Anda di halaman 1dari 21

A.

Identitas Novel

Judul Buku : Layar Terkembang


Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 2006 (Cetakan pertama tahun 1936)
Tebal Buku : 201 halaman

B. Latar Belakang

Latar belakang pengarang menulis novel untuk membahas tentang perjuangan


dan segala permasalahan yang dihadapi oleh wanita pada masa itu untuk
mencapai cita-citanya.

C. Gambaran Umum Isi Novel

Selagi Maria dan Yusuf menjalin percintaaan yang manis, Tuti


bergelut dengan dirinya sendiri, apakah akan menikah dengan orang yang tidak
dicintainya hanya karena alasan usianya yang semakin bertambah, atau tetap
memegang prinsip: lebih baik tidak menikah daripada mendapatkan suami
yang tidak sepandangan dan sepaham.

Hubungan Maria dan Yusuf makin mendalam ketika tiba-tiba Maria


diketahui mengidap penyakit serius. Bagaimanakah perasaan Yusuf
mengetahui keadaan tunangannya. Bagaimana Tuti menghadapi peristiwa-
peristiwa tak terduga dalam hidupnya dan bagaimana akhirnya hubungan
ketiganya.

D. Sinopsis Novel

Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja
mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal.
Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda.
Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya,

1
jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara
Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.

Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di


pasar ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi
badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan
memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil
sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang
dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa
sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier
Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di
Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti dan Maria.

Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra


Selatan. Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis
yang ia temui di akuarium., terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada
Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi
dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di
depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering
menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani
berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan
kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres


Putri Sedar yang diadakan di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya
membicarakan tentang emansipasi wanita. Tuti dikenal sebagai seorang
pendekar yang pandai meimilih kata, dapat membuat setiap orang yang
mendengarnya tertarik dan terhanyut.

Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai,


Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan.

2
Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut
Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat
menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada
akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung
untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan
Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi
Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan
perasaan cintanya kepada Maria.
“Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?”
“Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu…”

Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu


tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun.
Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh
kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banya membaca buku.
Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan
kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin
mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap hubungan
Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar jangan sampai
diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu pertengkaran diantara
mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.

“Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi,”kata Tuti


amarah pula, mendengar jawaban adiknya yang tidak mengindahkan
nasihatnya, “Sejak engkau cinta kepada Yusuf, rupanya otakmu sudah hilang
sama sekali. Engkau tidak dapat menimbang buruk-baiknya lagi. Sudahlah!
Apa gunanya memberi nasihat orang serupa ini?”

“Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya cinta kepadanya, ia


cinta kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak menyerahkan
seluruh nasib saya ditangannya, biarlah bagaimana dibuatnya. Demikian kata

3
hati saya. Saya tidak meminta dan tida perlu nasihatmu. Cinta engkau
barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram,
tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali
dahulu putus!”
“Tutup mulutmu yang lancing itu, nanti saya remas.”

Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga
dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.

Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun
kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu
juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban
pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki
seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang
diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.

Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah.


Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah
sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit
khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya
tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin
lemah.

Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan
Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya
dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan
mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau

4
dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan.
Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat
dilakukan.

Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu
kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang
merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis
Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.

“Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya
hidup di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di
akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau kakandaku berdua hidup rukun dan
berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini.
Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-
lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang
lain.”

Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Setelah beberapa lama


kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti menikah dan
bahagia selama-lamanya.

E. Keunggulan Novel

- Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks,
hingga penyelesaian.
- Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik.
- Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna.
- Banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik.

5
F. Kelemahan Novel

- Bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan


bahasa Melayu.
- Pemilihan kata-kata yang ada di dalam naskah kurang efektif.
- Tatanan kalimatnya tidak efektif.

G. Unsur Instrinsik

1. Tema

Tema yang terkandung di dalam novel Layar Terkembang yaitu : Emansipasi


Wanita dan Percintaan.

