Anda di halaman 1dari 8

Nama : Shahrul Lesmana Prayogy

NIM : 11911113849

Semester/Kelas : 3/B

Mata Kuliah : Kajian Prosa (UAS)

Dosen Pengampu : Lusi Komala Sari, S.Pd, M.Pd

Deadline : 30 Januari 2021/Sabtu/12.00 WIB

1. Karya sastra pada masa pujangga baru yang saya pilih dalam bidang kajian prosa adalah Novel Layar
Terkembang dari Sutan Takdir Alisjahbana.

2. Teori yang saya gunakan dalam menganalisis novel ini adalah teori struktural dan teori sastra
feminisme untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut.

A. Teori Struktural dalam Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana

1. Identitas Buku

Judul Buku : Layar Terkembang

Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana (STA)

Tahun Terbit : 2006 (Cetakan pertama tahun 1936)

Penerbit : Balai Pustaka

Harga Buku : Rp 45.000,00

Tebal Buku : 201 halaman

Angkatan : 30-an

2. Tujuan Pengarang

Pengarang menulis novel ini karena membahas tentang perjuangan dan segala permasalahan yang
dihadapi oleh wanita pada masa itu untuk mencapai cita-citanya.

3. Tujuan Penulisan

Novel ini layak untuk di baca para wanita muda masa kini agar tahu bagaimana keadaan kaum wanita
masa lalu.Selain itu secara tidak langsung dapat meningkatkan minat para generasi muda terhadap
kesusastraan lama Indonesia yang menjadi perintis sastra modern Indonesia sekarang.
4. Sinopsis

Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter sangat berbeda. Tuti,
sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga anggota organisasi pergerakan wanita,
Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh
dari unsur emansipasi. Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan
lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.

Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria dan sangat keibuan. Ia
juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan
ceroboh. Maria lebih perasa, lebih menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel
bertemakan cinta.

Saat sedang berekreasi untuk mengisi liburan di hari Minggu, mereka bertemu dengan Yusuf, seorang
pemuda intelektual yang sedang menempuh pendidikannya sebagai dokter. Pertemuan di hari Minggu
itu berlanjut hingga pada suatu pagi Yusuf yang sedang mengayuh sepeda menuju Sekolah Tabib Tinggi,
tempatnya menempuh pendidikan dokter, bertemu dengan Maria yang juga sedang mengayuh sepeda
menuju H.B.S. Carpentier, tempatnya menuntut ilmu. Sejak saat itu, mereka sering membuat janji untuk
bertemu. Yusuf pun sering mengunjungi kediaman Maria dan Tuti untuk bertemu dengan Maria. Sampai
akhirnya, Yusuf dan Maria saling jatuh cinta, hubungan mereka akhirnya semakin serius, hingga menjadi
sepasang kekasih.

Hubungan Yusuf dan Maria juga mendapat lampu hijau dari R. Wiriaatmaja, ayah Maria. Hingga mereka
memutuskan untuk bertunangan, hubungan mereka sangat harmonis. Melihat kemesraan antara Yusuf
dan Maria, Tuti sebenarnya iri. Apalagi, mengingat pertunangannya dengan Hambali yang putus
ditengah jalan. Namun tetap saja, ia tak mau memiliki kekasih apalagi suami jika tak sesuai dengan
kriteria dan pilihan hatinya.

Suatu hari, Maria tiba-tiba terserang Malaria, suhu tubuhnya tak stabil. Ia juga sering memuntahkan
darah. Keadaannya membuat Ayah dan Kakaknya khawatir, selain khawatir akan keadaannya, mereka
juga khawatir jika Maria akan bernasib sama dengan Ibunya yang meninggal karena penyakit semacam
itu.

