksa, macam binatang?
Saya juga tidak tahu. Apa saya binatang?
Empat dinding ini, hanya satu jendela berjeruji besi jauh di atas sana. Tembok yang tebal. Tidak
ada perabotan. Hanya tikar dan bantal. Tidak ada selimut. Saya tahu, tidak mungkin lolos dari
penjara ini jika tidak ada yang sudi menolong. Mustahil saya selamat, jika tidak ada mukjijat.
(SEAKAN MELIHAT BAYANGAN DI DEPANNYA)
Mudasir? Kamu Mudasir? Bagaimana caranya kamu masuk kamar ini? Mudasir? Kenapa? Tidak
kenal saya lagi? Saya Atikah. Isterimu. Dulu, kamu mengantar saya ke Jakarta. Kita berpisahan di
Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kamu cerita di surat, sehabis mengantar saya kamu
langsung pulang ke kampung mengurus sawah. Sampai setahun lebih kita saling berkirim surat.
Sesudah musibah datang, surat-suratmu tidak datang lagi.
Jangan pergi, Mudasir. Jangan tinggalkan saya. Apa saya sudah tidak punya daya tarik lagi? Kamu
dulu sering bilang saya cantik. Saya memang cantik. Kecantikan yang alami, tanpa gincu dan
bedak. Kamu suka saya apa adanya. Kamu sering bilang begitu. Ini saya, Atikah. Saya tahu,
penyiksaan ini bikin saya tidak secantik dulu lagi. Kalau ada cermin di kamar ini, mungkin saya
bisa segera tahu. Wajah saya bisa saja sudah seperti gombal busuk. Bacin dan tidak layak
dipandang-pandang. Bikin jijik ya?
Tapi, Mudasir, kamu menikahi saya lahir batin ‘kan? Kamu bukan hanya menikahi wajah saya?
Kalau memang benar kamu di sini, tolong saya. Keluarkan saya dari sekapan ini. Lalu kita pulang
kampung bersama-sama. Tidak perlu melapor kepada Police Raja Diraja, tidak guna melapor
kepada Menteri Tenaga Kerja. Kita warga negara Indonesia, bukan warga negara Philipina.
Beruntunglah mereka yang berasal dari Philipina. Bahkan presiden mereka pun peduli kepada
nasib para tenaga kerjanya, terutama yang bekerja di manca negara. Kita? Kalau banyak uang,
diperas sampai habis tulang sumsum. Tapi kalau ada musibah, pura-pura tidak tahu, diabaikan.
Mudasir, itu kenyataan. Kita binatang penghasil devisa negara. Sebutan pahlawan hanya slogan.
Bukan kenyataan. Cuma khayalan para birokrat yang baru menduduki kursi jabatan. Agar
kelihatan bekerja di mata atasan, dan disebut punya kesetiakawanan yang kuat terhadap warganegara.
Sudahlah, Mudasir, bicara tentang kekacauan penanganan terhadap para TKW seperti saya, selalu
bikin dada seketika sesak. Lebih sesak lagi dada kita, karena kenyataan yang terang benderang itu
tidak pernah diakui sebagai kenyataan. Mengapa? Karena mereka malas menanganinya. Tidak sudi
tangan kotor dan enerji dihamburkan. Ya. Karena tidak ada uang komisi yang berlimpah dalam
setiap kasus yang menimpa para TKW. Lagipula perlu kemampuan diplomasi agar pejabat-pejabat
kita dihargai oleh orang asing. Kenyataannya, para pejabat kita lebih sering jadi bahan tertawaan
diplomat-diplomat asing. Karena dianggap malas dan bodoh, tapi sok pintar. Problem bahasa pun
