Anda di halaman 1dari 6

Perempuan penyebar maut

Sosok itu meringkuk di kamar tidur rumah kontrakannya. Selimut di kerudungkan ke seluruh tubuh bahkan kepalanya ikut pula masuk ke dalam selimut itu. Dia sedang menangis dalam sunyi. Menangis dalam kesendirian berkerudung mendung dan berkesah dengan penuh penyesalan. Suaranya sudah habis hingga tangis tak lagi bisa mengeluarkan suara. Detak jarum jam di dinding kamarnya terasa begitu gempita di telinga. Suara saluran air got di emperan kamar kost, terasa bagai gelombang pasang yang mendesaknya hingga terhempas ke dinding karang. Detak jantung yang terjepit di sekitar telinganya bagai suara kobaran api neraka yang siap menelan bulat-bulat. Tubuh ini menggigil ketakutan. Pelukan pada bantal guling diperketat. Selimut yang menyelubungi raga ditariknya untuk menutupi wajah yang sedang diintai mentari pagi. Sudah genap satu minggu dia bersikap aneh, tak mau menemui siapapun, tak mau berbincang dengan kawan manapun apalagi dengan telpon kesayangan yang biasanya setiap berdering dia akan tersenyum sumringah. Kini dibiarkan saja telpon itu berdering berulang kali. Dia tak peduli dan tak sudi mengangkat. Dia takut melihat telpon itu, setiap kali melihat telpon itu bagai melihat malaikat pencabut nyawa. Yang seolah sudah berada di ambang pintu dan akan segera menariknya lepas dari raga. Alunan musing ringtone dari telpon genggamnya yang biasa terdengar begitu merdu kini terdengar sangat menyakitkan telinga. Dia ingin mencekik Celin Dion yang sedang melantunkan lagu My heart will go on andai saja orangnya ada di hadapannya. Dia cantik. Tubuhnya seksi. Wajahnya oval dan usianya dua puluh lima tahun. Dia bernama Mia. Tak biasanya Mia bersikap mengurung diri dalam kamar sempit tempat dia kos. Meskipun sudah beberapa bulan ini kosnya gratis karena ada yang membayarkan, Mia merasa tidak enak kala uang di tangan sudah amblas tak tersisa. Tak mungkin minta uang buat makan sehari-hari. Mia bukan anak cengeng yang suka minta belas kasihan orang lain. Namun kalau keadaan sudah mendesak seperti ini, Mia tak bisa berbuat banyak. Tubuh yang sedang mengkerut di ranjang itu menyentak selimutnya dengan keras. Hingga selembar selimut itu terjatuh di lantai. Mia membiarkan saja selimut itu tergeletak.

Penyesalan yang teramat sangat yang sempat menghuni batinnya beberapa bulan belakangan ini, kini menguap tak tersisa. Mia marah pada diri sendiri. Mia merasa masa bodoh dengan Tuhan. Masa bodoh dengan apa itu dosa. Terutama masa bodoh dengan kematian yang sedang mengintainya. Dia merasa percuma mengurung diri dalam bilik kos yang sempit guna menyesali semua kelakuannya. Saat kehabisan uang seperti ini, dia harus minta siapa? Selain dirinya sendiri yang harus banting tulang mencari uang buat berobat dan buat makan sehari-hari. Mia memaki diri sendiri kalau dirinya benar-benar bodoh! Bodoh kenapa tidak bergerak seperti biasanya yang bisa gembira ria. Bisa mendapatkan kesenangan dimanapun dia mau. Bisa berajojing di club-club malam. Bisa menerima langganan dengan imbalan uang segepok yang bisa ditabung kapan dia mau. Goblok betul aku! Kenapa aku harus menyesali diri. Toh kalau aku menyesal, penyakitku tidak akan sembuh. Aku harus bangkit dan tak boleh lemah. Aku harus ceria kalau tidak ingin terlihat oleh mereka bahwa aku sudah diintai maut. *** Terdengar hingar bingar musik dari night club di pusat kota Surabaya. Seorang perempuan muda dan cantik sedang asyik berjoget sambil bergelayut manja pada pundak seorang laki-laki ganteng yang sudah berumur. Perempuan muda itu adalah Mia. Laki-laki ini tubuhnya kekar dengan rambut cepak. Sangat terlihat kalau dia punya kekuatan yang dahsyat di ranjang. Mia sering melirik pada pria di pelukannya. Mia melihat sepertinya ada sesuatu yang dicari oleh pria itu tapi Mia tak menemukan apa yang dicurigainya. Yang dia lihat, pria itu sering terlihat gelisah. Hanya itu. Sepulang dari night club Mia dan pria tersebut menuju hotel yang sudah dipesan. Di tengah cumbuan yang seru di atas ranjang hotel. Pria itu mengikat kaki tangan Mia dengan santai. Mia sudah terbiasa menerima perlakuan yang aneh-aneh dari laki-laki hidung belang yang menidurinya maka dia diam saja. Tetapi Mia bergidik melihat seringai ganas muncul di bibir laki-laki itu. Setelah kaki tangan Mia terikat sempurna, laki-laki ini mempermainkan tubuh Mia sedemikian rupa. Mia mulai kaget saat lakilaki itu mengambil tas dan mengeluarkan dompet. Manisku. Ini nanti akan menjadi milikku. Kata laki-laki itu sambil menunjukan dompet milik Mia. Mia berontak mau melepaskan diri. Hai kau apakan aku? Lepaskan tali ini? Jangan sentuh barang-barangku!

