Anda di halaman 1dari 6

RESENSI NOVEL ANGKATAN 66

“KASIH SAYANG MENGUBAH HATI”

Judul Buku : Pertemuan Dua Hati

Pengarang : Nh. Dini

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 1986

Jumlah Halaman : 87 Halaman

Kepengarangan
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Februari 1936.
Dia adalah seorang sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
Nh.Dini. Setamat SMA bagian Sastra (1956), ia mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956),
dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 ia bekerja di GIA
Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukim di Jepang,
Prancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 ia menetap di Jakarta dan Semarang.

Pada tahun 1980 an, ia mengarang sebuah novel yang berjudul Pertemuan Dua Hati dengan
tebal 87 halaman. Novel ini sudah mengalami sebelas kali cetakan. Novel karya Nh. Dini ini bercerita
tentang wanita. Namun banyak orang yang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”.
Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian orang
dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang
dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai
karya sastra. Sesuai dengan karakteristik pada periode 80-an karya sastranya ini mengangkat
masalah konsep kehidupan sosial.

Sinopsis
Bu suci adalah seorang guru di sebuah desa di Purwodadi. Ia adalah seorang guru yang bijak serta
sangat mencintai keluarganya. Namun, karena pekerjaan suaminya, bu Suci dan keluarganya
terpaksa pindah ke kota Semarang. Disana ia tinggal dengan suami dan ketiga anaknya serta dengan
uwaknya yang menjaga anak-anak bu Suci. Bu Suci mempunyai seorang suami yang sangat
pengertian terhadap keluarganya. Dia selalu mendukung apa saja yang bu Suci lakukan selama yang
dilakukannya itu benar. Ia pun berniat untuk mencari pekerjaan sebagai guru kembali, karena ia
sudah sangat rindu dengan pekerjaannya itu. Hingga suatu saat ia mengantarkan anaknya ke sekolah
dan ia pun mendapat pekerjaan sebagai seorang guru di sekolah dasar dimana anaknya bersekolah.

Hari pertama mengajar dilalui bu Suci dengan baik. Namun, ia mulai merasa ada suatu
kejanggalan yang terjadi pada kelas tersebut. Sebisa mungkin bu Suci tidak pernah mencampurkan
persoalan pribadi dengan persoalan di dalam pekerjaannya. Ia berusaha profesional dengan bisa
membagi waktu, agar anak-anaknya tidak pernah merasa kehilangan sosok ibu dalam dirinya.

Hari-hari berikutnya dilalui bu Suci dengan mulus pula, namun sekarang ia mulai mengerti apa
yang mengganjal didalam pikirannya. Seorang murid bernama Waskito ternyata telah menarik
perhatiannya. Setiap kali ditanya tentang murid tersebut, semua anak seolah terdiam dan tidak ingin
memberi jawaban pada bu Suci. Namun, akhirnya bu Suci pun mendapatkan jawaban atas semua
yang terjadi. Ternyata muridnya yang bernama Waskito tersebut salah satu murid yang nakal, dan
selalu membuat keonaran. Semua murid yang ada dikelas segan pada dia, mereka takut jika
bermasalah dengannya. Menurut cerita yang ada, Waskito seringkali memukul dan menjahili
temannya yang ada di kelas, tanpa sebab apa pun atau mereka merasa tidak pernah berbuat sesuatu
yang membuat Waskito marah. Entah kenapa bu Suci merasa ada hal yang perlu ia selesaikan dan ia
ingin terlibat jauh pada masalah itu. Dorongan hati yang kuat membuat bu Suci semakin ingin
membantu Waskito menyelesaikan masalahnya.

Sementara itu, anak kedua bu Suci telah di vonis oleh dokter mengidap penyakit ayan, sehingga
kesehatannya perlu dijaga serta ia tidak boleh banyak beraktivitas. Semua cobaan seolah tengah
menghadang pada bu Suci. Disisi lain ia ingin sekali berada di kelas serta mengetahui perkembangan
muridnya yang nakal tersebut, namun disisi lain ia harus bersusah payah mengantar anaknya ke
rumah sakit untuk berobat.