jadi hambatan. Mana bisa memenangkan perkara jika pembahasan dilakukan dengan bahasa
tarsan? Sebelum maju pun sudah kalah lebih dulu. Akibatnya, kita yang selalu menjadi korban.
Dikorbankan.
Mudasir, ke marilah, mendekat, agar kita bisa saling menyentuh. Mengapa tetap berdiri di sudut
itu? Di situlah tempat saya buang air besar dan kecil. Di ruang ini tidak ada kamar mandi dan wc.
Ini hanya sebuah kamar, entah tadinya dipakai untuk kamar siapa. Dan mengapa saya sampai
disekap di kamar ini, tidak bisa saya tulis di surat. Mana mungkin berkirim surat? Saya tidak punya
kertas, pulpen, amplop, prangko. Di sini tidak ada apa-apa. Terang kalau siang karena matahari,
dan malamnya gelap pekat karena tidak ada lampu. Saya tersiksa, Mudasir. Tersiksa. Mengapa
tidak menolong?
Lihat, bekas-bekas luka di sekujur badan? Sebelum dijebloskan ke dalam kamar ini, saya dipukuli.
Semua anggota keluarga majikan ikut memukuli. Pipi, dahi, kepala, punggung, dada, perut, paha,
dan semua anggota tubuh saya, jadi bulan-bulanan mereka. Mereka memukuli saya dengan tangan,
kepalan, kaki, tongkat besi, setrikaan. Saya tidak berdaya, seperti bola disepak ke sana ke mari
tanpa bisa membela diri.
Saya berteriak, menangis, bertanya, apa salah saya? Jawabannya hanya geraman dan teriakan pula.
Lalu pukulan lagi, bertubi-tubi. Apa salah saya, teriak saya? ‘Kamu Indon bangsat, bajingan,
pencuri, maling, tidak tahu diri!’ Hanya teriakan itu yang saya dengar. Kata-kata yang diteriakkan
berulang kali. Saya Indon. Bangsat. Bajingan. Pencuri, Maling. Tidak tahu diri. Apa salah saya?
Demi Tuhan, saya samasekali tidak pernah mencuri. Saya bukan maling. Tapi tidak ada sidang
pengadilan yang tidak memihak, supaya bisa diperoleh pembuktian, saya bukan seperti yang
mereka tuduhkan. Yang ada hanya ruang ini. Penjara ini. Sesudah dipukuli, kepala saya ditutupi
karung, lalu saya diseret. Sebelum pintu dikunci, karung mereka buka dan ternyata, saya di sini.
Dalam kamar ini. Sampai sekarang.
Sudah berapa lama saya di sini? Lihat! Luka-luka di sekujur tubuh saya sudah mulai mengering.
Bisajadi sudah lebih dari sebulan. Bagaimana saya bisa bertahan? Mereka kasih saya makan satu
kali sehari. Minuman di termos plastik yang bocor. Saya makan minum dengan piring dan gelas
yang kotor.
Mudasir, kamu tidak akan bisa membayangkan perlakuan apa yang sudah saya terima selama ini.
Saya memang lebih pantas disebut anjing. Saya dianggap bukan manusia lagi. Kekuatan hukum
nampaknya tidak berdaya dalam hal ini, sebab aparatnya lebih sering pilih kasih. Mana mungkin
mereka membela saya yang anjing, Indon lagi. Saya, yang datang hanya untuk merampok uang
mereka. Tentu mereka akan lebih percaya kepada sesamanya, yang sebangsa. Dan kaya. Bukan
kepada anjing seperti saya.
Tapi, Mudasir, demi Tuhan, saya bekerja. Saya memperoleh upah karena saya bekerja. Saya bukan
pemalas. Saya bangun sebelum subuh. Membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mengelap
