Anda di halaman 1dari 11

SUBTEMA 1

SEJARAH MASJID FATIMAH


Oleh : Fany Erlanda

Tanjung Gedang,5 Agustus 1977.Rumah yang cukup sederhana. Dinding bangunannya


terbuat dari kayu. Lantainya pun terbuat dari geladak kayu. Dinding depan sebagian berupa
kaca-kaca. Rumah panggung yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Rumah yang
dipinjamkan oleh bapak H.Ramli Umar untuk pendirian Pondok Pesantren Diniyyah yang
menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Diniyyah Al-Azhar Muara Bungo.

Sebuah acara yang sederhana. Dihadiri hanya oleh beberapa orang saja.Namun
berlangsung khidmat dan sakral. Dengan ditandai secara simbolis”menaiki tangga rumah”tua
itu,sebuah permulaan dimulai. Umi tersenyum,menitikkan air mata Bahagia. Mimpi Umi ingin
mendirikan pondok pesantren akhirnya terwujudkan.

***

Pada tanggal 15 Agustus 1977,tepat dibulan Ramadhan,Umi menyusun sebuah agenda


dakwah keliling. Tidak lain kegiatan itu dilakukan untuk menyosialisasikan pendirian pondok
pesantrennya ditengah masyarakat sekaligus menggalang dana. Umi menyadari,bahwa
pondok pesantrennya tidak akan bisa direalisasikan tanpa adanya dana.

Rumah yang dipinjami oleh H.Ramli Umar sifatnya hanyalah sementara(dipinjamkan).


Rumah itu pun juga terlalu kecil dengan ruang yang sangat terbatas,tidak akan mampu
menampung siswa jika kelak pondok pesantren benar-benar telah dibuka. Jadi adanya
dana,seakan menjadi sebuah keniscayaan untuk merealisasikan pondok yang diimpikan oleh
umi.

Umi pun menyusun tim dakwah keliling sepanjang bulan Ramadhan yang terdiri dari
Ernawati,dan beberapa temanya di Padang Panjang. Umi dan tim dakwahnya setiap hari
kekeling dari kampung ke kampung untuk berdakwah. Bisa di bayangkan bagaimana padat
nya kegiatan umi bersama timnya sepanjang bulan Ramadhan.

Lantas dari habis maghrib sampai habis tarawih keliling ke berbagai daerah,hingga ke
pelosok-pelosok desa. Memang sangat lelah dan banyak menghabiskan energi. Tapi itulah
yang namanya perjuangan. Umi tetap semangat menjalani semuanya demi tercapainya cita-
cita semua lelah umi seakan semua terbayar saat kedatanganya di sambut hangat oleh
masyarakat dan dakwahnya di nanti dengan suka cita.

Ada juga orang seorang ibu yang ingin mendirikan sekolah dan mendengar ceramah umi
kemudian menyepatkan diri untuk datang ketanjung gedang. Tak lupa orang itu juga
menyumbangkan dana sebesar Rp.10.000.- tentu saja nominal sejumlah itu sangatlah besar di
tahun 70-an jika kurs nilai sekarang,mungkin bisa mencapai 10 juta,atau bahkan bisa lebih. Ia
merasa sangat senang mendapatkan dukungan secara moral dan materi dari ulama itu. Pada
akhirnya umi juga mengetahui,jika ternyata ulama itu penjual minyak eceran yang kaya raya
dan anaknya baru saja membuka pom bensin.

Pernah suatu kali umi juga mengalami kejadian yang sangat mengharukan. Pengalaman itu
masih diingat dengan jelas hingga sekarang setelah kejadianya lebih dari 30 tahun berlalu.
Waktu itu umi baru saja pulang habis sholat tarawih dan ceramah. Ada ibu-ibu datang ke
rumah beliau bilang “nak… saya dengar pidato kamu,katanya kamu mau bangun sekolah,ibu
ingin bantu tapi ibu tidak punya uang…,”kata si ibu kepada umi. Setelah itu si ibu pegang-
pegang telinganya,terus tiba-tiba antingnya dicopot dan diserahkan kepada umi. “Masya
Allah….umi sampai terharu..”kenang umi.

Kegiatan dakwah keliling sepanjang Ramadhan dan pengumpulan dana dari orang-orang
yang peduli pendidikan berhasil terkumpul hingga Rp.250.000. Jumlah cukup fantastis yang
sebelumnya tak terbayang oleh umi. Dana itu kemudian di maksimalkan untuk modal
pengadaan alat-alat kantor,asrama,dan dapur.