Akhirnya bu Suci pun mendatangi kediaman kakek dan Nenek Waskito untuk mendapatkan
informasi yang sebanyak mungkin. Ia pun mendapatkan informasi bahwasannya Waskito sebenarnya
merupakan anak yang baik, namun karena perilaku orang tuanya yang memperlakukannya dengan
tidak baik maka ia pun menjadi murid yang nakal. Neneknya mengatakan bahwa ayahnya seringkali
memukul Waskito tanpa alasan yang jelas jika Waskito melakukan suatu kesalahan tanpa
memberikan pengarahan yang baik, yang seharusnya Waskito perbuat, sementara ibunya selalu
memanjakannya sehingga Waskito tidak pernah tahu mana yang baik dan buruk. Selama tinggal
bersama neneknya ia menjadi anak yang tahu aturan dan menjadi disiplin, namun setelah
orangtuanya memintanya kembali, maka ia kembali menjadi anak yang nakal dan selalu menjahili
teman-temannya.

Bu suci mencoba membantu permasalahan yang dihadapi oleh Waskito. Seringkali ia


memperhatikan semua perilaku Waskito, dan ia perlahan mencoba mendekati Waskito. Ia meminta
Waskito untuk mengantar makanan pada anak keduanya yang sakit tersebut. Bu suci mencoba
menggambarkan pada Waskito bahwa ia masih beruntung diberi kesehatan sehingga ia tidak perlu
melakukan sesuatu yang tidak berguna untuk hidupnya. Bu Suci juga memberi kepercayaan pada
Waskito untuk membuat sesuatu, hingga pekerjaan yang dilakukan Waskito dan kelompoknya
mendapat penghargaan dari teman-temannya. Waskito dibuat ada keberadaannya oleh bu Suci.
Selama ini semua murid yang ada di kelas menganggap Waskito hanya sebagai biang onar dan
keributan sehingga keberadaanyya tidak diinginkan dan dibutuhkan. Namun, sekarang bu Suci
mencoba membuat semua hal tersebut musnah.
Kini Waskito tinggal bersama bibinya, sehingga sedikit demi sedikit ia mulai mendapatkan
pelajaran tentang sebuah kasih sayang. Terutama dari keluarga bibinya, yang selalu rukun meskipun
keadaan ekonomi mereka sulit. Bahkan mereka kadangkali harus berbagi makanan. Namun Waskito
senang tinggal di sana. Lantaran di sana ia mendapat pengajaran tentang sopan santun dan kasih
sayang. Ibu Suci merasa lega dengan semua perubahan yang mulai Waskito tunjukkan.

Namun suatu hari ia kembali mengamuk lantaran ada seorang yang menghina tanaman yang ia
tanam, padahal maksud temannya tersebut hanya sekedar gurauan belaka. Waskito sampai
membawa Cutter yang di acuhkan keudara, namun dengan berani bu Suci merampas Cutter tersebut
dari tangan tersebut saat Waskito lengah. Tanpa memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi
padanya. Entah kenapa ia yakin bahwa Wasktito tidak akan sanggup untuk menggunakan senjata
tajam tersebut. Semua guru di sekloah tersebut sepakat untuk mengeluarkan Waskito dari sekolah
karena sikap Waskito sudah keterlaluan. Namun bu Suci dengan segenap hati meminta agar diberi
waktu untuk membimbing Waskito, jika ia gagal jabatannya sebagai guru rela jika harus di cabut. Ia
pun menekankan kepada Waskito bahwa Bu Suci percaya bahwa Waskito akan merubah sikapnya
karena selain ia yang harus pindah, jabatan bu Suci sebagai guru juga dipertaruhkan untuknya.

Sejak saat itu bu Suci dan Waskito semakin dekat dan akhirnya sedikit demi sedikit Waskito mau
berbagi cerita dan mau untuk mnerima nasihat bu Suci. Akhir semester Waskito naik kelas dan
keluarganya sangat berterimakasih karena mereka tidak menyangka bahwa Waskito dapat merubah
sikapnya dan dapat pula naik kelas. Waskito dan keluarga bu Suci pun berlibur ke desa mereka di
Purwodadi sesuai dengan janjinya kepada Waskito. Sejak bertemu dengan Waskito bu Suci merasa
hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito dan sejak saat itu pula keprofesionalisme yang bu
Suci gunakan dalam memisahkan urusan pekerjaan dan rumah tangga tak beralu lagi semenjak
kedatangan Waskito.

Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran. Novel ini terdapat banyak sekali
tokoh-tokohnya, tapi hanya ada dua tokoh utama dan beberapa tokoh pembantu. Salah satu tokoh
utama dalam novel ini adalah Bu Suci. Bu Suci adalah seorang guru yang baik, ramah, ulet, bijaksana,
dan sesuai dengan namanya suci. Yang kedua adalah Waskito, dia juga salah satu tokoh utama yang
pada awalnya berwatak antagonis berubah menjadi protagonis menjelang akhir cerita berkat Bu
Suci. Waskito adalah orang yang kasar, kurang ajar, dan salah satu orang yang”sukar” di sekolahnya.
Namun, sebenarnya dia adalah anak yang baik. Karna Bu Suci, akhirnya si ”anak sukar” itu berhasil
dibimbing ke arah yang benar. Dan kini Waskito terdaftar ke dalam baris anak-anak yang pandai di
kelasnya. Pada akhir tahun pelajaran Waskito naik kelas.

Penilaian
Penulis tidak menyelipkan gaya bahasa yang terlalu sulit, sehingga tidak menyulitkan pembaca. Dan
bahasanya juga mudah dipahami karena menggunakan bahasa sehari-hari. Namun, kekurangannya
adalah cover yang digunakan di bagian depan kurang menarik sehingga kurang diminati oleh
pembaca. Karena biasanya pembaca melihat sebuah novel dari covernya terlebih dahulu. Dan font
(ukuran) tulisan yang digunakan juga kurang besar.

Kesimpulan
Banyak sekali amanat yang kita dapat, dan kita petik dari novel ini. Salah satunya adalah kita harus
tabah dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup dan jangan pernah menganggap remeh
seseorang dan memandang hanya dari satu sisi buruknya saja. Apalagi orang tersebut adalah anak
didik kita yang harus kita bimbing dan dididik agar kelak bisa menjadi anggota masyarakat yang
semestinya. Oleh sebab itu, cerita ini sangat bagus untuk dibaca oleh anak-anak, orang tua, dan
kalangan pendidik.

Unsur-unsur Intrinsik
1. Tema : Kehidupan Sosial

2. Tokoh :

- Bu Suci - Bapak (Ayahnya Bu Suci)

- Waskito - 3 anak Bu Suci

- Suami Bu Suci - Uwak

- Murid-murid SD kota Semarang - Istri RT

- Bu De Waskito - Kakek dan Nenek Waskito

- Kepala Sekolah - Guru Agama

3. Penokohan :

Ø Bu Suci (protagonis) : baik, lembut, penyayang, tanggung jawab, bijaksana, rajin, penurut kepada
orang tuanya, selalu megalah diantara saudara-saudaranya, sabar dan tabah dalam menghadapi
kehidupan, tidak pernah menuntut lebih kepada suaminya, peduli kepada peserta didiknya,selalu
meminta pendapat kepada orang lain setiap akan mengambil keputusan.

Ø Waskito (antagonis menjadi protaginis menjelang akhir cerita) : nakal, suka marah-marah tidak
jelas, sering membolos, sering memukuli teman-temannya, pendiam, selalu meluapkan perasaannya
dengan kekerasan/ memberontak, sulit bergaul dengan teman sekelasnya karena ia ditakuti teman-
temannya karena sikapnya yang keras, sebenarnya ia hanya minta untuk diperhatikan dan sedikit
bimbingan.

Ø Suami Bu Suci (protagonis) : pengertian, tanggung jawab, dan perhatian.

Ø Bu De Waskito (protagonis) : baik, perhatian pada anak.

Ø Kepala Sekolah (protagonis) : tegas, berwibawa.

Ø Bapak (Ayahnya Bu Suci) : tegas dalam mendidik anak.

Ø 3 Anak Bu Suci :

- Anak ke-1 perempuan => lembut, cepat mengerti

- Anak ke-2 laki-laki => diceritakan mengidap penyakit ayan

- Anak ke-3 perempuan => masih balita

Ø Uwak : Sabar, penuh kasih sayang.

Ø Istri RT : Ramah

Ø Kakek dan Nenek Waskito : Penyabar, ramah

Ø Guru Agama : Baik, mudah menyesuaikan diri

Ø Murid-murid SD Semarang : Patuh terhadap guru


4. Latar :

Ø Tempat => Rumah Bu Suci, Sekolah Dasar di Kota Semarang, di rumah RT, Rumah Sakit, Kota
Purwodadi, di sepanjang jalan dari rumah Bu Suci ke SD.

Ø Waktu => Pagi, siang, sore dan malam hari.

Ø Suasana => Sabar, prihatin, kesal, dan di akhir cerita semuanya merasa senang

5. Alur :

Ø Dilihat dari jalan ceritanya, Novel berjudul Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini termasuk kedalam
alur campuran (dimana cerita dimulai dari masa dahulu – masa sekarang – kembali ke masa dahulu –
dan seterusnya).