perabotan. Saya mencuci, menyeterika, memasak, mengurus taman. Saya sendirian di rumah
sebesar ini. Pekerjaan baru selesai sekitar pukul sembilan malam. Itu pun, tidak selalu begitu. Jika
ada tamu, saya harus melayaninya. Kadang saya memasak tengah malam, itu jika para tamu
berminat makan malam.
Tidak apa. Semua saya lakoni dengan gembira dan ikhlas. Saya tahu diri. Sebagai pelayan, yang
datang dari tanah sebrang, saya tidak berani menuntut macam-macam. Yang harus saya lakukan
adalah bekerja dengan rajin. Tidak mengeluh. Semua kondisi saya terima. Setahun saya terima
gaji. Dan kamu tahu sendiri, Mudasir, sebagian saya tabung, sebagian saya kirim ke kampung. Di
dalam surat kamu menulis, sudah menerima kiriman ringgit saya. Kamu juga menabung. Kontrak
kerja saya lima tahun. Saya bertekad, di ujung tahun ke lima, saya pulang bawa ringgit sebanyak
mungkin agar kita bisa membeli beberapa petak sawah, untuk modal hidup di masa depan.
Pada bulan ketigabelas, suatu malam, majikan lelaki mendatangi saya. Nampak mabuk dia. Waktu
itu, sekitar pukul sebelas. Nyonya majikan dan anak-anaknya menginap di rumah famili di luar
kota. Jadi, di rumah sebesar ini, hanya ada kami berdua. Dia masuk kamar, menutup pintu, duduk
di pinggir ranjang dan menatap saya dengan diam. Buru-buru saya duduk di kepala ranjang, balas
menatap dia dengan mata heran. Saya sampai tidak sempat bertanya, lebih tepatnya tidak berani
karena terperanjat. Ya, saya tidak sempat menanya apa maksudnya masuk kamar saya. Tapi
sebagai perempuan, naluri saya bilang, ada sesuatu yang tengah menggoda majikan saya itu. Dan
saya mulai ketakutan. Keringat dingin mengucur deras.
Kemudian dia berbaring. Dan dengan isyarat tangan, menyuruh saya berbaring di sampingnya.
Saya menggelengkan kepala, tubuh gemetaran. Dia melotot dan kembali memberi isyarat dengan
tangan agar saya segera berbaring di sampingnya. Saya tetap menggeleng, dan duduk meringkuk
di sudut dengan waspada. Dia bangkit. Saya pikir dia berniat menerkam saya. Saya sudah siaga.
Saya siap memukul jika hal itu dia lakukan. Tapi, untunglah, hal itu tidak terjadi. Dia bangkit,
berdiri, menatap saya dengan mata menyala, lalu berjalan menuju pintu, membuka pintu,
menutupnya lagi dengan keras. Terdengar langkahnya semakin menjauh.
Saya menghela nafas panjang dan menangis. Saya bersyukur kepada Tuhan karena malam itu tidak
terjadi apa-apa atas diri saya. Ya, saya selamat dari perkosaan majikan. Saya mengunci pintu dan
menangis sampai subuh.
Ah, Mudasir, saya baru sadar, barangkali, itulah satu-satunya kesalahan saya: menolak hajat
majikan. Itu makanya saya ditendangi, dipukuli dan disiksa macam begini. Siksaan memang tidak
segera saya alami. Maksud saya, sampai bulan kelimabelas, keadaan masih berjalan normal. Tapi,
di bulan ke enambelas, majikan lelaki saya mulai mengeluh kehilangan uang. Dan siapa lagi yang
