Anda di halaman 1dari 18

RANGKUMAN NOVEL KYAI TANPA PESANTREN

Karya Imam Sibawaih El-Hasany


UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH AGAMA
Dosen: Bahrudin Salim, S.Ag., M.A.

Disusun oleh:

KELOMPOK 1
Syifa Fauziah Putri (202014500324)
Nabiilah Riskiyanti (202014500375)
Siti Syarifah Athobroni(202014500400
Savira Alfia Fauziah (202014500401)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2020
RANGKUMAN
NOVEL KYAI TANPA PESANTREN Karya Imam Sibawaih El-Hasany

 Laku Kelana Sang Kyai


Sebagai seorang pesantren, membaca novel tentang pesantren merupakan kenikmatan
sendiri. Bisa merasakan kembali ruhnya, suasana, himmahnya atau hal-hal menyayat yang
lahir dari kisah itu. Kadang seperti tidak sengaja mengaji kitab kuning. Kisah Kyai tanpa
pesantren novel yang sangat istimewa. Di tulis oleh seorang pengasuh pesantren juga
penapak jalan tasawuf. Bobot cerita menjadi enteng karena di sajikan dengan bahasa yang
ringan dan sederhana. Orang-orang yang lahir dan besar di pesantren terkadang memiliki
pemikiran agak nyeleneh tapi memukau. Tulisannya menjelma sumur sinaba, sumber air
yang selalu di kunjungi orang-orang yang dahaga. Apa yang di sampaikan dalam novel ini
lebih mudah di ingat, terngiang dan sulit di lupakan. Tokoh yang di gambarkan seperti
nyata, berdialog, menghadapi hidup, menangis, tertawa.
Muhammad Ainu Sidqi tokoh sentral putra Kyai Muhyiddin. Mewarisi kealiman abahnya
dan kelembutan ibundanya, Umi Marhamah. Kelakuan Gus Ainu menghawatirkan semua
orang hingga ia harus menimba ilmu di pesantren Kyai Misbah. Perjalanan spiritual Ainu
sangat menarik. Karena memiliki perbedaan yang menonjol dari putra Kyai pada
umumnya. Perjalanan spiritualnya mengalami jalan yang terjal dan berliku. Gus Ainu kyai
tanpa pesantren, mempunyai tosan aji, pusaka, kesaktian. Kesaktian nya bernama
ketabahan dan keberanian.

BAB I
 Setelah 14 tahun Penantian
Setelah 14 tahun menanti momongannya akhirnya lahir anak laki-laki. Usia Kyai
Muhyidin genap 51 tahun, Nyi Marhamah 37 tahun. Sebelumnya Kyai Muhyidin sudah
dua kali menikah dan istrinya meninggal dunia. Dan dia di jodohkan dengan Nyai
Marhamah anak dari gurunya.

 Papatwelasan
Setiap tanggal 14 hitungan kalender Hijriyah tiap bulan di Pesantren Daar As Salikin di
gelar acara Papatwelasan dan juga akikah anak kyai Muhyidin dan ia mengumumkan
nama anak laki-lakinya Muhammad 'Ainu Shidqy. Ada kejadian cukup unik, bayi itu
bersin dan ingusnya mengenai wajah mereka. Habib Luthfan berbicara kepada Kyai
Muhyidin dan pesannya "tiap takdir ada tanda dan pertandanya, anakmu sudah memberi
kita pertanda, dia bukan anak biasa. "

 Daar As Salikin
Bukanlah pesantren besar dan tidak menyelenggarakan pendidikan Formal. Santri-
santrinya bebas sekolah dimana saja. Yang Mondok jarak rumahnya jauh, sedangkan yang
pulang ke rumahnya di sebut Santri Kalong.
 Tukang Jail
Gus Ainu sering menunjukan kenakalan dan kejailannya. Di sekolah pernah mengajak
semua temannya bolos sekolah pada saat ada imunisasi masal. Lain waktu pernah
mengerjai gurunya. Daun entut-entutan ditumbuk dan di taro di robekan bangku yang di
duduki gurunya. Karena ia paling malas dengan pelajaran PMP/PPKn, bukan saja dengan
pelajarannya tapi dengan gurunya, karena tidak pernah memberikan materi. Hanya
meminta anak-anak membuka bab dan membuat kesimpulan.

 Mangga si Pelit
Ia tergolong anak yang cerdas. Kalau sedang malas ia ikut pengajian santri-santri ayahnya
di masjid. Suatu ketika ia mengajak teman sebayanya untuk mencuri mangga dirumah
orang kaya. Dan membagi tugas siapa yang masuk pagar, mengambil mangga dan juga
yang mengawasi. Mereka pun segera bergerak, dalam waktu tidak terlalu lama mereka
bisa memetik beberapa buah mangga yang pohonnya pendek itu. Dan setelah itu, mereka
shalat untuk memohon ampun kepada Allah karena telah mencuri. Orang tua tak perlu
buru-buru menegur langsung dengan sikap keliru anak-anak.

 Ruang Gelap
Kejailan yang paling menggemparkan dari Gus Ainu. Selama ini balai desa mojosari di
biarkan tanpa penerangan di malam hari. Hal ini membuka kesempatan aktifitas mesum.
Saat bulan puasa ketika orang-orang mengerjakan Shalat Tarawih, Gus Ainu dan
temantemannya bubar duluan. Ketika sampai di depan kantor balai desa tanpa sengaja
melihat aktifitas aneh yaitu perbuatan mesum. Dalam waktu singkat orang-orang pada
berdatangan. Gus Ainu melakukan hal yang di luar dugaan. Menabuh kentongan dan teriak
kebakaran. Sontak orang-orang yang asyik masyuk kaget bukan kepalang. Peristiwa sangat
menggemparkan sekaligus memalukan semua warga desa Mojosari. Kyai Muhyidin cemas
dengan apa yang di perbuat anaknya dan di satu sisi bangga anaknya membongkar aktifitas
mesum. Orang-orang yang merasa di permalukan pasti punya rasa dendam dan harus
segera di atasi. Dan kesimpulan semua anak-anak akan di kirim ke pesantren di Tambak
beras. Gus Ainu di kirim ke pesantren di Jojga asuhan sahabat Kyai Muhyidin, Kyai
Misbah.

