Anda di halaman 1dari 4

KISAH 1

Hanya Allah yang berhak menilai. Mungkin kalimat inilah yang pas kami simpulkan atas segala
kiprah yang selama ini dilakukan oleh Ida Nur Liala. Bu Ida----panggilan akrab Ustadz Cahyadi Takariawan
ini----termasuk aktivis muslimah dakwah yang rajin membaca dan menulis buku. Tidak heran,
wawasannya pun luas. Dalam kehidupan sehari-hari, Bu Ida dikenal sebagai sosok sabar, dermawan dan
sangat perhatian kepada orang lain.
Sebelum akhirnya memiliki rumah sendiri, Bu Ida bersama suaminya sering berpindah-pindah
rumah kontrakan. Walau demikian, ia memiliki sikap supel, sehingga dikenal dekat dengan siapa pun.
Termasuk di kampung barunya kini; Bu Ida tidak pilih-pilih tetangga, bahkan dikenal suka membantu
masyarakat sekitarnya. Ketika kita bertanya tentang letak rumahnya, warga yang tinggal di ujung desa
sekalipun akan tahu. Tidak hanya itu, warga yang ditanya pun kadang berkenan mengantarkan kita ke
rumah Bu Ida.
Ketika ada orang yang datang untuk berbagi masalah (curhat), Bu Ida dengan serius
memerhatikan dan menguatkan jiwa orang tersebut. “Anti (Saudari) sabar ya, ada kalanya Allah menguji
kita dengan seperti ini. Itu tandanya Anti dipandang oleh Allah mampu menyelesaikannya. Hanya soal
waktu. Tugas kita berusaha, berusaha dan berdoa!” demikian suara khas Bu Ida memompa semangat.
Tidak sekadar mengobati kesedihan atau memompa semangat, Bu Ida sering pula menawarkan solusi
dari permasalahan yang ditanyakan.
Meskipun sering ditinggal suaminya untuk keperluan dakwah di luar kota hingga berhari-hari. Bu
Ida tetap semangat untuk berbagi ilmu. Tidak ada guratan kesedihan, betatapun antara dirinya dan
anak-anak dengan suami terbilang jarang bisa berkumpul bersama dalam sebulan. “Dakwah itu ‘kan
sudah menjadi pilihan, jadi ya di jalan dakwah ini kami berkiprah. Bismillah karena Allah. Insya Allah,
Allah akan senantiasa melindungi dan menjaga kami,” ujar Bu Ida.
Selain menekuni profesi apoteker dan ibu rumah tangga (mengasuh 6 orang anak), Bu Ida
merupakan ustadzah bagi banyak kelompok pengajian remaja putri, mahasiswi hingga ibu-ibu. Di luar
itu, ia menekuni dunia tulis-menulis bersama suami tercintanya.
Untuk menjaga interaksinya dengan Al-Qur’an sekaligus mengondisikan putra-putrinya,
senandung tilawah al-Qur’an senantiasa dilantunkan dari kaset atau VCD.
“Kita kan bisa berdakwah mulai dari yang ringan, yang kecil yang ada dalam keseharian kita,
mengingat tuntutan di masyarakat banyak namun (kemampuan) kita terbatas,” jelas Bu Ida.

(Kisah ini dikutip dari buku berjudul Untuk Muslimah yang Tak Pernah Lelah Berdakwah karya Ibu Rochma Yulika dan Bapak
Umar Hidayat terbitan Pro-U Media Yogyakarta)
KISAH 2

