Anda di halaman 1dari 46

Daun-daun Berguguran

Aku bertamasya ke Bogor Raya, bertemu dedaunan yang


tiba-tiba jatuh tanpa bilang-bilang.
Di hadapan angin sejuk yang menerbangkan gemulai
cahaya matahari, aku menunggu seseorang.
Jalan raya semakin bising, bunyi klakson mobil
mengumpat kuping.
Tak apa, aku tak peduli jika itu sering.
Lanjut saja ke intinya, aku sangat meyakini seseorang ini
akan memberikan kebaikan kepada hati dan pikiranku
yang belum matang.
Memang kami sudah lama tidak berjumpa, tapi jiwaku
bersuara, pertanda bahwa keyakinan tak terkekang oleh
ruang.
Bersama Signature aku bercakap sembari menyaksikan
asap berupaya memanggil dirinya yang sedang
berkendara di medan perjuangan.
Detik demi detik berlalu, menghajar aku yang malu-malu
duduk sendirian tanpa teman.
Selanjutnya, aku merasa hebat karena telah mengundang
primadona duduk di samping Daun-Daun Berguguran.
Dia seniman, dan seiman.
Melihat wajahnya seperti melihat berbagai perasaan.
Sedih, gembira, senang, serta gelisah.
Dia jarang marah.
Kami saling bertukar cerita, menertawai diri sewaktu
muda bertingkah gila.
Kami membakar derita dan kami menemukan hikmah
yang tak disangka-sangka.
Parasnya elok bak hujan salju,
menghapus kenanganku yang berdebu.
Daun-daun berguguran tersedu-sedu,
menggambarkan indahnya hari rabu, bersama Si Madu.

Musafir Cinta Bertemu Safira


Sejak dalam khayalan, aku tertawa bersama harapan
yang melayang-layang.
Aku jarang bertemu wanita, dan kini aku menemukan
seseorang bernama Safira.
Dia sudah dewasa sekarang.
Rambutnya bersih dan sedikit cikal, bak hiasan pohon
Natal.
Aku ingin tahu lebih tentang dia, tentang kehidupan
Wanita yang bernama Safira.
Sekarang dia sudah kebal.
Ketika menatapnya, aku merasa sedang memasuki kebun
mistik surga.
Aku butuh memahaminya, karena Musafir Cinta selalu
bahagia bertemu Safira.
Dia adalah panas Matahari yang menyala.
Andai saja aku bisa mengirim bebungaan musim
kembang kepadanya, niscaya mereka turut bersuka-ria
menikmati kebaikannya.
Tutur katanya terus menggelepar dalam ingatan,
menghancurkan kesia-siaan, merubah warna perak
menjadi keemasan.
Memompa waktu bergerak begitu cepat menghantam
kesebentaran bernafas.
Andai saja aku mampu membawanya ke Negeri Italia,
memercikkan air sungai Venesia, menggugurkan dosa-
dosa yang tertanam begitu lama, niscaya Sang Maha
Perkasa akan berucap: "Teruskanlah Wahai Hamba.."
Sikapnya menambah imajinasiku semakin lebih kaya,
lebih nyata, lebih utama.
Memancar ke seluruh dunia.

Hijau
Setelah aku nyetir, di sana ia hadir.
Menegurku saat sedang berpikir.
Matanya bak penyihir hingga kesadaranku terkilir.
Kulitnya putih sebersih air dan bibirnya selembut
permainan takdir.
Kurasa Tuhan terlalu serius menciptakan makhluk
seindah safir.
Di bawah rerimbunan dedaunan yang bergeletakan di
udara seakan-akan menertawakan matahari yang sedang
lingsir, aku berbincang tanpa gangguan tabir.
Lalu dia meminum secangkir kopi khas dari pulau yang
katanya penuh orang kafir.
Bertukar ceritalah kami sampai-sampai detak jantungku
berada di titik nadir.
Dalam hatiku bersyair: "Semoga ini takkan berakhir."
Hari Safira
Kemerdekaan Indonesia tidak berarti bagiku, mekarnya
hati ini lebih membuatku bebas sebebas-bebasnya.
Suasana hari berubah menjadi mewah, saat di mana
bintang-bintang malu untuk menampakkan dirinya.
Aku tersedak sehabis mereguk gumpalan kata-katanya
yang mengobati jiwa.
Dan itu mengajak kehendakku tuk menyembah bulan
Agustus yang menghapus kaktus busuk di dalam
dinginnya batin yang mulai kembali bersuara.
Sekiranya aku dapat menafsirkan hari yang kunamakan
Safira ini, namun apa daya,,, kejelasan makna tak perlu
dijabarkan lama-lama.
Hari Safira
Kemerdekaan Indonesia tidak berarti bagiku, mekarnya
hati ini lebih membuatku bebas sebebas-bebasnya.
Suasana hari berubah menjadi mewah, saat di mana
bintang-bintang malu untuk menampakkan dirinya.
Aku tersedak sehabis mereguk gumpalan kata-katanya
yang mengobati jiwa.
Dan itu mengajak kehendakku tuk menyembah bulan
Agustus yang menghapus kaktus busuk di dalam
dinginnya batin yang mulai kembali bersuara.
Sekiranya aku dapat menafsirkan hari yang kunamakan
Safira ini, namun apa daya,,, kejelasan makna tak perlu
dijabarkan lama-lama.
Seorang Bule di Tanah Sunda
Aku sedikit linglung..
Seorang Bule di Tanah Sunda.
Seputih susu.
Aku sedikit bingung..
Seorang Bule di Tanah Sunda.
Serupa tisu.
Marganya Shahab, dan apa artinya?
Berketurunan Arab.
Dia mengajariku berperspektif, melatih akal semakin
aktif.
Dirumuskan oleh Alberti dari Itali.
Menumbuhkan ilmu Geometri.
Aku merenung..
Seorang Bule di Tanah Sunda.
Nona Merida
Hey Nona, sebab apa yang menyebabkan kucuran deras
keringat ini?
Hey Nona, mengapa tanganku bergetar amat keras bak
udara yang terkena dorongan kencang kereta api?
Hey Nona, siapa dirimu sebenarnya? Adakah kamu
orang yang sama atau kadang berbeda?
Hey Nona, di zaman apa sekarang kita bertempat
tinggal? Silahkan engkau menduga, setidaknya
jawabanmu akan kupelajari guna membongkar rahasia
pertanyaan yang kugumamkan dalam pikiran: "Mengapa
surga bisa mengirimkan seorang Wanita ke Penjara?
Bagaimana bisa Wahai Merida?"
Hey Nona, sungguh sama sekali aku tak ada niat untuk
berulah sinting. Aku masih waras, dan ingat baik-baik:
Rubizhan tidak lagi memainkan peranan, aku adalah
Bagir Alatas.
Hey Nona, alangkah bahagianya aku jika engkau
bersedia menerima jamuan selanjutnya pada pagi hari,
sembari melihat Matahari yang terbelah menjadi dua.
Hey,
hey..
Siapapun namamu itu, entah Merida atau Mata Hari,
engkau tetap di Hati.
Hey,
hey..
Berapapun alter-egomu, masih saja terselip kata kamu.
Ibarat Dia yang memiliki banyak nama.
Ibarat Dia yang memiliki banyak ego.
Kesatuan yang mengandung Kejamakan.
Kejamakan dalam Kesatuan.
Karena Dia Esa.
Angka-angka lain hanyalah bayangan dari Satu,
kumpulan Satu-Satu.
Begitupun juga kamu.
.
.
.
.
.
.
.
Alias terbaikmu adalah Safira,
karena nama adalah Doa.
Santai saja, Mata Hari tetap berada di dirimu selalu,
mungkin Rubizhan juga begitu.
Dirimu
Ketika melihat matahari, mengingatkanku kepadamu,
bersama serbuan kicau burung yang berharap
diperhatikan.
Cahayanya memukau batinku yang bergejolak perlahan-
lahan.
Di manakah dirimu kawan?
Aku terlalu rindu.. Tak salahkah hal ini terjadi begitu
cepat, wahai keseimbangan?
Di hadapanmu kala itu, pribadiku seakan-akan
dienyahkan. Egoku dihancurkan, dibentuk menjadi lebih
rupawan.
Gerombolan Bunga Pink cantik sekali, merekah dan
basah pula, seperti dirimu kala itu, menyedot seluruh
inderaku untuk bergabung dengan manisnya seluruh
suara yang terlempar keluar dari hatimu.
Hei Matahari, taman rumahku penuh semerbak nafas
Kasih semesta yang membisikkan sesuatu ke telingaku:
"Dekatilah dirinya, kamu akan mempelajari keindahan."
Aku selalu gemar membunuh kebosanan dengan cara
seperti ini, dengan cara menyaksikkanmu dalam mimpi.
Apalah arti minuman yang memabukkan?
Apalah nikmatnya mendengarkan secara seksama musik
Blues pada Pagi hari?
Dirimu adalah Anggur Murni tanpa pewarna alami...

