Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MANDIRI INDIVIDU

BAB IV NOVEL
LAYAR TERKEMBANG
KARYA : SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

FATURRAHMAN AKBAR
XII IPA 6

SMA NEGERI 4 DEPOK


JL. JERUK RAYA NO.1 SUKATANI, TAPOS ,DEPOK, JAWA BARAT
TELP (O218743463)
A. IDENTITAS NOVEL
1. Judul : Layar Terkembang
2. Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
3. Penerbit : Balai Pustaka
4. Cetakan : 39, 2009
5. Tebal : v + 201 halaman
6. Kota Terbit : Jakarta
7. Tahun Terbit : 1936
8. Nomor ISBN : 979-407-065-3
9. Harga buku : Rp. 45.000,00
10. Identitas penulis :
Nama Lengkap : Sutan Takdir Alisjahbana
Agama : Islam
Tempat Lahir : Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara
Tanggal Lahir : 11 Februari 1908
Warga Negara : Indonesia
Profesi : Sastrawan, budayawan, dan ahli tata Bahasa
Indonesia

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia
yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi
sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia
lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-
materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia
haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi
pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa
nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa
Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih
dipakai sampai sekarang.
B. LATAR BELAKANG PENGARANG MENULIS NOVEL
Sutan Takdir Alisjahbana menulis novel ini karena membahas tentang perjuangan
dan segala permasalahan yang dihadapi oleh wanita pada masa itu untuk mencapai
cita-citanya. Untuk di baca para wanita muda masa kini agar tahu bagaimana
keadaan kaum wanita masa lalu. Selain itu secara tidak langsung dapat
meningkatkan minat para generasi muda terhadap kesusastraan lama Indonesia
yang menjadi perintis sastra modern Indonesia sekarang.

C. GAMBARAN UMUM ISI NOVEL


Selagi Maria dan Yusuf menjalin percintaaan yang manis, Tuti bergelut dengan
dirinya sendiri, apakah akan menikah dengan orang yang tidak dicintainya hanya
karena alasan usianya yang semakin bertambah, atau tetap memegang prinsip: lebih
baik tidak menikah daripada mendapatkan suami yang tidak sepandangan dan
sepaham.
Hubungan Maria dan Yusuf makin mendalam ketika tiba-tiba Maria diketahui
mengidap penyakit serius. Bagaimanakah perasaan Yusuf mengetahui keadaan
tunangannya. Bagaimana Tuti menghadapi peristiwa-peristiwa tak terduga dalam
hidupnya dan bagaimana akhirnya hubungan ketiganya.

D. SINOPSIS
Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana
daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-
kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang
gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif
dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang,
lincah, dan mudah kagum.
Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar
ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya
dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah
beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan
pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda
itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran.
Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah
seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di
depan rumah Tuti dan Maria.
Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan.
Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui
di akuarium., terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama
kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak
disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes.
Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk
berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria.
Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak bukan
lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri
Sedar yang diadakan di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya membicarakan
tentang emansipasi wanita. Tuti dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai
meimilih kata, dapat membuat setiap orang yang mendengarnya tertarik dan
terhanyut.
Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf
pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama berlibur
Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan
kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut
membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf
memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi
Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf
mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat
meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya
kepada Maria.
Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf
saja, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah
sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama
Yusuf, Tuti sendiri lebih banya membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu
oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan
Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran
terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar
jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu
pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
“Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi,”kata Tuti amarah pula,
mendengar jawaban adiknya yang tidak mengindahkan nasihatnya, “Sejak engkau
cinta kepada Yusuf, rupanya otakmu sudah hilang sama sekali. Engkau tidak dapat
menimbang buruk-baiknya lagi. Sudahlah! Apa gunanya memberi nasihat orang
serupa ini?” “Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya cinta kepadanya, ia cinta
kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak menyerahkan seluruh nasib
saya ditangannya, biarlah bagaimana dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya
tidak meminta dan tida perlu nasihatmu. Cinta engkau barangkali cinta
perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi
barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus!”
“Tutup mulutmu yang lancing itu, nanti saya remas.”
Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga dia
merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.
Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun
kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga
adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan
cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi
Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan Tuti. Maka dengan
segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah.
Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah
sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit
khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak
juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin lemah.
Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh
di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di
pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok
tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar
akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam
pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat
tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi
kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun
sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan
sesuatu sebelum ia menginggal.
“Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya hidup
di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti,
kalau saya tahu, kalau kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti
kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang
penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-
masing mencari peruntungan pada orang lain.” Demikianlah pesan terakhir
almarhum Maria.
Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria,
Yusuf dan Tuti menikah dan bahagia selama-lamanya.
E. KEUNGGULAN
- Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik.
- Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna.
- Banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik.
- Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan klimaks, antiklimaks, hingga
penyelesaian.