Ditengah keadaan adiknya yang sedang memburuk itu, Tuti juga dibingungkan dengan perilaku Supomo,
temannya yang mengajar di sekolah yang sama dengannya. Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti,
dan berniat untuk mempersuntingnya. Walaupun Tuti kagum kepadanya, namun ia tidak yakin untuk
menerima permintaan Supomo. Akhirnya, Tuti memutuskan untuk menolak permintaan Supomo karena
tidak ingin mengingkari prinsipnya. Ia juga tak ingin mengecewakan Supomo karena jika ia menerimanya,
ia hanya menikah karena malu akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun tetapi belum bersuami,
bukan karena ia juga mencintai Supomo. Ia menjelaskan semuanya lewat surat, seperti Supomo yang
juga menulis surat untuk meyakinkan Tuti akan pengakuan cintanya.
Keadaan Maria yang semakin memburuk mengharuskannya untuk menjalani rawat inap di Central
Burgerlijk Ziekenhius di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Ayah, kakak, dan kekasihnya, bergantian untuk
menjenguknya karena mereka semua masih sibuk dan tak mungkin meninggalkan aktifitasnya di Jakarta
untuk menemaninya disana dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Hingga tiba saatnya liburan bulan Desember, Tuti dan Yusuf berjanji untuk menjenguk Maria setiap hari
dengan menginap di rumah saudaranya di Sindanglaya. Maria tentu sangat senang, walau malarianya
belum hilang ditambah dengan tbc yang memperparah keadaannya.

Keadaannya yang semakin memburuk membuatnya selalu teringat akan kematian, ia merasa hidupnya
sudah tak lama lagi. Hingga akhirnya, ia berpesan kepada Tuti dan Yusuf untuk hidup bersama dan saling
mencintai. "Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku
berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..."
begitulah pesan terakhir dari Maria yang tertulis di halaman 150 buku ini.Firasat Maria benar-benar
terjadi, ia meninggal dunia. Untuk menghormati Maria, Tuti dan Yusuf pun akhirnya memutuskan untuk
menikah.

5. Unsur Intrinsik Novel

1) Tema : Perjuangan Wanita Indonesia

2) Latar / Setting ;

a. Gedung Akuarium di Pasar Ikan,

b. Rumah Wiriaatmaja,

c. Mertapura di Kalimantan Selatan,

d. Rumah Sakit di Pacet,

e. Rumah Partadiharja,

f. Gedung Permufakatan.

3) Alur : Maju

4) Sudut Pandang : Orang ketiga yang ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh-
tokohnya.

5) Penokohan

a. Maria : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang mudah kagum,mudah memuji dan memuja,lincah
dan periang.

b. Tuti : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan wanita,selalu
serius,jarang memuji,pandai dan cakap dalam mengerjakan sesuatu.
c. Yusuf : Putra Demang Munaf di Mrtapura, seseorang mahasiswa kedokteran yang pandai dan baik hati.

d. Wiriaatmaja : Ayah dari Maria dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama,baik hati dan
penyayang.

e. Partadiharja : Adik Ipar Wiriaatmaja, seseorang yang baik hati, teguh pendirian dan peduli antar
sesama.

f. Saleh : Adik Partadiharja, seorang lulusan sarjana yang sangat peduli akan alam sehingga ia
mengabdikan diri sebagai seorang petani.

g. Rukamah : Sepupu Tuti dan Maria, seseorang yang baik hati dan suka bercanda.

h. Ratna : Istri saleh, Seorang petani yang pandai dan baik hati.

i. Juru Rawat : Seorang yang baik hati.

7) Amanat : Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh
yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat
lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.

6. Unsur Ekstrinsik Novel

a. Hubungan Pengarang dengan karyanya

Angkatan Pujangga Baru, sudah tidak banyak lagi bertemakan adat atau pertentangan adat melainkan
sudah mengangkat juga persoalan social seperti roman Layar Terkebang karya S.T. Alisyahnbana yang
mengangkat masalah emansipasi wanita, dengan pemikiran yang menganut budaya barat S.T.
Alisayahbana disini melalui Tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan tentang
peranan wanita dan kaum muda dalam membangun bangsa, tokoh Tuti yang berpakaian kain panjang
dan kebaya tetapi berfikir barat, disini S.T. Alisayahbana mencerminkan akan dirinya yang dimana ia
menganut budaya barat akan tetapi tidak meninggalkan budayanya, dan menginginkan pembaharuan
kearah kemajuan bangsa dan negaranya, terutama dalam dunia wanita.

