Negriku
Karya : Mustofa Bisri
Dalam Doaku
Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang
Semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
Siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
Karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang diatas kepala,
IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang
Yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka
Dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak
Ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan
Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus
Terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri?
Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk
Pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia
Dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa
Minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa
Lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera,
Asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara
Akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga
Iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah,
Tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar
Satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau
Lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai
Mati!
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada
Ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang
Ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal
Berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun.
Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang
Itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya
Dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala
Dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak
Megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak
Menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa
Nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri
Teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas
Keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar
Dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi
Kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau
Narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku
Merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku.
Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan
Siang bersama ibu sebelum dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih
Itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap
Tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu
Pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega
Bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang
Bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya
Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya
Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang
Ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk
tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap
memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat
macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan
tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di
tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-
tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke
tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati
pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia
beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan
kebenaran.
DI SISI KANAN PANGGUNG ADALAH SEBUAH KAMAR SEDERHANA DENGAN MEJA DAN
BANGKU KAYU YANG SUDAH RAPUH, DI ATASNYA BERSERAK BEBERAPA BUKU. DI SUDUT
MEJA TERDAPAT SEBUAH VAS BUNGA DARI BAHAN TANAH LIAT DENGAN HIASAN BUNGA
ILALANG YANG MASIH SEGAR. DI SISI LAINNYA, TERDAPAT SEBUAH JENDELA YANG
MENGHADAP KE SEBENTANG SAWAH YANG TERLETAK DI SAMPING RUMAH.
DI SISI KIRI PANGGUNG ADALAH KAMAR DENGAN TATA RUANG YANG SAMA. DI ATAS MEJA
TERDAPAT SEBUAH MESIN TULIS TUA DAN VAS BUNGA DARI BAHAN GELAS DENGAN HIASAN
BUNGA ILALANG YANG SUDAH KERING, JUGA BEBERAPA TUMPUK BUKU FIKSI DAN JENIS
TULISAN LAINNYA YANG TAMPAK LEBIH TERAWAT. JENDELA KAMAR MENGHADAP KE ARAH
LANSKAP KOTA.
DI PANGGUNG BAGIAN TENGAH; SEBUAH MEJA DAN BANGKU, SETUMPUK BUKU, SEBUAH
LAPTOP.
I
KETIKA LAMPU MULAI MENYALA, DI PANGGUNG BAGIAN KIRI, TAMPAK SEORANG
PEREMPUAN USIA 30-AN, (BISA JUGA LAKI-LAKI) SEDANG MENULIS PADA MESIN TULIS
TUANYA.
Seharusnya kau ikuti nasihat mereka. Keras kepala. Apa akibatnya? Lihat ini! (menunjuk wajahnya sendiri)
Sampai jadi jelek begini masih pontang-panting. Kau sih, terlalu menuruti gelora jiwa mudamu yang menggebu-
gebu dan kurang pertimbangan. Penuh gairah memang, tapi tak logis. Coba kalau imajinasimu dulu tak
ngawang-ngawang, tak akan sesulit sekarang keadaanku. Apa? Salahku sendiri? Enak saja kau ngomong. Kamu
kan yang memilih semua ini?! Sok romantis! Sok beda dari yang lain! Terlalu percaya pada fiksi, pada puisi!
Gayamu seperti seniman kaliber dunia; “estetika-estetika....” Nih lihat (mendekat ke mejanya sambil menepuk
setumpuk kertas. Debu mengepul dari tumpukan kertas itu) Kamu sangka semua ini bisa membuatmu meraih
apa yang kau impikan?! (Kembali duduk di bangkunya).
HENING
Coba kalau kau dulu bersikap patuh seperti teman-teman sekelasmu. Berfikir dan bertindak sebagaimana anak-
anak yang waras pikirannya. Sekolah dengan baik. Hidup tertib. Menggembleng diri supaya menguasai keahlian
di bidang yang lebih bernilai guna dan bisa diandalkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.....
Inilah hasilnya, begadang setiap malam demi menumpahkan segala ide, imajinasi, getaran-getaran lembut dari
palung jiwa terdalam---semua yang tak bisa dienyahkan lagi, membayang-bayangi jiwamu sepanjang
hayat.....mengilhami, menginspirasi, membentuk watak, karakter, keseimbangan......halah (menarik kertas yang
masih terpasang pada rol mesin tulis).