F. KELEMAHAN
- Ada halaman yang hilang.
- Ada huruf-huruf yang pudar.
- Bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan Bahasa
Melayu.

G. ANALISIS UNSUR INSTRINSIK


1. TEMA
Tema yang terkandung di dalam novel Layar Terkembang yaitu : Emansipasi
Wanita dan Percintaan
Emansipasi Wanita :
- “Bahwa perempuanlah yang pertama kali memimpin anak dan menetapkan sifat-
sifat yang mulia yang seumur hidup tidak berubah lagi dalam jiwa anak “ (hlm 47)

- “kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapatkan hak kita sebagai
manusia. Kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas
berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat kepada
siapa juapun.” (hlm47)

- “ Maria bertambah mendidih hatinya, “Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya
cinta kepadanya, ia cinta pada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak
menyerahkan seluruh nasib saya di tanganya, biarlah bagaimana dibuatnya.
Demikian kata hati saya. Saya tidak perlu nasihatmu” (Hlm 88)

Percintaan :
- “Pada mata Maria Nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta
menggemetarlah suaranya untuk yang pertama kali seumur hidupnya, “Maria ,
Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?” (Hlm 80)

- “ Saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati dari pada saya bercerai dari dia. Apa
sekalipun hendak saya kerjakan baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya.
Saya tahu ia juga cinta kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-
kali merasa hina menyatakan cinta saya itu,” (Hlm 87)

2. TOKOH, PENOKOHAN DAN PERWATAKAN


- Maria (Pemeran utama)
Mudah kagum, mudah memuji dan memuja, mudah tersenyum, ucapannya sesuai
dengan perasaanya yang bergelora, sangat girang dan ceria dan pancaran
perasaannya tiada terhambat-hambat.

“Maria seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum
selesai benar ia berpikir, ucapanya telah keluar menyatakan perasaannya yang
bergelora, baik waktu kegirangan maupun waktu keedukaan. Air mata dan gelak
berselisih di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra-mesranya
dan sebentar berderau gelanya yang segar oleh kegirangan hatinya yang remaja.”
(Hlm 5)
- Tuti (Pemeran utama)
Tidak mudah kagum, sangat menjunjung tinggi hargadiri, pamdai cakap, jarang
memuji, selalu memiliki pertimbangan yang masak, tetap pada pendirian, berjuang
untuk bangsanya dan orang yang teliti
“Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu.
Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap
sarta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Jarang benar ia hendak
lombar-melombar, turut menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai
dengan kata hatinya. “
(Hlm 5)
- Yusuf (Pemeran Utama)
Sangat mencintai Maria sepenuh hati, orang yang penuh cita-cita terhadap bangsa
dan tanah air, berpikir kritis, bertanggung jawab dan sopan.
“Maria, engkau harus baik, lekas baik. Tiga bulan lagi akan selesai sekolah saya.
Saya sendiri yang akan menjaga kekasihku. Sejak dari sekarang saya akan
mempelajari penyakit tbc sedalam-dalamnya. Sebab kekasihku harus saya
sembuhkan sendiri. “
(Hlm 171)
- Raden Wiraatmaja (Pemeran Pendamping)
Belum bisa mengkaji dan memahami jalan pikiran anak-anaknya terutama Tuti.