Ha, ha, ha. Perempuan dungu! Perempuan sundal! Aku akan menikmati tubuhmu dan setelah itu... bye, bye... Ha, ha, ha, ha, ha, jawab pria tersebut dengan senang karena berhasil mengikat Mia di tempat tidur dengan mudah. Pria itu melepas semua pakaian yang dikenakannya. Mia yang melihat gelagat buruk, tak berdaya namun Mia tersenyum dalam hati karena Mia melihat pria tersebut tanpa pakai kondom. Mia diam saja. Namun dia menyesal kenapa perasaan curiganya tadi tak diartikan dengan sempurna. Ternyata benar kalau pria ini hanyalah laki-laki busuk, perampok dan pemerkosa. Ah! Puaslah aku cantik. Akan lebih puas lagi kalau isinya ini juga ku kuras! kata pria itu sambil membuka dompet milik Mia dan mengeluarkan isinya. Bajingan kamu. Jangan ambil uangku. Itu uang segitu-gitunya! Kembalikan brengsek! kata Mia berteriak-teriak sambil meronta-ronta karena kaki tangannya masih terikat di tempat tidur kamar hotel. Hemmmhh. Kasihan sekali kau cantik. Ini juga aku mau lho! Emh. Bagus juga handphone-mu. Lepaskan aku. Tolong jangan ambil milikku! teriak Mia yang tidak dipedulikan oleh pria tersebut. Aku sudah ambil dua macam milikmu. Tak apakan kalau aku ambil satu macam lagi? jawab pria itu sambil mencolek pipi Mia lantas menamparnya. Mia hanya memandang laki-laki itu ngeloyor pergi. Kurang ajar! Bedebah kau! Bye bye cantik..., kata pria itu menutup pintu kamar hotel sambil membawa uang tunai milik Mia dan telpon genggam. Mia masih terikat kaki tangannya di ranjang dalam keadaan bugil. Setelah sendirian di kamar itu Mia menangis keras. Tapi sekejap kemudian dia tertawa sampai air mata berderaian. Rasain kau pecundang! Kini kau memiliki tubuhku, uang dan handphone-ku. Miliki juga penyakitku! Ha ,ha, ha, ha, ha. Kau pecundang yang sembrono. Makan itu HIV! Mampus kau! *** Ah! Cukuplah satu minggu ini aku menerima tujuh laki-laki hidung belang. Tubuhku lemah dan capek. Uhm. Ini juga bintik-bintik hitam. Ini pasti karena obat viral. Tapi para hidung belang tidak boleh tahu. Ah! Selamat menyebar mautku. Jangan hanya aku saja yang kena penyakit. Sudah sewajarnya para lelaki hidung belang kena akibatnya. Aku mendapat penyakit maut ini juga dari mereka. Wah, 3

sudah satu minggu. Besok aku harus kontrol ke bagian Unit Perawatan Intermidiet Penyakit (UPIPI). Mia bergumam dalam kesendirian di kamar kos sambil duduk di depan meja cermin. Mia melihat wajahnya sendiri yang makin kurus, tubuhnya, lengannya, dan bercak-bercak hitam yang makin kentara di kaki dan lengannya. Mia tersenyum pahit. Mia akan mati dengan puas kalau matinya membawa teman yaitu para laki-laki hidung belang yang menidurinya. Sudah tak terhitung berapa banyak jumlahnya. Meski Mia selalu menawarkan kondom pada mereka, namun kebanyakan mereka menolak. Kalau melihat ini Mia akan tersenyum dan angkat bahu. Mia tak sudi bilang pada mereka kalau dirinya sudah positif terjangkit HIV/AIDS. Biar saja. Biar saja para lelaki iseng ini ikut mati bersamanya meski waktunya berlainan. Biar mereka memakiku saat ketemu di neraka nanti. Bisik hatinya. Mia mengerang kesakitan. Batuk dan sesak napas yang dirasakannya tidak juga berkurang meski Mia sudah minum obat dengan teratur. Mia tak sudi sekarat dalam kamar kos. Mia berdandan secantik mungkin. Sambil batuk-batuk dia keluar rumah. Sambil berjalan di trotoar kota Mia membenarkan letak syal warna merah muda yang dia lilitkan di leher jenjangnya. Mendekati diskotek. Mia menyulut sebatang rokok dan berusaha menghisapnya sewajar mungkin. Padahal dadanya sesak setengah mati. Belum sampai masuk ke diskotek, telpon genggamnya bergetar sambil mengeluarkan ringtone. Halo. Iya aku ke situ sekarang. Kamu baik-baik saja kan sayang? sapa Mia merdu. Seolah tak terjadi apa-apa atas dirinya. Mia pun membelokkan arah langkahnya. Dia menyetop taksi. Begitu pintu taksi dibuka dari dalam Mia segera naik. Taksi meluncur. Membelah keramaian kota Surabaya. *** Sayang. Kau datang juga?! sapa Dody. Iya lah. Kan kamu lagi gak enak badan. Gimana sayang? Apa yang kamu rasakan sekarang? tanya Mia penuh perhatian pada kekasihnya. Sudah agak enakan. Aku kena flu aja karena kemarin menerabas hujan deras sepulang dari Blitar. Kamu sendiri sudah periksa lagi belum? Sudah. Kan demi kita maka aku harus periksa dan kontrol secara rutin. Iya. Semoga kamu bisa sembuh seperti sedia kala. Kita bina rumah tangga yang bahagia. Mempunyai anak-anak yang ceria. Pasti anak kita nanti cantik-cantik 4