b. Nilai Agama

Disini S.T. Alisyahbana mencerminkan agama pada zaman itu yang seakan percaya dengan takhayul,
disini Sutan ingin menyadarkan bahwa percaya pada suatu takhayul akan mematikan jiwa dan iman
seseorang. Dan menjelaskan bahwa Agama bukan hanya sekedar warisan dari orang tua kita akan tetapi
agama haruslah sejalan dengan hati kita yang sebenar-benarnya dalam hati dan harus sesuai dengan
perbuatan kita agar agama yang kita anut tidak sia-sia.

c. Nilai Sosial
S.T. Alisyahbana tercermin merupakan orang yang sangat perduli terhadap social budaya, yakni terlihat
pada tokoh Saleh dan istrinya yang sengaja pindah ke pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan
derajat dan perekonomian desa tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi oleh para tengkulak.
Intinya kita sebagai orang terpelajar haruslah melihat sekeliling kita yang membutuhkan kita akar
masyarakat Indonesia ini tidak tertinggal dari Negara lain yang terbantu dengan ilmu yang bisa kita
berikan pada masyarakat.

d. Nilai Budaya

Pada Tokoh Tuti tercermin sosok yang menganut Budaya Barat akan tetapi tidak meninggalkan budaya
sendiri dilihat dari cara berpakaian Tuti yang memakai kain panjang dan kebaya akan tetapi
pemikirannya menganut budaya barat sehingga sangat kritis akan tetapi tidak meninggalkan dan
melupakan budaya sendiri.

e. Nilai sosial

Kasih sayang dan perhatian :

· Seorang ayah pada anaknya:kutipan paragraf 1 halaman 12 :”Memaksa anaknya itu menurut
kehendaknya itu tiada sampai hatinya,sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria.......”

· Seorang bibi dengan keponakannya : Kutipan alenia 2 halaman 85:”Tetapi matanya yang terkecil
sedikit nampaknya pada mukanya yang lebar itu,terang menyinarkan perasaan kasih sayang.”

f. Nilai Moral

Keikhlasan dan ketulusan :

· Kutipan alenia 7 halaman 161 :”Alangkah bahagia saya rasanya diakhirat nanti,kalau saya tahu bahwa
kakandaku berdua hidup rukun dan

· kutipan alenia 2 halaman 166:”beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada bergerak-gerak,laksan
terpaku pada tanah yang pemurah itu,yang senantiasa tulus dan ikhlas menerima.......

Kemandirian dan ketegasan :

· Kutipan alenia 4 halaman 35:”Perempuan bangsa tak boleh mempunyai kemauan sendiri.Perempuan
yang sebaik-baiknya,yang semulia-mulianya ialah perempuan yang paling sedikit mempunyai kemauan
sendiri.........maksud hidup perempuan ialah untuk mengabdi untuk menjadi hamba sahaya”

· Kutipan alenia 1 halaman 40:”Sesungguhnya hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya


sebagai manusia,barulah keadaan bangsa kita dapat berobah”

· Kutipan alenia 2 halaman 40:”kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai
manusia.kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru,yang bebas berdirimenghadapi
dunia..”
7. Kelebihan Buku

- Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan,klimaks,antiklimaks,hingga penyelesaian.

- Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik.

- Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna.

- Banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik.

8. Kekurangan Buku

- Bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan bahasa Melayu.

- Pemilihan kata-kata yang ada di dalam naskah kurang efektif.

- Tatanan kalimatnya tidak efektif.

B. Teori Sastra Feminisme dalam Novel Layar Terkembang

Novel Layar Terkembang merupakan sebuah novel yang memperkenalkan masalah wanita Indonesia
yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan
hak-haknya sebagai wanita berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Dalam novel ini, diceritakan
tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai
wawasan luas dan bercita-cita tinggi.

Menurut penelitian Wiyatmi dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminisme, mengatakan bahwa
Tuti menggambarkan kondisi perempuan masa lampau sampai pada zamannya yang berada dalam
belenggu penindasan patriarkat. Hal itu tergambar dalam penggalan kutipan berikut.

Dalam pidatonya Tuti melakukan kritik terhadap kondisi tersebut dan mengemukakan gagasan
mengenai apa yang seharusnya dilakukan para perempuan zamannya untu melawan penindasan
tersebut dan menunjukan eksistensinya (Wiyatmi, 2012: 59).