BAB 2
 Kesabaran dan Doa Sang Kyai
Kyai Misbah menyambut kedatangan sahabatnya yaitu Kyai Muhyidin dan keluarganya
dengan ramah. Mereka saling berpelukan. Lalu Kyai Misbah mempersilahkan Kyai
Muhyidin dan keluarganya masuk. Mereka duduk di ruang tengah. Kyai Muhyidin dan
Nyai Marhamah mempunyai putra yang bernama Gus Ainu. Mereka memondokan
putranya di Jogja di Pesantren Daar Al Falaah pimpinan Kyai Misbah sudah lebih modern
dan berkembang pesat. Ada Muallimin tempat pendidikan calon ustadz dan Muallimat
untuk calon ustadzahnya. Ada SMP disamping MTS, SMA disamping MA, bahkan sedang
merintis SMK dan Perguruan Tinggi. Gaung pesantren berada di wilayah Kabupaten
Sleman. Kebetulan Adib dan Adiba jadi punya teman bermain. Santrinya bukan berbagai
dari daerah Jawa melainkan seluruh indonesia. Bahkan dari Malaysia, Singapura, dan
Thailand. Mereka membiarkan Gus Ainu menyesuaikan diri. Setelah itu mereka shalat
dzuhur dulu, Kyai jadi imamnya. Setelah beberapa menit kemudian adzan dzuhur
berkumandang, mereka bersiap menuju masjid. Ainu, Adib, dan Adiba langsung berbaur.
Kemudian Nyai Marhamah dan Nyai Solihah shalat berjama'ah dirumah bersama
santriwati yang piket. Beberapa santri dan pengajar sekaligus pengurus biasanya tidak ada
yang mengikuti shalat berjama'ah. Mereka biasanya bertugas atau piket dan kemudian
menyusul. Setelah shalat dzuhur dilanjutkan makan siang berjama'ah. Mereka sangat akrab
dan penuh kekeluargaan. Keriangan terus berlanjut hingga selesai makan berjama'ah
suasana berubah haru ketika Kyai Muhyidin dan Nyai Marhamah pamit saat meninggalkan
anak lelaki semata wayangnya. Mereka sadar ada hal yang lebih penting; Masa depan anak
mereka. Kyai Muhyidin merangkul Kyai Misbah begitu juga Nyai Marhamah dan Nyai
Solihah. Sementara Ainu entah kemana dengan dua teman barunya. Ainu bukan tipe anak
yang kolokan. Buktinya tidak mau ditempatkan di kamar khusus dirumah Kyai Misbah.
Karena tidak mau identitasnya sebagai anak Kyai dikenali dan memilih berdesak-desakan
dikamar yang berukuran 4x6 diisi 20 santri. Ainu menjadi remaja yang supel, ramah dan
menyenangkan. Meski kenakalannya belum hilang. Kenakalan yang sering dilakukannya
keluar kelas begitu saja setiap pelajaran tata bahasa Arab. Pelajaran yang diwajibkan
menghafal rumus-rumus. Dan santainya malah naik ke pohon jambu air yang disamping
kelas. Sambil membaca buku "Slilit Sang Kyai". Kejadian ini dilaporkan oleh ustadz yang
mengajarnya ke Kyai Misbah. Anehnya Kyai Misbah tersenyum. Kyai juga meminta
ustadz memberikan pengertian kepada santri lainnya untuk tidak terpengaruh dengan Ainu.
Tidak bertahan lama ustadz kembali menghadap Kyai Misbah dan menyatakan tak
sanggup lagi menahan emosi. Ustadz meminta kepada Kyai Misbah untuk mengeluarkan
Ainu dan meminta kepada Kyai Misbah untuk memanggil kedua orang tua nya Ainu.
Masa-masa ujian untuk santri Muallimin tiba, semua santri diwajibkan menyetor hafalan
kitab tata bahasa yang disebut kitab ilmu alat. Untuk santri tingkat dasar (Awwaly)
menyetor hafalan kitab al Jurumiyah. Santri menengah (Wustho) menyetor hafalan kitab
Alfiyah Ibn 'Aqil'. Mereka tidak membiarkan waktu luangnya diluar jam istirahat untuk
shalat, makan dan kegiatan untuk menghafal. Ada yang dimasjid untuk menghafal, ada
yang dihalaman belakang pesantren sekaligus taman, ada yang digubug pematang sawah,
bahkan ada yang dikuburan. Santri tingkat awal, Ainu wajib hafal kitab yang ditentukan.
Bila nantinya tidak menyetor, tidak naik kelas atau dipindahkan ke lembaga pendidikan
setingkat dilingkungan pesantren. Ujian pun berlangsung, setiap santri harus berhadapan
dengan ustadz penguji. Ada yang lancar, ada yang berkali-kali mengulang, ada yang gagal
sama sekali. Ujian telah selesai bagi santri Muallimin, tapi Ainu tidak dipanggil kedepan.
Semua temannya bingung. Mereka menatap Ainu penuh tanda tanya, ada yang berfikir
Ainu akan dikeluarkan. Namun, terjawab setelah ustadz menyampaikan sebuah
pengumuman dan meminta semua santri berkumpul di aula pesantren ada pengarahan dari
Kyai Misbah. Setelah 15 menit kemudian aula sudah dipenuhi oleh 240 santri. Lalu Kyai
Misbah menyampaikan pengumuman sembari matanya menyelidiki keseluruh ruangan
mencari dimana Ainu berada. Namun, saat matanya bertemu pandang dengan Ainu, ia
mulai tenang. Kyai Misbah berdiri dan memanggil nama Ainu untuk maju kedepan dan
langsung meminta kepada Ainu untuk menyetorkan hafalannya. Ainu pun masih saja
berdiam dan berulang kali memandangi semua yang hadir. Setelah mendengar teguran,
Ainu langsung menegakkan posisi berdirinya. Beberapa saat terdengar Ainu mengucapkan
Basmalah. Pada umumnya, kenakalan Ainu berbanding terbalik dengan kemampuan
mengaji kitab dan setoran hafalan yang membuat seluruh pesantren kaget, namun Ustadz
tersebut akhirnya mengakui keistimewaan Ainu.

BAB 3
 Kutu Buku
Di Rumah Kyai Misbah, Ainu sering menyelinap ke perpustakaan pribadi Kyai Misbah.
Didalam ruangan itu ada "bilik suluk" nya tempat Kyai Misbah berzikir, bermunajat serta
ibadah nawafil lainnya. Ainu mengamati satu persatu kitab dan buku, jika ada yang ingin
ia baca akan mengambilnya dan masuk ke bilik agar leluasa membaca Ia sangat tertarik
dan penasaran dengan ruangan itu. Ia merasa ada daya tarik yang kuat untuk
memasukinya.

 Sandiwara Sang Kyai


Pengalaman kepergok saat akan memasuki ruangan pribadi Kyai Misbah menjadikan Ainu
lebih berhati-hati. Dengan cermat mempelajari kebiasaan orang-orang di dalam rumah.
Saat pertama kali masuk, ia tidak berani lama-lama hanya mengamati isi ruangan itu.
Sejak awal Kyai Misbah sudah mengawasi gerak gerik Ainu. Hanya saja tidak mau
mencolok. Dan membiarkan perbuatan Ainu karena Kyai tahu Ainu tidak akan berbuat
jahat. Kyai Misbah juga sudah memberitahu istrinya agar bersikap tidak mengerti apa-apa.
Dan ia meminta kepada anak-anaknya untuk tidak mengganggu Ainu. Sementara Ainu
malah berpikiran sebaliknya.

 Asy syaibah
Hari ini tepat usia Ainu 14 tahun. Bukan kebiasaan umum dikalangan Kyai untuk
merayakannya. Begitu juga Ainu, ia menjalani hari ini seperti hari-hari biasanya. Setelah
berhasil menyelinap, ia langsung mencari buku atau kitab yang ingin ia baca. Tak selang
beberap menit ia tertidur, sayup-sayup terdengar ucapan salam dan memanggil namanya.,
seorang wanita berdiri di hadapannya. Dan memperkenalkan diri dan menyebut namanya,
As Saibah atau Asy Syaibah.

 Beranjak Dewasa
Peristiwa itu antara mimpi dan kenyataan itu berlalu, tapi tubuh Ainu tidak bisa di Gerakan
sampai terdengar suara pintu terbuka. Pasti Abi Misbah. Ketika membuka tirai bilik dan
melihat tubuh Ainu terbujur kaku, ia tidak menduga Ainu akan seperti ini. Apa anak ini
mimpi basah sebagaimana umumnya remaja yang mengalami puberitas. Kyai Misbah
segera menelpon Kyai Muhyidin dan menceritakan semua yang telah terjadi pada Ainu.
Kyai Muhyidin meminta untuk mendampingi anaknya.