“antara dirinya dengan anakanya ada terentang suatu tabir yang halus dan tiada
nyata kelihatan kepadanya. Terutama sekali payah ia hendak mengkaji sikap dan
pendirian Tuti yang lain benar Nampak kepadanya dari Maria.”
(Hlm 14)

- Ketiga anak laki-laki di sekitar aquarium (pemeran sampingan)


Girang tak pernah diam
“Melihat kegirangan saudara-saudaranya yang tiada pernah diam barang sekejap
juga pun itu, anak yang bungsu yang di tangan ibu tidak dapat di tahan-tahan lagi:
ia hendak turun , hendak berlari-lari.”
(Hlm 7)
- Mang Parta (Patadiharja) (Pemeran Pendamping)
Selalu menginginkan anaknya untuk hidup bahagia tetapi baginya bahagia adalah
hidup senang dengan kemewahan
“ “ah, engkau Tuti. Saya tahu engkau sudah sebangsa pula dengan saleh. Tetapi
engkau jangan marah, kalau saya katakan, bahwa bahagia yang engkau sebut itu
omong kosong. Berbahagia ialah berbahagia, senang ialah senang, dan yang lain
dari itu bukan berbahagia dan bukansenang namanya.” “
(Hlm 31)

- Saleh (Pemeran Pendamping)


Sesorang yang gembira, tajam pikirannya dan hidup hatinya
“Saleh menganggap bahagia itu tidak sama dengan hidup yang senang. Baginya
yang dinamakannya bahagia itu ialah dapat menurutkan desakan hatinya, dapat
mengembangkan tenaga, kecakapannya sepenuh-penuhnya, dan menyerahkannya
kepada yang terasa kepadanya yang terbesar dan termulia dalam hidup ini “
(Hlm 31)

- Juhro (Pemeran Sampingan)


Baik hati, ramah, menerima tamu dengan sangat baik.
“dari rumah turun Juhro membawa baki dengan tiga buah cangkir teh dan dua buah
setoples dengan kasstengle dan kattetong Tuti menyambut cangkir teh dan setoples
itu dan sekaliannya diletakkannya di atas meja. “
(Hlm 27)
- Ratna (Pemeran Pendamping)
Pekerja keras, bersungguh-sungguh, dan setia.
“Ratna dilakukanya sungguh-sungguh, dengan bersungguh-sungguh ia berdiri di
samping suaminya mengerjakan pekerjaan yang telah mereka pikul bersama-sama,
dengan bersungguh-sungguh pula ia sebagai suaminya berdaya upaya merapatkan
dirinya dan berjasa bagi tempat kediamannya.
(Hlm 190-191)
- Dahlan (Pemeran Sampingan)
Sering menemani Yusuf berjalan-jalan saat Yusuf berada di rumah kedua orang
tuanya.

“Ketika tiba-tiba arus pikirannya tertahan mendengar bundanya mengetuk pintu


kamarnya mengatakan, bahwa Dahlan menantinya diluar akan mengajaknya
berjalan-jalan. “
(Hlm 63)

- Ibu Yusuf (pemeran Sampingan)


Sangat penyayang.
“bundanya yang belum puas bercampur dengan anaknya yang tunggal itu,
membantah dan mencoba menahan yusuf. Melihat bundanya bersungguh-sungguh
benar menahanya, lemahlah hati Yusuf sehingga diturutkannya kehendak
bundanyamenunda keberangkatannya beberapa hari. “
(Hlm 63)
- Ayah Yusuf (Pemeran Sampingan)
Tenang, selalu mengikuti kehendak Yusuf, tak banyak bicara.
“Ayahnya yang tenang dan biasa menurutkan segala kehendak Yusuf tak banyak
berbicara, sebab ia tahu bahwa ia boleh percaya kepada anaknya itu. Yusuf buka
kanak-kanak lagi dan ia tahu apa yang harus dikerjakanya.”
(Hlm 63)
- Rukamah (pemeran pendamping)
Selalu menemani Maria saat di Bandung, suka mengganggu Maria dan menyesali
akibat buruk yang disebabkan oleh perbuatannya yang suka mengganggu
“Melihat akibat kejenakaannya yang tiada sekali-kali akan sehebat itu, hilang lah
nafsu Rukamah tertawa. Sedih dan iba hatinya melihat saudara sepupunya itu dan
menyesallah ia akan perbuatannya.”
(Hlm 84-85)

- Iskandar dan Ningsing (pemeran Sampingan)


Girang dan ceria
“Maria berbalik menuju kedepan hendak bersua dengan mereka, lupa akan
maksudnya yangmula-mula. Belum lagi sampai di tangga, telah kedengaran
teriakan mereka yang girang, “He, aceuk Maria,” dan bergesa-gesa mereka datang
menuju kepadanya seraya mengulurkan tangan.”

