Identitas Novel
B. Latar Belakang
D. Sinopsis Novel
Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja
mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal.
Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda.
Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya,
1
jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara
Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.
2
Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut
Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat
menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada
akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung
untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan
Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi
Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan
perasaan cintanya kepada Maria.
“Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?”
“Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu…”
3
hati saya. Saya tidak meminta dan tida perlu nasihatmu. Cinta engkau
barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram,
tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali
dahulu putus!”
“Tutup mulutmu yang lancing itu, nanti saya remas.”
Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga
dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.
Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun
kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu
juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban
pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki
seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang
diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan
Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya
dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan
mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau
4
dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan.
Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat
dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu
kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang
merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis
Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.
“Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya
hidup di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di
akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau kakandaku berdua hidup rukun dan
berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini.
Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-
lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang
lain.”
E. Keunggulan Novel
- Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks,
hingga penyelesaian.
- Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik.
- Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna.
- Banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik.
5
F. Kelemahan Novel
G. Unsur Instrinsik
1. Tema
“ tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan insaf akan dirinya
dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan dan kedudukan yang lebih
layak. Ia tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain. ”
(Hlm 47)
“ kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapatkan hak kita sebagai
manusia. Kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang
bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat
kepada siapa juapun.”
(Hlm 47)
6
Teks yang mengandung perncintaan:
“ seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya,
mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf
mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya,”Maria
lihat saya sebentar.” Pada mata Maria Nampak kepadanya berlinang air mata
dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk yang pertama kali seumur
hidupnya, “Maria , Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?” “
(Hlm 80)
“ Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya. Biarlah
saya mati dari pada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan
baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia juga cinta kepada
saya. Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina
menyatakan cinta saya itu,” jawab Maria dengan tegas mematahkan segala
perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu”
(Hlm 87)
“ Maria bertambah mendidih hatinya, “Biarlah saya katamu tidak berotak lagi.
Saya cinta kepadanya, ia cinta pada saya. Saya percaya kepadanya dan saya
hendak menyerahkan seluruh nasib saya di tanganya, biarlah bagaimana
dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya tidak perlu nasihatmu”
(Hlm 88)
7
2. Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan
8
7 Mang Parta Pendamping Selalu menginginkan anaknya
(Patadiharja) untuk hidup bahagia tetapi
baginya bahagia adalah hidup
senang dengan kemewahan
8 Saleh Pendamping Hendak mencari pekerjaan yang
bebas, dan menurutkan desakan
hatinya untuk hidup bahagia,
sesorang yang gembira, tajam
pikirannya dan hidup hatinya
9 Juhro Sampingan Selalu menyediakan makanan dan
minuman setiap ada tamu yang
datang ke rumah Pak Raden
Wiraatmaja
10 Ratna Pendamping Pekerja keras dan bersungguh-
sungguh dalam melakukan
pekerjaanya serta selalu ada
disamping suaminya saat ia sedih
ataupun susah
11 Sukamti Pendamping Menyinarkan tenaga dan
kepercayaan yang tak terhingga.
12 Dahlan Sampingan Sering menemani Yusuf berjalan-
jalan saat Yusuf berada di rumah
kedua orang tuanya
13 Ibu Yusuf Sampingan Sangat menyayangi Yusuf
14 Ayah Yusuf Sampingan Tenang, selalu mengikuti
kehendak Yusuf, tak
banyak bicara dan percaya kepada
Yusuf.
15 Sukarto Sampingan Idealis, orang yang penuh cita-
cita terhadap bangsa dan tanah air
9
16 Kedua tukang Sampingan Sangat mengetahui cerita tua
kayu tentang lingkungannnya,
bersahaja, dan tangkas
17 Rukamah Pendamping Selalu menemani Maria saat di
Bandung, suka mengganggu
Maria dan menyesali akibat buruk
yang disebabkan oleh
perbuatannya yang suka
mengganggu
18 Istri Parta Pendamping Baik dan sangat menyayangi
anaknya, Maria, sertaTuti.
19 Iskandar dan Sampingan Girang dan ceria
Ningsih
20 Rukmini Sampingan Tidak ingin jauh dari bundanya
21 Supomo Pendamping Baik hati, lemah lembut dan
sopan dalam pergaulan.