seperti kamu Mia, kata Dody sambil mengelus kepala Mia. Mia sendiri mendengarkannya dengan pandangan mata yang sayu. Dia menyandarkan kepala pada dada Dody yang masih berbaring di ranjang. Mia selalu sedih setiap kali Dody membicarakan masalah pernikahan yang akan dilaksanakan tahun depan. Dody bukan tidak tahu kalau dirinya mengidap HIV. Pemuda itu tidak mempermasalahkannya. Dody sangat mencintai Mia. Dody yang pengangguran memang menggantungkan hidup pada kekasihnya maka dia tidak peduli apapun. Yang penting bisa hidup berumah tangga dengan Mia. Dody juga tahu apa pekerjaan Mia selama ini. Meskipun sudah terserang HIV, Mia masih saja menjajakan diri pada si hidung belang. Dody tak pernah melarangnya. Dody juga tahu kekecewaan Mia beberapa bulan terakhir. Mia berusaha mencari penghasilan yang halal tapi selalu dan selalu ditolak. Dody paham. Dody memakluminya. Dulu dia kenal Mia juga di daerah pelacuran. Sejak itu Dody jadi langganan Mia walaupun tanpa dibayar Mia tidak pernah mempersoalkan. Katanya Mia juga mencintai Dody. Kini dody terbaring lemah di kontrakannya. Dody sadar suatu saat dirinya akan terserang HIV juga. Tapi dirinya memang sudah tidak peduli dengan hidupnya. Daripada hidup sebatang kara tanpa pekerjaan yang jelas dan tanpa sanak saudara. Dia menyerahkan hidupnya pada kekasihnya yaitu Mia. Dia bersama Mia sudah merencanakan untuk menikah. Mia sudah setuju. Mereka ingin mempunyai anak sebanyak-banyaknya. Mia masih termangu. Pandangannya kosong menatap satu arah. Kini penyakitnya makin mengganas saja di tubuh. Dulu setiap minggu dia bisa melayani dua puluh sampai dua puluh lima laki-laki hidung belang. Kini dia hanya berani menerima tujuh laki-laki hidung belang dalam satu minggu. Itupun tubuhnya melemah dan terus melemah. Dia pingin secepatnya menikah sebelum ajal menjemput. Ingin merasakan rasanya bahagia mempunyai keluarga. Tapi mampukah dirinya bertahan dan mampukah berpacu dengan penyakit? Mia sempat bertaubat barang tiga bulan. Namun Mia merasa tak ada gunanya karena tak ada lagi tempat yang bersih buat mencari rejeki. Setiap kali melamar pekerjaan selalu ditolak. Tak ada yang mau mempekerjakan mantan PSK dan pengidap HIV. Pingin jadi TKW ke luar negeri dengan mencoba masuk pengerah jasa tenaga kerja. Tapi diketahui hasil medical check up-nya unfit. Gagallah usahanya. Mia khawatir tak punya uang lagi buat mendapatkan obat viral untuk menambah sel darah putih. Mia putus asa. Dia memutuskan untuk tetap menjajakan diri. Kali ini wilayah operasinya diperluas. 5

Bukan hanya diskotek. Dia juga ke kafe hingga hotel berbintang. Meski begitu kisah kasihnya dengan Dody tetap berjalan dengan mulus. *** Hari ini aku tidak bisa kemana-mana. Tubuhku melemah di kamar yang baru ini. Sebenarnya ini kos yang bagus dibanding kos lamaku. Sialan. Kenapa pula ibu kos yang dulu tahu kalau aku mengidap HIV dan mengusirku. Semoga ibu kos jangan tahu kalau aku pengidap HIV. Kali ini mereka juga tidak boleh tahu kalau aku adalah perempuan penyebar maut. *** @ Istana Rumbia, Februari 2008 Penulis: Maria Bo Niok

Anda mungkin juga menyukai