bisa dituduh kalau bukan saya? Pelayan yang miskin, Indon lagi, setara anjing. Pukulan-pukulan
dan tamparan mulai saya terima dari nyonya majikan. Kadang dari anak lelaki mereka. Saya diam
saja, dan tentu tidak sudi mengaku sebagai pencuri. Jelas. Saya tidak mencuri. Saya rajin
sembahyang. Saya selalu ingat surga dan neraka. Saya takut hukuman akhirat. Dan saya sangat
percaya kepada hukum sebab-akibat .
Pada bulan keenambelas itulah, nasib masa depan saya ditentukan. Anak lelaki majikan mengaku
kehilangan uang, begitu juga anak perempuan mereka. Lalu majikan lelaki kembali mengeluh
hilang uang lagi. Kali ini jumlahnya banyak. Sayalah itu, kambing hitam yang harus menanggung
akibat. Ya. Saya dipukuli lagi. Bertubi-tubi. Dengan setrikaan panas, karena waktu itu saya sedang
menyeterika. Saya berteriak kesakitan. Dan di hari itu pulalah saya dihajar, diseret, lalu disekap di
kamar ini. Memang aneh. Ya, penyiksaan ini sungguh sangat tidak jelas konsepnya. Tapi
kenyataan. Penyiksaan ini memang jelas-jelas bukan impian. Saya mengalaminya.
Tapi ada apa sesungguhnya dengan majikan saya? Ada apa sesungguhnya dengan mereka, bangsa
yang sekarang ini banyak menampung para pekerja asal Indonesia? Dulu mereka betul-betul
saudara serumpun, senantiasa menjaga sopan santun, sangat menghormati dan banyak belajar dari
kita. Mereka pernah mengangkut banyak cendekiawan kita untuk mengajari mahasiswanya, tentu,
dengan iming-iming gaji yang sangat besar.
Dalam tempo pendek mereka menjadi bangsa yang kaya-raya. Jadi, tak perlu lagi belajar dari
Indonesia. Mereka jauh lebih maju. Lalu mereka mulai menanam modal, di mana-mana dan
menerima berbagai jenis modal asing pula. Puluhan ribu pekerja dari luar negri dibawa masuk,
karena memang dibutuhkan. Tapi, pekerjaan kasar bukan lagi bagian bangsa ini. Para imigranlah
yang mengerjakan. Bagian mereka, terutama, memikirkan bisnis dan kemajuan diplomasi
politiknya. Sambil, mencaploki kawasan negri tetangga, selangkah demi selangkah. Mereka berani
membuka kasino, dan hasil pajaknya yang besar dipakai untuk membangun negri. Semua tahu,
sebagian besar para penjudi datang dari Indonesia. Artinya, uang berjumlah besar mengalir dari
Indonesia, dan, untuk membangun negri jiran.
Sukses bertubi-tubi, bikin percaya diri mereka semakin besar. Lahir banyak orang pintar, diplomat
handal yang disegani barat. Tapi mereka sadar tidak memiliki kebudayaan dan kesenian asli.
Semua bersumber dari negri tetangganya, Indonesia. Maka, dengan uang, mereka mulai
mengangkut para seniman. Tugasnya mencipta kesenian baru agar bisa disebut asli asal dari tanah
mereka sendiri. Tak puas dengan itu, mereka nekad pula mencuri berbagai jenis kesenian, flora
dan fauna. Semuanya, dengan sangat yakin diaku sebagai milik mereka. Kini, mereka ibarat ‘orang
kaya baru’ yang yakin bisa membeli apa saja. Lintang pukang mereka membeli apa saja.
Jika saja perkaranya berhenti sampai masalah curi-mencuri jenis kesenian, mungkin saya tidak
