Anda di halaman 1dari 6

His; Wentira

Oleh Chacha Prima

“Di mana ini?” Seorang gadis berambut hitam sebahu dan berkulit sawo matang
bermonolog sambil celingukan. Banyak pohon pisang di sekitar kiri dan kanannya seperti
kebun di belakang rumah. Bedanya ketika membawa pandangan turun, dia mendapati dirinya
berpijak pada jalan setapak yang mengarah ke dataran tinggi. Bukan rawa kecil.
Napas Mutia Maharani menderu selaras dengan jantungnya yang bertalu-talu.
Seingatnya tadi, dia menangis sampai ketiduran gara-gara Dion baru saja memutuskan
hubungan mereka secara sepihak dengan alasan ingin fokus belajar.
Alasan yang cukup basi menurut Mutia. Padahal dia sudah mendengar dari
sahabatnya kalau Dion suka dengan Weni, anak jurusan IPA III. Mutia hanya tidak
memercayainya sampai keraguan itu menuntunnya pada kebenaran asumi sahabatnya.
“Ini mimpi, bukan, sih?” tanya Mutia, masih sambil celingukan. Jelas lebih memilih
mengesampingkan rasa sakit hatinya demi mengetahui secara pasti di mana dirinya berada
sekarang serta situasi apa yang sedang dia dihadapi.
Tangan Mutia naik untuk menutupi wajah akibat paparan sinar mentari senja yang
menyilaukan, yang mengintip di balik daun-daun pohon pisang. Burung-burung terlihat
terbang. Suara kicauan mereka terdengar samar.
Sekali lagi Mutia menghela napas lalu daun telinganya dibelai oleh suara krasak-
krusuk yang sangat jelas.
“Apa itu?” Mutia kembali sigap. Kedua tangannya menggosok-gosok bahu.
Ketika suara itu semakin jelas dari arah kanannya, secara perlahan Mutia menoleh.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti dan kemampuan bicara serta berpikirnya lumpuh.
Sebelum akhirnya dia memelotot dengan mulut menganga lalu berteriak, “Ulaaarr! Argh!”
Mutia berlari, tersaruk-saruk naik ke bukit. Dia tidak peduli arah dan betapa
berbahayanya jalan setapak sempit itu.
“Tolong ...!” lolong gadis berkaus oblong oranye dan bercelana olahraga itu. Tangan
kanan dan kirinya sibuk menangkis daun-daun pisang yang terkena wajahnya. “Tolong—
aduh!” Mutia tersandung batu lumayan besar dan jatuh menggelinding ke lereng lembah.
Kakinya terkilir. Sandal jepit kanannya hilang. Sedangkan yang satunya putus.
Sial benar nasibnya.
Belum sempat Mutia diberi waktu untuk merintih kesakitan, entah bagaimana
ceritanya ular itu masih mengejarnya sehingga membuatnya menjerit lagi. “TOLONG!”
Ular hitam sebesar lengan Mutia sudah siap menggigit. Mutia menjerit sambil
memejamkan mata rapat-rapat. Air matanya bahkan sudah mengalir deras bak bendungan
bobol. Dia berdoa apabila ini hanyalah mimpi belaka, dia ingin segera bangun. Apabila tidak,
dia ingin ditolong.
“Jangan ganggu dia!” seru seseorang. Dari suaranya yang berat dan dalam, Mutia
yakin itu seorang laki-laki.
Mutia memberikan diri membuka mata. Pengelihatannya memang masih kabur oleh
air mata, tetapi bisa melihat seorang laki-laki berbaju koko warna khaki sedang ngos-ngosan.
Tangan kiri laki-laki itu menggenggam ranting kayu. Entah kayu apa. Mutia tidak tahu
lantaran tidak menemukan pohon lain selain pohon pisang.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya pemuda itu kepada Mutia. Dilemparnya ranting kayu
tersebut ke sembarang arah sambil mendekati gadis itu.
Gadis itu terpekur lantaran heran laki-laki di hadapannya tidak memiliki filtrum
seperti manusia pada umumnya.
“Halo? Kamu baik-baik aja? Kamu nggak apa-apa?” ulang laki-laki itu yang sudah
ikut berjongkok.