Namanya Siti Juwairiyah. Ummi, begitu biasanya dipanggil kebanyakan remaja putri yang
mengenalinya. Ibu-ibu biasanya memanggilnya dengan nama depannya: Bu Siti.
Ia selalu menyapa ramah orang-orang yang datang dan lalu-lalang di depan warungnya. Di
warung kecilnya, Bu Siti tidak hanya berjualan seperti layaknya pedagang yang lain. Ia terbiasa untuk
membawa dan membaca, bahkan membacakan terjemahan al-Qur’an pada orang-orang yang mampir di
warungnya. Pada umumnya, orang-orang terutama ibu-ibu yang datang ke warungnya tidak hanya
untuk membeli sesuatu, tetapi juga mendengarkan ucapan-ucapannya yang berisi.
Suatu saat pernah datang seorang ibu muda ke warungnya. Niat awal ibu itu datang untuk
belanja. Tetapi selanjutnya, karena keramahan Bu Siti, kunjungan pertama tersebut membuat ibu itu
tertarik untuk kembali lagi dan berdiskusi tentang Islam dengan Bu Siti. Hal ini terjadi berkali-kali. Tidak
hanya pada ibu tersebut, tapi juga pada ibu-ibu lainnya. Sampai kemudian mereka tertarik dan bertanya
di mana ibu berusia 48 tahun itu belajar islam.
“Hari senin belajar tahsi di Kramat Jati. Hari selasa tahsin juga di Condet. Rabu, ngaji di Condet.
Lalu kamis taklim di masjid Polri Kramat Jati. Hari jumatnya tahsin lagi di Kramat Jati. Sabtu ikutan taklim
bersama ibu-ibu di Cililitan. Dan minggunya ngaji tafsir di masjig At-Tin serta belajar dan ikut
mengajarkan tahsin di mushala dekat rumah di Kramat Jati.”
Padat sekali. Apa ada waktu untuk istirahat di rumah? Bagaimana waktu untuk keluarga?
Bukankah suami Ibu sedang sakit dan sulit bangkit dari tempat tidur?
Dengan senyum yang selalu menghiasai bibirnya, Bu Siti menjawab. “Insya Allah ada waktu untuk
istirahat dan keluarga. Biasanya waktu pengajian yang saya ikuti itu siang hari. Setelah saya selesai
berdagang, saya kembali ke rumah, baru kemudian saya pergi. Soal suami, insya Allah anak-anak saya
yang sudah besar dan adik saya yang tinggal di rumah mau bergantian untuk menjaga suami. Kalaupun
sedang tidak ada yang menunggu suami, saya meminta izin dibolehkan atau tidak untuk pergi. Insya
Allah suami saya sudah mengerti tentang pentingnya mencari ilmu dan berdakwah, meskipun ada saat-
saat tertentu di mana suami saya tidak dapat ditinggal karenya penyakitnya.”
Itulah Bu Siti. Waktunya begitu padat untuk mencari ilmu. Tak hanya sampai situ, dengan penuh
semangat ia mengajarkannya lagi pada orang-orang di sekelilingnya. Sebagian besar ibu-ibu dan remaja
putri yang tertarik dengan dakwahnya, mengikuti jejaknya untuk datang ke tempat-tempat pengajian
yang Bu Siti hadiri. Mulanya mereka yang pergi ke tempat itu menutup aurat untuk saat itu saja.
Alhamdulillah lambat laun busana takwa itu sudah menjadi keseharian mereka. Dengan cara dakwah
seperti itu, Bu Siti berhasil mengajak hampir seluruh ibu-ibu di RT-nya untuk mengikuti kajian Islam dan
juga menularkan semangat keislaman pada mereka.

(Kisah ini dikutip dari buku berjudul Untuk Muslimah yang Tak Pernah Lelah Berdakwah karya Ibu Rochma Yulika dan Bapak
Umar Hidayat terbitan Pro-U Media Yogyakarta)
KISAH 3