akan sesengsara seperti sekarang. Tapi mentalitas ‘orang kaya baru’ itu sudah sedemikian
meracuni hampir setiap orang di negri ini. Mereka yakin bisa membeli apa saja. Mereka yakin,
dengan uang, mereka berhak menyiksa siapa saja. Para pekerja yang bekerja untuk mereka, lebih
sering dianggap sebagai budak yang layak disiksa jika dianggap telah melakukan kesalahan atau
tidak sudi menuruti hajat seronok mereka.
Mereka tak lagi takut kepada hukum. Bukankah uang mampu membungkam mulut hukum? Di
zaman modern seperti sekarang, mentalitas majikan yang berkuasa sepenuhnya atas para pekerja,
muncul lagi. Mereka mengibaratkan diri sebagai penguasa Romawi, pemilik ribuan budak. Dan
mereka merasa berhak untuk menyiksa atau membunuh semua budaknya itu.
Mudasir, mengapa diam saja? Kamu tidak percaya cerita saya? Demi Tuhan, saya bersumpah,
masih suci. Tidak ada lelaki lain yang berani menyentuh kehormatan saya. Dan jika itu terjadi,
saya bisa bunuh orang, atau bunuh diri. Itu tekad saya. Lelaki satu-satunya bagi saya adalah kamu.
Saya sesuci Dewi Sinta. Janganlah kamu jadi Rama yang meragukan kesucian Sinta. Saya tetap
setia dan sampai kapan pun akan saya pertahankan kesetiaan itu, meski dengan resiko berkorban
nyawa. Percayalah kepada saya, Mudasir.
Jangan pergi, jangan berpaling, jangan tinggalkan saya. Saya butuh kehadiranmu. Nyata atau
hanya khayalan, tidak penting lagi. Saya butuh kamu, biarpun kamu tidak nyata. Kamulah satu-
satunya harapan. Saya juga tahu, kamu marah karena dulu langsung saya tinggal pergi untuk
bekerja di negri ini, padahal kita menikah baru tiga bulan. Tapi, itulah rencana saya.
Mengumpulkan modal hidup, agar kita tidak sengsara. Saya berharap kamu sudi memahami. Tidak
mungkin di negri sendiri saya mampu menggaet penghasilan sebesar saya bekerja di negri ini.
Berapa gaji paling besar seorang Pembantu Rumah Tangga di Jakarta? Di negri ini, saya bisa
memperoleh limakali lipat dari gaji mereka. Dan itu sangat menggiurkan.
Ya, betul. Saya tahu, menggiurkan tapi dengan resiko yang sangat besar. Apalagi untuk perempuan
semuda saya. Saya, yang kamu sering bilang, cantik dan menarik. Saya tahu. Tapi saya sudah
menghitung semua resiko. Saya yakin bisa menahan setiap godaan. Sebesar apa pun godaan itu.
Ajaran agama jadi pegangan. Nasehat orangtua. Dan terutama, ikrar pernikahan kita. Banyak
tameng yang akan membentengi saya sehingga saya tidak jatuh ke dalam maksiat. Lakon saya
terjadi dalam dunia nyata, bukan dalam dunia maya, bukan di layar putih. Saya Atikah, dan saya
bukan bintang film.
Mudasir, bagaimana Mak dan Bapak? Mereka sehat-sehat? Encok Bapak sudah sembuh? Saya
pernah kirim uang, lumayan besar jumlahnya, bapak bisa berobat ke dokter dengan uang itu.
Membeli obat yang asli, bukan obat eceran di kios rokok. Asma Emak, masih sering kambuh?
Saya pernah kirim alat hisap, ingat? Alat itu sangat bermanfaat jika asmanya kambuh. Pakai!