Teks yang mengandung emansipasi wanita:


“ sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai
manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi , perubahan
kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata
kepentingan perempuan.”
(Hlm 47)

“ tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan insaf akan dirinya
dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan dan kedudukan yang lebih
layak. Ia tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain. ”
(Hlm 47)

“ kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapatkan hak kita sebagai
manusia. Kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang
bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat
kepada siapa juapun.”
(Hlm 47)

6
Teks yang mengandung perncintaan:
“ seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya,
mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf
mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya,”Maria
lihat saya sebentar.” Pada mata Maria Nampak kepadanya berlinang air mata
dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk yang pertama kali seumur
hidupnya, “Maria , Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?” “
(Hlm 80)

“ Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya. Biarlah
saya mati dari pada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan
baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia juga cinta kepada
saya. Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina
menyatakan cinta saya itu,” jawab Maria dengan tegas mematahkan segala
perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu”
(Hlm 87)

“ Maria bertambah mendidih hatinya, “Biarlah saya katamu tidak berotak lagi.
Saya cinta kepadanya, ia cinta pada saya. Saya percaya kepadanya dan saya
hendak menyerahkan seluruh nasib saya di tanganya, biarlah bagaimana
dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya tidak perlu nasihatmu”
(Hlm 88)

“ Demikian engkau menganggap cinta saya kepadamu? Ah,Yusuf, engkau


tiada tahu hati saya. Engkau tiada percaya kalau saya katakan, sering sakit rasa
jantung saya karena mencintai engkau. Kalau engkau tiada datang saja suatu
petang, rusaklah segala pikiran saya. Tidak dapat saya melakukan suatu apa
juapun. Tuti sering mengatakan saya gila, cinta saya kepadamu berlebih-
lebihhan, terlampau di perhatikan.”
(Hlm 138-139)

7
2. Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan

No. Nama tokoh Penokohan Perwatakan Tokoh


1 Maria Utama Mudah kagum, mudah memuji
dan memuja, mudah tersenyum,
ucapannya sesuai dengan
perasaanya yang bergelora, sangat
girang dan ceria dan pancaran
perasaannya tiada terhambat-
hambat.
2 Tuti Utama Tidak mudah kagum, sangat
menjunjung tinggi hargadiri,
pamdai cakap, jarang memuji,
selalu memiliki pertimbangan
yang masak, tetap pada pendirian,
berjuang untuk bangsanya dan
orang yang teliti
3 Yusuf Utama Sangat mencintai Maria sepenuh
hati, idealis, orang yang penuh
cita-cita terhadap bangsa dan
tanah air, berpikir kritis,
bertanggung jawab dan sopan
4 Raden Pendamping Belum bisa mengkaji dan
Wiraatmaja memahami jalan pikiran anak-
anaknya terutama Tuiti
5 Ketiga anak Sampingan Girang tak pernah diam
laki-laki di
sekitar
aquarium
6 Teman sekolah Sampingan Sangat riuh saat berkumpul, dan
Maria suka meledek Maria

8
7 Mang Parta Pendamping Selalu menginginkan anaknya
(Patadiharja) untuk hidup bahagia tetapi
baginya bahagia adalah hidup
senang dengan kemewahan
8 Saleh Pendamping Hendak mencari pekerjaan yang
bebas, dan menurutkan desakan
hatinya untuk hidup bahagia,
sesorang yang gembira, tajam
pikirannya dan hidup hatinya
9 Juhro Sampingan Selalu menyediakan makanan dan
minuman setiap ada tamu yang
datang ke rumah Pak Raden
Wiraatmaja
10 Ratna Pendamping Pekerja keras dan bersungguh-
sungguh dalam melakukan
pekerjaanya serta selalu ada
disamping suaminya saat ia sedih
ataupun susah
11 Sukamti Pendamping Menyinarkan tenaga dan
kepercayaan yang tak terhingga.
12 Dahlan Sampingan Sering menemani Yusuf berjalan-
jalan saat Yusuf berada di rumah
kedua orang tuanya
13 Ibu Yusuf Sampingan Sangat menyayangi Yusuf
14 Ayah Yusuf Sampingan Tenang, selalu mengikuti
kehendak Yusuf, tak
banyak bicara dan percaya kepada
Yusuf.
15 Sukarto Sampingan Idealis, orang yang penuh cita-
cita terhadap bangsa dan tanah air