- Rukmini (pemeran sampingan)


Tidak ingin jauh dari bundanya
“tiba dekat ibunya, Rukmini yang tersedu-sedu, mengulurkan tangannya minta di
ambil”
(Hlm 104)

- Perawat Maria (Pemeran Sampingan)


Selalu menghibur Maria, selalu menemani Maria saat kesepian dengan bermain dan
selalu menyemangatinya

“Maria, mengapa engkau menangis? Mengapa…? Ah jangan kau turutkan hatimu.


Engkau mesti girang, selalu girang, supaya lekas sembuh. Ayo duduk, mari kita
bermain dam berdua …” amat girang bunyi perkataan juru rawat itu,
membangkitkan kegembiraan.”
(Hlm 162)

3. LATAR
a) Latar Tempat
- Gedung Akuarium, yang merupakan tempat pertemuan Tuti dan Maria serta
Yusuf untuk yang pertama kalinya
“pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung
akuarium”
(Hlm 3)

- Pacet, daerah tempat Maria dirawat serta di daerah ini Tuti dan Yusuf menginap di
rumah Saleh dan Ratna yang merupakan teman semasa di bangku sekolah. Di
daerah ini terjalin keakraban diantara keduanya.
“sunyi sepi hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit di pacet.”
(Hlm 157)
b) Latar Waktu
- Pagi-pagi
“keesokan harinya pagi-pagi sebelum setengah tujuh ia telah siap makan dan
berpakaian akan pergi kesekolah”
(Hlm 16)
- Petang
“tiap-tiap petang apabila sudah menyelesaikan rumah dan sudah pula mandi dan
berdandan biasanya benar ia duduk di tempat itu menanti hari senja.”
(Hlm 25)
- Malam
“pada malam Minggu, Tuti duduk di ruang dalam menghadapi meja membaca buku
di bawah lampu”
(Hlm 126)

c) Latar Suasana
- ketertarikan Yusuf terhadap Maria
“Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-
balik saja kepada mereka berdua, yang terutama sekali menarik hatinya ialah Maria.
Mukanya lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan hidup dan bibirnya
senantiasa tersenyum menyingkapkan giginya yang putih.”
(Hlm 16)

- kebimbangan dan goncangan jiwa yang dialami Tuti


“pikiranya sering melayang-layang, tidak tentu arahnya. Sering ia merasa gelisah,
tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa
hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa
olehnya dirinya dan hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan
kecakapanya.”
(Hlm 90)

- kegembiraan saat Maria dan Yusuf mengikrarkan janji di air terjun dago
“seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya, mesra
seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf mengangkat muka
Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya,”Maria lihat saya sebentar.”
Pada mata Maria Nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta
menggemetarlah suaranya untuk yang pertama kali seumur hidupnya, “Maria ,
Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?” “
(Hlm 80)