Jangan ragu. Lagipula uang kiriman saya juga sangat cukup untuk membeli tablet-tablet pencegah
asma. Bukan tablet kodian yang dijual murah, tapi obat paten dari dokter. Saya yakin, pasti
asmanya sembuh.
(TERDENGAR LANGKAH ORANG)
Mudasir, kamu dengar? Ada langkah orang, menuju ke sini. Tunggu sebentar.
(TERIAK) Tolong. Siapa saja di situ, tolong. Saya di sini. Ada orang di sini. Perempuan. Saya.
Tolong. Jangan pergi. Berhenti. Tolong saya. Tolong. Jangan pergi! Dengar teriakan saya, dan
datanglah ke sini. Saya butuh pertolongan. Jangan pergi .. tolong .. tolong ..
(LANGKAH SEMAKIN MENJAUH DAN HILANG. SEPI SEJENAK)
Tidak ada yang sudi menolong saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Mudasir? Mudasir? Di mana kamu? Kamu juga pergi? Mudasir. Mudasir. Kamu juga pergi. Semua
pergi. Saya ditinggal sendiri. Mana mungkin saya bisa bertahan? Saya sudah habis. Tidak ada
siapa-siapa lagi, tidak ada harapan. Bahkan bayangan suami juga pergi, tega meninggalkan saya.
Dia tidak sudi menemani saya lagi. Dia meninggalkan saya, tanpa pesan
Saya rela mati. Kalau memang saya harus mati. Tapi saya wajib menceritakan dulu semua
peristiwa yang saya alami ini. Entah kepada siapa. Ya. Kepada siapa saja yang mau mendengar.
Saya akan ceritakan sampai rinci. Sampai hal-hal paling kecil. Yang salah harus menerima
hukuman. Saya tidak rela mati tanpa orang tahu, apa yang sebenarnya terjadi atas diri saya.
Kesalahan saya harus dijelaskan. Siksaan yang saya derita harus dijelaskan. Manusia dilahirkan
dengan derajat yang sama. Tidak ada manusia yang berhak menyiksa manusia lain. Nasib manusia
tidak bisa ditentukan oleh manusia lain. Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang berhak menentukannasib manusia.
Saya dianiaya tanpa sebab, tanpa penjelasan. Adilkah itu?
Tapi terus terang, saya lelah meminta tolong. Entah sudah berapa ratus kali saya berteriak meminta
tolong. Dan tidak ada yang datang untuk menolong. Apakah ada yang merasa kehilangan saya?
Sehari dua hari hilang, bisa dimaklumi. Tapi sebulan? Itu seharusnya sudah bisa membikin
masyarakat curiga. Bisa saja dianggap telah terjadi pembunuhan.
Pembunuhan. Apa yang saya alami bukan pembunuhan tubuh, tapi pembunuhan mental,
pembunuhan politik. Kita berkali-kali dianggap sebagai binatang, tidak punya wibawa. Mengapa?
Agar rasa percaya diri hilang. Dan kita dipaksa merasa hanya sebagai bangsa pelayan, bangsa
pembantu rumah tangga. Tak ada lagi kebanggaan, karena kita lebih miskin dan lebih kacau
dibanding negri jiran yang kaya raya itu. Kita berkali-kali dilecehkan tanpa sanggup membela diri.
Kita sering diabaikan. Jadi bahan tertawaan. Kita sering dihapus dari peta dunia, tapi kita tidak
pernah merasakannya. (BERTERIAK) Tolong! Tapi jangan tolong saya. Tolonglah kita semua.
Kita di pinggir jurang. Bangun! Tolong! Tolong! Jangan jadikan diri kita ongol-ongol!
CAHAYA PADAM
MONOLOG SELESAI