Wanita Abu-Abu
Di Panglima Polim, akhirnya bersama dia.
Lebih dari dia daripada dia.
Menatap matanya dapat menyulut kata-kataku bertekuk
lutut kepada makna.
Bagaimana aku mampu menjelaskanmu lebih lanjut?
Kata tanya menyangkut dalam kepala yang memiliki
rambut kusut.
Wajahnya tak kuingat, apalagi seluruh tubuhmu. Hanya
saja, aku merasa seperti berbincang dengan sesosok
wanita abu-abu.
Apa itu Wanita Abu-Abu?
Apakah kamu mau tahu?
Berkesan misterius, tak memiliki ambisi rakus. Jiwanya
stabil dan membius. Dia juga berhasil mendiruskan
aroma kudus.
Kenangan bersamamu disaksikan oleh waktu yang
menunggu hingga tersedu-sedu..
Hamparan pesonanya melekat erat, merobek diriku yang
berkarat.
Wah, ucapan syukur macam apalagi yang bisa
kugerayangi ke pelataran rumahMu Tuhan? Aku tahu
takkan cukup pertanyaan ini membocorkan sebuah
jawaban atas alasan dari tujuan Esensi Penciptaan.
Diamnya menghadirkan musim semi..
Celotehnya memberhentikan bunyi nadi..
Wanita Matang
Aku menawarkan rasa bingung kepada kucuran deras
awan yang menangisi kepergian cahaya matahari pagi,
mengapa mesti begini?
Di satu sisi, aku menyadari situasi dan kondisi yang
menyelimuti hidupku bak peri. Sisi lainnya, aku berharap
agar dia dapat kupinang suatu saat nanti.
Maaf jika aku hanya mampu menulis saja untukmu,
namun sungguh kukuras segala hal dalam hatiku.
Engkau tidak meninggalkan jejak-jejak berbekas di
sepanjang tubuhku, karena itu tidaklah perlu.
Begitu manis dirimu yang menganggu dalam khayalku,
begitu pula aku bersedih membayangi dugaanku akan
terjadi, oh madu..
Tapi masih terdapat keyakinan sekuat belati, kendati
kemunculannya belum secepat petir yang berani.
Wahai Sang Pemberi Harapan, aku mencintainya. Aku
tak tahu kapan waktu yang tepat untuk berkata
kepadanya.
Wahai Sang Pemberi Obat, adakah aku memaksa?
Dengan sungguh hambamu meminta, toh aku juga tidak
punya daya.
Wahai Kesenangan Abadi, aku menyukai makhlukmu..
Dia mampu membekukan lidah keluku yang kaku.
Bukankah Begitu Wanita Malang?
Telah banyak umpatan manusia yang mencelamu,
bukankah begitu?
Telah menumpuk penyesalan di dadamu, bukankah
begitu?
Hei Wanita Malang, ludahi semua ancaman yang
menerpa sebagian kisah pilihanmu. Aku selalu
membantu..
Hei Wanita Malang, luluh-lantahkan segala buih-buih
penderitaan semu.
Hei Wanita Malang, panaskan kepedihan hati yang
ambigu.
Hei Wanita Malang, aku selalu membantu.
Hei Wanita Malang,
hei wanita,
hei.
Kekang keimananmu dengan pengetahuan akan Cinta.
Hidup ini sementara, tetapi karya selamanya.
Karyakanlah kebaikan kepada sesama.
Telah mewabah keletihan jiwa dan raga, telah hilang
ketakutanmu kepada segala, jika Engkau mengabdi
kepada Yang Maha.
Gairah Menggebu-gebu
Sudah kuikuti cara mainku yang baru, yang sulit ditipu.
Dia mengawasi sembari merajut jerat-jerat mematikan
jika aku bertindak melawan Hukum Kepatuhan.
Mundur ke belakang, aku melihat penampakan dalam
kegelapan.
Maju ke depan, aku menatap aura kemenangan
gemilang.
Gairahku menggebu-gebu..
Akibat Wanita Abu-Abu..
Aku bisa bertahan sangat lama kalau Tuhan memberkati,
tanpaNya aku bukan apa-apa,
bahkan denganNya,
bersamaNya,
menjadi diriNya.
Batu-batu keras segera kuhancurkan, memakai palu
berbahan dasar cinta dan pengetahuan. Adakalanya rasa
sakit menghujam, namun bukan berarti kejam.
Keromantisan alam yang melantukan puja-puji
kepadaNya, adalah pendorong gairah ini sehingga tidak
lagi membatu,
namun menggebu-gebu,
akibat Wanita Abu-Abu..
Ayo Bercerialah!
Ayo Bercerialah!
Jangan bertengkar dengan dirimu sendiri, karena
memarahi yang bodoh dan lugu memang kemestian
dalam proses menjadi manusia utuh.
Ayo Bergembiralah!
Ayo Bergembiralah!
Jangan sungkan-sungkan memaki-maki metaformu yang
gagu serta lusuh.
Gairahku menggebu-gebu,
akibat Wanita Abu-abu.
Kecuplah langit di mata ketika mendongak ke atas, mari
ikut bersamaku menjadi makhluk kelas atas,
meninggalkan tanah sementara, biarkan saja..
Ini Bukan Mimpi
Kapan pertama kali aku bersenang-senang sangatlah
tidak penting. Aku sekarang lebih dari kata senang yang
dibicarakan orang-orang.
Gugusan bayanganmu yang menari di atas awan cukup
indah untuk dipandang. Bak santapan makan siang yang
menentram-kan jiwaku yang kelaparan.
Bahkan, bisa kubilang ini pertama kalinya aku
kegirangan setelah musim-musim kelam menghimpitku
dalam kesendirian.
Rasa malas telah kugandrungi semenjak masih esde,
semakin meningkat hingga aku gede. Namun kini
terputus oleh buaian auramu yang mengilhamiku untuk
menumbuhkan kemandirian.
Malamku penuh larutan Cinta beraneka ragam rasa yang
tertumpah setetes demi setetes ke dimensi keabadian.
Malam-malam terus berlanjut, merajut kegelapan yang
menenangkan. Sungguh, aku nyaman. Pengaruhmu
berhasil menyergap kegemaranku membuang waktu
pada siang ataupun petang.
Bolehkah aku memanggilmu sayang?