BAB 4
 Janggi
Semenjak kejadian yang membuatnya lumpuh dan gagu hingga satu bulan, Ainu berubah
menjadi pribadi yang pendiam. Kejailan dan "Sikap Nyleneh" jadi ciri khasnya hilang. Tak
ada lagi Ko Ping Ho, Wiro Sableng. Ainu kini mempunyai aktifitas lain yang tidak lagi
peduli dengan dunia luar. Waktu luangnya digunakan untuk berdiam di Masjid. Ada yang
dikerjakannya; shalat, membaca Al-Qur'an dan berzikir. Setelah pertengahan tingkat enam
di Muallimin perilaku nyleneh Ainu mulai kembali dan sering meninggalkan pesantren
untuk waktu yang lama. Aktifitas Ainu diluar pesantren diketahui oleh santri dan ustadz
adalah berziarah ke makam "Mbah Manglih" di Muntilan. Maliobro dan alun-alun utara
keraton jogja tempat favorit Ainu ketika keluar pesantren Daar Al-Falaah.
Ketika Ainu sudah sampai di Malioboro dan alun-alun tiba-tiba ada suara wanita yang
mengangetkannya. Wanita itu bertanya-tanya kepada Ainu, mereka pun langsung
berkenalan. Ternyata wanita itu bernama Mary, lalu Mary menanyakan nama kepada
Ainu. Ainu pun menjawab dengan percaya diri dengan sebutan nama Janggi. Ainu juga
tidak tahu mengapa yang keluar dari mulutnya nama itu dan Mary memuji nama yang
Ainu sebutkan. Ainu hanya tersipu. Lalu mereka berjalan sembari mengobrol. Ternyata
Mary berusia 20 tahun, ia seorang peneliti kebudayaan timur. Kedatangannya ke Jogja
untuk melakukan penelitian. Mary datang ke Indonesia bersama lima temannya, tapi
mereka berpencar. Ada yang di Papua, Aceh dan Bandung. Mary mencari beberapa
narasumber. Selama Mary di Jogja untuk penelitian kebudayaan, Ainu diminta untuk
menemaninya. Awalnya Ainu ingat kalau dirinya sedang belajar di pesantren. Tapi
akhirnya menyanggupi, setelah meyakini bisa mengatasi studinya di pesantren Kyai
Misbah.
Dua minggu lebih Ainu menemani Mary. Mereka mengunjungi berbagai pusat
kebudayaan, akademi seni rupa, museum bagong kusudiarjo, dan sebagainya.
Kedekatannya dengan Mary membuatnya merasakan masa-masa pubernya tuntas. Usianya
yang sudah 16 tahun menjadi tampak lebih dewasa karena pertemuannya dengan Mary.
Satu hal lagi entah semenjak ketemu tidak merasa risih dan canggung dengan Mary.
Padahal gaya berpakaian Mary jelas jauh dengan para wanita dewasa dilingkungan
pesantren. Penelitian berakhir, keakraban berakhir setelah hampir setengah bulan di jogja,
Mary pamit. Tak ada tangis melo, tak ada kesedihan, karena mereka berdua bertemu untuk
siap berpisah. Ainu mengantar Mary ke stasiun Tugu, memilih naik kereta api untuk
menemui temannya di Bandung. Dari sana mereka menuju Jakarta dan mampir ke kantor
kedutaan lalu kembali ke negaranya Irlandia. Kini tersisa kenangan dan pengalaman
berharga. Ainu bahkan tak menyadari bahwa wanita bermata biru yang dikaguminya telah
pergi dari hadapannya dan menaiki kereta api. Ainu pun lalu berbalik dan pergi
meninggalkan stasiun Tugu. Janggi nama yang sudah sangat melekat dilidah Ainu. Nama
yang awalnya diucapkan sebagai jawaban dari pertanyaan Mary. Namun nama itu
membuatnya tanpa sengaja dekat dengan gadis Irlandia. Kini nama itu ia selalu
memperkenalkan dirinya dengan orang-orang dikota jogja, tepatnya di Malioboro. Saking
melekatnya nama itu ia sering keceplosan dikalangan teman-temannya di pesantren.
Waktu itu pesantren kedatangan tiga gadis remaja asing. Yang satu memakai T-shirt dan
celana jeans ketat dengan beberapa robekan, satu lagi memakai baby dan satu lagi
memakai T-shirt longgar dengan celana super pendek. Mereka mencari seseorang yang
menurut pengurus dipesantren tidak terdaftar sebagai santri. Namun mereka ngotot dan
yakin orangnya ada dipesantren. Mereka menjelaskan bahwa mereka kenal dan menjadi
teman anggota tim paduan suara untuk MTQ Nasional. Setelah pengurus melaporkan
kejadian kepada Ustadz penanggung jawab harian dipesantren mereka bertiga dipanggil
menghadap kekantor. Mereka menjadi perhatian semua yang ada dipesantren terutama
ketika melewati asrama santri putra. Lalu Ustadz bertanya-tanya kepada mereka bertiga
menanyakan mereka dari mana dan mau ketemu siapa. Seorang dari mereka menjawab
kalau mereka mencari pengurus yang bernama Janggi, namun Ustadz pun menjawab kalau
tidak ada pengurus didaftar santri yang bernama Janggi. Gadis yang memakai Babydoll
dan temannya menjawab Muallimin sebagai Muklimin dan Maklumin. Si Ustadz dan
orang-orang diruangan agak bingung kini tersenyum ketika mendengar gadis berpakaian
Babydoll menyebutkan nama itu. Ia kini paham bahwa yang dimaksud oleh mereka adalah
Muallimin. Namun setahu dirinya tidak ada santri Muallimin bernama Janggi. Ia pun
langsung meminta pengurus memanggil dua santri Muallimin yang kemarin ikut paduan
suara. Satu orang didatangkan, tapi ternyata ketiga gadis itu tidak mengenalinya. Kini
tinggal Ainu yang belum, maka dicarilah anak itu dan ternyata anak itu sedang berbincang
dengan Kyai Misbah diruang tamu rumahnya. Pengurus meminta izin masuk dan setelah
dipersilahkan terlihat berbisik menyampaikan sesuatu pada Kyai Misbah. Kyai
mengangguk dan mempersilahkan si pengurus mendahului. Setelah itu Kyai mengajak
Ainu kekantor. Ketiga gadis remaja itu melihat Ainu datang langsung berteriak memanggil
nama Janggi. Kyai Misbah kaget dan juga orang-orang yang ada diruangan. Sedangkan
Ainu mulai ketar-ketir dan cemas kalau dirinya mendapatkan teguran dari Kyai. Ainu
mencoba memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk jangan bicara dulu. Dan mereka
bertiga mengerti. Kyai Misbah yang sedari tadi diam, lalu menyapa mereka dan
menanyakan dari mana mereka. Setelah mendapatkan keterangan yang mencukupi lalu
memandang Ainu. Sesaat Ainu tegang dan tidak enak hati. Kemudian Ainu lega karena
Kyai malah memintanya memperlakukan mereka sebagai tamu. Kyai juga meminta Ainu
mengantar mereka pulang dengan mobil Kyai. Ainu dan ketiga gadis kemudian pindah
keruang tamu utama. Tempat para wali santri menjenguk anaknya. Ainu memberikan
mereka nasihat kalau mau main kepesantren memakai baju yang tertutup. Ketiga gadis itu
masih belum mengerti akan ucapan Ainu. Lalu Ainu menjelaskan sekaligus memberitahu
cukup tertutup dan longgar. Setelah dijelaskan mereka mengangguk pelan. Begitulah
pembicaraan anak remaja umumnya.
Ketika jogja menjadi tuan rumah kegiatan berskala nasional ; Mussabaqah Tilawatil Quran
(MTQ). Tim paduan suara menyanyikan lagu mars dan hymne MTQ pada acara
pembukaan dan penutupan MTQ dan diminta 10 siswa-siswinya dari setiap sekolah tingkat
menengah se-jogja oleh pengajar dan pengurus. Dua orang Muallimin, dua orang
Muallimat, tiga orang SMA, tiga orang MA. Ainu kebetulan dipilih menjadi anggota tim
paduan suara. Setelah setengah bulan mereka semakin akrab, Ainu mengenal Vale, Alice
dan Norma. Bahkan ditempat latihan, Ainu menemukan teman dari sekolahain yang
sekaligus lucu yang bernama Suparno dari Madrasah Aliyah Negeri. Dan dikenal denggan
panggilan porno.
Vale, Alice dan Norma memilih diluar asrama. Dan pertemanan mereka, Ainu menemukan
banyak pengalaman baru dan mengesankan. Bersama mereka, Ainu tahu bioskop, dan
menonton film-film. Film-film yang ditonton seperti Hollywood, Ainu juga bisa
memainkan alat musik karena ikut mereka latihan di studio musik dirumah Vale.
Pengalaman yang paling mengesankan adalah sering diajak nongkrong ditempat makan
lesehan disepanjang jalan Malioboro. Vale, Alice, dan Norma sangat kompak sebagai
sahabat. Mereka jarang berselisih paham. Dan hanya sekali terjadi kesalahpahaman.
Penyebabnya Ainu yang mereka kenal sebagai Janggi.
BAB 5
 Amplop Sang Habib
Satu minggu lebih Ainu berada di Mojosari untuk menjenguk ayahnya dan melepas rindu
pada kedua orang tuanya. Waktu yang sedikit Ainu gunakan untuk menghibur dan
menyenangkan kedua orang tuanya. Menggantikan ayahnya (Kyai Muhyidin) memimpin
pengajian "Papat Welasan", ceramah dan khutbah di desa Mojosari. Kyai Muhyidin dan
Nyai Marhamah bangga dan bersyukur memiliki Ainu. Orang-orang dilingkungan
pesantren "Daar As Salikin" juga ikut bahagia. Ceramahnya enak didengar dan
menyentuh. Salah satu seorang diantara mereka meminta kepada Kyai Muhyidin agar
Ainu ditahan atau tidak diperbolehkan pulang ke pesantren selama sehari atau dua hari.
Lalu Kyai Muhyidin menerangkan bahwa Ainu masih harus menyelesaikan sekolahnya di
Muallimin,setelah itu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kyai
Muhyidin juga mengingatkan bahwa Ainu ibarat "Tunas" yang keluar dari "Biji" yang
ditanam. Belum pantas menjadi teladan bagi mereka. Anaknya butuh waktu untuk tumbuh
dan berkembang menjadi "Pohon" yang kuat dan"Akar" yang kokoh, berdaun lebat dan
berbuah banyak. Barulah orang-orang bisa menikmati "Buahnya".
Orang-orang berhamburan keluar dari rumah Kyai Muhyidin. Wajah mereka dipenuhi
keceriaan dan perasaan puas karena kebersahajaan Kyai Muhyidin yang lembut. Dan
mereka diberi kesempatan sekitar sepuluh menit mendengarkan lantunan senandung zikir
yang dibacakan Ainu. Setelah suasana rumah sepi, dan Ainu bersiap-siap berangkat ;
Habib Luthfan dan Kyai Zulkifli memeluk Ainu. Mereka berdoa untuk keselamatan dan
kemanfaatan ilmu Ainu dan berharap Ainu kelak bisa menjadi panutan. Kemudian mereka
pamit, memberikan kesempatan Kyai Muhyidin dan Nyai Marhamah menumpahkan kasih
sayangnya kepada Ainu. Nyai Marhamah mengusap-usap kepala Ainu,sedangkan Kyai
Muhyidin terus memperhatikan Ainu dan membuktikannya tetap disisi ibunya. Ainu
kemudian sungkem kepada orang tuanya. Lalu berpamitan untuk kembali ke Jogja. Ainu
lalu berjalan diiringi kedua orang tuanya menuju halaman rumah. Kyai Zulkifli
(pamannya) sudah menunggu dimobil carry dan Habib Luthfan, Ainu segera naik dan
duduk didepan karena ditengah ada Habib Luthfan dan Kyai Zulkifli. Mobil berjalan pelan
keluar dari lingkungan pesantren dan desa Mojosari. Dan melaju kencang menuju stasiun.
Sepanjang perjalanan Habib Luthfan menanyakan hal kepada Ainu, seperti menyampaikan
sesuatu. Ainu tak banyak bicara, ia hanya menjawab apa yang dikatakan Habib Luthfan.
Ainu dibuat kakuk oleh perkataan Habib. Dan ketika mobil sudah sampai di pelataran
parkir stasiun. Habib Luthfan menyelipkan amplop kesaku baju Ainu. Sementara Ainu
belum beranjak dan berbalik dari kursi. Ainu turun dari mobil lalu memutar kesamping
mobil untuk pamitan kepada Habib Luthfan dan Kyai Zulkifli. Ainu mencium tangan
tangan kedua orang itu dan Habib memeluk Ainu.
Jogja, stasiun Tugu dan jam yang sama saat Ainu mengantar Mary Dulu. Sekarang stasiun
ini menjadi pijakan awal setiap langkahnya menuju masa depan dan menjadi transit untuk
sampai ditempatnya belajar di pesantren Daar Al Falaah. Ainu berjalan santai menuju
pintu keluar stasiun. Membalas senyum dan sapaan akrab petugas peron dan tidak
memperdulikan tawaran abang becak, tukang bendi, tukang ojek. Ainu terus berjalan
kearah jalan Malioboro sembari melihat-lihat barang-barang yang di dijajakan pedagang
kaki lima. Dan kemudian pandangannya tertuju pada seorang lelaki tua berusia 60 tahun
yang berbaju kumal dan duduk dipojok dinding dekat pintu masuk supermarket. Ainu
merogoh saku bajunya dan tanpa melihat lagi langsung disodorkan kepada lelaki itu. Lalu
dengan cueknya Ainu melanjutkan perjalanan. Sementara lelaki itu bengong, lalu
membuka amplop yang berisi uang dan menghitungnya pelan-pelan. Kemudian lelaki
lumpuh itu tanpa menyadari peran yang dimainkannya selama ini langsung berdiri dan
mengejar Ainu. Orang-orang disekitar kaget dan tidak percaya. Ainu masih tidak
memperdulikan panggilannya dengan santainya berjalan sembari memperhatikan barang-
barang yang dijajakan pedagang kaki lima. Si lelaki itu terus mengejar Ainu yang sudah
mulai menjauh dari Jalan Malioboro dan menyebrang mendekati kantor pos besar di kota
Jogja. Hampir saja lelaki itu putus asa, namun wajahnya berubah senang ketika melihat
Ainu berhenti.
Akhirnya lelaki tua itu mengembalikan amplop masih dengan napas terengah-engah. Lalu
Ainu tidak sadar bahwa amplop itu adalah miliknya dan Ainu berkata bahwa lelaki tua itu
salah orang. Kemudian lelaki tua itu menjelaskan kejadian yang sebenarnya, namun Ainu
tetap mengotot dengan keyakinannya. Berulang kali lelaki tua itu menjelaskan rinci
kejadian sebelumnya dan pada akhirnya Ainu pun mulai ingat. Dalam pandangan lekaki
tua itu, bahwa Ainu sedang merantau untuk belajar di Kota Jogja seperti anak-anak yang
lainnya. Kemudian Ainu memegang tangan lelaki tua itu sambil mengulurkan amplop
kepadanya. Ainu merekatkan amplop itu dalam genggaman si lelaki tua itu, sedangkan
lelaki tua itu terdiam dan tiba-tiba menitikkan air mata; tanpa sadar lelaki tua itu ingat
ketiga anaknya yang selama 20 tahun lebih dididik dalam kasih sayang "Palsu". Kemudian
lelaki tua itu menerimanya tapi juga memberikan syarat kepada Ainu. Mereka lalu berjalan
beriringan setelah Ainu menawarkan minuman pada lelaki tua itu. Setelah menemukan
tempat teduh lelaki tua itu bercerita tentang kehidupannya. Kemudian lelaki tua itu
memperkenalkan dirinya kepada Ainu. Lelaki tua itu selalu berpakaian rapi dengan sepatu
dan tas kerja layaknya karyawan. Padahal di terminal Bis Umbulharjo, lelaki tua itu masuk
kedalam toilet umum dan mengganti seragam kantornya dengan pakaian lusuh layaknya
pengemis. Istrinya menjelaskan pada anak-anaknya bahwa ayah mereka bekerja ditempat
yang jauh. Lalu anaknya pernah memergoki dirinya sedang mengemis. Ketika sedang
berdarma wisata dan mengunjungi berbagain tempat wisata di Jogja. Para murid diberi
waktu untuk belanja oleholeh di Malioboro. Saat sedang memilih-milih souvenir tanpa
sengaja Angel (anaknya) melihat dirinya yang kebetulan ayahnya sedang tidur. Angel
mendekatinya dan berpurapura memberikan uang. Angel menyentuh tangannya dengan
keras. Ayahnya terbangun dan kaget melihat anaknya ada dihadapannya. Sementara Angel
shock dan marah. Tapi pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Angel menjadi sangat
pendiam dan sering bolos atau tidak masuk. Lelaki tua itu beranjak dari tempat duduknya.
Lalu mengajak Ainu berjalan. Kemudian lelaki tua itu dan Ainu berpisah jalan dan
menaiki angkutan.