Monolog
DEMOKRASI
karya Putu Wijaya

(DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI ATAU PEREMPUAN)

SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT BERISI
TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP MENDENGAR,
IA BERBICARA LANGSUNG.
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai
pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi
tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.

Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat
pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti
demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi
mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.

MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!

TERDENGAR SERUAN WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT : DEMOKRASI!


Demokrasi!

SERUAN LEBIH HANGAT LAGI :


Demokrasi!

SERUAN GEGAP GEMPITA : DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT.


Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti
demokrasi.

MENIRUKAN SALAH SEORANG WARGANYA.


“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang
suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur.” Kata mereka.

Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya
tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya
tentang demokrasi disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang
dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya sendiri tidak
benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat
kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan
pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau,
agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan
bersama.

MENIRUKAN PETUGAS.
“Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi
pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama
kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi
pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali
empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan
kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata lima orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!

“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.


Kami semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang
rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Sepeti raja Nero saja.

“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung di
sebelah, “mereka semuanya adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua memerlukan
jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan
ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang hendak masuk ke
pekerjaan atau pulang lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektivitas kerja. Mikrolet dan
bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan
pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di sebelahnya, karena sudah
diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini
milik kami, bantah saya.

Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar
kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu,
ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka menggambarkannya
sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi,
betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak
menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewanti-wanti,
kalau tidak bisa dikatakan mengancam.

MENIRUKAN WARGA KAMPUNG SEBELAH.


Kalau saudara-saudara menghambat, menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak
sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.

NAMPAK MAKIN BINGUNG.


Berbuat yang tidak-tidak? Tidak-tidak apa? Kami terjepit di antara kepentingan orang
banyak. Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan, pelebaran jalan
itu sudah dilaksanakan.

TERDENGAR SUARA MESIN MENGERAM.


Tanpa minta ijin lagi, sebuah bulldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami.
Warga kami panik. Jangan! Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami sudah di sini.
Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar, tiap orang punya tegalan dan dua tiga rumah, tapi
semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu, ada yang sudah dijual. Tapi ini tanah warisan.

Bulldozer itu tidak peduli. Mereka terus juga menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau Bapak
ambil dua meter, rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami
dijadikan jalan. Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju! Diganti
berapa pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang.

Jangan Pak!

Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya
menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan.
Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan
bulldozer itu.

Ini tanah kami, akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi,
sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan perempuan
kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan bapak-bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.

SUARA MESIN BERHENTI. SENYAP..


Sopir yang menjalankan bulldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari kendaraan
dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan terjadi. Lama juga
mereka berunding. Beberapa anak main-main mendekati bulldozer itu dan memegang-
megangnya. Kendaraan itu kuat, baru, dan bagus. Beberapa ibu-ibu duduk di jalan meneteki
anak-anaknya. Saya sendiri mengambil keputusan kencing karena terlalu tegang.
Akhirnya mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik ke atas bulldozernya. Dia
tersenyum. Kami merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah salah. Mesin
dihidupkan kembali.

KEMBALI SUARA MENGERAM.


Kami menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh
orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami besorak, melihat
akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu bulldozer itu
menerjang kembali ke depan menggaruk tanah. Perempuan-perempuan itu menjerit.
Beberapa anak jatuh, salah seorang diantaranya kena garuk. Untung ada yang meloncat
naik dan menarik anak itu. Keadaan jadi kacau.

Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi
satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah
siap untuk memukul. Kami seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi, kami
melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk
bulldozer itu meloncat ke atas bulldozer, mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir bulldozer
itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk, langsung
membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlurumuran darah. Perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit, lalu
kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau meyerang, tapi kemudian
sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan
menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di antaranya
bajingan di Proyek Senen.

Kami terpaksa mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat.
Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.

MELETAKKAN PLAKAT. LALU MEMBUKA PAKAIANNYA, SALIN.


Saya bingung. Akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi pabrik tekstil,
majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik (kebaya dan jarik
kalau pemainnya perempuan) supaya kelihatan resmi dan sedikit dipandang.

MEMAKAI BATIK/JARIK.
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas
kelurahan, akhirnya saya diterima.

Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas tapi korban penggusuran. Tetapi
ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot bahwa
kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia
memanggil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti
orang stress.

MENIRUKAN DIREKTUR PABRIK TEKSTIL YANG DIALEKNYA RADA CADEL/ASING.


“Tuhan Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan
siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan
sudah diberi uang transport. Kalau mereka perlu jalan pintas, mungkin karena ingin
menyelamatkan uang transport itu. Itu di luar tanggung jawab perusahaan. Pembuatan jalan
itu bukan tanggung jawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon anda menyampaikan rasa
maaf saya kepada seluruh warga,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang dikatakannya. Ini sandiwara apa lagi.
Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau dikibulin mentah-mentah begitu. Saya tahu dia
hanya pura-pura. Mulutnya yang manis, tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa
mengelabui saya. Saya bisa mengendus apa yang disembunyikannya di balik topengnya itu.
Orang kaya raya begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tahu apa
sebenarnya yang terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artinya dua meter tanah buat
kami, meskipun bagi dia 200 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah bolak-
balik ke luar negeri itu masa tidak tahu, kami, paling sedikit saya ini tahu, bukannya para
karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan, tapi dia sendiri yang
memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja, kalau jalan sudah dibuat, uang
makan akan distop, karyawannya akan disuruh jalan kaki datang. Tai kucing, Rai gedek!
Sudah konglomerat begitu, menyelamatkan uang receh saja pakai menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku tahu! Kasih tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan nanti
kepada Jaksa Agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung saya! Biar
orang semacam ini ditindak. Asu! (MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM BAHASA
DAERAH)