Ini Bukan Mimpi (Bagian Dua)


Alangkah senangnya aku berhak memanggilmu sayang,
bahkan aku rasa memang tak boleh ditolak.
Maafkan aku jika terlalu lancang, maafkan aku jika
sedikit menyimpang. Aku tahu apa yang harus
kulanjutkan dan kulakukan untukmu pada siang dan
petang.
Bunyi-bunyi hewan yang terjadi setiap pagi di depan
jendela penuh ludah adalah bukti mereka semua merestui
kisahku denganmu selalu.
Tiap langkah awan yang bergerak menghampiri ruang
kosong menandakan bahwa diri ini tergugah untuk diisi
oleh peri tercinta, dulcis hospes anemae...
Berulang-ulang aku tertawan oleh senyumanmu, penuh
khas dan mewabah ke sekujur tubuh, merebut diri duluku
yang angkuh.
Ini bukan mimpi,
dan seperti kata Rumi,
"Beri aku ciuman untuk setiap puisi!"

Tamu Manis Jiwa


Kekosongan yang pernah menjadi kawan karib hidupku
kini tidak lagi seperti itu, dia datang dan mengaku
sebagai tamu manis jiwa.
Dia membawa obor untuk membakar jaring laba-laba
yang lemah juga payah.
Indah sekali, kini ia sedang melukis pelangi dengan
tangannya yang tak berduri.
Semua warna dikentalkan oleh kepastian hati.
Kujamu dirinya..
Kuberikan kata-kata istimewa..
Bukan untuk apa-apa..
Selain tanda mengenal dirinya..
Dan tanda bahwa aku cinta.
Aliran huruf berkerubun,
berhasil mengetuk kehendak hebat yang bekerja
melampaui usaha Rubizhan.
Kesombonganku telah mati, telah dilahap habis oleh akar
tumbuhan.
Biusan mautnya sungguh adidaya,
menggorok 'aku' yang maya.
Disergaplah kemudian,
dibawa ke dunia lain,
mengucapkan amin.
Tamu Manis Jiwa (Bagian Dua)
Seluruh dimensi merestui pertemuan kita sayang, apakah
ini artinya? Kau tahu itu pastinya..
Gelora sedang berpesta-pora,
memainkan seruling cinta,
karenamu Safira..
Aku menjadi paham akan tujuan, Tuhan mengirim tamu
manis jiwa. Aku lampaui segala kesulitan, melibas habis
angan-angan yang telah mengangkasa..
Kau itu, yang menghampiri hidupku, membawa
semangat baru..
Kau itu, kerlap-kerlip bintang yang menerobos jalan
buntu.
Kau itu, mutiara yang menerangi lautan kasih sayangku.
Kau itu, hijau dan biru..
Demikianlah, sesungguhnya pertemuanku denganmu
adalah tanda ikrar keakraban.
Jumpai Aku di Pasar Minggu
Bila suatu saat nanti,
kesibukanmu berhenti,
jumpai aku di Pasar Minggu.
Atas nama cuaca,
aku akan menatap tajam matamu,
di Pasar Minggu saat kau bersimpuh.
Turunlah sini sejenak, aku punya banyak waktu.
Langitpun terkoyak, akibat dirimu.
Mari kita berjalan menyusuri suara para penjual sayuran.
Mari kita menghibur orang-orang yang kesusahan.
Jumpai aku di Pasar Minggu, terserahmu mau jam satu
atau tujuh, siang atau subuh.
Biarkan mereka yang terlalu banyak menenggak asam
garam kehidupan memperhatikanmu, kelak mereka tahu
bahwa sesuatu yang manis tak harus selalu diramu.