LAMPU PADAM
II
LAMPU MENYALA DI PANGGUNG SEBELAH KANAN. PEREMPUAN/LELAKI YANG TADI
BERBICARA KINI TELAH MENGENAKAN SERAGAM SISWI/SISWA SLTA. DUDUK DI BANGKUNYA
MEMANDANG KE ARAH PENONTON.
Seperti anak-anak perempuan di kampung ini, saya juga tak tahu cerita istimewa apa yang pernah saya miliki
dan bisa saya banggakan—selain cerita yang lumrah dan tak akan mengilhami siapa pun. Tapi sejak Guru
Bahasa Indonesia kami menunjukkan sebuah puisi yang sangat indah, saya merasa seperti ada yang dituangkan
ke dalam kepala dan dada saya, membuat semuanya terasa berbeda. Saya seperti dibimbing oleh kekuatan dari
dalam diri saya dan tak bisa saya jelaskan. Saya tak pernah membenci pelajaran-pelajaran yang lain—tapi saya
jadi cinta banget dengan puisi, novel-novel hebat dari pengarang-pengarang di negeri ini maupun pengarang
dunia, musik, drama, lukisan, tari...semua keindahan dalam karya seniman yang tak habis saya kagumi. Tapi lalu
teman-teman di kelas menganggap saya “sok tua”, “tua sebelum waktunya”, “orang aneh”, “gak matching
dengan umur”, “sok berat”, “seniman anakan”..dan sejumlah “gelar khusus” lainnya saya peroleh. Teman-teman
tidak mengucilkan saya, mereka hanya senang mengolok-olok demi bisa tertawa lantang bersama-sama. Tapi
saya senang, setidaknya saya bisa membahagiakan mereka (Tersenyum kecut).
Apa? (menoleh ke arah panggung sebelah kiri). Aku mengacaukan hidupmu? Aku yang mengakibatkan nasib
yang selalu kau keluhkan itu? Hei Nona.....oh maaf, kau masih Nona atau sudah Nyonya? O..masih Nona. Hah?
Non-sens? What? Separuh Nona separuh Nyonya? What the hell.....Ok, apa pun statusmu, dengarkan saya:
Di usia seperti saya sekarang, setiap orang harus membuat pilihan penting bagi hidupnya. Dan saya
melakukannya: memilih! Saya tak mau hanya ikut-ikutan mereka yang menjalani hidup ini seolah-olah seperti
warisan. Tinggal mengulurkan tangan dan menerima apa saja yang diberikan; lalu menjalaninya, menjadi tua
dan mati. Saya tidak seperti itu. Kalau orang lain tak memilih apa yang saya pilih, itu hak mereka dan itu juga
sebuah pilihan. Tapi saya juga tak mau terus-terusan kau salahkan dengan pilihan saya ini: Saya ingin jadi
Pengarang: seniman! (Menggebrakkan tangannya di atas meja). That is my chooice....(Tersenyum) Jadi kau tak
bisa terus-terusan mendatangi saya dan meminta saya mengubah pilihan saya ini. Tiada guna keluhan.
Berhentilah merengek. Biarkan aku istirahat. Biarkan aku sempurna sebagai masa lalumu. Lihat dan terima
hidupmu yang sekarang dengan berani.
Polisi?Tentara?Pegawai Bank?Merintis Bisnis? Di luar profesi-profesi yang dianggap menjanjikan itu orang
akan dianggap gagal atau keliru? Apakah menjadi seorang anak remaja sama artinya memenuhi kepalamu
dengan; tempat nongkrong yang asyik, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pertemanan di medsos? Gonta-
ganti status fb supaya up-to date setiap hari? Sedang pe-de-ka-te dengan siapa? Berapa kali sudah ganti pacar
atau masih jomlo? Mengumpulkan daftar hal-hal yang menyebalkan dan menyenangkan untuk jadi obrolan di
hari libur sekolah? Selfie di semua tempat lalu meng-editnya supaya bisa dipajang jadi foto keren? Saya tidak
membenci semua itu! Saya hanya tidak rela kalau hanya itu isi batok kepala saya ini! Saya hanya ingin melihat
dan menjalani hidup saya dengan cara berbeda. Saya hanya tidak ingin hidup saya terlalu penuh dengan buih.
