Anda di halaman 1dari 4

Manusia Baru

Sebenarnya aku ingin menuliskan sebait puisi di awal tulisan ini tetapi itu tidak aku lakukan karena aku takut isi pikiranku terbaca oleh pembaca. Aku juga ingin menuliskan sebuah syair lagu yang indah di belakang bait puisi tadi tetapi juga tidak bisa aku lakukan. Kenapa? Aku khawatir kalian nanti tahu apa yang sedang aku senandungkan dalam hatiku. Sesosok perempuan yang sangat tegar bisa menangis di haribaan dan di sela tawa yang sedang terburai lepas. Itulah aku saat ini. Orang bilang kalau aku adalah jiwa yang riang dan jauh dari syak wasangka, kenyataannya, ada orang sedikit berbisik ditelinga saja, langsung gatal dan merah telingaku. Aku merasa sedang digunjing orang. Padahal rasanya tak ada yang menggunjingkan aku namun aku adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Yang selalu ingin mendapat perlindungan dari pasangan. Apa benar mereka menggunjingkan aku? Padahal aku sedang berbahagia saat ini. Dunia sedang tersenyum menyambut manusia baru yang lahir dari jiwa pasanganku. Salahkah kalau aku ucap syukur dengan caraku sebagai penyambutan yang pantas dia terima? Rasanya semua baik-baik saja. Atau aku yang terlalu banyak berpikir tentang orang lain yang seolah tidak mau tahu apa yang sedang aku pikirkan. Atau aku memang tidak mau tahu kalau orang lain ingin mengetahui apa sebenarnya yang sedang aku pikirkan saat ini? Mungkin anda ingin sedikit saja mengetahui kalau saat ini ada denting-denting indah dan mendayu dalam jiwaku. Lorong jiwa yang tadinya gersang dan tandus kini berseri. Tumbuh dedaunan yang menghijau indah. Mekar semarak bunga flamboyan di sisi hatiku. Di kisi-kisi jiwaku yang rapuh. Di relung asmaraku yang dulu poranda. Masih perlukah senandung duka di jiwa bila mentari menampakkan diri di ufuk timur dan siap menerangi kisi hati yang tadinya gelap bertabur sunyi? Jawabannya tentu tidak. Andai tiada bisik-bisik di sekitarku yang mempersempit saluran nafasku. Andai ada niat baik orang dari orang pilihan di sekitarku yang bisa menyatukan dua jiwa menyatu jadi satu lewat acara sakral yang lumrah.Yang terjadi.

Senyum yang mekar di bibirku berubah menjadi tangis yang pilu. Canda ceria yang terburai dari dua hati, lenyap tak berbekas ditelan kemunafikan yang terjadi di sekelilingku. Aku hanya bisa pasrah. Aku tak kuasa untuk memaksakan kehendak jiwa yang seolah ingin memberontak keluar dari raga. Aku ingin saat itu lenyap ditelan bumi di depan mana kaki berpijak saat itu. Karena orang dari orang pilihan menolak menyatukan dua jiwa menjadi satu. Ya. Menolak untuk menyatukan dua jiwa agar menyatu menjadi satu lewat ucap,"Syahadattain dan Qobbiltu nikahaha watajwijaha." Jiwaku menggelepar nyaris sekarat karena acara telah tergelar. Namun batin kecilku bicara,"Allah maha besar. Aku harus bersabar dan tawaqal." Tiada yang sempurna di bumi ini termasuk rencanaku. Pasti. Ya pasti. Nanti Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik buatku dan manusia baru, pasanganku. Aku patut bersyukur pada-NYA karena aku telah mendengar dan menyaksikan bibir manis kekasihku mengucap,"Asyhadu Allaa illahaillalloh. Wa Asyhadu Anna Muhammadarrosullulloh," sebanyak tiga kali dengan dituntun Pak Kiai di hadapanku. Jiwaku bergetar mendengarnya. Aku turut mengucapkannya mengikuti tuntunan Pak Kiai Ali. Derai air mata tak terbendung. Aku bahagia. Sangat bahagia. Kekasihku telah mengikuti agama Allah. Aku tak bisa menghentikan deraian air mataku sampai ditutup dengan doa. Aku biarkan air mata bahagia menghiasi hariku saat ini. Menghiasi hatiku detik ini. Ini hari bersejarah dalam sisa hidupku. Tiada yang lebih bahagia hari ini kecuali aku. Di sela-sela jemari tangan yang menutupi wajahku. Airmata terus mengalir. Asin, manis, pahit dan beraneka rasa kurasakan saat ini. Di depan mereka, kedua kakakku dan Pak Kiai Ali, kuraih tangan kekasihku. Kucium tangan lembut itu sambil kuucap, "terima kasih sayang," di antara derai air mata yang masih terus mengalir dan di antara sedu sedan yang tak bisa berhenti. Dia telah menyematkan setangkai bunga cinta yang paling indah di dadaku. Aku tersenyum di antara sedu sedan dan kebahagiaan.