Berubah
Dia yang diawali dengan nama adikku.
Dia yang diakhiri dengan nama ibuku.
Dia juga memiliki nama depan kakakku.
Dia juga memiliki nama depan ayahku.
Dia seperti keluargaku.
Dia itu F yang baru kukenal dalam hidupku.
Kalaupun kamu menjadi apapun.
Jadi ayah, aku mencintaimu.
Jadi Ibu, aku merindukanmu.
Jadi kakak, aku menyayangimu.
Jadi adik, aku menciumimu.
Kalaupun kamu menjadi apapun, walaupun menjadi
apapun, aku tetap membayangimu.
Bagaimana aku tidak bisa tanpa kamu, sementara aku
adalah kamu?
Sekilas Saja
Aku mendapatkan petuah untuk memberi kejutan
terhadapnya di hari Kamis pagi.
Telat bangun sudah kuduga, sebenarnya akibat
kemalasan ini yang betah di diri.
Oh Safira, alangkah menakjubkannya matahari kali ini,
memanaskan kulitku yang belum mandi.
Sekilas saja tak apa-apa, aku rindu kepadamu sejak
pertemuan kita yang sebelumnya.
Ramai suasana jalanan sering kulihat, bermacam-macam
manusia berlomba merebut posisi terdepan agar cepat
sampai ke tujuan.
Sekilas saja tak apa-apa, pelan-pelan namun mematikan.
Menunggu situasi yang tepat lalu jika sempat, bolehlah
aku masuk tanpa bertanya.
Semua kepala terlihat marah, begah dan bosan karena
keadaan yang mengacaukan khayalan.
Sekilas saja tak apa-apa, aku mencarinya di Sudirman,
berharap berpapasan. Yah, aku tahu hasil akhirnya,
dengan itu aku menuju perkantoran.
Helm-helm hijau berkeliaran, memungut uang, modalnya
hanya kendaraan. Di pelipir jalan, yang mana banyak
penjual minuman dingin, memenuhi rasa ingin.
Sekilas saja tak apa-apa, hampir sampai, aku berjalan
melewati jembatan. Melihat gedung-gedung mengkilap
bak bangunan di sebuah permainan.
Sementara rokok masih di dalam tas kecil-ku yang
sangat menarik. Orang-orang memandangku seperti
seorang yang asik.
Sekilas saja tak apa-apa, aku mulai memasuki kantin
yang pengap akan suara. Aku belajar menjadi seseorang
yang istimewa, baginya.
Aku menyayanginya, tidak tahu mengapa. Memang
terdapat beberapa alasan, tapi apa perlu aku
menyebutkan semuanya?
Dia manis, peri cinta. Memakai gaun hijau bersama
daun-daun cantik yang punya karisma.
Kemudian,
aku merasakan kehadirannya lebih dalam.
Sekilas saja tak apa-apa..