Saya hanya ingin selalu bergelora; digerakkan oleh tenaga yang amat kuat dan murni dari dalam diri saya; terus
menerus terilhami. Dan saya menemukannya dalam puisi, musik, sastra.... dalam seni. Apa itu salah?
Barangkali kalian juga mulai berpikir bahwa kata-kata saya ini, kalimat-kalimat yang saya ucapkan ini, bukan
berasal dari alam pikiran seorang anak SMA? Atau barangkali juga ada yang mulai berkata dalam benaknya,
“ah...bahasanya terlalu tinggi untuk remaja,” atau “ini sih Cuma naskah drama, aslinya nggak begitu..”. Tidak!
Ini memang saya. Semua ini keluar dari benak seorang remaja. Kalau banyak diantara kami hanya mengerti
bahasa yang gampangan, dan selalu kesulitan mencerna bahasa yang sedikit berbobot, itu karena memang yang
diberikan kepada kami terlalu banyak sampah. Beri kami kalimat-kalimat yang kuat, yang bisa menggedor jiwa
kami. Beri kami bahasa yang punya kedalaman dan tempa kami untuk bersusah payah mencernanya; maka kami
akan berbeda. Maka Anda tak perlu lagi menganggap aneh kalau ada seorang remaja seperti saya. (Menahan
tangisnya)
Sepertinya lebih menarik hati; rumputannya rapi seperti gampang dilalui bagi yang sudah pernah melewati
Mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi.
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
Tak ada jejak-jeka kaki, rerumputan tegak bestari
Oh, kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
Meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
Tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
Suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
Persimpangan seperti jalan bercabang dua
Di mana aku telah berjalan pada salah satunya jalan yang jarang sekali di lalui. Dan itulah beda kita.
(Dia meletakkan kembali kertas itu di mejanya)
Itu tadi “Jalan yang Tak Ditempuh”, Puisi Robert Frost. Guru Bahasa Indonesia kami yang memberikannya pada
saya sebelum ia berhenti mengajar karena ia hanya mengantongi ijazah D-3. Sementara semua guru di sekolah
kami harus bergelar minimal S-1. Dia bilang; “Viribus, pilihah jalanmu sendiri, meski itu tak banyak dilalui
orang lain. Selama ia membuatmu merasa terpaut dengan kuat pada hidupmu, tempuhlah. Dan setiap hari kau
harus bilang pada dirimu sendiri: Raihlah hari ini.”
Tapi Guru yang selalu mengerti bagaimana membuat murid-muridnya berani melihat ke dalam dirinya sendiri
itu, sudah tersingkir karena selembar ijazah. Untunglah dia punya keterampilan lain; membuka bengkel sepeda.
Dari dia saya mendapat banyak buku-buku yang membuat jiwa saya selalu lapar pada hikmah; pada sesuatu
yang bisa membuat pikiran saya terus menerus terjaga.
Dia pula yang membuat saya percaya dan tidak takut melakoni hidup. Lihat! Saya sanggup dan mungkin saya
akan berhasil!
III
PEREMPUAN/LELAKI YANG BARUSAN BICARA BERALIH KE PANGGUNG SEBELAH KIRI DAN
DENGAN CEPAT MENGUBAH PENAMPILANNYA MENJADI LEBIH DEWASA. IA TAMPAK CAPEK
DAN KECEWA.
Akan? Mungkin? Pemilihan tensis yang salah! Lihat, ini bukan lagi future tense, ini sudah present continous
tense. Kamu sudah gagal. Lihat saya; ga-gal! Kalau saja dulu kamu tidak “sok puitis”, tidak nyecer guru Bahasa
Indonesiamu untuk menjelaskan makna puisi itu, tentu kamu tidak akan keracunan ilham seperti itu. Kalau saja
kamu tetap melanjutkan kuliahmu dan membiarkan Bapak menjual sepetak sawahnya untuk biaya
pendidikanmu, tentu saya sudah jadi sarjana dan bisa dapat pekerjaan lebih bagus. Tapi kamu malah bertingkah
bak filosof Yunani Antik, kamu bilang: “Sawah tak boleh dijual, itu bukan Cuma sumber penghasilan, itu
sumber nilai dan hidup Bapak, itu cara Bapak menjalani hidup, menunjukkan Bhakti pada Tuhan dan kehidupan.