4. ALUR
Alur yang di gunakan dalam novel ini adalah Alur Maju
• Perkenalan : Saat di gedung akurium Yusuf bertemu dengan Maria dan Tuti.
Pertemuan itu memberi kesan istimewa pada Yusuf. Hingga akhirnya, Yusuf selalu
merasa ingin bertemu dengan Maria.
“Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-
balik saja kepada mereka berdua. Perkenalan yang sebentar itu meninggalkan jejak
yang dalam dikalbunya. Tetapi tidak, terutama sekali menarik hatinya ialah Maria.
Mukanya lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan hidup dan bibirnya
senantiasa tersenyum menyinarkan giginya yang putih.”
(Hlm 16)
• Konflik : Maria dan Tuti bertengkar hebat. Pertengkaran itu disebabkan oleh
kritikan pedas Tuti terhadap Maria. Tuti mengkritik bahwa cinta Maria kepada
Yusuf sangat berlebihan dan dapat melemahkan diri Maria sendiri. Tetapi Maria
yang hatinya saat itu sedang marah, Ia membalas kritikan Tuti dengan mengatakan
bahwa dalam masalah cinta Tuti sangat perhitungan dan tak pernah mau rugi sedikit
pun serta Tuti selalu memikirkan kongres ketimbang memikirkan perasaanya. Dan
disinilah Tuti sadar bahwa sampai kapanpun Ia tak bisa melawan kodratnya sebagai
perempuan yang memiliki perasaan untuk mencinta.
“segera di sambungnya pula seolah-olah belum puas hatinya menjawab kakaknya
yang mencela cintanya kepada kekeasihnya itu “cinta engkau barangkali cinta
perdagangan, baik dan buruk di timbang sampai semiligram, tidak hendak rugi
barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus.” Muka Tuti
memerah sampia ketelinganya mendengar kata kata Maria yang pedas itu. Dengan
suara gemetar oleh amarah yang tiada terkata-kata, “Tutup mulutmu yang lancang
itu, nanti saya remas.” ”
(Hlm 88)
• Klimaks : Suatu ketika Maria terkena penyakit malaria. Penyakit tersebut
membuat Maria begitu lemah ditambah lagi penyakit TBC. Hingga pada akhirnya,
Maria meninggal dunia. “Maria sudah dua hari tinggal di C.B.Z penyakit
malarianya terang ditambah oleh penyakit batuk darah yang tiba-tiba memecah ke
luar. Dalam dua hari sebaik-baiknya bagi Maria ialah pergi ke Pacet, ke rumah sakit
TBC bagi perempuan, yang terletak di tengah-tengah pegunungan yang sejuk
hawanya.”
(Hlm153)
• Anti Klimaks : Sebelum Maria meninggal dunia, Ia menitipkan pesan terakhirnya
kepada Tuti dan Yusuf, yaitu jika kelak Ia meninggal nanti, Ia berharap bahwa Tuti
dan Yusuf dapat menikah.
“Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa
kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya
dalam beberapa hari ini ,inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya
tidaklah rela selama-lamnya, kalau kakandaku masing-masing mencari
peruntungan pada orang lain.”
(Hlm196)
• Penyelesaian : Akhirnya Tuti dan Yusuf menuruti permintaan terakhir Maria.
Mereka berdua menikah. Dengan begitu, Tuti tak perlu tersiksa lagi dengan
perasaan kesepian yang selama ini ia coba untuk melawan.
“Lima hari lagi akan berlangsung perkawinann meraka di Jakarta. Sebelum
perkawinan mereka berlangsung, pergi dahulumereka ziarah ke kuburan orang
yang sama-sama di cintainya. “
(Hlm 199)

5. SUDUT PANDANG
Dalam novel ini pengarang tidak berperan apa-apa. Pelaku utamanya adalah orang
lain. Sehingga sudut pandang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga.
“Tuti yang tertua di antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya,
sedang adiknya Maria baru dua puluh tahun.”
(Hlm 3)

6. AMANAT
- Kita harus meningkatkan pendidikan, bukan hanya bagi kaum lelaki tetapi juga bagi
kaum perempuan.
“teapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan sendiri insaf akan
dirinya dann berjuang untuk mendapat penghargaan dan lebih layak”
(Hlm 47)
- Kita harus bergerak semangat untuk membangun bangsa kita dari keterpurukan.
“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan di kembalikan derajatnya sebagai
manusia, haruslah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan
kependudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanya semata-mata kepentingan
perempuan”
(Hlm 47)

- Kita harus semangat dalam menjalani hidup


“tetapi segera datang mendorong perasaan sama-sama menderita mesti dan
berkatalah ia membujuk “Maria mesti kuat, engkau girang selalu jangan di turutkan
hati iba. Lawan rasa kesepian, engkau mesti lekas baik lagi” “
(Hlm 194)

- Kita harus percaya dengan takdir bagaimanapun rencana kita tetapi Allah yang
berkehendak.
“ yang mahakuasa menetapkan sesuatu yang tiada dapat dielakkan, Maria sakit,
sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit di pacet” (Hlm 200)

H. ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK


1. BIOGRAFI PENGARANG
Sutan Takdir Alisyahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara,
11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun.
Dinamai Takdir karena jari tanganna hanya ada 4. salah seorang sastrawan
Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi
di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti
Sains, Penang, Malaysia (1987).Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun
temurun menetap di Natal, Sumatera Utara sementara ayahnya, Raden Alisyahbana
gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakeknya, Sutan Mohamad Zahab,dikenal
sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang
luas
2. SITUASI DAN KONDISI
Lingkungan Ekonomi
Keadaan ekonomi pada saat itu masih berada dalam pemerintahan Belanda. Jadi
hanya orang-orang tertentu yang dapat menikmati pendidikan. Sedangkan
masyarakat yang kurang mampu, tidak semuanya dapat menikmati pendidikan.
STA sebagai orang yang mempunyai kesempatan menempuh pendidikan,
menuangkan gagasannya untuk mewujudkan cita-citanya tentang kaum wanita
yang harus bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya dan mempunyai wawasan
luas serta bercita-cita tinggi. STA juga mengemukakan dalam kutipan novelnya
bahwa sesama manusia, apalagi sesama kaum pelajar harus saling membantu.
Bantuan itu dapat berupa beasiswa bagi pelajar yang tidak mampu.