22 Perawat Maria Pendamping Selalu menghibur Maria, selalu
menemani Maria saat kesepian
dengan bermain dan selalu
menyemangatinya
23 Dokter Maria Sampingan Menjalankan tugasnya dengan
baik dan berusaha semaksimal
mungkin untuk merawat Maria
3. Latar
Latar Tempat
1. Gedung Akuarium, yang merupakan tempat pertemuan Tuti dan Maria
serta Yusuf untuk yang pertama kalinya.
“pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke
dalam gedung akuarium” (Hlm 3)
10
2. Air terjun Dago, tempat dimana Maria dan Yusuf saling mengatakan
cinta serta berjanji akan menjadi pasangan suami istri di hari nanti.
“tiap-tiap hari air terjun dago itu ramai dikunjungi orang dari bandun,
kebanyakan anak-anak muda murid sekolah rendah dan menengah yang
hendak melihat tamasya air terjun yang permai itu.” (Hlm 74)
3. Pacet, daerah tempat Maria dirawat serta di daerah ini Tuti dan Yusuf
menginap di rumah Saleh dan Ratna yang merupakan teman semasa di
bangku sekolah. Di daerah ini terjalin keakraban diantara keduanya.
“sunyi sepi hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit
di pacet.” (Hlm 157)
Latar Waktu
1. Pagi-pagi
2. Petang
3. Malam
Latar Suasana
1. Ketertarikan Yusuf terhadap Maria
11
2. Kebimbangan dan goncangan jiwa yang dialami Tuti
4. Alur
– Perkenalan
Pertemuan Yusuf dengan Maria dan Tuti di gedung aquarium. Kesan
istimewa begitu dirasakan oleh Yusuf pada saat pertemuan itu terjadi. Kesan
istimewa tersebut dirasakannya terhadap Maria. Sehingga di hari-hari
berikutnya Yusuf sangat ingin menjumpai Maria. Ternyata Yusuf menyadari
12
bahwa perasaanya kepada Maria adalah perasaan suka. Bak gayung
bersambut, ternyata Maria pun merasakan hal yang sama. Hubungan Yusuf
dan Maria semakin dekat sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk
bertunangan.
– Konflik
Konflik terjadi antara Tuti dan Maria yang disebabkan oleh kritikan tajam
Tuti yang ditujukan kepada Maria. Kritikan Tuti berkenaan dengan cinta
Maria terhadap Yusuf yang amat berlebihan sehingga dapat melemahkan diri
Maria sendiri.
– Klimaks
Konflik memuncak pada saat Maria terjangkiti penyakit Malaria dan TBC
yang membuatnya menjadi semakin lemah. Hingga akhirnya Maria
meninggal dunia.
– Antiklimaks
Maria berwasiat terhadap Tuti sebelum ia meninggal dunia berisikan bahwa
Tuti dan Yusuf dapat segera menikah.
– Penyelesaian
Akhirnya Tuti dan Yusuf menikah demi menuruti permintaan terakhir Maria.
Dengan demikian Tuti tak lagi merasakan perasaan kesepian yang
menghantuinya selama ini.
5. Sudut Pandang
13
Halaman 5: ”Terkejut berbaliklah Tuti seraya tersenyum.....”
Halaman 11: ”R.Wiriaatmaja menundukkan kepalanya...”
Halaman 12: ”Yusuf ialah putra Demang Munaf.”
Halaman 20: ”Tuti duduk membaca buku.”
6. Amanat
14
“ yang mahakuasa menetapkan sesuatu yang tiada dapat dielakkan,
Maria sakit, sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit di pacet” (Hlm
200)
“ bahwa bahagia itu ialah pekerjaan yang mudah, pendapat yang besar
harapan yang baik di kemudian hari, pendeknya hidup yang senang
saleh menganggap bahagia itu lain artinya. Bahagia itu tidak sama
dengan hidup yang senang. Baginya yang di namakannya bahagia itu
ialah dapat menurutkan desakan hatinya, dapat mengembangkan
tenaga, kecakapanya sepenuh-penuhnya, dan menyerahkannya kepada
yang terasa kepadanya yang terbesar dan termulia dalam hidup ini”
(Hlm 31)
H. Unsur Ekstrinsik
1. Biografi Pengarang
15
saat itu. Kemudian di Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan
Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum).