Kalau semua petani berpikir menjual sawahnya demi biaya pendidikan anak-anaknya, bangsa ini akan
kehilangan besar!” Halah....Gayamu...selangit!
Kamu menyedihkan! Menyangka dirimu telah memilih hal yang benar karena mengikuti dorongan dari dalam
jiwamu, padahal akibatnya bisa kau lihat sendiri pada saya sekarang. Kamu menyedihkan! Kamu hanya seorang
yang ingin eksentrik, beda, unik, dianggap berpikiran bebas dan mampu mandiri, sementara diam-diam kamu
abaikan dirimu sendiri. You have no self respect. That is You!
IV
PEREMPUAN ITU BERALIH KE PANGGUNG TENGAH. USIANYA SEKARANG SUDAH MENJELANG
50 TAHUN. DUDUK DAN MENULIS PADA LAPTOPNYA. BEBERAPA DETIK KEMUDIAN BANGKIT
SERAYA MELEPAS KACAMATANYA. BERBICARA PADA AUDIENCE.
Saya susah sekali mendamaikan keduanya. Mereka terus menerus bertengkar. Padahal cerita ini harus saya
bereskan besok. Pihak penerbit sudah memberi dead-line. Mereka tahu, seluruh anak-anak remaja di negeri ini
membutuhkan bahan cerita yang bisa mengilhami sebuah perubahan besar dalam hidup mereka. Sebenarnya,
sejak 10 tahun terakhir saya agak kewalahan meladeni banyaknya permintaan dari penerbit juga para produser
film yang tertarik pada masalah-masalah remaja. Mereka butuh sesuatu yang lebih punya bobot dan
menginspirasi.
Itu adalah kekuatan untuk bersaing! Saya hampir kehabisan ide, makanya saya ambil dari kisah hidup saya
sendiri. Tapi malam ini saya sudah lumayan capek. Saya akan sangat menghargai kalau Anda semua berkenan
memberi ide bagaimana mengakhiri konflik antara dua tokoh dalam cerita saya ini. Supaya tidak berlarut-larut
dan saya bisa segera istirahat. (Melihat jam) Tapi, tunggu dulu.....sebelum
Anda semua memberi pendapat, saya mohon diri sebentar ke dalam. Anak saya yang paling kecil akan segera
tidur, dan saya harus membacakan dongeng untuknya. Permisi. (Baru beberapa langkah meninggalkan
panggung, Ia kembali lagi). Ssssttt...
Tolong jangan terlalu ribut. Nanti mereka berdua muncul lagi dan bertengkar lagi....
Ok? Permisi.
(Terdengar panggilan lirih dari arah kamar) Ainii… (Menyeka air matanya) “Ya mak,
sebentar, obat yang emak pesan sudah Ai beli di warung“ (Menuangkan segelas air
bergegas masuk ke kamar)
(Berbicara ke penonton) Emak sedang sakit, sudah hampir sebulan, Aku belum
sanggup membawanya ke dokter, kata orang biaya berobat ke dokter mahal, Apa?
BPJS? darimana kami membayar cicilan setiap bulannya? bu Siti yang kerja di
puskesmas pernah bilang iuran BPJS yang menunggak atau tidak dibayar,
terancam terkena denda. Ya sudahlah, orang susah dilarang sakit.
(Terdiam beberapa saat) Itulah mengapa, sudah sebulan ini aku menggantikan
pekerjaan emak berburu karton, koran dan botol bekas ke warung-warung dan toko.
Sering aku memungut barang bekas yang sengaja dibuang sembarangan. Aku tak
habis pikir, kenapa orang-orang membuang sampah sembarangan. Tidakkah
mereka tahu bahwa tindakan mereka itu akan merusak bumi yang kita tinggali ini.
