Anda di halaman 1dari 4

Jiwa Kembarku Lagi-lagi perempuan itu. Apa tidak bosan ya setiap hari duduk di situ?

Kalau tidak salah, sejak akhir bulan lalu sudah mulai duduk di sana. Ya. Aku ingat. Tepatnya sejak tanggal dua puluh lima. Karena saat itu aku sempat bertanya padanya. Anehnya duduknya ya selalu di tanggul tersebut. Memandang ke satu arah. Ah! Entahlah. Sedang menunggu apa dia kiranya. Tapi aku penasaran juga, apa tidak merasakan hawa dingin ini? Angin bertiup begini kencang. Kok malah, kulihat dia tersenyum behagia seolah sedang bercanda dengan angin. Tapi kali lain, aku melihatnya sedang bersedih sampai matanya berkaca-kaca. Jangan-jangan dia orang gila. Kasihan juga kalau masih muda begitu sudah gila. Tapi pakaiannya bersih, dandanannya juga rapi pakai topi segala. Atau, dia seorang penyair yang sedang mencari inspirasi? Bisa dipastikan, bila jam begini dia duduk dengan santai di tanggul itu. Keberadaannya sangat menarik perhatian orang yang lewat. Namun seolah tak ada apa pun yang menganggu keasikannya. Saat kutanya, ia pun menjawab, tapi jawabannya ku anggap aneh. Hai perempuan. Sedang apakah kiranya dikau selalu duduk di situ? Aku sedang dipukuli oleh kesombonganku. Sedang digilas-gilas oleh nasibku. Sedang dicemooh oleh keangkuhanku sampai hancur jiwaku. Apa aku tak salah lihat? Karena yang kulihat dikau sedang tersenyum. Tangis dan tawa adalah gambaran dari pikiranku. Kalau aku kini tersenyum apa urusanmu? Karena senyumku bisa jadi hanya topeng. Namun bisa pula saat ini aku sedang senang karena bisa mengalahkan Aku. Apa kau sedang bercanda dengan daun-daun kering yang berguguran itu? Ya. Kau tuanglah ke cangkir karib yang datang agar kering sebagian deritamu. Karena seseorang pada akhirnya akan mengadu bila tak kuat menanggung apa yang menghimpit batin. Kenapa malah berhari-hari duduk di situ. Pada siapa kau akan mengadukan deritamu? Aku sedang menunggu bangkitnya angin yang akan mengajak daun-daun itu menari. Setelah gugur dari rantingnya. Karena saat itulah aku bisa menikmati keindahannya. Seolah aku sedang melepas kerinduanku akan kedamaian. Gilakah perempuan ini? pikirku. Belum lagi aku bertanya dia meneruskan kata-katanya.

Karena ribuan daun yang gugur dan berserak di udara menari bersama angin. Mengingatkan aku pada sebuah negri yang penuh asa, cinta, dan cita. Betapa aku ingin menari besama mereka walau akhirnya akan luruh ke tanah. Sampai kapankah, kau perempuan, akan duduk di situ? Sampai alam memeluk jiwaku hingga hilang deritaku. Karena deritaku adalah derita anak-anakku. Ya. Aku tahu. Sebanyak apa anakmu adalah karunia yang tak ternilai harganya. Jadi yang utama jagalah kesehatanmu. Jangan sampai kau jatuh sakit, kalau kau sakit siapa lagi yang akan menjaga dan membesarkan mereka semua. Jangan kau bertanya lagi. Aku tak ingin bicara karena takut membangunkan ombak. Tapi aku harus bicara karena tak mau digulung ombak. Aku masih bingung mencerna kata-kata perempuan itu hingga aku terdiam tak tahu mau ngomong apalagi. Bagaimana tidak bingung sedang membicarakan angin larinya ke ombak. Padahal di sini mana ada laut yang berombak. Karena di sini adalah daerah pegunungan. Di saat aku masih terdiam, dia meneruskan kata-katanya yang kuanggap makin aneh dan makin yakin kalau perempuan itu miring otaknya. Aku tak ingin bergerak karena takut menggerakkan angin. Tapi aku harus bergerak karena tak mau dikejar prahara. Sinting!! Benar-benar sinting! Tadi bilang sedang menunggu bangkitnya angin. Kini bilang takut menggerakkan angin. Berarti memang cocok kalau mengadu pada alam. Otakku tak bisa mengikuti kemana pikirannya. Dia sedang frustasi barangkali. Mungkin tak ada manusia yang bisa meladeni kata-katanya. Tapi aku mau bertanya lagi. Aku masih penasaran. Masa orang gila bicaranya seperti raja angin begitu. Hai perempuan! Sebenarnya siapakah dikau adanya? Kata-katamu sangat membingungkan hatiku. Sudahlah ...!? Aku adalah kamu. Karena kamu juga perempuan. Kalau ingin tahu siapa diriku maka selamilah jiwamu. Jiwaku? Geletar jiwaku mendengar jawaban perempuan itu. Karena yang aku tahu selama ini perempuan itu sangat kuat, keras kepala, baik hati, ramah, dan segudang julukan lainnya. Kenapa kini begitu judas bicara padaku. Dan aku tahu kerontang jiwanya setelah ia menjadi orang tua tunggal bagi keenam anaknya.