Gelombang pesimisme di tengah masyarakat masih tinggi atas pendirian pondok pesantren
yang di lakukan umi. Kemampuan umi di ragukan akan bisa merealisasikan pondok pesantren
seperti apa yang dicitakanya. Terlebih,meski mengadakan sosialisasi dengan dakwah kemana-
mana,tak kunjung memperlihatkan perkembangan berarti kearah pendirian pondok pesantren
itu. Di rumah tua yang disulapnya menjadi asrama hanya mengadakan pengajian di malam
hari selepas maghrib,itu pun mereka yang datang tak lebih hanya sekedar anak-anak di
lingkungan asrama.

Lambat laun optimisme akan terealisasinya pembangunan pesantren pun turut terkikis
seiring dengan besarnya gelombang pesimisme. Bukan optimisme umi,melainkan
H.M.Sittin,ayah umi yang sebenarnya telah memberikan tanah kepada umi seluas 3 hektar di
Jaya Setia untuk pendirian pesantren itu. Tapi melihat perkembangan yang ada membuatnya
menjadi bimbang.

Umi ibarat mendapat pukulan telak atas kejadian itu. Jika orang lain yang pesimis,baginya
dianggap angin lalu. Namun saat ayahnya turut pesimis juga dengan keyakinannya,ibarat
bangungan yang pondasinya digempur,umi cukup goyah.Jika lahan untuk pendirian pondok
pesantren saja tidak ada,bagaimana bisa membangun pondok? Pikir Umi.

“Waktu itu perasaan saya sudah campur aduk. Sedih,kecewa,menangis…. Sudahlah….


Seperti sempurna cobaannyo..” Umi menuturkan kisahnya. Namun apa boleh buat,layar
sudah terkembang,pantang berhenti ditengah jalan. Umi lagi-lagi hanya bisa tawakal.

***

Pada Desember 1977,Umi akhirnya memutuskan untuk agenda perjalanan dakwah


penggalangan dana,mulai dari Jambi,Palembang,Lampung,hingga Jakarta. Sedari awal ia
berniat nekat tetap jalan meski tak ada uang untuk bisa melalukan perjalanan itu. Dana yang
ada memang sebatas untuk sampai di Jambi saja. Rencananya ia akan puasa dan setelah di
Jambi akan meminta ongkos kepada temannya di Tanjung Karang. “Nggak apa-apa malu. Saya
sampai berpikir begitu. Yang penting saya bisa melalukan perjalanan sampai Jakarta”,
terangnya.

Umi pun berangkat keJakarta. Sesampainya disana,ia langsung menemui Drs.


H.Soeparlan,seorang ABRI,orang golkar. Yang bertugas menjadi staf Pondok Pesantren seluruh
Indonesia(Pontren) Depag RI. “saya kasihkan surat dari ibu Halimah Syukur kepada beliau. Lalu
saya ceritakan tentang rencana pembangunan pesantren Muara Bungo kepada beliau. Saya
jelaskan kalau saya tidak ada modal. Saya sarjana muda,” kata umi.
Drs. H Soeparlan setelah menyimak penjelasan Umi, langsung memanggil istrinya. “Bawa
buku Kapitaselekta tiga jilid kesini,” katanya. Lantas, Umi pun dijelaskan oleh Drs. H Soeparlan
bagaimana prosedur pendirian pondok pesantren, pengelolaannya, terkait pendanaan, dan
lain sebagainya, semua yang terkait dengan manajemen pondok pesantren. Umi
mendapatkan bekal ilmu yang banyak dari Drs. H. Soeparlan untuk pendirian pondok
pesantrennya.

“Saya mau rapat. Ikut saja saya nanti. Nanti kita sambung lagi,” kata Drs. H. Soeparlan. Umi
pun mengkuti saran beliau. Dalam perjalanan Umi didera rasa lapar. Sedari sampai dijakarta
umi nekat meminta izin kepada Drs. H. Soeparlan untuk berhenti. “Mohon maaf Pak. Saya
boleh turun sebentar… Saya haus mau beli minum, jelasnya”.

“Saya punya orang di Departemen Agama. Memang orang yang membidangi pondok
pesantren. Jadi sangat tepat jika permasalahan kamu diadukan kepadanya. Beliau pimpinan
pondok pesantren, bagian Dirjen Pondok Pesantren di Jakarta. Namanya Drs. Marwan Sarejo,”
kata Drs. H. Soeparlan.