“M-makasih,” ucap Mutia gelagapan antara takut sekaligus tersipu. Diperhatikan laki-
laki yang ketampanannya melebihi Dion membuatnya merona. “Kaki kiriku sakit,” imbuh
Mutia.
“Biar aku lihat.” Laki-laki berambut ikal itu melihat kaki Mutia. “Kakimu luka.
Kayaknya terkilir juga.” Tanpa ba-bi-bu, dia merobek bagian bawah bajunya untuk dililitkan
di pergelangan kaki Mutia yang berdarah gara-gara tersandung tadi. “Sementara gini dulu.
Kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku buat ngobatin lukamu. Rumahku deket sini.”
“Mutia!”
Mutia dan pemuda itu kompak menoleh ke samping. Gadis itu heran karena mendengar
ibunya memanggilnya. Ibunya masuk mimpinya?
“Mutia, bangun!”
Mutia berkedip dan yang terjadi setelah matanya terbuka, ibunya yang berkacak
pingganglah yang pertama kali dilihatnya.
“Udah jam segini, sana siap-siap sekolah,” titah ibunya.
Hanya mimpi. Namun, rasanya seperti nyata. Dada Mutia menghangat juga penasaran
siapa pemuda itu. Rasa sakit hatinya terhadap Dion secara ajaib sirna. Sayang sekali dia
belum sempat menanyakan namanya.
Atau setidaknya itulah yang Mutia pikirkan. Karena saat menyingkap selimut, dia
kaget luar biasa melihat sobekan baju laki-laki itu melilit di pergelangan kakinya. Ada luka
gores juga di sana. Kakinya juga terkilir.
Apa-apaan ini? Jantung Mutia berdetak kencang sampai dia takut organ pemompa
darah itu akan menggelinding ke lantai.

•••

“Mutia, kakimu udah sembuh?” tanya Lana sewaktu melihat kaki Mutia sudah tidak
dibebat. Dia baru menyadarinya di jam istirahat sekolah.
Mutia tidak menyahut.
“Ya ampun, Mutia Kamu bengong lagi. Gara-gara Dion, nih, pasti. Kamu jadi suka
bengong gini.”
Bukan. Lana keliru. Mutia malah lupa sama sekali dengan Dion. Satu-satunya hal
yang selalu dipikirkannya ialah laki-laki dalam mimpinya. Sudah hampir tiga bulan sejak
Mutia memimpikannya. Laki-laki itu tidak datang setiap hari, melainkan dua kali seminggu.
Aneh bin ajaib. Mutia selalu mimpi di tempat yang sama dan di waktu yang sama.
Bedanya ular hitam itu sudah tidak ada. Dia bersikeras menanyakan siapa nama laki-laki itu,
tetapi laki-laki itu hanya diam sambil tersenyum. Seperti malam ini. Laki-laki itu
menggandengnya. Mutia pun bertanya, “Tiap kali kita ketemu, kamu selalu gandeng aku.
Apa kita ini pacaran? Kamu bahkan nggak pernah ngomong apa pun dan nggak ngasih tahu
siapa namamu.”
Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, laki-laki itu akhirnya bersuara. “Aku nggak
pengin sekadar pacaran sama kamu, Mutia. Aku pengin nikah sama kamu.”
Jantung Mutia kembali bertabuh kencang bak genderang perang. Dia memang
menyukai laki-laki itu. Toh, ini hanya mimpi. Jadi, tanpa banyak cakap, Mutia menjawab,
“Ya, aku mau dinikahin kamu.”
“Kalau gitu, kamu harus ikut sama aku,
Mutia.” “Tapi, siapa namamu?”
“Nanti kamu bakal tahu setelah ikut aku.”
Laki-laki itu menggandeng Mutia dan mengajaknya naik bukit. Di balik bukit itu
terdapat kota megah dengan teknologi modern yang belum pernah Mutia lihat. Bangunan-
bangunannya berdinding putih, tetapi atapnya berkilau emas. Ada sebuah bangunan besar
seperti istana. Kubahnya seperti terbuat dari emas.
Padahal setiap bermimpi, Mutia selalu ke bukit ini bergandengan dengan laki-laki itu.
Namun, kenapa baru sekarang dia menyadari ada kota sebagus ini di balik bukit?
Mutia lupa kalau sedang bermimpi.
“Namaku Fredel, Mutia. Dan ini tempat tinggalku, kota Wentira.”
