Anda di halaman 1dari 7

Resensi Novel

Layar Terkembang

A.IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Layar Terkembang
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
Tahun Terbit : 2006 (Cetakan pertama tahun 1936)
Penerbit : Balai Pustaka
Harga Buku : Rp 45.000,00
Tebal Buku : 201 halaman
Angkatan : 30-an

B.IDENTITAS PENULIS
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 –
meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan tokoh pembaharu, sastrawan,
dan ahli tata Bahasa Indonesia. Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1915-1921), STA
melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi yang kemudian meneruskan ke Hogere
Kweekschool di Bandung (1921-1925), menjalani pendidikan dan menerima pendidikan di Fakultas
Sastra di Rechtschogeschool di Jakarta (1937-1942), dan memperoleh gelar Dr. Honoris Causa untuk
Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia (1979) dan untuk Ilmu Sastra dari Universitas Sains Malaysia,
Penang, Malaysia (1987).
C.SINOPSIS

Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang
pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu
serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang
lincahdanperiang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium,
mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan.
Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan. Perkenalan yang
tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf,
pertemanan itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat kepada kedua gadis itu,
dan terutama Maria. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang
selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis. Esok harinya, ketika
Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di
depan Hotel Des Indes. Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih
kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah
bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia
bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun
ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian,
datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya,
surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara
sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk
kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu
ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura. Kedatangan Yusuf tentu saja
disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing
dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf
menyatakan cintanya kepada Maria. Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan
bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Sesungguhnya pikiran Tuti tidak ingin keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat
pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya
kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat
itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal
keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang
merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya.
Makasegera Ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk
merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit
TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di
Pacet,JawaBarat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak
juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan
yangmakin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan.
Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga
mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan.
Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa
kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau
dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di
desa atau di masyarakat mana pun,pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin
akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya
pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat
berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah
tangga, Maria menghembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di
akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan
seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang terakhir,
saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada
orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut
Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena
cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
D.Unsur Intrinsik Novel
a. Tema : Perjuangan wanita

b. Latar / setting

1. Gedung akuarium di pasar ikan

2. Rumah Wiriatmaja

3. Martapura, Kalimantan Selatan

4. Rumah Sakit Pacet

5. Rumah Partadiharja

6. Gedung permufakatan

c. Alur : Maju

d. Sudut pandang : Orang ketiga

E.Unsur Ekstrinsik :

Mengajarkan kepada kita untuk saling menghargai dan peduli terhadap sesama manusia dan terhadap
alam. Juga mengajarkan tentang pentingnya pendidikan bagi kita. Karena untuk mencapai tujuan, kita
harus memiliki ilmu pengetahuan agar tidak tertinggal dengan orang lain dan mampu bersaing di
masyarakat

Tema yang dibawakan novel ini adalah tentang wanita dengan lika-liku hidupnya. Tuti seorang yang
berwibawa, pandai, berpendirian teguh, tegas, teliti, berpikir rasional. Sedangkan adik Tuti, Maria
berwatak mudah kagum, ekspresif, tegar, berpendirian, ulet, ramah. Seorang pemuda tampan bernama
Yusuf merupakan seorang yang ramah, baik, pandai, peduli, berjiwa nasionalis.Ayah Tuti dan Maria
Raden Wiriatmaja, berwatak baik, pengertian, bijaksana. Paman Tuti dan Maria bernama Parta
Diharja. Ia mempunyai watak ramah, bijaksana. Sedangkan Supomo berwatak baik hati,
berbudiluhur. dari segi bahasanya, bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan isi adalah bahasa
Melayu. Latar cerita dalam novel ini di masa dimana budaya ketimuran dan budaya belanda masih
kental sekali. Secara tersirat maupun tersurat amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah untuk
menyelesaikan suatu masalah harus diselesaikan dengan musyawarah dan jangan memaksakan
kehendak.
F.KELEHBIHAN

kelebihan dari buku ini adalah secara keseluruhan isi cerita ini sangatlah bagus. Alur yang ditulis
dimulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks, hingga penyelesaian yang sangat dramatis. Novel ini
bisa membawa para pembaca seolah-olah menjadi audiens dalam sebuah drama percintaan yang
mengharukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap insan pasti akan mempunyai pasangan hidup
jika Sang Penguasa telah menakdirkannya yang mana ia akan menjadi pendamping hidup kita dikala
kita suka maupun duka.

dari segi bahasanya, bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan isi adalah bahasa Melayu. Latar
cerita dalam novel ini di masa dimana budaya ketimuran dan budaya belanda masih kental sekali.
Secara tersirat maupun tersurat amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah untuk
menyelesaikan suatu masalah harus diselesaikan dengan musyawarah dan jangan memaksakan
kehendak.

G.KEKURANGAN

Kekurangan dari buku ini menurut saya hanya terletak pada cover dan pemilihan kata-kata
yang ada di dalam naskah ini. Cover-nya tidak begitu menarik, warnanya yang tidak bervariasi dan
bahasanya sangat tinggi dan cukup memusingkan pembaca.Tatanan bahasa yang dipakai adalah
Melayu sehingga kurang bisa dipahami para pembaca. Tatanan kalimatnya tidak efektif sehingga
muncul berbagai kalimat ambigu yang menimbulkan salah pengertian pembacanya. Pemakaian bahasa
yang tidak komunikatif dalam dialog antar tokoh, kurang menggugah para pembaca untuk
melanjutkan ceritanya hingga akhir.

H.NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG

Setelah membaca buku saya mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku ini memberikan
banyak inspirasi dan membuka mata kita, khususnya saya sendiri tentang kegigihan dalam berjuang
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Secara keseluruhan isi cerita ini sangatlah bagus. Alur
yang ditulis sudah runtut dimulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks, hingga penyelesaian yang
sangat dramatis. Novel ini bisa membawa para pembaca seolah-olah menjadi audiens dalam sebuah
drama percintaan yang mengharukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap insan pasti akan
mempunyai pasangan hidup jika Sang Penguasa telah menakdirkannya,yang mana ia akan menjadi
pendamping hidup kita dikala kita suka maupun duka.
I.BIOGRAFI PENULIS

Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisyahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908,
dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Dinamai Takdir karena jari tangannya
hanya ada 4. Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera
Utara sementara ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakeknya, Sutan
Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum
yangluas.

Mula-mula STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bengkulu (1915-1921) kemudian
melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (1921-1925) dan Hogere
Kweekschool, Bandung ( 1925-1928) serta Hoofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933), yang
merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian di
Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de
rechten (Sarjana Hukum). Sutan Takdir juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasa umum,
kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti
Sains, Penang, Malaysia

Sutan Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian
mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa
Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang
(1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar
Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-
1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar
& Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Sutan Takdir menjadi anggota parlemen (1945-1949),
anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi
anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the
International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the
Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan
anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia
juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan
pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali
(-1994).
Sutan Takdir merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di
Indonesia. Dia banyak menulis puisi, novel, esai-esai sastra, bahasa serta tulisan ilmiah mengenai
filsafat, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Dia juga menaruh minat pada sejarah intelektual Islam,
khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan menjelang akhir hayatnya kepada Muhammad Iqbal.

Dalam novel Layar Terkembang yang sudah beberapa kali di cetak ulang STA merenuangkan
gagasannya dalam memajukan masyarakat, terutama gagasan memajukan peranan kaum wanita
melalui tokoh Tuti sebagai wanita Indonesia yang berpikiran maju yang aktif dalam pergerakan
wanita.

Anda mungkin juga menyukai