Sementara tong sampah dibiarkan kosong tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sejak bapak meninggal lima tahun lalu, emaklah yang mencari nafkah untuk
menyambung hidup. Sempat menjadi buruh cuci dengan upah seikhlasnya, tapi
upah emak yang kecil tak sebanding dengan resiko yang dihadapinya. Kalau ada
pakaian yang luntur atau rusak, emak harus menggantinya dua kali lipat. Lambat
laun tenaga emak semakin berkurang, tak kuat lagi mencuci. Kemudian emak
memilih menjadi pemulung, dalam sehari emak mampu mengumpulkan sampah
sepuluh sampai lima belas kilogram. Tak banyak uang yang dibawanya ke rumah,
sampah yang terkumpul dijual dengan harga tiga ribu rupiah per kilogramnya.
Cukuplah untuk membeli beras, lauk pauk dan sedikit jajan untukku. Hujan terik
matahari tak pernah menyurutkan semangatnya, dengan segala keterbatasan emak
berusaha memenuhi kebutuhan sekolahku. Emak ingin sekali aku jadi guru, menjadi
guru adalah cita-cita emak dulu. “Ai, bagaimana pun pedihnya hidup, ingatlah kamu
masih punya Tuhan, jangan menyerah menggapai cita-cita” begitu pesan emak.
(Terdiam sesaat) Saat ini emak sakit keras,..
(Teringat sesuatu) Aini mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya “kalian pasti
bertanya, kenapa aku bisa memiliki handphone Android ini, iya kan? kalian pasti
curiga, karena aku anak pemulung? Baiklah, aku akan sedikit bercerita, dalam
rangka memperingati acara 17 Agustusan tahun lalu, pak Lurah memintaku
mengumpulkan teman-teman untuk mengikuti lomba gerak jalan. Aku ditunjuk jadi
kepala regu, meskipun awalnya ragu, kami berlatih sangat keras, dan akhirnya regu
kami menang. Sambil memegang kumisnya pak Lurah bilang begini “ Aini, kamu
hebat, jempol untuk kamu, tunggu bonus dari bapak ya he, he he “ nah, jelaskan,
asal-usul handphone ini, handphone ini pemberian pak Lurah sebagai bonus. Tuhan
memang maha adil, disaat dibutuhkan, disaat itu pula Tuhan memberikan jalan.
Kalian masih belum percaya? akan kutunjukkan bagaimana aku menjadi kepala
regu (Memperagakan aba-aba dan gerakan baris berbaris) “Majuuuu Jalan,..Kiri,
Kiri, kiri…, Hormat grakk ! Balik kanan majuuu jalan ! kiri-kanan kiri kanan…. kalian
sudah percaya,?
Suasana kembali semula. Apakah ini firasat; tangan kecil ini harus berbuat
sesuatu? (Menyusun barang bekas di atas meja. Menatap lama, kemudian
berpindah posisi dan menatapnya kembali) Apa yang bisa kulakukan dengan
barang-barang ini? Hmmm,..
Sekali waktu aku diajak ibu guru mengikuti workshop. Disana diajarkan bagaimana
cara mengolah barang-barang yang sudah tak bernilai menjadi bermanfaat, seperti:
vas bunga dari koran bekas, tas plastik kemasan kopi, bunga dari sedotan dan
lampu hias dari botol bekas. Selain bermanfaat, barang-barang itu bisa dijual
dengan harga yang pantas. Hmm,.. lalu, mengapa aku harus minder dan malu ?
sibuk berimajinasi dengan penilaian orang lain. (Lampu Padam)
MUSIK
Membereskan ruang tamu. Cuaca sedang cerah, aku begitu bersemangat
merealisasikan rencana-rencana. La,..la,..tra la la la,.... oh ya, tanggal berapa
sekarang ? (Melingkari angka kalender) tu-juh be-las. Emak mengijinkan ruang
tamu ini digunakan sebagai galeri sekaligus tempat pelatihan. Hasil daur ulang
sampah akan terpajang rapih disini. Tunggu dulu, mmm..bagaimana kalau meja ini
diletakan di sudut sebelah kanan? Nah begini, bagaimana menurut kalian? Cocok?
Bilang saja kalau tidak cocok, kalau begitu geser sedikit. Aku akan mengajak
tetangga, teman sekampung untuk bergabung mendaur ulang sampah-sampah ini
(Terdengar ketukan pintu) siapa? Sebentar,... “Oh, terima kasih pak, sampah ini
saya terima dengan senang hati, jauh-jauh bapak mengantarnya kemari, semoga
warung bapak semakin laris ya pak “.