Senyumannya yang Teringat di Lesung Pipiku


Jalan-jalan di pagi hari, menikmati udara pagi,
merasakan matahari pagi, menyapa orang-orang yang
bangun pagi, melihat burung-burung saling memamerkan
kicau-nya di pagi hari.
Berlekaslah aku setelah itu, menuju kamar memakai
baju, setelan lama, celana pendek, setelan tanpa nama,
menuju depan kaca.
Senyumannya yang teringat di lesung pipi-ku.
Sama sekali tak berniat sombong, sudah bosan. Telah
banyak kesalahan yang aku lakukan sejak mimpi basah
menyerang.
Kalian yang baru masuk pertunjukkan setan, hah.. Aku
peringatkan: "Jangan pernah masuk lebih dalam."
Mending mengaca, maksudnya lihat aku menatap
senyumannya yang teringat di lesung pipiku.
Maafkan aku.
Maafkan bila ini sangat berantakan.
Maafkan saja cuma-cuma.
Toh senyumannya teringat di lesung pipi-ku.
Tafsir Kerinduan
Alangkah bahagianya aku bertemu dengan seseorang
yang mampu membuatku malu.
Alangkah rindunya jemari ini untuk mengenggam erat
jemarinya yang tak sekeras palu.
Dimanakah dirimu berada? Aku selalu bertanya, entah
sampai kapan. Aku mencarimu kemana-mana,
aku menemukanmu dimana-mana..
Gemintang-gemintang berpencar mencari posisi yang
tepat untuk menyilaukan pandangan mata.
Pohon-pohon rindang memberi angin segar bagiku untuk
menafkahi saluran pernafasanku.
Langit begitu jumawa menantang seluruh isi khayalanku
yang sedang memikirkanmu selalu.
Engkau adalah Komposisi Semesta..
Tuhan mengajariku banyak hal, termasuk mencintaimu
yang harus karenaNya.
Aku terus berusaha..
Menabrak metafora..
Menembus batas ketiadaan..
Meresap ke jiwamu yang nyaman..
Menjadi Satu..
Menyebut Aku,
bersamamu,
bersama-sama,
sampai sepanjang masa..
Peramu Jiwa
Kita bergerak dan berpindah-pindah, kita tidak lagi
pecah.
Kini kita sedang menumbuhkan akar yang lebih mewah,
hasil dari jerih payah beribadah.
Walau tangkai-tangkai terlalu rapuh, maksudku mudah
jatuh, namun tampaknya hal itu memang akan terjadi,
hancur-lebur.
Biarkan saja, seperti aku mengacuhkan kesempatan.
Signora
Signora, tatapanmu begitu merdu,
inginku mendudu. Signora,
aku terkagum-kagum dengan ciptaan Tuhan.
Signora, aku kebingungan. Memang aku punya
pegangan, yakni iman. Memang pula aku juga giat
menuntut pengetahuan.
Tetapi oh tetapi, kurang rasanya jika tanpa seseorang
yang kenyang pengalaman, yang sering mengajarkan
kebaikan. Untung saja kita dipertemukan...
Signora, apakah kamu putri dewa? Atau kamu malaikat
dari surga? Aha, mungkin kamu permata yang penuh
rahasia? Atau kamu siapa?
Signora, aku seperti dijaga olehmu agar selalu menjadi
lebih muda dan lebih muda.
Signora, mari hidupi hati kita bersama-sama, dengan
doa. Niscaya, Yang Maha akan menganugrahi kita
mahkota Cinta.
Signora, aku harap kita bisa bermesraan hingga lupa
kepada dunia. Oh aku lupa, setiap kali bersamamu aku
merasa sedang bergerak menuju keabadian.
Oranye
Cahaya berkelap-kelip menghampiriku di saat sedang
bersantai sendirian, malamku begitu Nyata.
Di dalam sebuah rumah yang memberi kenangan kepada
ingatan, aku kini merasakanmu sayang.
Kita akan memotong jarak, lalu berhimpitan. Kita akan
mendekatkan jiwa, lalu timbullah persatuan.
Dia adalah F yang kukenal,
seorang pejuang keluarga.
Jago melawan kehidupan, dia terus menantang dunia,
dia bangkit dan bersaksi,
dia tidak pernah mau dienyahkan,
dan dia memberi jawaban kepada mereka yang
mengecam.
Aku beruntung, begitu bersyukur. Bahkan jika semua
tahu, kemungkinan besar rasa iri bakal menggumpal di
setiap akal mereka yang tak bisa mengukur.
Engkau,
lamunan bulan,
oranye pudar,
mataku berbinar,
ketika Tuhan,
membisiki telingaku: "Selamat Bertemu."
Terpaku Olehmu
Tok-tok-tok, bunyi palu mengetuk paku.
Aku disudutkan suaramu yang membayangiku setiap
malam.
Tok-tok-tok, hati bergetar hebat bak deburan ombak
Pantai Lovina. Aku dipilih oleh Tuhan untuk
menemanimu sekarang dan sampai nanti.
Tok-tok-tok, gerah ini menghilang begitu cepat. Sebuah
nyanyian angin asmara berhasil menghisap rasa lemas
dari badan.
Tok-tok-tok, tanpa permisi akan kubiarkan kau
membuka pintu ajaib yang tak berletak. Kau tidak lagi
tersesat, karena kita hampir dekat dengan sebuah ikatan
erat.
Tok-tok-tok, getok palu ikut masuk ke kediaman yang
diramaikan oleh kehadiranmu yang lucu. Setiap hari ini
terjadi.
Tok-tok-tok, dengarlah secara lembut apa yang
kuucapkan. Di situ hanya terdapat kejujuran dan
sentuhan Cinta yang lahir dari RuhNya yang menggeliat
menasihati-ku untuk memberi penjagaan kepadamu.
Tok-tok-tok, hei kau yang memainkan kesadaranku
semakin lebih baru, biarkan aku menatapmu lebih tajam,
kutanam pesan dan kesan,
keabadian.
Tok-tok-tok, lalu kujatuhkan angka delapan... ke
samping sebelah kiri atau kanan.
Ketika Aku Menatap Matamu
Ketika menatap matamu, aku ingin memeluk
pandanganmu kepadaku.
Ketika menatap matamu, apalah arti kehidupan di dunia
yang kesenangannya sebentaran.
Meski siang dan malam silih berganti, aku tetap akan
menatap matamu dengan penuh kasih sayang.
Meski siang dan malam silih berganti, bayanganmu
konkret di ingatanku.
Aku selalu menyesuaikan keadaan diri yang terus
meningkat sehabis menatap matamu yang berisi ilmu.
Tatapanmu mampu menjadi pelipur lara,
menggoyang derita..
Tatapanmu sejuk dan mempesona,
walaupun kemana-mana..
Tertahan Ucapan
Bagi seorang laki-laki, perjuangan adalah kepastian. Jika
tidak, maka mengakulah sebagai hewan.
Sudah bosan aku mendengar nasehat-nasehat sporadis
yang terlempar keluar menghantam batu karam dalam
hati hitam.
"Apalagi yang harus kuselesaikan? Bukankah menuju
tujuan selalu ada tempat peristirahatan?"
Coba pelan-pelan, tenangkan suara.
Coba sampai pada waktu yang tepat.
Coba ketika dia berhenti berbuat cacat.
Di antara semuanya, aku menyukai sekali seseorang
yang berkunjung pada bulan Agustus. Kita duduk di
meja nomor delapan pada bulan delapan, dan aku suka
angka nomor delapan.
"Selesaikan masalahku, aku hampir tenggelam dan sulit
untuk mendongak kembali."
Dia mengumpat sepanjang perjalanan, aku hanya
memperhatikan.
Dia berhasil menahan,
tertahan oleh ucapan,
oleh alasan,
oleh kemungkinan,
oleh rasa kehilangan.
Seseorang itu, mendendangkan rayuan manisnya. Untuk
menjaga kesehatan, katanya.
Aku serasa kembali muda.
Malam ini indah.
Bulannya berubah,
menjadi sabit bewarna merah,
inginku panah,
merajah cahayanya yang panas,
lalu meleleh,
dan mengajaknya,
meski takkan puas,
tapi tetap aneh,
karena cinta memang tanpa paras,
tanpa amarah menyala-nyala.
Malam yang Sederhana
Aku bertemu dengannya di malam yang sederhana.
Dia tersenyum dan mengucapkan kata-kata. Aku
termenung dan memandanginya.
Yaa, perubahan ini terpengaruh olehnya. Di malam yang
sederhana, dia begitu istimewa.
Aku berharap kepadaNya agar tidak berpisah dengannya,
karena aku rasa kita sudah satu jiwa.
Kusisihkan segala kekurangan.
Kulatih diri agar memiliki kelebihan.
Menjadi mandiri.
Menjadi Diri.
Di malam yang sederhana,
hanya awan yang tersisa,
menutupi Bulan,
sayang seribu sayang bagi manusia lainnya,
Sang Purnama memang tidak lagi di langit.
Dia turun ke bumi, sungguh dekat aku dengannya yang
begitu bermartabat.
Kuikuti alur kisah hidupnya, aku merasa bukan siapa-
siapa.
Dia lebih mengerti tentang dunia, kerendah-hatiannya
membiarkan aku mengoceh terlalu lama.
Oh Malam yang Sederhana..
Mendermakan Jiwa
Kamu berlari kesana kemari.
Kamu mencari-cari.
Aku di hadapanmu sayang.
Jangan pernah terbang.
Malam dan rintik hujan.
Membuatku dingin tak karuan.
Aku butuh pelukan,
darimu seorang.
Kamu berlari kesana kemari.
Kamu mencari-cari.
Gelagat baik burung memberi siulan.
Mendendangkan keromantisan.
Tentang aku yang kerasukan,
karena cintamu seorang.
Aku di hadapanmu sayang.
Jangan pernah terbang.
Coklat mataku menyerap petuah,
saat kamu tersenyum indah.
Seperti Kabah,
sederhana dan mewah.
Aku berlari kesana kemari.
Aku mencari-cari.
Akar Tanaman
Dia mengembangkan jiwa yang luput dari kemerdekaan.
Dia mencerabut debu-debu yang bertaburan.
Dia akar tanaman, menusuk-nusuk tubuh bumi yang
terdalam. Dengan itu sampailah aku jalan menuju langit
yang tak punya teman selain Tuhan.
Apakah aku salah menyebutmu akar tanaman?
Dia menggerayangi setiap pilihan.
Dia menunjukkan aku masa depan yang cemerlang.
Dia memiliki kesaktian,
bahkan dalam diam pun aku cukup segan.
Dia menanamkan bibit yang telah melahirkan dedaunan.
Dia memperhijau kedirian.
Apakah salah aku menyebutmu akar tanaman?
Dia meninabobokan Rubizhan.
Dia mempercundangi Zimmerman.
Dia menghempaskan kehampaan.
Dia meniupkan penyegaran.
Apakah salah aku menyebutmu akar tanaman?
Dia adalah Dia yang tetap Dia..
Dia Wanita..
Dia Safira..
Safira..
Fira..
Fir..
F..