BAB 6
Sepulang dari Mojosari, langsung sibuk dengan persiapannya untuk ujian akhir santri
muallimin. Nyaris hari-harinya lebih banyak untuk membaca kitab dan buku. Ia ingin lulus
dengan baik dan tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya, terbukti begitu ujian
selesai dan nilai diumumkan Ainu memperoleh hasil akhir yang sangat memuaskan. Saat
masa perpisahan tiba, setiap santri yang sudah lulus dari Muallimin diminta melaporkan
rencana kedepan mereka untuk didata. Ada yang memilih mengabdi di pesantren, ada yang
pulang kampung, dan ada yang inhin melanjutkan kejenjang berikutnya. Kelompok yang
akan melanjutkan studinya juga terbagi dua, ada yang melanjutkan di Indonesia dan ada
juga yang bersemangat memilih ke timur tengah. Tetapi berbeda dengan Ainu ia malah
terlihat santai saat yang lain sibuk mengurus berkas-berkas yang akan dikirim pihak
pesantren ke universitas yang di tuju. Ainu meninggalkan pesantren dan menikmati
perjalanannya di Jogja. Obyek wisata di Jogja sudah hampir semua Ainu jelajahi. Ia seperti
tidak ingin meninggalkan Jogja tanpa pengalaman berpetualang di dalamnya. Ia juga
mencoba menikmati kuliner khas Jogja. Ainu menikmati dunianya, menikmati
perjalanannya tanpa dia sadari sudah 14 hari ia berkeliling Jogja. Ainu kembali
mengarungi cakrawala kehidupannya menikmati petualangannya. Ia pergi kemanapun
tanpa ketakutan atas apapun. Pukul 14.00 wib Ainu turun dari bis membawanya ke pusat
kota Jogja. Ia langsung menuju alun-alun utara untuk sholat di Masjid Agung