Lingkungan Politik
Pada masa pra kemerdekaan, karya-karya sastra yang genre dominannya roman
malah sudah menampakkan kecenderungan nasionalisme itu, pada masa balai
pustaka dan pujangga baru sudah banyak karya-karya yang bermuatan politik,
karya-karya sarat kritik terhadap pemerintah kolonial. Roman seperti”Layar
Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana termasuk roman yang mengusung ide-ide
nasionalisme. Ide-ide itu diselipkan dalam tema-tema percintaan, adat, dan agama.
Dalam ”Layar Terkembang”, tokoh Tuti menjadi representasi generasi muda yang
mampu mencerminkan bangsanya.

Lingkungan Sosial
S.T. Alisjahbana tercermin merupakan orang yang sangat perduli terhadap sosial
budaya, yakni terlihat pada tokoh Saleh dan istrinya yang sengaja pindah ke
pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan derajat dan perekonomian desa
tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi oleh para tengkulak. Intinya kita
sebagai orang terpelajar haruslah melihat sekeliling kita yang membutuhkan kita
agar masyarakat Indonesia ini tidak tertinggal dari Negara lain yang terbantu
dengan ilmu yang bisa kita berikan pada masyarakat.

3. NILAI-NILAI
Nilai Agama:
Disini S.T. Alisyahbana mencerminkan agama pada zaman itu yang seakan percaya
dengan takhayul, disini Sutan ingin menyadarkan bahwa percaya pada suatu
takhayul akan mematikan jiwa dan iman seseorang. Dan menjelaskan bahwa
Agama bukan hanya sekedar warisan dari orang tua kita akan tetapi agama haruslah
sejalan dengan hati kita yang sebenar-benarnya dalam hati dan harus sesuai dengan
perbuatan kita agar agama yang kita anut tidak sia-sia.
Nilai Sosial;
S.T. Alisyahbana tercermin merupakan orang yang sangat perduli terhadap social
budaya, yakni terlihat pada tokoh Saleh dan istrinya yang sengaja pindah ke
pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan derajat dan perekonomian desa
tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi oleh para tengkulak. Intinya kita
sebagai orang terpelajar haruslah melihat sekeliling kita yang membutuhkan kita
akar masyarakat Indonesia ini tidak tertinggal dari Negara lain yang terbantu
dengan ilmu yang bisa kita berikan pada masyarakat.

Nilai Budaya:
Pada Tokoh Tuti tercermin sosok yang menganut Budaya Barat akan tetapi tidak
meninggalkan budaya sendiri dilihat dari cara berpakaian Tuti yang memakai kain
panjang dan kebaya akan tetapi pemikirannya menganut budaya barat sehingga
sangat kritis akan tetapi tidak meninggalkan dan melupakan budaya sendiri.

Nilai sosial : Kasih sayang dan perhatian :


halaman 12 :”Memaksa anaknya itu menurut kehendaknya itu tiada sampai
hatinya,sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria.......”
halaman 85:”Tetapi matanya yang terkecil sedikit nampaknya pada mukanya yang
lebar itu,terang menyinarkan perasaan kasih sayang.”

Nilai Moral : keikhlasan dan ketulusan :


halaman 161 :”Alangkah bahagia saya rasanya diakhirat nanti,kalau saya tahu
bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
halaman 166:”beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada bergerak-
gerak,laksan terpaku pada tanah yang pemurah itu,yang senantiasa tulus dan ikhlas
menerima.......

Kemandirian dan ketegasan :


halaman 35:”Perempuan bangsa tak boleh mempunyai kemauan sendiri.Perempuan
yang sebaik-baiknya,yang semulia-mulianya ialah perempuan yang paling sedikit
mempunyai kemauan sendiri.........maksud hidup perempuan ialah untuk mengabdi
untuk menjadi hamba sahaya”
halaman 40:”Sesungguhnya hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya
sebagai manusia,barulah keadaan bangsa kita dapat berobah”
halaman 40:”kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai
manusia.kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru,yang bebas
berdirimenghadapi dunia..”