9
16 Kedua tukang Sampingan Sangat mengetahui cerita tua
kayu tentang lingkungannnya,
bersahaja, dan tangkas
17 Rukamah Pendamping Selalu menemani Maria saat di
Bandung, suka mengganggu
Maria dan menyesali akibat buruk
yang disebabkan oleh
perbuatannya yang suka
mengganggu
18 Istri Parta Pendamping Baik dan sangat menyayangi
anaknya, Maria, sertaTuti.
19 Iskandar dan Sampingan Girang dan ceria
Ningsih
20 Rukmini Sampingan Tidak ingin jauh dari bundanya
21 Supomo Pendamping Baik hati, lemah lembut dan
sopan dalam pergaulan.
22 Perawat Maria Pendamping Selalu menghibur Maria, selalu
menemani Maria saat kesepian
dengan bermain dan selalu
menyemangatinya
23 Dokter Maria Sampingan Menjalankan tugasnya dengan
baik dan berusaha semaksimal
mungkin untuk merawat Maria

3. Latar

 Latar Tempat
1. Gedung Akuarium, yang merupakan tempat pertemuan Tuti dan Maria
serta Yusuf untuk yang pertama kalinya.

“pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke
dalam gedung akuarium” (Hlm 3)

10
2. Air terjun Dago, tempat dimana Maria dan Yusuf saling mengatakan
cinta serta berjanji akan menjadi pasangan suami istri di hari nanti.

“tiap-tiap hari air terjun dago itu ramai dikunjungi orang dari bandun,
kebanyakan anak-anak muda murid sekolah rendah dan menengah yang
hendak melihat tamasya air terjun yang permai itu.” (Hlm 74)

3. Pacet, daerah tempat Maria dirawat serta di daerah ini Tuti dan Yusuf
menginap di rumah Saleh dan Ratna yang merupakan teman semasa di
bangku sekolah. Di daerah ini terjalin keakraban diantara keduanya.

“sunyi sepi hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit
di pacet.” (Hlm 157)

 Latar Waktu
1. Pagi-pagi

“keesokan harinya pagi-pagi sebelum setengah tujuh ia telah siap


makan dan berpakaian akan pergi kesekolah” (Hlm 16)

2. Petang

“tiap-tiap petang apabila sudah menyelesaikan rumah dan sudah pula


mandi dan berdandan biasanya benar ia duduk di tempat itu menanti
hari senja.” (Hlm 25)

3. Malam

“pada malam Minggu, Tuti duduk di ruang dalam menghadapi meja


membaca buku di bawah lampu” (Hlm 126)

 Latar Suasana
1. Ketertarikan Yusuf terhadap Maria

“Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya


senantiasa berbalik-balik saja kepada mereka berdua, yang terutama
sekali menarik hatinya ialah Maria. Mukanya lebih berseri-seri,
matanya menyinarkan kegirangan hidup dan bibirnya senantiasa
tersenyum menyingkapkan giginya yang putih.” (Hlm 16)

11
2. Kebimbangan dan goncangan jiwa yang dialami Tuti

“pikiranya sering melayang-layang, tidak tentu arahnya. Sering ia


merasa gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-
kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia
berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya dan hilanglah
kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapanya.” (Hlm 90)

3. Kegembiraan saat Maria dan Yusuf mengikrarkan janji di air terjun


Dago

“seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada


dadanya, mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan
Yusuf mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan
kanannya,”Maria lihat saya sebentar.” Pada mata Maria Nampak
kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta menggemetarlah
suaranya untuk yang pertama kali seumur hidupnya, “Maria , Maria,
tahukah engkau saya cinta kepadamu?” (Hlm 80)
4. Keramaian
”Dan di dalam gedung akuarium itu mulailah ramai suara
manusia...” (Hlm 4)
5. Ketenangan
”beberapa lama yusuf tafakur berdiri di tengah-tengah ketenangan
dan kesentosaan alam” (Hlm 47)

4. Alur

Alur yang digunakan dalam novel adalah alur maju.

– Perkenalan
Pertemuan Yusuf dengan Maria dan Tuti di gedung aquarium. Kesan
istimewa begitu dirasakan oleh Yusuf pada saat pertemuan itu terjadi. Kesan
istimewa tersebut dirasakannya terhadap Maria. Sehingga di hari-hari
berikutnya Yusuf sangat ingin menjumpai Maria. Ternyata Yusuf menyadari

12
bahwa perasaanya kepada Maria adalah perasaan suka. Bak gayung
bersambut, ternyata Maria pun merasakan hal yang sama. Hubungan Yusuf
dan Maria semakin dekat sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk
bertunangan.