BAB 7
Mojosari telah banyak berubah. Desa dulu ditinggalkan Ainu untuk meneruskan
pendidikannya di Jogja itu, kini sangat berbeda. Banyak bangunan baru di sepanjang jalan.
Tujuh tahun lebih di Jogja membuat Ainu merasa pangling dengan desa tempat
kelahirannya. Sesampainya Ainu di desa halamannya, ia bertemu dengan teman kecilnya,
teman kecilnya itu bernama Yudi, ia menawarkan tumpangan kepada Ainu yang kebetulan
ia pun akan pergi kerumahnya. Sepanjang perjalanan mereka terlibat banyak obrolan
tentang perkembangan desa mereka. Ia juga menerangkan tentang banyaknya gapura
disetiap padepokan. Tidak lama kemudian Ainu memberhentikan perjalannya tepat di
halaman masjid, ia lalu berjalan menuju teras masjid dan membiarkan sahabatnya itu
memarkir motor di depan rumah ayahnya.
Ainu kemudian mengambil wudhu dan sholat dua rakaat, setelah membaca doa singkat, ia
masuk kerumah melalui lorong samping. Berada di lingkungan rumah yang sekaligus
pondok pesantren memang membuat Ainu kembali pada kebiasaan lamanya. Setelah lulus
dari muallimin ia memang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ayahnya pun
menanyakan apakah Ainu ada rencana untuk melanjutkan pendidikannya. Ainu pun
memiliki rencana itu, tetapi ia ingin membantu ayahnya terlebih dahulu di pesantren
selama 1 tahun. Setelah membicarakan hal tersebut, Kyai Muhyidin ayah Ainu bangkit
dari tempat duduknya, ia harus berangkat memimpin zikir di suatu acara yang diadakan
masyarakat kampung sebelah. Namun sebelum beranjak ia meminta Ainu untuk ikut
bersamanya. Tawuran antar dua kelompok pemuda dari dua padepokan bela diri terjadi di
jalan utama yang menghubungkan antara beberapa desa di Kecamatan Plaosan. Mereka
berlomba menunjukkan kekuatan. Diantara mereka ada beberapa orang yang terus
memberikan komando dengan berteriak-teriak. Melihat itu Kyai Muhyidin langsung turun
dari mobil lalu mendekati mereka. Setelah melihat orang yang di seganinya itu berdiri dan
mengacungkan tangan kanannya mereka aterdiam sesaat.
Kedua pemimpin kelompok pemuda itu saling memandang jelas sekali dendam dan
amarah tergurat di wajah mereka. Ainu yang sejak tadi melihat dari dalam mobil mulai
penasaran, kemudian turun dari mobil dan mendekati kerumunan. Kemudia mereka
meminta anak buah masing-masing untuk pulang dan berjanji untuk menyampaikan hasil
pertemuan esoknya. Mereka pun ikut masuk kedalam mobil menuju pesantren Daar as
Saalikin. Perdebatan sengit terjadi diantara dua orang pemimpin kelompok bela diri di
teras rumah Kyai Muhyidin. Yang mereka perdebatkan tak lain dan tak bukan hanyalah
seputar " wilayah" masing-masing. Kyai Muhyidin mulai berbicara " kalian sesungguhnya
adalah pemuda yang baik berapa pun banyaknya kesalahan dan kekurangan kalian tetaplah
pemuda yang baik. Begtu juga dengan yg lainnya. Hanya saja kalian butuh belajar dan
menghormati diri sendiri. Cukuplah menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya. Maka
kalian akan bisa meraih ketenangan". Kyai Muhyidin lalu meminta mereka berdua saling
berjabatan setelah emosi keduanya reda. Sarmidin dan Solikin saling berpelukan. Mereka
kemudian pamit dengan guratan wajah gembira.
Sebulan sudah Ainu di Mojosari, desa pinggiran kota Magetan itu tak selenggang dulu.
Suara jangkrik dan aliran air yg bergemericik kini berganti lalu lalang kendaraan bermotor
yg berisik. Era informasi sudah menyerbu desa Mojosari , juga banyak di wilayah lain.
Warnet dan toko VCD atau DVD mudah di temui. perkembangan lainnya hampir 40%
masyarakat Mojosari mulai merantau ke kota besar. Bahkan ada yang merantau sampai
luar negeri. Semua ini telah menghadirkan problematika sosial yang baru dan rumit. Sebab
satu sama lain saling berkaitan. inilah yang menjadi beban pikiran Ainu. Saat ini
kegiatannya hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren untuk anak tingkat awaliyah
(dasar) dan wushla (menengah). Sebagian waktunya lagi digunakan untuk membaca kitab-
kitab ayahnya dan melanjutkan menghafal Al-Qur'an.