I. UNSUR KEBAHASAAN
1. GAYA BAHASA
- Majas personifikasi (menganggap benda mati sebagai makhluk hidup/manusia)
Ia pun memandang ke tengah laut tempat ombak menggulung tinggi akan
memecah, terus jauh ke tengah tempat alun berkejar-kejaran menuju ke daratan dan
akhirnya sampai kepertemuan langit dan air, tempat kedua-duanya menjadi biru
kabur. (hlm 55). Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada
air mukanya.
(hlm 3)
- Majas personifikasi
“Pada suatu tempat ia merencah air, menuju ke tengah melawan ombak yang
bertalu-talu datang memukulnya, seakan-akan hendak mengusir dia pulang ke darat
kembali.”
(Hlm 58)
- Majas Personifikasi
“Alangkah selarasnya dengan warna pasir kelabu, dengan ombak yang berkejar-
kejaran dari tengah dengan pohon-pohon yang melambai-lambai di darat”
(Hlm 58)
- Majas Personafikasi
“Habis makan beberapa lama pula mereka berdua berguling-gulingan di bawah
pohon, melepaska lelah dinyanyikan oleh angin rimba yang lemah lembut”
(Hlm 60)
- Majas Personafikasi
“di belakangan berbui-bui daun bambu sayu merdu berbisik cerita yang tiada habis-
habisnya.”
(Hlm 81)
- Majas Personafikasi
“kelihatan puncak gunung gede biru kehitam-hitaman bersandar pada langit yang
rata putih kelabu-kelabuan. Di lerengnya masih berkejar-kejaran kabut menutup
pemandangan.
(Hlm 170)

- Majas Personafikasi
“gemuru bunyi ombak memecah dan pemandangan kepada air yang putih-
puttih yang tiada berhenti berkejar-kejaran dari tengah, seolah-olah memenuhkan
melimpahkan perasaan dalam kalbunya.
(Hlm 55)
- Majas Personafikasi
“ia berdiri memandang kepada ombak yang gelisah belia itu.”
(Hlm 55)
- Majas Personafikasi
“di lembah –lembah dan di lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi
puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut bernyanyi laguan
warna.
(Hlm 192)
- Majas Personafikasi
“sedang matahari menurunkan sinarnya yang girang ke bumi, sedang pohon dan
tanaman tertawa melambai ke langit sarat memikul daun.”
(Hlm 201)

2. UNGKAPAN
- Litotes (ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri)
Sebab meskipun dengan bersahaja Ratna selalu berkata, bahwa makanan yang
dapat disajikannya kepada mereka hanyalah makanan orang tani di desa,
sesungguhnya mereka berdua dimanjakannya.
(hlm 184)

- Hiperbola (pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan yang ada)


Tetapi baru saja Tuti bergerak meninggalkan mimbar menuju ke tempat duduknya,
meletuslah sebagai petir yang telah lama terkurung dalam mega yang hitam berat,
bunyi tepuk beribu manusia yang hadir sehingga gedung yang besar itu selaku
gegar rupanya. (hlm 49)
- Parabel (ungkapan pelajaran/nilai tetapi dikiaskan/disamarkan dalam cerita)
Sandiwara Sandhyakala ning Majapahit. (hlm 119)

3. PERIBAHASA

J. SIMPULAN
Karya Sutan Takdir Alisjahbana tentang mengenai novel “Layar Terkembang” ini
mempunyai cerita yang sangat menarik dan mendalam. alurnya ditulis sudah runtut
mulai dari pengenalan klimaks, antiklimaks, hingga penyelesaian.
Dan Bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan
Bahasa Melayu. Dari situ kita bisa simpulkan, bahwa tidaklah mudah untuk
melestarikan dan mengapresiasikan sebuah karya sastra yang berupa novel tentunya
sangat memerlukan kejelian. Tetapi, dari mengapresiais novel kita bisa mengetahui
isi novel melalui unsur-unsur intrinsic maupun ekstrinsik dan mempelajari serta
meneladani hal-hal yang terdepat dalam novel tersebut.

SARAN
Melihat perkembangan zaman seperti sekarang ini, sebaiknya sebagai generasi
penerus kita harus melestarikan karya sastra lama, karena sekarang sedikit orang
yang tertarik oleh karya sastra lama karena tergeser oleh karya modern yang lebih
menarik perhatian.

Anda mungkin juga menyukai