Duduk Bersamamu di Pohon Lythr


Kita menebus rindu di kebun raya.
Melihat langit yang terus mengganti-ganti warna. Aku
duduk bersamamu sayang, menatap masa depan yang
penuh dengan kebahagiaan.
Sungguh, pohon ini begitu kuat dan mampu menahan
beban. Begitulah juga engkau yang aku umpamakan bak
akar tanaman.
Sejuknya udara menghidupkan prasangka jelita, menarik
segala musibah. Itu semua karena matamu yang dipenuhi
Cinta.
Aku duduk bersamamu di pohon Lythr.
Bermesraan tanpa minuman seliter.
Menjorokkan egoku yang sempat beralter.
Kita menebus rindu di kebun raya.
Mencermati setiap tanda yang dilemparkan alam
semesta. Aku duduk bersamamu sayang, terlindung dari
godaan setan.
Kelelawar pergi menuju gerombolannya, bertanya-tanya:
"Bukankah dia sahabatku yang dulu? Mengapa dia
menjadi sesuatu yang baru?"
Burung-burung mengancam pelan-pelan, mereka berjanji
akan membalas kata-kata makhluk yang sering bangun di
tengah malam.
Akhirnya bertemulah keduanya, burung berucap dengan
lantang:
"Campakkan segala niat burukmu. Cepat pergi!!
Tinggalkan mereka."
"Lalu, bagaimana aku yang nantinya kesepian tanpa
teman berkencan?"
Burung menjawab: "Ingat, Rubizhan sudah masuk ke
kuburan. Rahasia ini aku dapatkan dari cahaya matahari
yang menelan seluruh anggapan tentang perempuan."
Sementara kita melanjutkan cerita,
di tepi dedaunan yang bertelinga,
mendengarkan seksama percakapan kita berdua.
Aku duduk bersamamu di pohon Lythr.
Jiwaku gemetar, bahkan keder.
Melumer-lumer.
Kita menebus rindu di kebun raya.
Ditaburi wewangian bunga. Aku duduk bersamamu
sayang, dan aku tidak peduli jika awan mengirimkan
hujan.
Atas nama kesunyian,
aku meminang dirimu,
sebentar lagi,
jika Tuhan merestui.
Selangkah demi selangkah, aku berubah.
Semacam Pesan
Mataku dipenuhi langit malam,
hatiku tersimpan bulan.
Di pelataran depan perkantoran,
angin mengirim kisah menyejukkan.
Rupanya kali ini aku terkena demam,
ketulusannya menghancurkan bayangan.
Sudah letih aku tertawa tanpa alasan,
masih puas aku menikmati terpaan maki dan cacian dari
dalam.
Mengapa orang-orang masih betah hidup semena-mena?
Seakan-akan tiada aturan.
Memang kita memiliki pilihan,
tapi ingat,
keajaiban itu akan diminta pertanggung-jawabannya oleh
Tuhan.
Peradaban dibangun oleh darah dan air mata, namun kita
masih tutup mata. Menyia-nyiakan waktu tetap menjadi
pilihan utama.
Coba, renungkan..
Belajarlah dari pengalaman,
dari kesendirian.
Semua ini aku dapatkan darinya.
Ya, darinya,
Tamu Manis Jiwa,
Istimewa.

Darah dan Air Mata


Aku mandi dengan darah yang tak tertumpah,
memimpikan dirimu yang mengajariku pantang
menyerah.
Aku berjuang menghapus bekas-bekas luka dalam jiwa,
sehingga dengan itu aku dapat bernafas lega.
Kutemukan kamu, akhirnya luka itu tertutup sendiri oleh
senyuman ikhlas dan manismu.
Langit sedang bewarna merah, mengingatkanku pada
sebuah kisah.
Tentang ribuan pilu yang sempat tinggal lama.
Tetapi oh tetapi, apalah itu artinya kini? Penyihir datang
menggetarkan sendi-sendi tulang, mengobrak-abrik
pemahaman.
Pandangan matanya pertama kali aku lihat sangat culas,
namun meninggalkan bekas.
Pandangan matanya kedua kali aku lihat sangat lemas,
namun justru mempercantik paras.
Pandangan matanya ketiga kali aku lihat sangat was-was,
namun aku tahu sebentar lagi dia mengkilap serupa
emas.
Sungguh gelisah aku punya perasaan, tampaknya aku
telah menemukan keabadian...
(Bagian Dua)
Mereka mengatakan: "Tak usah berlebihan." Aku
menjawab: "Mungkin kalian saja yang belum pernah
merasakan."
Tatapan mata mereka mengundang pertanyaan,
mempertanyakan aku yang telah mengalami perubahan.
"Sejatinya, aku seorang pendiam. Banyak berkata hanya
memenuhi dunia dengan omong kosong."
Masing-masing dari mulut mereka aku lipat dengan
nasehat.
"Kalian yang mungkin menganggap aku mudah dikenali,
sesungguhnya tidak sama sekali. Bukan berarti aku ingin
mengelabui, hanya saja menjadi misterius adalah
kewajiban bagi seorang pemenang sejati, kecuali di
hadapan kekasih hati."
"Aku tak memiliki secuil niatpun untuk mengumpat."
"Siapa kekasihmu?" Tanya mereka sembari berupaya
menebak-nebak jawabannya dari pikiran.
"Dia wanita yang kalian belum pernah temukan, di
generasi yang menyimpan segudang kelemahan dan
minim kelebihan."
(Bagian Tiga)
Sudah bosan aku tertawa, aku hanya mau mendengar
suaranya, menggumamkan kisah darah dan air mata.
Tuhan sedang memainkan kejutan untuk kita yang saling
memperhatikan, bahkan saat sedang sendirian.
Kuminum sajak-sajakku untukmu, karena tatanan huruf
ini berasal darimu.
Di hari selanjutnya kamu bukan sekedar menjadi
keringat dan kenangan, namun juga menjadi jiwaku yang
menyala-nyala.
Seakan-akan pernah terdapat burung gagak yang terbang
melewati kepala dan melemparkan surat kepadaku
dengan tulisan: "Bunuh Rubizhan."
Penghuni surga meninggalkan pesan,
mereka mengatakan bahwa kamu harus menyelamatkan
seseorang yang sudah berada di ambang kematian.
Aku sempat mengalami kecemasan, hampir mengacak-
ngacak kesadaran.
Berbincang sendirian.
Berjalan tanpa mendongak ke depan.
Kamu datang,
mengajarkan aku menampar kesalahan.
(Bagian 4)
"Hei Safira, aku yakin engkau seseorang yang setia."
Perkotaan menyimpan kegemilangan, banyak keanehan
yang aku temukan.
"Hei Safira, aku tak lagi punya kelainan.
Marilah kita saling berdekatan, jangan dihentikan."
Berpegangan pada sesuatu yang maya,
dan aku pergi meninggalkan itu semua.
"Hei Safira, aku senang berada di sisimu karena kamulah
zona nyaman."
Lupakan cara bermain curang di generasi yang tak
memiliki cara pandang.
"Hei Safira, aroma semangatmu duduk pada posisi utama
udaraku yang senang kuhisap sembarangan."
Pilih kemungkinan yang bisa dikendalikan. Hati-hati
terjadi pemberontakan, jika tak sanggup melawan.
(Bagian Lima)
Berdiri dan menatap matahari,
mengejarnya,
dan aku memelukmu.
Kandungan Alam memberiku manuskrip.
Lewat matanya,
biru tulip.
Santai sejenak,
duduk di atas pencapaian-pencapaian khayalan yang kini
telah berkerabat.
Dan kamu bekerja layaknya pukat.
Abad-abad berganti,
terdapat diri-diri.
Sampailah aku di sini,
menemukan kekasih hati.
Jiwamu abadi,
kita saling mengabdi.
Kau tahu apa itu darah dan air mata? Hanyalah sisa-sisa
semu di dunia yang terbuang nantinya.
Namun, darah itu akan menjadi harapan.
Namun, air mata itu akan menjadi cita-cita.
Jasad kita pasti membusuk,
tertumbuk waktu.
Dan kita pasti terbentuk,
tanpa bentuk.
(Bagian Enam)
Ayo berlari, bersamaku saja sehari.
Kita nanti mengunjungi berbagai lamunan orang-orang
gila,
lalu sembuhkan perlahan.
Ajak mereka berbincang sayang,
daripada rasa kasihanku berubah menjadi kebencian.
Sebelum itu,
marilah kita rapikan diri sendiri terlebih dahulu.
Mereka akan mencari celah dan berkata:
"Biarkan nasehatmu dilakukan olehmu."
Kita harus menolak senjata makan tuan.
Kemungkinan besar mereka dikalahkan oleh pilihan kita
yang didasari oleh iman sera pengetahuan.
Darah dan air mata,
harapan dan cita-cita,
kita titipkan kepada dunia.
Aku yakin mereka tak piawai,
sebab kamu siap membantai,
merantai keangkuhan yang melambai.
"Siap-siap saja!" Mereka ketakutan.
"Silahkan mencoba", terlalu santai aku menjawab
mereka.
Inilah kisah Darah dan Air Mata.
Pertunjukkan dimulai,
semenjak kita berjumpa.
Mabuk Asmara
Aku menyaksikkan burung menari-nari, mereka semua
menawarkan kicaunya kepada matahari.
Sore hari memiliki arti kali ini, bukan berarti menjadi
gila.
Aku menunggu getaran cahaya,
merobek-robek angkasa.
Orang-orang bekerja, mereka berlarian agar tidak telat
menuju rumahnya.
Sungguh aku lupa berkaca,
mempertanyakan waktu yang sempat terbuang sia-sia.
Sore hari memiliki arti kali ini, bukan berarti menjadi
gila.
Aku rindu kepada kekasih tercinta,
dia begitu giat memperjuangkan segala hal yang patut
dijalani, tanpa mengumpat sana-sini.
Aku terus ingin mengikutinya, bahkan jika ia berlayar ke
tepi samudra.
Dia sangat cerdas, bak alur berpikir para filsuf yang
mampu menebak masa depan.
Sore hari memiliki arti kali ini, bukan berarti menjadi
gila.
Selangkah demi selangkah,
aku mengenalnya.
Walau gelombang yang tak kuketahui berhasil
menyelonong masuk ketika aku bersamanya.
Dia memiliki pola pikir yang menarik jika aku
merenungkannya secara cepat, maupun lambat.
Jangan pergi, pegang tanganku erat-erat, dalam bentuk
harapan dan cita-cita.
Aku selalu menjadi seseorang yang sama. Tidak lagi
berbeda, demi tiupan angin Jakarta.
Pria yang kau cintai selalu di sini,
membakar api masa lalu yang penuh istilah iri.
Kamar ini serasa disemburkan aroma surga, aromamu
yang kuhisap selamanya.
Siapa yang menganggumu sayang?
Beritahu aku. Tubuh kurus ini akan membelamu mati-
matian.
Sore hari memiliki arti kali ini, bukan berarti menjadi
gila.
Jalan panjang kususun dengan rangkaian bintang-bintang
yang menyisipkan pesan ke telinga saat malam
menerjang gelapnya perasaan. Ada Merida, dia
membawa lentera api yang menerangi hati.
Pecahan-pecahan kompleks yang tersebar di tepian
matahari kuajak bersemedi, menyaksikkan sore hari yang
memiliki arti kali ini, bukan berarti menjadi gila.