BAB 8
Sebelum sampai di Probolinggo, mereka memang transit ke Mojosari. Ini karena mereka
selama ini memperoleh ijazah suluk dari Kyai Muhyidin. Kyai Muhyidin memang tidak
mau membaiat mereka langsung, ia lebih suka pembaiatan calon Mursyid itu kepada
sahabatnya di Probolinggo. Dalam perjalanan menuju Probolinggo, terjadi peristiwa cukup
aneh. Mobil L300 yang biasa dipakai rombongan pesantren berkali-kali mogok. Padahal
mobil ini baru dibeli lima bulan yang lalu. Ada sekitar empat belas kali mobil ini berhenti
karena gangguan mesin.
Rumah sahabat Kyai Muhyidin ini masih tampak kokoh meski bangunannya sudah tua.
Ayah Ainu meminta Ainu untuk menunggu di musholla. Kyai Muhyidin dan empat belas
orang calon Mursyid yg akan dibaiat masuk kedalam setelah sebelumnya ada seseorang
yang menyambut kedatangan mereka. Cukup lama Ainu menunggu hingga tertidur, tak
lama dari itu ia mendengar suara lembut yang ia kenal betul membangunkannya. Ayah
Ainu mengajak Ainu untuk sholat dzuhur berjamaah. Ainu bangun dan tak lama ia
langsung menuju tempat wudhu. Setelah sholat dan zikir seperlunya, ayahnya dan empat
belas orang itu kembali ke dalam rumah Kyai Muthi. Tapi tak lama kemudian ada
seseorang yg menuju tempat duduknya dan memberi tahu bahwa Ainu diminta masuk oleh
ayahnya.
Sesampainya di sebuah ruangan yang lebih mirip aula tempat pengajian, Ainu melihat
ayahnya dan orang-orang itu duduk menghadap ke ruangan yang bertirai. Ainu kemudian
mendekat dan bergabung bersama mereka. Tirai kamar dibuka dan muncullah Gus Nuril
dan Kyai Muhyidin yang sedang memapah seseorang sangat renta dan sudah kesusahan
untuk berjalan. Sesaat kemudian, Kyai Muhyidin menyampaikan maksud kedatangannya.
Ia juga menjelaskan secara singkat bahwa mereka yang datang itu sudah melewati suluk
musryid. Satu persatu pun diperkenalkan kepada Kyai Muthi. Setelah semua telah
bersalaman kyai Muthi menanyakan anak dari Kyai Muhyidin yaitu Ainu.
Ainu pun mendekat ke tempat duduk Kyai Muthi . Namun Kyai Muthi memintanya lebih
mendekat. Kyai Muthi pun membaiat Ainu sebagai seorang Mursyid. Semua yang hadir
terkejut dengan kata-kata Kyai Muthi. Setelah semua dibaiat dan dinyatakan sebagai
Mursyid, Ainupun diminta untuk mengambil lembar muqaddimah yang disodorkan oleh
Gus Nuril dan membacanya dengan khusyuk. Semua yang hadir tak kuasa menahan tangis.
Saat ritual selesai, semua yang hadir kembali menyalami Kyai Muthi untuk berpamitan.
Belum jauh orang-orang melangkah dari tempat pembaiatan sekitar empat belas menit
terdengar teriakan Gus Nuril dari dalam kamar. "Innalilahi wa innailaihi Raji'un" Kyai
Muthi telah menghembuskan nafasnya yg terakhir.
Hari ke empat belas dari khalwat nya, Ainu mengalami mimpi spiritual. Mimpi yang
menjelaskan banyak hal yang akan ia jalani dan alami dalam kehidupannya. Dalam
perjalanan itu ia dipertemukan dengan Rasulullah, lalu Abu Bakar, dan 'ali. Setelah
perjalanan itu ia dipertemukan kembali dengan empat imam Mazhab yang kebetulan
sedang berkumpul diatas malam imam abu Hanifah. Setelah pertemuan dengan keempat
imam Mazhab, Ainu di perjalankan lagi. Ia seperti melewati hamparan sahara , gunung
dan lautan. Ditempat itu ia dipertemukan dengan empat pendiri tarekat besar di dunia. Ia
hanya mengucapkan salam tanpa memperlihatkan wajahnya yang mengagetkan Ainu ia
memperkenalkan dirinya sebagai Rabi'ah Al Adawiyah.
Tepat 114 hari setelah menjalani khalwat, perjalanan menuju diri yang sungguh
mengasyikkan ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan barulah meraih satu pencapaian,
masih ada tiga pencapaian yang belum ia raih. Ia merasa bahwa dirinya harus segera
meneruskan jenjang pendidikannya. Ia memilih meneruskan pendidikannya di Maroko. Ia
pun membicarakan keinginannya itu kepada ayah dan ibunya. Ayahnya pun menyetujui
niat baik putranya itu.

BAB 9
Casablanca, tepat tanggal 14 Januari pesawat Gulf Air yang membawa Ainu dari Jakarta
selama 16 jam akhirnya mendarat di Bandar Udara Muhammad V yang berada di Kota
Maroko. Setelah itu Ainu bersama rombongan naik mobil camion putih milik KBRI
menuju Rabat ibu kota Maroko. Setelah satu setengah jam perjalanan, Ainu dan
rombongan sampai di Rabat. Dari kota rabat, mereka lalu dibawa ke Tetouan tempat
Universitas Qarawiyyin berada. Qarawiyyin adalah universitas ternama di Maroko.
Sebagaimana Al-Azhar di Mesir, universitas ini juga membuka berbagai fakultas dan
jurusan.
Sebagai mahasiswa tahun pertama, Ainu sepertinya tidak ingin menghabiskan waktunya
tanpa membaca dan membaca. Ia akan segera menemui dosen-dosennya yang juga ulama
Maroko untuk berdiskusi dan menyampaikan berbagai kesulitan. Ada satu dosen yang
paling disegani oleh Ainu yaitu Dr Muhammad Benyaisy. Dosen inilah yang
memperkenalkan dirinya dengan dunia tarikat di Maroko. Pertemuan demi pertemuan
terus terjadi antara Ainu dengan Dr Benyaisy. Keterpikatan Ainu dengan kitab Al Hikam
Al Ghautsiyah karya Syekh Abu Madyan itu telah membuatnya kebal dengan hawa dingin
Maroko. Setiap kesempatan diluar jam kuliah, ia gunakan untuk menemui Dr Benyaisy.
Jika sang dosen yang pakar ilmu Kalam itu sedang sibuk atau ada tamu ia rela
menunggunya berlama lama. Saat itu Dr Benyaisy mengajak Ainu untuk mengobrol
dirumahnya. Ia lalu mengajak Ainu menyusuri lorong gedung kampus qarawiyyin menuju
tempat parkir. Ditempat parkir mereka menunggu putri dari Dr Benyaisy. Tak lama
kemudian munculah seorang gadis berkulit putih kemerahan yang tak lain adalah putri Dr
Benyaisy. Dr Benyaisy pun memperkenalkan Fatima putrinya kepada Ainu. Setengah jam
perjalanan mereka pun tiba di kediaman dr Benyaisy. Al Hikam Al Ghautsiyah, dulu ia
membaca kitab itu dengan asal membaca. Meski begtu ia merasakan ada tarikan kuat
dalam kalimat hikmah yang ditulis Syekh Abu Madyan. Dr Benyaisy menjelaskan arti dari
setiap kutipan-kutipan dari buku tersebut. Ainu terdiam sejenak, ia masih berusaha
memahami penjelasan Dr Benyaisy. Sementara jari telunjuknya masih bergerak
mengamati teks yang sedang di bahas
Musim semi tiba, bunga-bunga bermerkaran di seantero Maroko. Maret awal adalah
musim semi di Maroko. Sepanjang jalan bunga-bunga nan cantik dan jndah akan terlihat
berwarna warni. Bunga-bunga yang sedang bersemi itu layaknya gadis cantik yang terus
mengumbar senyumnya. Tahun ke empat sudah Ainu melewati belajar di Universitas
Qarawiyyin. Banyak hal yang telah ia peroleh, ilmu dari para ulama Maroko, teman
diskusi terbaik, kenikmatan mengulang hafalan Al Qur'an di masjid dan banyak hal
lainnya. Bersama Dr Benyaisy yang selama ini menjadi mentor spiritualnya. Ia
menemukan banyak mutiara spiritual yang tak terkira. Sungguh betapa Islam punya
khadzanah yang tak pernah habis untuk digali.
Tak hanya perjalanan mengarungi samudera keilmuan di dalam negeri Maroko, Ainu juga
punya kesempatan mengunjungi negara-negara timur tengah. Ini terjadi setelah dr
Benyaisy mendengarkan cerita yang disampaikan Ainu tentang mimpinya menjalani
khalwat dulu.
Hari ini, 14 Desember, jam 14.00 waktu Maroko Ainu terbang kembali ke Indonesia.
Tetouan Rabat Casablanca dan semua tempat di Maroko menyisakan kenangan mendalam.
Perpisahan adalah kata yang paling tidak ingin didengar banyak orang. Naluri kita
memang lebih siap bertemu daripada berpisah. Ainu sadar ia tak akan lagi menikmati hari-
hari penuh suka dan duka bersama teman-temannya . Tak ada lagi pertengkaran sengit
yang berakhir dengan gurauan lucu di Maroko.
Syekh Benyaisy, dosen berkepribadian hangat dan ramah itu tak diduga datang ke asrama.
Ia terlihat membawa sesuatu di tangannya . Setelah berada di hadapan Ainu, dr Benyaisy
kemudian menyerahkan kitab Al Hikam Al ghautsiyah yang pernah ia janjikan kepada
Ainu. Ainu menerimanya wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak terkira. Dr
Benyaisy menepuk bahu dan pundak Ainu, mencium kedua pipinya lalu melambaikan
tangan sembari berjalan menuju mobilnya. Ainu menitikkan air mata. Dalam hatinya ia
masih ingin menikmati kebersamaan bersama Dr Benyaisy. Sungguh perpisahan adalah
titik awal dari pertemuan yang sebenarnya.