Sejak saat itu, aku tak perlu memungut barang bekas ke toko atau warung lagi,
mereka dengan senang hati mengantarnya ke rumah. Semua orang di lingkungan
ini akhirnya memiliki kesadaran memilah sampah dari rumah, ini kemajuan berarti.
Melalui postingan di media sosial, aktivitas daur ulang bisa ditonton lebih banyak
orang, semoga saja, hal sederhana yang aku lakukan, bisa menginspirasi teman-
teman sebayaku (Menghela nafas) Tapi…handphone ini harus dijual, untuk biaya
berobat emak. Emak harus segera dibawa ke dokter, obat yang aku beli di warung
sudah tak mampu mengobati. Emak harus sembuh dari sakitnya. Aini,..Ainii (Suara
panggilan serempak dari luar) “Kalian sudah datang, ayo silahkan masuk teman-
teman, kita pisahkan dahulu barang-barang ini, botol-botol sebelah sini, kardus
sebelah sana, koran bekas di sudut sana, yang lain-lainnya kita kumpulkan disini.
Ini contoh barang yang akan kita buat, vas bunga ini terbuat dari lintingan Koran
bekas, cukup mudah membuatnya.
(Terdengar dering handphone) “Hallo, ya, betul saya Aini, oh iya pak , eu, eu betul
pak, saya dan teman-teman yang mendaur ulang sampah-sampah ini, kapan jadwal
pamerannya pak? (Bingung) oh,eu.. baik pak, akan saya usahakan, boleh pak,
silahkan mampir ke rumah untuk melihat-lihat, baik, baik pak..terima kasih” (Seolah
tak percaya) Teman-teman, kita mendapat undangan pameran bulan depan, Yes!
(antusias) kerajinan daur ulang kita akan dipajang bersama karya pengrajin daur
ulang lainnya. tapi,.. bagaimana kalau produk kita lebih jelek dari mereka? mereka
akan menertawakan, menganggap tak professional. Aduuuh,..bagaimana ini,
apakah tawaran ini harus ditolak? Tidak, tidak,..kita harus optimis, percaya diri dan
yakin !
(Meyakinkan diri) Aini,. ini kesempatan baik. Ayo, lebih giat lagi, lebih kreatif lagi.
(Bersemangat) Sesuaikan dengan gambarnya ya, barang yang sudah jadi simpan
di sudut kiri, hati-hati jangan sampai terjatuh, sebentar kita foto dulu, coba dari sudut
sebelah sini. Mari kita selesaikan yang lainnya, mengguntingnya jangan terlampau
pendek, nanti sulit menyambungkan, coba lihat, pinggirnya harus terlihat rapih....
(Lampu Padam)
Aku baru saja mengantar emak pergi ke dokter, penyakit emak sebenarnya
membutuhkan penanganan khusus, tapi emak bersikeras ingin pulang. Dokter tak
begitu jelas menerangkan apa penyakitnya, dia hanya memberikan instruksi berapa
kali emak harus minum obat dalam sehari, akupun tak sempat bertanya lebih jauh.
Tatapan emak mengisyaratkan supaya cepat membawanya keluar. Di perjalanan
pulang, emak sempat berbisik “Ai kamu pahlawan emak“ mataku berkaca-kaca,
akupun membalas ucapannya ”Ai bangga sama emak karena pahlawan
sesungguhnya adalah emak”
Oh ya, Lingga, Kiki dan Eza hari ini berjanji datang ke rumah, mereka akan
Menyumbangkan botol plastik bekas yang telah dikumpulkannya. Mereka juga akan
Membantu mempublikasikan kerajinan tangan daur ulang ini, ternyata mereka tidak
Benar-benar meninggalkan aku (Mengelus gelang persahabatan yang dipakainya)
Ling, Ki, Za,.....we are best Friends dech, forever...
Tuhan, terima kasih telah mengembalikan hari-hari baik padaku.
(Terdengar suara keras) Maak,……. !! (Terdengar bunyi sirine Ambulance)
Monolog selesai.