Pernah aku melihat ia menangis sambil tersenyum. Bola matanya berseliweran memandangi daun-daun yang sedang berguguran. Bibirnya berbisik, Kering dan luruh. Dia hanya tersenyum tipis saat aku dekati dan kubelai pundaknya. Dia tahu aku datang untuk menghiburnya. Tapi dia malah balik bertanya padaku. Siapakah kamu wahai perempuan? Hanya kujawab dengan senyuman tanpa kata. Kuteliti wajah putihnya dan kutemukan kecemasan di sana yang tampak begitu nyata. Ukiran-ukiran pengap terlukis di garis wajahnya. Kejenuhan dan kebosanan tampak di binar hampa matanya. Sekarang. Perempuan itu memandang lurus ke mataku tanpa bicara. Tapi aku bisa mengerti apa makna tatapannya. Dalam kesunyian ku dengar suara melayang-layang di sekitar jiwa yang menjerit dalam keputusasaan mendendangkan lagu harapan. Itu yang ku tahu dari tatapannya yang bicara. Perempuan. Pulanglah! Hari telah sore. Nanti anak-anakmu mencari di mana ibunya, saranku. Tiba-tiba dia bicara dan bicaranya mengagetkanku, Anak-anakku ibarat batu karang kecil yang kokoh. Sungguh menyenangkan mempunyai anak seperti mereka. Aku bahagia melihat perilaku mereka. Ya. Rupanya dia mulai membuka diri untuk mencurahkan isi hatinya padaku. Aku masih diam saja menunggu lebih lanjut apa yang mau ia sampaikan. Tapi nada bicaranya begitu pilu seperti suara saluran air yang kudengar meratap bagai seorang ibu kehilangan anaknya. Ku gelengkan kepalaku keras-keras untuk mengusir perasaan yang tadi hinggap. Aku siap mendengarkannya. Tapi hanya segelintir manusia yang mau tahu warna hatiku, biru, hitam, ataukan merah jingga. Dan yang hanya segelintir inilah yang mampu membuatku bahagia. Namun alangkah susah meraih hatinya dan hati keluarganya. Aku tak tega melihat matanya mengembang berkaca-kaca tapi aku diam saja karena sepertinya ia mau meneruskan bicaranya. Asal kau tau hai perempuan. Derai air mata yang menyedihkanku ini lebih manis ketimbang darai tawa seseorang yang mencari namun untuk mencampakkannya. Aku tahu sekarang.

Seuntai rantai yang menggabungkan pesona masa lalu dengan kemegahan masa depan menyatukan keheningan perasaan dengan nyanyiannya. Sedemikian kerinduan mencabik-cabik kerudung rahasia cinta. Aku tak mau langsung mengatakannya. Hanya menebak-nebak ke arah mana jalan pikiran perempuan itu. Aku juga tidak mengganggu lagi dengan pertanyaanpertanyaan. Aku hanya menunggu dan melihat sikapnya yang begitu hening. Seolah sedang menyatu dengan alam. Kulihat ia mendongak memandang ufuk cakrawala nan elok. Sekejap kemudian ia bangkit dan melangkah pelan sambil menunduk. Seolah berjalan sambil menghitung jejak mentari yang merambat begitu pelan di depan kakinya. Tak bosan ku ikuti kemana langkah kakinya. Ternyata perempuan itu mendekati telaga kecil dan duduk di rerumputan senja. Ditemani sinar jingga yang memantul dari air telaga. Ia meraih selembar daun kering yang sedang berenang dengan hatinya. Tafakur di tepi telaga bagai orang hilang yang tak punya pekerjaan. Hingga tirai malam menyelubungi di mana ia sedang menyendiri. Jingga di telaga berubah warna menjadi keemasan. Terdengar ia mendesah perlahan saat dipeluk sinar rembulan. Senyum tersungging di bibir yang kering. Menerima ciuman rembulan yang bergetar di cermin luas menghampar di hadapan. Namun kala ia ingin menyapa rembulan dan menyentuh airnya, rembulan hilang bentuk dalam kabut. Perempuan itu bergetar dan membeku. Aku kenal betul siapa perempuan itu dengan segudang watak dan tabiatnya. Karena aku adalah jiwa kembarnya. Yang tak bisa melepaskan kemana ia menaruh harapan. Namun selama ini yang aku tahu, harapan hanyalah harapan. Karena di bumi ini tiada lagi yang bisa diharapkan. Dibanggakan. Selain kasih sayang dan kesetiaan. Walau hampa belakangan. Tak akan berhenti. Terus berjalan. Perempuan itu berbisik pantun, berkeriut suara dipan lapuk/temaram pelita membias bayang/langkah suci di dua pertiga malam// menghitung waktu disisa usia/terangkai tasbih derita.berdentam suara jendela gerbang/angin bertiup mengajak kawan// daun keladi di luar sana/engajaknya zikir bersama.// (Puisi ini berjudul sahabat si miskin.) @ Temanggung, 20 Januari 2007

Anda mungkin juga menyukai