BAB 10
Bis berhenti di pertigaan dekat kecamatan. Setelah koper diturunkan, Ainu langsung naik
ojek yang sudah menunggu dan tadi sempat saling berebut. Setelah sampai di Jakarta,
Ainu memang tidak langsung pulang. Ia menginap dua hari di tempat temannya yang
kuliah di Universitas Islam Negeri di Ciputat. Adzan isya berkumandang dari Pesantren
Daar as
Saalikin ketika Ainu tiba. para santri dan beberapa pengurus juga mulai berhamburan
menuju masjid. Mereka memperhatikan Ainu yang diantar oleh ojek. Di halaman masjid
yang sekaligus halaman rumahnya berdiri tenda besar dan memanjang. Kursi tertata rapih
dan ada panggung di ujung tenda, tepat berada di masjid. Setelah turun dan membayar
ojek yang di tolak oleh Tarjo (temannya), kemudian Ainu selipkan di saku celana
temannya itu. Ia langsung berjalan menuju rumahnya. Tak sabar ia ingin menemui kedua
orang tuanya yang ia cintai itu. Ketika melihat wajah ayahnya meski sudah keriput tapi
tetap memancarkan kecerahan. Ia langsung berhambur memeluk dan menciumnya.
Sementara ia memandangi sekeliling ruangan, mencari seseorang yg selama ini menjadi
tempat curahan hatinya, yang tak lain adalah ibunya. Saat ia menanyakan ibunya, ayahnya
meminta ia untuk mengikuti shalat isya berjamaah terlebih dahulu karena sudah memasuki
waktu isya. Ainu mengikuti ayahnya dari belakang sampai di masjid. Banyak jamaah yang
bertanya dengan kehadira Ainu. Shalat isya berjamaah dimulai setelah Iqamah. Kemudian
jamaah saling bersalaman setelah wirid ba'da shalat dibacakan bersama. Namun
sebelumnya Kyai Muhyidin berdiri sejenak dan menyampaikan pemberitahuan kepada
jamaah . Isinya tidak lain adalah bahwa anaknya yang menimba ilmu di Maroko itu telah
kembali. Kyai Muhyidin meminta Ainu berdiri dan mengucapkan salam ke semua jamaah
dan setelah itu pun jamaah bubar. Kemudian Kyai Muhyidin menjelaskan banyak hal yang
berkaitan dengan pesantren, kepengurusan dan perkembangannya. Ainu hikmat
mendengarkan. Kyai Muhyidin meminta Ainu segera membersihkan badan dan berganti
pakaian untuk sekalian mengikuti acara yg sebentar lagi akan dimulai. Bukan kebiasaan
ayahnya membuat acara "papat welasan" semeriah ini. Apalagi mengundang tokoh-tokoh
politik dan pejabat.
Ainu bergegas keluar rumah dan bergabung dengan orang-orang yg menghadiri acara. Saat
di luar, ia memandangi sekeliling tempat. Di deretan depan, ia tidak melihat sahabat-
sahabat ayahnya yang senantiasa hadir tiap acara rutin bulanan itu. Yang terlihat hanya
Kyai Zulkifli (pamannya) , bupati dan berjajar beberapa kyai muda berusia 45 tahun
keatas. Ada satu orang kyai yang juga datang, ia adalah Kyai Munawwar dari Ponorogo.
Praktis dari 14 kyai yang selama ini memimpin acara, hanya ayahnya dan Kyai
Munawwarlah yg tersisa. Kyai Zulkifli beranjak dari tempat duduknya, kemudia berjalan
menuju podium setelah pembawa acara memberikan waktu padanya. Pembawa acara tadi
menyebut Kyai Zulkifli sebagai pimpinan yayasan pesantren Daar as Saalikin. Ia merasa
makin aneh dengan apa yg ia dengar, ketika kyai Zulkifli dengan penuh rasa percya diri
menjelaskan kedudukannya sebagai pimpinan pesantren, tanpa menyebut nama ayahnya.
Lalu menjelaskan juga tentang kedudukan tanah pesantren sebagai tanah wakaf keluarga
besar almarhum kyai Ahmad Baidlawi.
Tiga bulan sejak Ainu kembali dari Maroko ke pesantren, banyak hal janggal ia temui.
Tapi sebagaimana sikap ayahnya yg terus menjalani perannya tanpa terganggu oleh intrik-
intrik dalam Daar as Saalikin, Ainu juga berusaha menikmati aktivitasnya. "Gus
mampirlah sekali-sekali ngobrol-ngobrol di gubuk reyot saya" pinta Mbah Waskito kepada
Ainu. Lelaki berusia tak jauh dari usia ayahnya ini masih terlihat segar dan kuat. Obrolan
dalam gubuk itu sebenarnya lebih didominasi oleh mbah Waskito. Lelaki tua ini ternyata
menyimpan banyak hal yang luar biasa. Namun yang paling mengagetkan Ainu adalah
saat Mbah Waskito membuka "rahasia besar" keluarga nya. Mbah Waskito menceritakan
bagaimana keluarganya dulu hingga seperti saat ini. Tak lama dari Mbah Waskito
menceritakan semuanya, Ainu pun pamit pulang karena jam sudah menunjukkan pukul
setengah satu lewat.
Enam bulan berjalan, tidak terasa gedung sekolah yang dibangun oleh yayasan "Al
Baidlawi" hampir rampung. Kyai Zulkifli mengundang semua pengurus untuk hadir,
termasuk Ainu dan ayahnya. Tidak diduga pembicaraan yang awalnya hanya tentang
keuangan panitia berubah menjadi sesuatu yg memprihatinkan. Yang pada intinya pada
hari ini seluruh sekolah formal atau non formal berada di bawah yayyasan, tidak terkecuali
pesantren Daar as Saalikin. Ia juga menjelaskan bahwa Kyai Muhyidin hanyalah
pengasuh. Ada beberapa orang yang bukan dari keluarga besar mengajukan protes karena
tindakan Kyai Zulkifli dianggap otoriter. Tetapi kyai muhyidin menepis dan
memebenarkan apa yang dikatakan kyai Zulkifli. Tanpa menunggu permintaan Kyai
Zulkifli, Kyai Muhyidin pun mengucapkan kalimat Al Fatihah. Suasana yang tadinya
tegang mulai berubah menjadi sejuk. Rapat pun selesai satu persatu pun mulai bubar.
Subuh itu Mojosari berduka. Kyai Muhyidin telah wafat. Tepat 14 bulan sekembalinya
Ainu dari Maroko. Ia wafat setelah menyampaikan materi hikmah no 14 dari buku hikmah
yang disusun olehnya. Ribuan pelayat dari desa-desa sekitar lainnya berdatangan. Bahkan
saat prosesi pemakaman selesai pun masih banyak pelayat yang datang. Tidak lama
kemudia Gus arifin memberi tahu Ainu terdapat beberapa orang yang ingin menemuinya.
Mereka ternyata anak dan atau murid dari 14 kyai yang mentradisikan acara papat
welasan. Setelah memperkenalkan diri, salah seorang dari mereka berkata pada Ainu
mengenai tongkat kemursyidan yang akan digantikan oleh Ainu. Mereka menyampaikan
bahwa mereka belum bisa menerima Ainu sebagai pengganti ayahnya, karena Ainu belum
pernah di suluk sesuai tarikat.
Peristiwa demi peristiwa terus tejadi sepanjang tahun ini. Setelah meninggalnya Kyai
Muhyidin, Gus arifin dan istrinya dan empat anaknya pergi kerumah yang ditempati Ainu
dan ibunya. Alasan mereka untuk meringankan beban nyai Marhamah mengurus santri
perempuan. Ainu pun menceritakan semuanya terjadi pada Mbah Waskito, dan Mbah
Waskito pun menceritakan kisah yang sama dengan pewayangan. Semua bisa ditemukan
dan di telusuri kebenaran nya. Sebab tak ada kebenaran mutlak sepanjang itu berkaitan
dengan pengetahuan manusia yang benar hanyalah pengetahuannya, Dia adalah Yang
Maha Besar.