– Konflik
Konflik terjadi antara Tuti dan Maria yang disebabkan oleh kritikan tajam
Tuti yang ditujukan kepada Maria. Kritikan Tuti berkenaan dengan cinta
Maria terhadap Yusuf yang amat berlebihan sehingga dapat melemahkan diri
Maria sendiri.

– Klimaks
Konflik memuncak pada saat Maria terjangkiti penyakit Malaria dan TBC
yang membuatnya menjadi semakin lemah. Hingga akhirnya Maria
meninggal dunia.

– Antiklimaks
Maria berwasiat terhadap Tuti sebelum ia meninggal dunia berisikan bahwa
Tuti dan Yusuf dapat segera menikah.

– Penyelesaian
Akhirnya Tuti dan Yusuf menikah demi menuruti permintaan terakhir Maria.
Dengan demikian Tuti tak lagi merasakan perasaan kesepian yang
menghantuinya selama ini.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga


yang ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh-
tokohnya.
Halaman 2: ”maria tidak menyahut..”

13
Halaman 5: ”Terkejut berbaliklah Tuti seraya tersenyum.....”
Halaman 11: ”R.Wiriaatmaja menundukkan kepalanya...”
Halaman 12: ”Yusuf ialah putra Demang Munaf.”
Halaman 20: ”Tuti duduk membaca buku.”

6. Amanat

Amanat yang terkandung dalam novel Layar Terkembang antara lain


yaitu :
 Kita harus meningkatkan pendidikan, bukan hanya bagi kaum lelaki
tetapi juga bagi kaum perempuan.

“haruslah kaum perempuan sendiri insaf akan dirinya dann berjuang


untuk mendapat penghargaan dan lebih layak” (Hlm 47)

 Kita harus bergerak semangat untuk membangun bangsa kita dari


keterpurukan.

“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan di kembalikan derajatnya


sebagai manusia, haruslah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi,
perubahan kependudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanya
semata-mata kepentingan perempuan”(Hlm 47)

 Kita harus semangat dalam menjalani hidup

“tetapi segera datang mendorong perasaan sama-sama menderita mesti


dan berkatalah ia membujuk “Maria mesti kuat, engkau girang selalu
jangan di turutkan hati iba. Lawan rasa kesepian, engkau mesti lekas
baik lagi” (Hlm 194)

 Kita harus percaya dengan takdir bagaimanapun rencana kita tetapi


Allah yang berkehendak.

14
“ yang mahakuasa menetapkan sesuatu yang tiada dapat dielakkan,
Maria sakit, sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit di pacet” (Hlm
200)

 Pandangan seseorang mengenai bahagia berbeda-beda. Jadi, kita harus


mengikuti kata hati kita untuk mendapat kebahagian tersebut.

“ bahwa bahagia itu ialah pekerjaan yang mudah, pendapat yang besar
harapan yang baik di kemudian hari, pendeknya hidup yang senang
saleh menganggap bahagia itu lain artinya. Bahagia itu tidak sama
dengan hidup yang senang. Baginya yang di namakannya bahagia itu
ialah dapat menurutkan desakan hatinya, dapat mengembangkan
tenaga, kecakapanya sepenuh-penuhnya, dan menyerahkannya kepada
yang terasa kepadanya yang terbesar dan termulia dalam hidup ini”
(Hlm 31)

H. Unsur Ekstrinsik

1. Biografi Pengarang

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dilahirkan di Natal, Tapanuli


Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17
Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Dinamai Takdir karena jari tangannya hanya
ada 4. Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di
Natal, Sumatera Utara sementara ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan
Arbi, ialah seorang guru.
Mula-mula STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di
Bengkulu (1915-1921) kemudian melanjutkan sekolahnya di Kweekschool,
Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (1921-1925) dan Hogere Kweekschool,
Bandung ( 1925-1928) serta Hoofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933), yang
merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada

15
saat itu. Kemudian di Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan
Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum).
Sutan Takdir juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasa umum,
kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI
(1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka
(1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru
(1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan
Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-
1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-
1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan
di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa
Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar &
Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-
1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA menjadi anggota
parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota
Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de
linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the
International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota
Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World
Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan
Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976).
Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua
Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan
Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
STA merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan
pemikiran kebudayaan di Indonesia. Ia termasuk pengarang yang sangat
produktif. Karya-karyanya di bidang bahasa, sastra, kebudayaan, filsafat,
pendidikan, dan seni menjadi epitaf yang akan selalu dibaca sebagai harta
karun pemikir negeri ini.