Ø Berdasarkan standart kehidupan berceritanya, Novel ini termasuk alur tertutup, sebab jalan
ceritanya sudah ditentukan dengan jelas oleh pengarang dan tidak memberi kesempatan kepada
pembaca untuk menentukan bagaimana akhir cerita tersebut.

6. Sudut pandang :

Posisi atau letak pengarang dalam sebuah cerita yang dikarang atau disampaikan. Novel Pertemuan
Dua Hati ini termasuk ke dalam sudut pandang orang pertama. Ini dapat dilihat dari cara pengarang
menggunakan penyebutan tokoh utama “aku” (sebagai aku-an) di dalam novel.

7. Amanat :

Hendaklah kita bersabar dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup dan jangan pernah
menganggap remeh seseorang dan memandang hanya dari sisi buruknya saja. Dan kepada orang tua
janganlah lupa akan memberikan pengajaran yang baik untuk anaknya.

8. Gaya Bahasa :

Bahasa Jika dilihat dari gaya berceritanya (style of though), novel ini termasuk kategori gaya bahasa
langsung. Pengarang menceritakan sendiri semua peristiwa-peristiwa yang terjadi baik pada dirinya
sendiri maupun orang lain disekitarnya. Dalam novel ini juga banyak dipakai kata yang merupakan
kata-kata istimewa. Misalnya : sukar, konon, kelak, sekonyong-konyong. Mengintruksikan
tumpuhan, jeng (bu), dsb. Dalam novel ini juga terdapat gaya bahasa yang bermacam-macam. Gaya
bahasa yang dipakai dalam kutipan itu berkisar antara gaya bahasa Hiperbola (misalnya : tercekik
oleh keharuan,…………..pastilah mulutku akan terloncat cerita peristiwa dikelas kehadapan rekan-
rekanku). Gaya bahasa Metonemia (misalnya: dalam kata “membuka Hati”)

Unsur-unsur Ekstrinsik
1. Latar Belakang Kehidupan Pengarang

Pengarang novel ini bernama Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29
Februari 1936; umur 74 tahun ) atau lebih dikenal dengan nama N.H. Dini adalah sastrawan, novelis,
dan feminis Indonesia. Setamat SMA bagian sastra (1936), mengikuti Kursus Pramugari Daraat GIA
Jakarta (1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 bekerja
di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukim di
Jepang, Prancis, Amerika Serikat, dansejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang. Karyanya : Dua
Dunia (1965), hati yang Damai (1961), La Barka (1977), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatran
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1987), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi
Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari seberang (1981), Kuncup Berseri
(1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang-orang Tran (1985). Trejemahannya :
sampar (karya Albert Camus, La Peste; 1985).

- Sejarah hidup : N.H. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari
lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan.
Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah,
darah Bugisnya muncul". N.H. Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku
pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia
sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati.

2. Nilai- nilai yang terkandung dalam novel

Ø Nilai moral (sikap, perilaku) Salah satunya terdapat pada halaman 32 alinia I “…kami semua
sepakat bahwa anak-anak tumbuh tidak hanya memerlukan makanan, mereka juga membutuhkan
kemesraan, menginginkan perhatian. Rasa cinta kepada mereka yang diperlihatkan , menanamkan
benih kekuatan tersendiri……….”

Ø Nilai Sosial Hubungan antara guru dan murid tidak terbatas hanya dengan menyampaikan
pelajaran yang sudah ditetapkan sesuai dengan kurikulum, melainkan lebih dari itu harus ada
keterikatan batin dan rasa kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Supaya mampu menciptakan
lulusan-lulusan yang bisa membawa diri sendiri serta mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya.

Ø Nilai Religius Semua yang terjadi pada hidup ini karena kehendak Alloh SWT. Manusia hanya bisa
berusaha dan berdoa dan Alloh SWT yang menentukannya. Salah satunya terdapat pada alinea ke-5
halaman 71. “Malamnya aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacam-macam.
Barangkali Waskito tidak masuk esok pagi! Atau masuk, membawa pisau, atau golok, atau senjata
lain yang lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku. Dalam sujudku menghadap Tuhan
sebelum dini hari tiba, rasa kerendahan diriku semakin kutekan. Kami ini manusia sangat hina, kecil
dan tak berdaya jika Tuhan tidak menghendaki keunggulan kami!”

Anda mungkin juga menyukai