Tak Tertebak
Tak bosan aku menulis tentangmu, gairah ini selalu
menggebu-gebu. Kehendakku bersikeras untuk
melafalkan kata-kata dalam kepala yang terbalut makna.
Nafasku teraliri wangimu yang menembus kesibukan
angin mengejar rencana langit menonton hujan yang
diiiringi misteri awan mendung gelap gulita.
Hidupku mengandung arti, dipenuhi istilah berwarna-
warni.
Aku terus berdiri ,
menanti sebuah pesan dari Tuhan,
untuk menentukan,
kapan kita akan melaksanakan pernikahan.
Jalan jauh aku tak peduli, kekuatan sedang kuserap dari
rohmu yang kudekap setiap hari.
Tertatih-tatih,
mendekatimu,
bahkan jika harus begitu,
aku takkan pernah merintih.
Flamenco Sketches (Bagian Pertama)
Mengecup jiwa,
penuh dengan madu surga.
Wangi anggur,
ketegangan melebur.
Bercampur-campur rasa,
bekerja bagaikan memiliki seribu nyawa.
Bermetafisika..
Waktu terbentur,
menunggu senyap angin mengguyur.
Semua punya cerita,
yang sama tapi berbeda.
Menolak kabur,
apalagi tergusur.
Bermetafisika..
Ketukan kehendak,
menjambak-jambak.
Memukul khayalan,
tidur dalam kenyataan.
Menghirup suara luluh-lantak,
tak tertebak.
Bermetafisika..
Mengigit Keabadian,
bak Akar Tumbuhan.
Memasak otak,
tersulut arzak.
Bermetafisika..
Jeritan politis begitu manis, menghajar telingaku yang
tipis.

Kita dan Kata


Bermain-main, mengisi waktu dengan menulis
percakapan angin. Aduh, itu membuatku merinding.
Usapan jari-jemari yang menghapus segala kenangan
pada malam-malam penuh khayalan.
Belumkah aku mengerti?
Siapa yang tahu?
Langkah-langkah cerdik kukuliti hingga habis tak tersisa,
hanya saja terdapat bongkahan rasa curiga.
Menggoyang-goyangkan kaki di atas awan itu sungguh
membawaku kian terlena.
Belumkah aku mengerti?
Siapa yang tahu?
Seseorang menghampiri kesendirian,
bak ratu dari negeri tanpa tuan.
Bersih sekali penampilannya,
menggugah mata menjadi lebih tunduk kepada cahaya,
aku berharap sampai buta.
Belumkah aku mengerti?
Tidak lagi..
Terbakar
Senyummu sayang,
membuatku kepalang.
Aku sungguh ikhlas jika itu hanya tipuan.
Pemilik Sapu
Memeluk kekotoran,
lalu kamu bersihkan,
sebening bulan.
Pagiku Cukup Cerah
Bunyi bola plastik,
menendang-nendang pendengaran.
Seperti kamu yang cantik,
menendang-nendang perasaan.
Gelap yang Memabukkan
Beludru hitam,
memanjakan mata.
Hingga siang dan malam tak aku acuhkan.