Tolong
Karya : N. Riantiarno
Monolog
DEMOKRASI
karya Putu Wijaya
SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT BERISI
TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP MENDENGAR,
IA BERBICARA LANGSUNG.
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai
pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi
tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat
pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti
demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi
mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya
tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya
tentang demokrasi disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang
dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya sendiri tidak
benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat
kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan
pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau,
agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan
bersama.
MENIRUKAN PETUGAS.
“Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi
pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama
kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi
pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali
empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan
kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata lima orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung di
sebelah, “mereka semuanya adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua memerlukan
jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan
ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang hendak masuk ke
pekerjaan atau pulang lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektivitas kerja. Mikrolet dan
bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan
pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di sebelahnya, karena sudah
diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini
milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar
kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu,
ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka menggambarkannya
sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi,
betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak
menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewanti-wanti,
kalau tidak bisa dikatakan mengancam.
Bulldozer itu tidak peduli. Mereka terus juga menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau Bapak
ambil dua meter, rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami
dijadikan jalan. Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju! Diganti
berapa pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang.
Jangan Pak!
Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya
menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan.
Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan
bulldozer itu.
Ini tanah kami, akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi,
sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan perempuan
kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan bapak-bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.
Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi
satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah
siap untuk memukul. Kami seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi, kami
melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk
bulldozer itu meloncat ke atas bulldozer, mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir bulldozer
itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk, langsung
membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlurumuran darah. Perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit, lalu
kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau meyerang, tapi kemudian
sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan
menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di antaranya
bajingan di Proyek Senen.
Kami terpaksa mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat.
Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.
MEMAKAI BATIK/JARIK.
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas
kelurahan, akhirnya saya diterima.
Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas tapi korban penggusuran. Tetapi
ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot bahwa
kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia
memanggil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti
orang stress.
Betul. Orang kecil seperti saya ini memang kelihatannya lemah dan gampang ditipu. Karena
kami sadar pada diri kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kebangetan
seperti ini, saya meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.
Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah.
Dia mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin marah, semakin halus bicaranya. Saya
diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.
Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu
atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk kami
saja.
Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang dua meter itu jangan
diganggu. Itu hak kami! Titik.
Di atas meja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah,
Sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak
saya kelas berapa. Ah, itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah curiga.
Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu membacok Asep,
karena Asep juga pernah memprotes pembungan limbah dari pabrik yang mengalir ke
selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad, saya tidak akan pergi dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan
perampokan dua meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!
Akhirnya dia mengangguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci
mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segala-
galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkan kepada saya sebuah
amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernapas.
DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP. 250.000.000. DUA
RATUS LIMA PULUH JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA DI
DEPANNYA. IA GEMETAR.
Tebal, coklat, apalagi di tas amplop itu tertera 250.000.000. Dua ratus lima puluh juta. Ya
Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua ratus lima puluh
juta?
Dua ratus lima puluh juta. Dua ratus lima puluh kali hidup lagi juga saya tidak akan sanggup
mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya. Mengapa tiba-tiba
saya dihujani rizki sebanyak ini.
Dua ratus lima puluh juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu.
Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah, kredit motor, jadi tukang ojek, bayar SPP. Saya
bisa kirim uang sama orang tua.
Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya bisa mengubah
nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuh ini seperti kecoa.
Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 250 juta itu.
Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran
tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil jalan
belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.
Saya kumpulkan keluarga saya dan menjelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu hidup
kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI
ATAS KEPALANYA.
Esok harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk
mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan
tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan dua meter
dari milik kita yang sedikit. Berat sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik
daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita
semua mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi
tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka
sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya
mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan dua meter untuk pembuatan
jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih baik.
Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya
pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Satu per
satu kemudian mereka pulang.
Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu! Tunggu!
Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi dia
tidak pergi karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia juga berdiri dan pergi
sambil ngedumel.
“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti
menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”
TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA
KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan
yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap
berdiri di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan
hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap mempertahankan
demokrasi, sampai titik darah penghabisan.
Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya? Daripada diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI
OLEH BANYAK AMPLOP LAINNYA YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN
TERTIMBUN OLEH AMPLOP.