***

Keesokan harinya Umi pun bertemu dengan Dirjen Pondok Pesantren di Jakarta, Drs.
Marwan Sarejo seperti yang direncakan. Disamping itu umi juga ingin sekali bertemu dengan
Menteri Agama,Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali. Namun sulit sekali untuk bertemu. Ia berjam-jam
sudah menunggu dikantor,tapi yang ada justru bertemu dengan ajudan yang sombong.

Tanggal 2 Januari 1978 menjadi tonggak awal umi memberanikan diri untuk membuka
Diniyyah Menengah Pertama. Umi mendapatkan bimbingan langsung dari Ibu Hj. Nibras OR
yang dikenalkan oleh Buya Nasir,yang saat itu merupakaan coordinator TK Islam se-Indonesia.
Langkah yang bisa dibilang cukup nekad bagi umi dengan fasilitas yang masih sangat terbatas
dan juga minim pengalaman.

Umi berpikir dengan jumlah peserta pengajian dimalam hari yang cukup banyak,pendirian
Diniyyah Menengah Pertama akan mudah dilalui. Tapi faktanya tidak demikian. Selang
beberapa waktu setelah dibuka pendaftaran tak juga kunjung ada yang datang. Sangat
menyedihkan,Diniyyah Menengah Pertama bahkan akhirnya hanya mendapatkan satu siswa.
“Jadi, siswanyo satu, justru pembimbingnyo lebih banyak, kareno ado duo orang, saya dan
Ernawati. Pengalaman itu jika di ingat benar benar aneh, tapi nyato,” kata Umi sembari
tertawa mengingatnya.

Kegagalan Umi mendapatkan banyak siswa di pembukaan pendaftaran pertama Diniyyah


Menengah Pertama, membuatnya membuka diri untuk mendapatkan masukan dari para
tokoh masyarkat. Ia pun mengundang sepuluh tokoh masyarakat. Namun siapa sangka tokoh
masyarakat itu memberikan saran kepada Umi, “bagaimana jika siswanya tidak diwajibkan
berjilbab?” jadi diluar sekolah anak-anak boleh membuka jilbabnya dimaksudkan agar itu
membuat anak anak tertarik untuk sekolah di Diniyyah Menengah Pertama yang didirikan
Umi.

Namun dengan tegas, Umi pun menolak. “jika memang harus begitu, saya tidak apa apa
punya sedikit siswa saja. Yang penting berjilbab!” terangnya. Pertimbangan Umi sangat logis.
Jika mengikuti saran itu, sama saja ia akan menolak apa yang diajarkannya sendiri kepada
siswanya. Karena, jilbab wajib bagi seorang perempuan diajaran islam.

Satu siswa yang didapat dari pendaftaran pembukaan pertama tak menyurutkan semangat
Umi. Banyak sedikitnya siswa tak dijadikan soal untuk tetapa serius mengajar dengan baik.
Setidaknya dari pengalaman pahit sedikitnya siswa yang daftar itu, turut membuat umi sadar,
bahwa masyarakat belum paham betapa pentingnya pondasi agama untuk anak. Akhirnya
Umi berpikir ulang untuk membuka diri untuk menerima murid mengaji semua jenjang usia,
dari SD, SMP, dan SMA. Terlebih peserta ngajinya dimalam hari memang banyak anak-anak
SMP dan SMA. Dengan bisa menampung mereka semua, Umi berpikir, tentu saja turut
mempromasikan diri ke masyarakat.

Selang beberapa bulan kemudian pondok pesantrennya pun bertamabh santri menjadi 8
orang. Di situ justru membuatnya semakin sadar dan tak mau berpuas diri begitu saja.
Pasalnya untuk menjadi lembaga pendidikan yang layak, masih jauh dari ideal dari sisi fasilitas
dan manajemen yang dijalankannyakala itu. Umi pun tertuntutkembali untuk keluar dari
Muara Bungo dan mencari dana.
”Pada bulan April 1978, saya pergi ke Jambi untuk menggalang dana lagi, menemui
simpatisan-simpatisan yang berkenan memberikan bantuan untuk pondok,” terang Umi. Ia
melakukan lobi-lobi ke bebagai simpatisan sembari mengundang mereka untuk datang ke
acara peringatan satu tahun pondok pesantren Diniyyah Putri Muara Bungo yang
direncanakan pada tanggal 5 agustus 1978.
SEJARAH MASJID FATHIMAH AZZAHRA