Sutan Takdir juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasa umum,
kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI
(1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka
(1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru
(1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan
Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-
1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-
1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan
di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa
Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar &
Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-
1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA menjadi anggota
parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota
Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de
linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the
International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota
Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World
Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan
Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976).
Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua
Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan
Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
STA merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan
pemikiran kebudayaan di Indonesia. Ia termasuk pengarang yang sangat
produktif. Karya-karyanya di bidang bahasa, sastra, kebudayaan, filsafat,
pendidikan, dan seni menjadi epitaf yang akan selalu dibaca sebagai harta
karun pemikir negeri ini.
16
Karya-karyanya (fiksi):
Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Anak
Perawan di Sarang Penyamun, Grotta Azzura, Tebaran Mega, Lagu
Pemacu Ombak, Perempuan di Persimpangan Zaman, dan Kebangkitan.
Karya nonfiksi:
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Perjuangan Tanggungjawab dalam
Kesusastraan Indonesia, dan Amir Hamzah sebagai Penyair, dan Uraian
Sajak Nyanyi Sunyi.
2. Nilai-nilai
17
4. Nilai Moral :
A. Keikhlasan dan ketulusan
Halaman 161 :”Alangkah bahagia saya rasanya diakhirat nanti,kalau
saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
Halaman 166:”beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada
bergerak-gerak,laksan terpaku pada tanah yang pemurah itu,yang
senantiasa tulus dan ikhlas menerima.......
18
juga mengemukakan dalam kutipan novelnya bahwa sesama manusia,
apalagi sesama kaum pelajar harus saling membantu. Bantuan itu dapat
berupa beasiswa bagi pelajar yang tidak mampu.
I. Unsur Kebahasaan
1. Gaya Bahasa/Majas
“Gemuru bunyi ombak memecah dan pemendangan kepada air yang putih-
putih yang tiada berhenti-henti berkejar-kejaran dari tengah seolah-olah
memenuhkan melimpahkan perasaan dalam kalbunya.” (Hlm 55)
19
Majas personifikasi
Majas Personifikasi
“Alangkah selarasnya dengan warna pasir kelabu, dengan ombak yang
berkejar-kejaran dari tengah dengan pohon-pohon yang melambai-lambai di
darat” (Hlm 58)
Majas Personafikasi
“Habis makan beberapa lama pula mereka berdua berguling-gulingan di
bawah pohon, melepaska lelah dinyanyikan oleh angin rimba yang lemah
lembut” (Hlm 60)
Majas Personafikasi
“di belakangan berbui-bui daun bambu sayu merdu berbisik cerita yang
tiada habis-habisnya.” (Hlm 81)
Majas Personafikasi
“kelihatan puncak gunung gede biru kehitam-hitaman bersandar pada
langit yang rata putih kelabu-kelabuan. Di lerengnya masih berkejar-
kejaran kabut menutup pemandangan. (Hlm 170)
Majas Personafikasi
“gemuru bunyi ombak memecah dan pemandangan kepada air yang putih-
puttih yang tiada berhenti berkejar-kejaran dari tengah, seolah-olah
memenuhkan melimpahkan perasaan dalam kalbunya. (Hlm 55)
Majas Personafikasi
“ia berdiri memandang kepada ombak yang gelisah belia itu.” (Hlm 55)
Majas Personafikasi
20
“di lembah –lembah dan di lereng gunung telah turun kekaburan senja,
tetapi puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut
bernyanyi laguan warna.” (Hlm 192)
Majas Personafikasi
“sedang matahari menurunkan sinarnya yang girang ke bumi, sedang pohon
dan tanaman tertawa melambai ke langit sarat memikul daun.” (Hlm 201)
J. Simpulan
Setelah membaca buku ini kita mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku
ini memberikan banyak inspirasi dan membuka mata kita tentang kegigihan
dalam berjuang yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
K. Saran
Buku ini harus direvisi ulang tatanan bahasanya sesuai EYD terbaru saat ini.
Sehingga menarik minat para pembaca khususnya para remaja dengan isi novel
Layar Terkembang.
21