16
Karya-karyanya (fiksi):
Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Anak
Perawan di Sarang Penyamun, Grotta Azzura, Tebaran Mega, Lagu
Pemacu Ombak, Perempuan di Persimpangan Zaman, dan Kebangkitan.
Karya nonfiksi:
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Perjuangan Tanggungjawab dalam
Kesusastraan Indonesia, dan Amir Hamzah sebagai Penyair, dan Uraian
Sajak Nyanyi Sunyi.

2. Nilai-nilai

1. Nilai sosial : Kasih sayang dan perhatian


Seorang ayah pada anaknya: halaman 12
”Memaksa anaknya itu menurut kehendaknya itu tiada sampai
hatinya,sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria.......”
Seorang bibi dengan keponakannya : Kutipan alenia 2 halaman
85:”Tetapi matanya yang terkecil sedikit nampaknya pada mukanya
yang lebar itu,terang menyinarkan perasaan kasih sayang.”

2. Nilai Budaya : Menggunakan Bahasa Belanda


Halaman 1:”Tangan belus itu yang panjang terbuat dari georgette..”
Halaman 28:”..dua buah stoples dengan kasstengel dan kattetong..”

3. Nilai Agama : Religius,ketaatan akan agama


Halaman 28:”Dan ketika bedik magrib sayup-sayup dibawa angin
dari kampung jauh disebelah timur,wiriatmaja masuk pula
meninggalkan anak-anak muda bertiga itu dihalaman,akan pergi
sembahyang.”
Halaman 29:”setiap petang senin dan petang kamis datang kemari
haji guru agamanya.kami disuruhnya juga belajar agama.........”

17
4. Nilai Moral :
A. Keikhlasan dan ketulusan
Halaman 161 :”Alangkah bahagia saya rasanya diakhirat nanti,kalau
saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
Halaman 166:”beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada
bergerak-gerak,laksan terpaku pada tanah yang pemurah itu,yang
senantiasa tulus dan ikhlas menerima.......

B. Kemandirian dan ketegasan


Halaman 35:”Perempuan bangsa tak boleh mempunyai kemauan
sendiri.Perempuan yang sebaik-baiknya,yang semulia-mulianya
ialah perempuan yang paling sedikit mempunyai kemauan
sendiri.........maksud hidup perempuan ialah untuk mengabdi untuk
menjadi hamba sahaya”
Halaman 40:”Sesungguhnya hanya kalau perempuan dikembalikan
derajatnya sebagai manusia,barulah keadaan bangsa kita dapat
berobah”
Halaman 40:”kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat
hak kita sebagai manusia.kita harus merintis jalan untuk lahirnya
perempuan yang baru,yang bebas berdirimenghadapi dunia..”

3. Situasi dan Kondisi

Situasi dan Kondisi Ekonomi


Keadaan ekonomi pada saat itu masih berada dalam pemerintahan Belanda.
Jadi hanya orang-orang tertentu yang dapat menikmati pendidikan.
Sedangkan masyarakat yang kurang mampu, tidak semuanya dapat
menikmati pendidikan. STA sebagai orang yang mempunyai kesempatan
menempuh pendidikan, menuangkan gagasannya untuk mewujudkan cita-
citanya tentang kaum wanita yang harus bangkit untuk memperjuangkan
hak-haknya dan mempunyai wawasan luas serta bercita-cita tinggi. STA

18
juga mengemukakan dalam kutipan novelnya bahwa sesama manusia,
apalagi sesama kaum pelajar harus saling membantu. Bantuan itu dapat
berupa beasiswa bagi pelajar yang tidak mampu.