Sehari-hari Umi Niyahan berprofesi sebagai guru sekolah dasar di Kota Yogyakarta. Setiap hari,
mulai pukul 07.00 sampai 14.00, ia mengajar. Sesampainya di rumah, ia telah ditunggu santri-santri yang
mengikuti bimbingan belajar di rumahnya. Padahal, saat yang sama, Umi Niyahan masih mengasuh anak
ketiganya yang baru berumur bulanan tanpa pembantu.
Di luar itu, dalam sepekan Umi Niyahan mengisi empat kali pengajian untuk remaja putrid an ibu-
ibu rutin pekanan dan ada juga pengajian bulanan. Belum lagi ia sendiri mengaji berasama ibu-ibu
lainnya. Walaupun sibuk, aktivitas sosialnya tidak ia tinggalkan. Khusus hari sabtu dan ahad, ia
menambah kuliahnya----untuk mendukung profesi gurunya. Umi Niyahan juga masih sempat berkumpul
dengan ibu-ibu PKK di kompleks perumahannya.
Apa resep Umi Niyahan agar tetap fit dan menikmati kesibukan berdakwah? “ Kepekaan
terhadap kesehatan,” ungkap Umi Niyahan. “Kita mensti memerhatikan kesehatan diri sendiri, dan
anggota keluarga kita. Dari mulai makanan, pola makan, istirahat dan olahraga. Setiap hari minum
minimal 2 liter air. Kurangi makanan-makanan yang tidak sehat. Saya ikut senam seminggu 3 kali, untuk
menjaga kebugaran tubuh.”
Sebagai seorang ibu, bisa jadi berdakwah menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan,
mengingat peran ganda seorang perempuan yang sungguh luar biasa. Jika ingin melakukan dengan baik
peran gandanya, para muslimah harus pandai-pandai mengatur waktu sehingga salah satu potensi dari
dirinya terpenuhi hak-haknya dengan baik.

(Kisah ini dikutip dari buku berjudul Untuk Muslimah yang Tak Pernah Lelah Berdakwah karya Ibu Rochma Yulika dan Bapak
Umar Hidayat terbitan Pro-U Media Yogyakarta)
KISAH 4

Kinan Nasanti. Tahukah Anda apa yang membanggakan dari seorang Kinan Nasanti? Setiap orang
merasa aman memercayakan rahasia mereka padanya! Begitu banyak teman (bahkan yang baru
mengenalnya) menjadikannya teman curhat.
Ia mendengar dengan telinga dan hati sekaligus. Ia tidak semata menunjukkan simpati, tapi
empati. Ia berusaha mencari solusi atau memberi nasihat yang berarti. Lebih dari itu, komitmen.
Tahukan Anda siapa Kinan sebenarnya? Ia hanya seorang muslimah biasa dengan tubuh yang
sangat mungil (serupa anak yang menjelang kelas II SD). Hari-harinya adalah cobaan. Ayahnya sudah
meninggal. Sang ibu sakit-sakitan. Ia harus menghadapi seorang kakak yang tidak stabil secara mental
serta seorang adik yang sakit jiwa. Belum lagi masalah lainnya. Dan, ia menghadapi semua dengan
ketabahan luar biasa. Bagaimana bisa?
“Allah. Allah tempat bersandar yang sejati. Ia pasti takan membiarkan hamba-Nya. Ia tak akan
membiarkan saya,” katanya.
Di tengah deraan cobaan ia lulus kuliah dari Universitas Indonesia dengan nilai baik. Ia mengajar
di sebuah pesantren dan dicintai banyak muridnya. Ia masih sempat bekerja di sebuah penerbitan,
menulis untuk beberapa majalah dan antologi cerpen bersama, membina majelis taklim, menjadi
pengurus Forum Lingkar Pena, dan aktif dalam berbagai kegiatan sebuah partai di wilayahnya.
Tidak hanya itu. Ia pun sibuk memikirkan teman-temannya yang belum menikah pada usia
menjelang atau lebih dari 30 tahun, dan mencoba mencarikan untuk mereka lelaki muslim yang baik.
Tidak memikirkan diri sendiri. Tidak rendah diri dengan tubuh yang mungilnya. Hanya kerendahan hati.
Tak ada duka karena derita. Hanya mata berbinar dan senyum saat bertemu kami. Tahukah Anda
kalimat yang sering ia ucapkan kala bersama kami?
“Mahabesar Allah yang memberi saya kenikmatan yang tak habis untuk disyukuri.”

(Kisah ini dikutip dari buku berjudul Untuk Muslimah yang Tak Pernah Lelah Berdakwah karya Ibu Rochma Yulika dan Bapak
Umar Hidayat terbitan Pro-U Media Yogyakarta)

Anda mungkin juga menyukai