Pendobrak Kelihaian Cara di Luar Kepala


Auramu mengalir deras,
membuka ruang-ruang baru.
Dayaku semakin lemas,
diserap habis-habisan oleh rasa rindu.
Lompatan Jauh
Menyusuri kegelapan,
direndam wewangian Daun Alam,
tenggelam,
diselamatkan Sang Keabadian.
Mencuci Jubah
Tampilan badan membuatku bosan,
dan jiwamu aku kenang.
Olesan Tuhan tanpa kewas-wasan,
aku kegirangan.
Perantara
Kuhirup nafas pencipta,
bergerak melata,
Dia berkata: "Akulah Cinta."
Kutemukan itu di Safira.
Meluangkan Waktu Melatih Mental
Aku akan mengejarmu.
Biarkan saja aku begitu.
Kesekian Kalinya
Kau bangkit dan bersaksi.
Kau tak peduli siapapun yang menyakiti,
kecuali dirimu sendiri.

Upaya Kesungguhan
Menghirup mimpimu,
akan kujadikan nyata,
sampai usai cerita kita.
Tak Ada Kata Habis
Berdiri memandang kaca,
kupandangi matanya,
tiada hingga.
Berkat Awan
Gagasanku bergugus-gugusan,
meracik jiwamu yang unik,
yang baik.
Celoteh Dalam Diam
Kudengar suara: "Berikanlah semua terhadapnya, jadilah
hamba keabadian."
Aku sungguh sudi, demi menghapus rasa sakit yang
engkau tanggung selama ini.
Percikan
Aku dihujani rasa yang berbeda,
membasahi kesamaran hati.
Aku diterangi rasa yang sama,
menyengat bulu kuduk yang berdiri.
Kliyengan
Berputar-putar,
mencari jalan keluar.
"Sering sekali matamu mendongak ke atas."
"Masalahku begitu luas."
Beri Aku Jalan Masuk
Aku ingin menjadi perekat hatinya yang terbelah oleh
darah.
Aku ingin mengental lebih dalam dan tenggelam,
agar ia tenang.
Beri Aku Jalan Masuk (Bagian Dua)
Sayang, aku akan membalas siapa saja yang
melecehkanmu,
kecuali engkau memberikan maafmu.
Gerakku tergantung keputusanmu,
di saat-saat tertentu.
Sebentar Lagi Hilang
Triliunan buih menggumpal di kepala Safira,
aku sedang menyedotnya,
dan menggantinya dengan cinta.
Juru Selamatku Seorang Wanita
Beranikan dirimu melawan rasa takut,
hanya setan yang pengecut.
Engkau terlahir seorang diri,
sesungguhnya engkaulah orang yang terpilih.
Pemantik
Engkau meraut aku punya akal,
hingga terang seperti lampu.
Mengusir laron-laron nakal,
yang akhirnya merapu.
Tertawan Keberadaannya
Asam dan manis menggeliat di lidah.
Aku butuh penyedap.
Dia datang si Pipi Merah,
merasa tersadap.
Kekaguman
Perempuan Pendekar,
tetap di situ.
Jangan ragu,
menghapus segala rasa gusar.
Kekaguman (Bagian Dua)
Kenalilah dirimu betinaku,
matikan yang lama,
hidupkan yang baru,
sisihkan segala sisi dirimu yang penuh praduga.
Kekaguman (Bagian Tiga)
Ohhhh kenapa engkau sangat manis?
Semacam tetesan jeruk nipis,
jatuh ke dalam mataku yang tipis,
menghilangkan si Iblis.
Ramai
Tertusuk sesuatu,
sedikit ambigu,
bukan abu,
bukan pula batu,
namun rasa rindu.
Mainkan Kesadaran
Jembatan Keabadian,
jangan ditutup.
Sungguh, kata-kata itu telah termaktub,
dalam kesunyian.
Maka dari itu, pergi meninggalkan kedirian bukan satu-
satunya alasan melawan hidup yang penuh cobaan.
Terbakar (Bagian Dua)
Terjadi pembunuhan terhadap matahari.
Terjadi penyelewengan di malam hari.
Melihat kekasih memakai hati nurani,
bak cahaya berapi-api.
Ilham Laba-Laba
Tersangkut, bagaimana cara menerawang masa depan?
Oh, aku lupa menyebut,
tentang hasrat bersama wanita,
sampai kematian menyatukan.
Prasasti Purba Berbahan Cinta
Apa artinya keindahan tanpa ada yang merenungkan?
Peninggalan sia-sia.
Selalu dan selalu mengajakmu membentuk kenangan,
yang menyublim.
Musik
"Ambil atau tidak?"
Silahkan tebak..
Terkandung makna permainan anak-anak..
Pertolongan Pertama
Matikan lampu secepatnya.
Aku tidak sabar melihat cahaya,
begitu terasa,
dan perkasa..
Kaca
Kotoran mata menumpuk,
pandangan suntuk.
Sedetik kemudian,
apalah arti keletihan,
kalau bukan kemudahan.
Terkadang Aku Suka Engkau Mengeluh
Pegal-pegal,
rambut juga gatal.
Antrian memori berbaris,
akselerasi seorang kapitalis,
bergaya komunis.
Sadar akan Sesuatu
Invansi terlembut dalam sejarah,
gertak-gertak basah,
berbibir merah,
menancapkan penjuru arah,
di tanah basah,
sesekali terbegal..

Apalah Arti Puas


Sore yang cerah,
kekurangan mega merah.
Malam memasuki arena permainan,
mengacak-ngacak awan,
terbentuklah wajahmu,
tidak lagi kelabu,
namun sangat ayu.
Aku di sini dan engkau di sana,
cobalah menutup mata,
memasuki diri sendiri,
temukan Kandungan Alam,
dan Akar Tanaman,
ada juga hembusan Bius Kepastian.
Biarkan aku tinggal selamanya,
tonggak-tonggak sedang kususun.
Malam yang indah,
dipenuhi khayalan mewabah,
untung saja terarah,
ke masa depan kita,
di mana-mana,
karena cinta memang membingungkan,
lebih daripada alur berpikir anak-anak yang
menghabiskan waktu di Kawasan Sudirman.
Aku mengikuti kamu di situ,
belum rabun,
terlalu kagum,
menari tanpa lagu,
bergerak meminta ampun,
wahai kehadirannya lebih nikmat dari opium..
Biarkan aku tinggal selamanya,
tonggak-tonggak sedang kususun.
Sent from my iPhone

Anda mungkin juga menyukai