*** Kupandangi dengan takjub menyingkirnya matahari yang menutupi rembulan dengan perlahan-lahan. Aku berdiri di beranda pendopo. Kupandangi rembulan yang sipit dan pelan-pelan membesar dari celah daun-daun cemara di taman pendopo Dewan Kesenian Jawa Tengah Surakarta. Aku bersapa sejenak dengan rembulan itu. Sebenarnya rembulan itupun enggan diganggu sinarnya. Namun alam menghendaki lain maka rembulan pun pasrah tertutup matahari hingga terjadi gerhana bulan penuh. Seolah aku mendengar rembulan menasihati aku agar aku pun bersabar sejenak. Kau heningkan cipta. Sapalah apa dan siapa yang berada di dekatmu. Carilah arti dengan bahasa alam yang kau kuasai. Aku yakin kamu akan bisa memetik hikmah di balik semua kejadian. Tak akan lama awan menutupi matahari. Tak akan lama matahari menutupi jalannya rembulan. Bersabarlah, tawaqallah, nikmatilah cobaan demi cobaan yang DIA berikan kepadamu." Aku mengangguk. Kuhela napas panjang untuk menjawab sapaannya. Lenguh kusut dan benak yang carut marut penuh beban batin yang tadi sangat menghimpit kulepaskan perlahan. *** Kulihat sepasang anak manusia berdiri di keremangan. Dari kejauhan tampak gumpalan awan resah yang keluar dari bibir-bibir mereka. Napas-napas mereka tampak bagai gumpalan kapas putih yang keluar dari hidung dan bibir-bibir mereka. Gerak-gerik mereka yang resah berdiri sambil menggosok-gosokan kedua tangan untuk melawan hawa dingin. Mirip. Seolah jiwa-jiwa nan resah itu mirip dengan keadaanku. Tapi itu tiga hari yang lalu. Kini tidak lagi. Kini kunikmati irama kehidupanku yang kuanggap sangat berarti dan kini telah kutahu inti kehidupanku. Kekasihku telah memberikan mutiara hatinya buat mahar pernikahanku nanti. Dan aku menerimanya dengan suka cita. Aku menoleh sejenak ke samping tempat dudukku. Kulihat kekasihku tertidur

dalam damai di sandaran kursi bus kota yang membawaku dari Surakarta. Aku tersenyum. Kutengok jam yang melingkar di lengannya. Sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi bus sampai di kota tujuan yaitu Wonosobo. Menuruni bukit Kledung Pas tatapanku kupertajam. Tiada tampak apapun di depan bus yang aku tumpangi. Semua tampak putih mengejar, menabrak kaca bus kota. Hanya tampak lorong putih kabut yang panjang, dihiasi lampu kabut dari masing-masing kendaraan yang lewat. Aku bagai memasuki dunia baru. Dunia yang tampak samar dan kuterjang bersama bus kota. Putih itu meninggalkan titik-titik embun di kaca bus yang melaju tak peduli. Kupejamkan mata berusaha menggali mimpi. Mimpi yang indah kuharap datang menghampiri. Empat hari setelah lahirnya manusia baru. Pikiranku sudah tenang. Asa telah tergenggam di tangan bersama dia yang kucinta. Meski kini sendirian di istanaku. Kukerjakan semua kerjaaan seorang diri. Menyapu halaman, mencuci pakaian dan menjemur baju. Hatiku terasa syahdu. Ternyata Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik buatku daripada yang aku rencanakan. Meskipun jalannya terjal dan berputar. Yang pasti. Aku tetap bahagia karena dipersunting oleh manusia yang baru lahir lewat Kalimah Syahaddat.

@ Istana Rumbia, 01 September 2007

Anda mungkin juga menyukai