Bagai disambar petir, Mutia mematung. Dia tahu Wentira. Kota yang digadang-gadang
sebagai kerajaan jin. Apabila Fredel tinggal di sini, maka laki-laki itu bukan manusia.
Seolah-olah bisa membaca pikiran Mutia, Fredel bertutur lembut. “Apa kamu takut,
Mutia?”
Mutia celingukan. Tidak ada satu pun jin yang berlalu-lalang di kota ini berwujud
seram. Semuanya tampak seperti manusia. Bedanya mereka tidak memiliki filtrum.
“Em, di sini nggak seram kayak bayanganku.”
Mereka tiba di salah satu rumah megah yang merupakan rumah Fredel dan orang
tuanya. Di sanalah Mutia mengetahui bahwa ayah Fredel seorang manusia dan ibunyalah
yang bangsa jin. Oleh sebab itu ayahnya terlihat jauh lebih tua daripada ibunya. Ibunya malah
terlihat seperti gadis seusianya. Dikarenakan ayahnya menikah dengan ibunya, ayahnya harus
tinggal di Wentira selamanya. Begitu pun dengan Mutia seharusnya nanti.
“Fredel, aku baru inget umurku masih tujuh belas tahun. Kita nggak bisa nikah gitu
aja.” Suara Mutia pelan, sarat akan kehati-hatian. Dia takut Fredel akan mengamuk dan
mencelakai Mutia, tetapi rupanya itu hanyalah kekhawatirannya semata.
Fredel sama sekali tidak marah. Laki-laki itu justru tersenyum. “Kalau gitu, aku
tunggu sampai kamu dewasa. Sekarang, aku antar kamu pulang.”
Mutia bangun dan berkeringat layaknya orang mandi. Sejak saat itu, Fredel tak pernah
muncul di mimpinya. Seharusnya Mutia senang karena bisa dijauhkan dari jin. Anehnya, dia
malah patah hati. Mutia menyadari kalau dia jatuh cinta dengan Fredel.
Mutia berusaha menjalani kehidupannya walau orang tuanya dan orang-orang di
sekitarnya menyadari perubahan dirinya. Mereka beranggapan dia patah hati karena Dion,
bukan Fredel—yang tak pernah mereka kenal sebab tak pernah Mutia ceritakan.
Tidak terasa sudah hampir lima tahun berlalu sejak terakhir kali Mutia memimpikan
Fredel. Sekarang dia sudah lulus kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan pembuat kertas
di kota Palu. Dia juga sedang dekat dengan teman kerjanya bernama Lingga. Namun, entah
kenapa tidak pernah lebih dari sekadar teman.
Hari ini kerjaan sangat banyak. Setelah diantar pulang oleh Lingga, Mutia lelah dan
tertidur di kosnya sebelum bersih-bersih. Lalu dia kembali bermimpi berada di bukit saat
senja.
Mutia bergumam, “Jangan bilang ini—”
“Mutia, udah lama kita nggak ketemu.”
Mutia terlonjak dengan jantung hampir pecah karena saking kagetnya. Itu suara Fredel.
Mutia menoleh dan melihat Fredel versi dewasa tengah tersenyum padanya. Laki-laki
itu jauh lebih tampan saat ini. Semestinya Mutia takut, lari atau minimal bangun dari mimpi.
Namun, dia justru merasa tentram dan damai. Ada kerinduan yang begitu besar untuk Fredel.
Jadi, secara impulsif dia berlari ke Fredel dan memeluknya erat-erat. Detik itu juga
kerinduannya terobati. Cinta memang gila.
Laki-laki itu pun balas melingkarkan lengan-lengannya pada tubuh Mutia.
“Ke mana aja, sih? Kenapa nggak pernah dateng lagi ke mimpiku?” cerca Mutia sambil
menangis.
“Maaf. Omong-omong, sekarang kamu udah dewasa, Mutia. Jadi, kita udah boleh
nikah, kan?”
Mutia mengangguk. “Tapi kita lagi di alam mimpi, gimana caranya aku bisa nikah
sama kamu? Gimana nanti kalau aku bangun tapi kamu nggak ada?”
Untuk saat ini, Mutia rela menukar apa saja demi bisa hidup di dalam mimpi bersama
Fredel. Benar-benar gila.