Situasi dan Kondisi Politik


Pada masa pra kemerdekaan, karya-karya sastra yang genre dominannya
roman malah sudah menampakkan kecenderungan nasionalisme itu, pada
masa balai pustaka dan pujangga baru sudah banyak karya-karya yang
bermuatan politik, karya-karya sarat kritik terhadap pemerintah kolonial.
Roman seperti ”Layar Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana termasuk
roman yang mengusung ide-ide nasionalisme. Ide-ide itu diselipkan dalam
tema-tema percintaan, adat, dan agama. Dalam ”Layar Terkembang”, tokoh
Tuti menjadi representasi generasi muda yang mampu mencerminkan
bangsanya.

Situasi dan Kondisi Sosial


S.T. Alisjahbana tercermin merupakan orang yang sangat perduli terhadap
sosial budaya, yakni terlihat pada tokoh Saleh dan istrinya yang sengaja
pindah ke pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan derajat dan
perekonomian desa tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi oleh
para tengkulak. Intinya kita sebagai orang terpelajar haruslah melihat
sekeliling kita yang membutuhkan kita agar masyarakat Indonesia ini tidak
tertinggal dari Negara lain yang terbantu dengan ilmu yang bisa kita berikan
pada masyarakat.

I. Unsur Kebahasaan

1. Gaya Bahasa/Majas

Didalam novel ini banyak ditemukan majas personifikasi dan banyak


menggunakan bahasa Melayu sehingga terlihat agak sulit dimengerti.
 Majas prsonifikasi

“Gemuru bunyi ombak memecah dan pemendangan kepada air yang putih-
putih yang tiada berhenti-henti berkejar-kejaran dari tengah seolah-olah
memenuhkan melimpahkan perasaan dalam kalbunya.” (Hlm 55)

19
 Majas personifikasi

“Pada suatu tempat ia merencah air, menuju ke tengah melawan ombak


yang bertalu-talu datang memukulnya, seakan-akan hendak mengusir dia
pulang ke darat kembali.” (Hlm 58)

 Majas Personifikasi
“Alangkah selarasnya dengan warna pasir kelabu, dengan ombak yang
berkejar-kejaran dari tengah dengan pohon-pohon yang melambai-lambai di
darat” (Hlm 58)
 Majas Personafikasi
“Habis makan beberapa lama pula mereka berdua berguling-gulingan di
bawah pohon, melepaska lelah dinyanyikan oleh angin rimba yang lemah
lembut” (Hlm 60)
 Majas Personafikasi
“di belakangan berbui-bui daun bambu sayu merdu berbisik cerita yang
tiada habis-habisnya.” (Hlm 81)
 Majas Personafikasi
“kelihatan puncak gunung gede biru kehitam-hitaman bersandar pada
langit yang rata putih kelabu-kelabuan. Di lerengnya masih berkejar-
kejaran kabut menutup pemandangan. (Hlm 170)

 Majas Personafikasi
“gemuru bunyi ombak memecah dan pemandangan kepada air yang putih-
puttih yang tiada berhenti berkejar-kejaran dari tengah, seolah-olah
memenuhkan melimpahkan perasaan dalam kalbunya. (Hlm 55)
 Majas Personafikasi
“ia berdiri memandang kepada ombak yang gelisah belia itu.” (Hlm 55)
 Majas Personafikasi

20
“di lembah –lembah dan di lereng gunung telah turun kekaburan senja,
tetapi puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut
bernyanyi laguan warna.” (Hlm 192)
 Majas Personafikasi
“sedang matahari menurunkan sinarnya yang girang ke bumi, sedang pohon
dan tanaman tertawa melambai ke langit sarat memikul daun.” (Hlm 201)

2. Ungkapan/idiom = Tidak ditemukan

3. Peribahasa = Tidak ditemukan

J. Simpulan

Setelah membaca buku ini kita mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku
ini memberikan banyak inspirasi dan membuka mata kita tentang kegigihan
dalam berjuang yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

K. Saran

Buku ini harus direvisi ulang tatanan bahasanya sesuai EYD terbaru saat ini.
Sehingga menarik minat para pembaca khususnya para remaja dengan isi novel
Layar Terkembang.

21

Anda mungkin juga menyukai