Dalam novel tersebut karakter utamanya digambarkan seorang perempuan (Tuti) yang cerdas dan
mandiri serta sebagai ketua organisasi perempuan, yaitu “Poetri Sedar”. Tuti sebagai ketua organisasi
memiliki pandangan yang sangat luas ke depan, yaitu sebagaimana analisis takdir yang cukup tajam
memprediksikan bagaimana perempuan dimasa lalu, sekarang dan akan datang. Hal ini dijelaskan oleh
Gusdur bahwa Tuti dalam Layar Terkembang dipandang sebagai perempuan yang memiliki wawasan,
sikap, dan cara hidup yang melampaui batas-batas zamannya.

C. Pertanyaan untuk analisis ini:

1) Apa saja pemikiran pengarang yang tergambar pada karya sastra?

Pandangan dunia pengarang itu sendiri adalah komplek menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-
aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu
kelompok sosial tertentu yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.
(Goldmann (dalam Faruk, 2012: 66)). Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh
problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini
bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan
perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu
memperoleh bentuk konkret di dalam rya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak
memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan kepentingan suatu
golongan masyarakat tertentu.

2) Apa saja kritik pengarang pada karya?

Dalam novel ini pengarang menceritakan secara detail dan rinci karakter atau sifat dari masing-masing
tokoh. Dalam menjelaskan karakter atau sifat dari masing-masing tokoh, pengarang melukiskannya
melalui kalimat-kalimat yang bervariasi. Misalnya melalui gaya bicara arau tingkah laku yang bisa
menguatkan karakter dari tokoh tersebut. Sehingga dengan mudah para pembaca mendeskripsikan
watak atau karakter dari tokoh novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana.

3) Apa saja ideologi agama dan politik pada karya itu?

Penjajah masuk bukan hanya semata-mata kepentingan ekonomi tetapi juga masalah agama. Jadilah
hadir agama Kristen saat itu, setelah Indonesia menganut agama Hindu, Budha dan Islam. Kehadiran
agama baru membawa ideologi baru, lagi-lagi timbul kebimbangan dalam masyarakat Indonesia. Kita
kembali pada Tokoh, bagi Maria agama adalah hanyan nasihat yang turun-emurun dari orang tua. Lalu
bagi Yusuf, agama dianggap sebagai pekerjaan orang yang sudah pensiun.

Baru Wiriaatmaja masuk ke rumah, Maria bertanya kepada Yusuf, “Sembahyang Jugakah Tuan?”

“Saya? Ah, bukankah tadi kata tuan Parta, bahwa agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun, Saya
pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang….” (Layar Terkembang, 1978: 30)

Alisjahbana mengungkapkan secara transparan, melalui doalog antar tokoh. Ia berpendapat bahwa
kebudayaan baru mengacaukan sistem sosial dan nilai religi yang sudah ada berabad-abad sebelumnya.
Kepercayaan dan keyakinan semata-mata didasarkan atas dasar praduga. Konflik seperti ini lalu
diperkuat dengan kekacauan di dunia pendidikan pada zaman Belanda. Dalam kehidupan sehari-hari
kelas menengah (Kota) mengalami ketidaksadaran yang bertentangan dengan situasi atau seseorang
yang sama. Berbeda dengan orang desa yang masih primitiv dantidak mau membuka diri terhadap suatu
kebudayaan baru, mereka berpegang teguh dengan tradisi, terutama agama.

Hal-hal seperti ini mungkin kurang diperhatikan dan belum terkemukakan oleh kritikus lainnya. Karena
biasanya hal yang menjadi sorotan adalah mengenai unsur intrinsik, ekstrinsik, didaktik, histroris dan
aliran yang dianut Alisjahbana. Disini kita bisa menemukan hal yang baru , mencari hal kecil yang
sebenarnya bermakna. Disini dapat kita ketahui bahwasanya kebingungan yang terjadi pada masyarakat
di masa itu disiratkan oleh Alisjahbana melalui dialog dan penggambaran tokohnya.

Anda mungkin juga menyukai