“Maafin aku, Mutia. Sebenarnya, semuanya bukan mimpi. Dulu, waktu kamu dikejar
ular, itu ulah jin iseng yang narik sukmamu ke sini, Wentira. Waktu itu aku lagi ngawal Raja
ke istana. Terus aku lihat kamu. Aku langsung jatuh cinta. Karena itu selama tiga bulan
setelahnya, aku narik sukmamu masuk sini lagi. Sekarang, nggak sukmamu, tapi juga
ragamu.” Mutia tidak lagi bisa berpikir. Saking senangnya, dia menyetujui apa pun
ucapan
Fredel. Termasuk melalukan upacara pernikahan mereka.
Upacara itu mirip seperti adat di kotanya. Bedanya Mutia tidak dirias, melainkan
memakai baju warna emas yang sangat cantik. Malam harinya setelah melakukan pekerjaan
suami istri, mereka saling bertukar cerita.
Mutia pun bertanya, “Kalau di duniaku, berapa usiamu?”
“Tiga puluh dua. Tapi kalau di sini, aku udah ribuan tahun.”
“Berarti udah ribuan tahun kamu ngabdi sama Raja?”
“Ya, gitulah. Panglima harus setia.”
Tidak lama kemudian, Mutia tertidur. Ketika bangun tahu-tahu dia sudah ada di
rumah orang tuanya. Ibunya menangis dan beberapa orang telah mengerumuninya. Ada
ayahnya, Lingga, dan dua orang pria tak dikenal.
“Mutia, akhirnya kamu sadar, Nak.” Ibunya memeluk Mutia kencang-kencang. “Kata
Lingga, kemarin lusa kamu setelah dia nganter kamu ke kos, kamu nggak langsung masuk ke
kos, tapi malah jalan sendirian ke hutan. Lingga ngejar dan manggil-manggil kamu, tapi
kamu tiba-tiba ilang. Ngerasa ada yang nggak beres, dia langsung minta tolong orang pintar,
Pak Waris ini.” Ibunya Mutia menunjuk pria yang disebut Pak Waris. Lalu melanjutkan,
“Kamu akhirnya ketemu tiga hari lalu. Pak Waris juga bantuin sukmamu lagi, Mutia.”
Mendengar penjelasan itu, bukannya bersyukur masih hidup. Mutia malah marah.
“Ibu, Mutia nggak mau di sini. Mutia udah nikah sama Fredel di Wentira! Mutia mau sama
suami Mutia.”
“Astaga, Mutia, kenapa kamu bisa jadi gini?”
Mutia tidak menggubris ibunya. Seperti orang tak waras, Mutia mencari-cari sosok
Fred sambil berteriak memanggilnya. “Fredel …. Kamu di mana? Jangan tinggalin aku!
Bawa aku, Fredel! Fredel ... jemput aku Fredel!”
Orang tua Mutia, Lingga dan seorang pria yang merupakan satpam kos Mutia dengan
sigap memegangi gadis itu. Sedangkan Pak Waris komat-kamit membaca doa untuk menutup
mata batin Mutia.
Selama berminggu-minggu, Mutia defresi. Badannya mengurus dan kantung matanya
terlihat jelas. Dia juga mengalami gejala morning sickness. Namun, setelah dicek dengan alat
uji kehamilan, hasilnya negatif.
Kata Pak Waris, Mutia hamil anak jin. Bila tidak digugurkan, anaknya tidak akan
pernah bisa keluar dari Mutia. Tubuh Mutia akan menjadi inang. Bayi itu akan menggerogoti
Mutia. Lama-lama raganya akan lemah dan mati.
Mutia tidak peduli, tetapi orang tuanya memaksa. Jadi, kala senja tiba, orang tuanya
bersama Lingga memeganginya. Mata Mutia ditutup supaya tidak bisa melihat Pak Waris
yang menekan-nekan perutnya. Rasanya sakit sekali. Tulang-belulangnya seperti dipatahkan
secara bersamaan.
Mutia pun menjerit tidak karuan. “Sakit …. Mutia nggak mau, Ibu! Mutia cinta Fredel!
Argh! Sakit ….”
Sementara itu, dari kerumunan orang-orang yang mengobati Mutia secara spiritual,
Fredel menatap nyalang mereka sambil menyunggingkan senyum menyeringai.

Anda mungkin juga menyukai