PONDOK PESANTREN DINIYYAH MUARA BUNGO JAMBI

Pada tahun 1985 yang merupakan tahun ke 2 pindahnya lokasi Pondok Pesantren Diniyyah
Muara Bungo dari lokasi yang pertama di daerah Tanjung Gedang ke lokasi baru di Rimbo
Tengah. Pada awalnya lokasi yang sekarang merupakan rimbo (hutan) yang berada tepat
ditengah kabupaten Muara Bungo Kelurahan Pasir Putih.
Pada tahun 1985 ini dimulainya peletakan batu pertama dan pembangunan Masjid Fathimah
yang ada saat ini. Masjid ini dibangun atas bantuan donator warga dari Negara Kuwait yang
bernama Sayyidah Fathimah. Masjid Fathimah dirancang dan di desain sendiri oleh ibu
Pimpinan Dra. Hj. Rosmaini.

a.Pengusulan Pembangunan

Pengusulan dibangunnya masjid dilokasi Pondok Pesantren Diniyyah Muara Bungo adalah Ibu
Pimpinan Yayasan Dra. Hj. Rosmaini MS.M.Pd.I, karena masjid merupakan kebutuhan pokok
dipondok untuk membina dan membimbing para santri beribadah.

Masjid ini memiliki tiang kurang lebih sebanyak 36 tiang. Masjid ini memiliki luas sekitar 24 x
24 m. Dalam pembangunan masjid ini,tidak terjadi kendala sedikit pun. Pembangunan masjid
ini lebih kurang menggunakan waktu 4 tahun berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan.

Material masjid ini belum pernah diganti sampai saat ini, hanya warna catnya yang sudah
pernah berubah, dari putih menjadi cream seperti saat ini. Pada tahun 2010 dilaksanakan
pemugaran kecil yaitu penambahan lebar kiri kanan dan Panjang masjid dikarenakan masjid
yang asli tidak dapat lagi menampung jumlah santri saat ini.

b.Imam Pertama Masjid Fathimah Azzahra

Pada medio 1985 usai masjid Fatimah dibangun maka dimulai pula santri Diniyyah Muara
Bungo melaksanakan sholat berjamaah di Masjid Ini. Kala itu Pembina Yayasan Buya Maksum
Malim, Lc, M.Pd.I menjadi imam pertama dalam setiap sholat lima waktu.

Tak hanya itu, buya setiap sebelum subuh melaksanakan sholat qiamul lail, hal ini sudah
menjadi kebiasaan yang dilakukan Buya. Bahkan beliau berada di masjid sebelum para santri
ke datang masjid dan masih berada di Asrama.
Untuk berangkat kemasjid,Buya berjalan kaki untuk shalat berjamaah dimasjid Fatimah ini.
Meski begitu,tak ada rasa lelah dan bosan yang ditampakkan dari wajahnya. Buya melakukan
semua itu dengan hati penuh ikhlas dan tabah.

Hingga saat ini para santri Pondok Pesantren Diniyyah Al-azhar Muara Bungo melakukan
shalat berjamaah yang di imami oleh ustadz atau santriwan itu sendiri.Walau terkadang ada
Buya yang ikut melaksanakan shalat berjamaah dimasjid Fatimah ini.

c.Mazhab Masjid Fathimah Azzahra

Mazhab yang dipakai yaitu Ahlisunnah wajamaah yang sesuai dengan mazhab yang dianut
oleh masyarakat Jambi pada umumnya.

d.Karakteristik Masjid Fathimah

Masjid ini memiliki karakteristik yang berbeda dari masjid pada umumnya. Mulai dari keramik
lantainya yang berwarna hitam putih,memiliki sayap dikiri dan kanan masjid,memiliki banyak
tiang,dan memiliki dua bagian yaitu bagian putra dan putri.

Disamping tempat imam ( Mihrab ) terdapat ruang yang digunakan untuk menyimpan
peralatan elektronik seperti amplplayer, mix, Tape recorder, dan lain sebagainya dan juga satu
ruang lagi diperuntukkan bagi penjaga ( Marbot ) masjid tersebut.
Inilah sejarah Masjid Fathimah Azzahra yang merupakan bangunan bagian dari
Yayasan Pondok Pesantren Diniyyah Al-azhar Muara Bungo Jambi yang terletak di
Rimbo Tengah kecamatan Muara Bungo di kelurahan Pasir Putih.

Mudah-mudahan dengan ditulisnya subtema kami dalam sebuah buku hasil karya kami
ini,dapat mempermudah bagi kalangan untuk mengenal lebih dekat tentang Yayasan
Pondok Pesantren Diniyyah Al-azhar Muara Bungo terutama Masjid Fathimah Azzahra
ini.

Anda mungkin juga menyukai