DIA MENYABARKAN DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK


TERKENDALI.

Betul. Orang kecil seperti saya ini memang kelihatannya lemah dan gampang ditipu. Karena
kami sadar pada diri kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kebangetan
seperti ini, saya meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.

Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah.
Dia mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin marah, semakin halus bicaranya. Saya
diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.

Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu
atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk kami
saja.

Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang dua meter itu jangan
diganggu. Itu hak kami! Titik.

Di atas meja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah,
Sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak
saya kelas berapa. Ah, itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah curiga.
Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu membacok Asep,
karena Asep juga pernah memprotes pembungan limbah dari pabrik yang mengalir ke
selokan di depan rumah kami.

Saya bertekad, saya tidak akan pergi dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan
perampokan dua meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!

Akhirnya dia mengangguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci
mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segala-
galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.

Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkan kepada saya sebuah
amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernapas.

DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP. 250.000.000. DUA
RATUS LIMA PULUH JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA DI
DEPANNYA. IA GEMETAR.

Tebal, coklat, apalagi di tas amplop itu tertera 250.000.000. Dua ratus lima puluh juta. Ya
Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua ratus lima puluh
juta?

MENGHAMPIRI AMPLOP. MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA, RAGU-


RAGU, GEMBIRA, KEMUDIAN MEMEGANGNYA.

Dua ratus lima puluh juta. Dua ratus lima puluh kali hidup lagi juga saya tidak akan sanggup
mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya. Mengapa tiba-tiba
saya dihujani rizki sebanyak ini.

MEMELUK AMPLOP ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA KE


SANA KEMARI. KEMUDIAN MENGEKEPNYA. LALU MENARIKNYA KE BAWAH.
MEMELUKNYA. SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN DI ATAS KERTAS, IA
TERLENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL MENCIUM-CIUMNYA.
KEMUDIAN IA MASUK KE DALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-OREK
TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA
MENGGULUNG DIRINYA DENGAN AMPLOP UANG ITU.

Dua ratus lima puluh juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu.
Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah, kredit motor, jadi tukang ojek, bayar SPP. Saya
bisa kirim uang sama orang tua.

Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya bisa mengubah
nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuh ini seperti kecoa.

MENGANGIS KARENA GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI


KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAMPU
MELEPASKANNYA.

Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 250 juta itu.
Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran
tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil jalan
belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.
Saya kumpulkan keluarga saya dan menjelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu hidup
kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI
ATAS KEPALANYA.

Esok harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk
mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan
tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan dua meter
dari milik kita yang sedikit. Berat sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik
daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita
semua mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi
tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka
sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya
mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan dua meter untuk pembuatan
jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih baik.

Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya
pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Satu per
satu kemudian mereka pulang.

Hei tunggu dulu, saya belum selesai berbicara!

Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.

Tunggu! Tunggu!

Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi dia
tidak pergi karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia juga berdiri dan pergi
sambil ngedumel.

“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti
menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”

TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA
KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.

Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan
yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap
berdiri di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan
hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap mempertahankan
demokrasi, sampai titik darah penghabisan.

Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya? Daripada diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI
OLEH BANYAK AMPLOP LAINNYA YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN
TERTIMBUN OLEH AMPLOP.

LAMPU MEREDUP DAN PADAM.

Anda mungkin juga menyukai