BAB 11
 Meninggalkan Mojosari
Setelah 40 hari meninggalnya sang ibu, Ainu meninggalkan Mojosari. Ainu berpamitan
kepada Kyai Zulkifli dan keluarga besar “Al-Baidlawi”. Ia juga berpamitan dengan para
pengurus pengajar dan santri di Pesantren Daar as-Saalikin. Ainu meninggalkan Mojosari
dengna menetapkan hati menelusuri sajak keluarga mendiang ibunya di Kediri, terpenting
adalah ia harus menemukan makam mendiang kakeknya. Sesampainya di Kediri, ia
langsung menuju Desa Kertasono dan bertemu Ghafur, sepupunya berusia sebaya
dengannya. Ia meminta kepada Ghafur untuk diantarkan ke makam kakeknya. Kemudian
ia pergi ke makam kakeknya dan berdoa untuk arwah sang kakek.
BAB 12
 Babat Alas Pengajian
Di Kertosono, Ainu dan sepupunya Ghafur merintis kegiatan pengajian anak-anak muda.
Mereka mengaji dengan cara dan gaya mereka sendiri. Jama’ah pengajian tidak
diwajibkan memakai formal umumnya majlis ta’lim, sehingga jadilah kegiatan pengajian
itu lebih mirip sarana “nongkrong” anak-anak muda. Hanya saja, bila pada umumnya,
kegiatan bergerombol mengarah kepada yang negative, maka Ainu dan Ghafur
mengarhkan mereka untuk membangun budaya positif.

BAB 13
 Hitam Putih Dunia Dakwah
Bagi mereka yang memahami hakikat hidup, ujian justru menjadi sarana pembelajaran
hidup. Ainu dengan pojok yasinnya pun demikian. Celaan, hinaan, dan cemohan datang
dari berbagai pihak dan kalangan. Dari yang mulai menggugat keberadaan pojok yasin,
kedudukan Ainu sebagai pengasuh, dan ajaran-ajarannya yang dituduh tidak pas dengan
prinsip ajaran syariat. Pojok yasin dianggap tidak jelas, karena tidak menetapkan aliran
tarikat yang diikuti. Ainu juga diragukan keilmuannya karena tidak bisa menunjukan bukti
yang menjadikannya layak disebut mursyid.

BAB 14
 Laku Kelana
Kyai Misbah meminta atau melamar Gus Ainu untuk putri beliau Ning Adiba. Kemudian
Ainu teringat mimpi yang beberapa hari menghampirinya. Mungkin ini pertanda jodohnya.
Pada malam harinya Ainu berpamitan kepada teman-temannya di pojok yasin. Karena ia
sudah berjanji besok paginya akan langsung berangkat ke Jogja ke tempat Kyai Misbah.
Hari Rabu, Ainu sampai di Jogja dan langsung menuju Pesantrn Daar Al-Falaah. Kamis,
Ainu mendapatkan penjelasan langsung dari Kyai Misbah tentang permintaannya agar
Ainu menikahi putrinya. Kyai Misbah menceritakan kepada Ainu, Adiba gadis cantik itu
ternyata bernasib kurang cantik. Ia terlantarkan oleh suaminya yang kebetulan seorang
legislative. Mereka bercerai setelah melewati berbagai upaya untuk mencari jalan keluar
terbaik.
Jum’at, Ainu dan Adiba menjalani ritual akad nikah di masjid pesantren. Sabtu, Kyai
Misbah mengadakan walimah pernikahan anaknya di pesantren.
Rabu, 7 maret 2007 pukul 06.30 WIB, Ainu sudah berjani akan menjemput Adiba yang
menemani Kyai Misbah ke Jakarta untu sebuah acara ormas besar. Mereka diperkirakan
tiba di Jogja pukul 08.00 WIB. Mereka juga mengabarkan pada Ainu kalua mereka
menumpangi pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200.
Tepat pukul 06.40 Ainu meluncur menuju Bandara Adisucipto. Jarak beberapa menit
sebelum masuk Bandara Adisucipto, ia melihat orang-orang panik dan berkerumun. Ia
mendapatkan jawaban bahwa pesawat yang mengalami kecelakaan itu adalah pesawat
Boeing 737 seri 400 milik maskapai Garuda Indonesia, dengan nomor penerbangan GA
200. Ainu tak kuasa menahan kesedihan, berkali-kali ia terjatuh lemas di kursi yang ia
duduki, ia berulang kali beristigfar, ia sadar perasaannya telah mendahului kenyataan.
Setelah satu jam, barulah di peroleh bahwa semua korban sudah dibawa ke rumah sakit
DR. Sargito, pihak keluarga diminta mengecek saudara/keluarganya langsung ke sana.
Esok harinya, tepat pukul delapan pagi, dua orang yang kamu cintai itu di makamkan, tak
banyak yang tau sebenarnya Adiba sedang hamil muda. Hanya Ainu dan dokter forensic
Rs. Sargito saja yang tahu. Dan bayi yang belum genap empat bulan berada di Rahim
adiba itupun ikut meninggal. Ainu kini menemukan keterangan. Ia sadar bahwa, Agama
ini (islam) mudah dan memberikan kemudahan bagi orang yang memahaminya dengan
benar.
Juni 2009 Ainu datang ke acara dialog dan pementasan music sufi, seniman muslim di
Jogjakarta. Ia bertemu dengan teman lamanya yang bernama Maryamah Al-Awni yang
sudah menjadi seorang Muslimah, karena ia dulu beragama katolik dan bernama Mary.
Ainu yang berusia 30 tahun dan Mary 34 tahun masih merasakan getaran-getaran saat
pertama kali mereka jumpa. Mary bercerita kepada Ainu bagaimana ia masuk agama
islam. Satu bulan setelah pertemuan mengharukan dan penuh harapan kerinduan itu, Ainu
dan Mary bersepakat untuk menyatukan hati mereka dalam sebuah pernikahan atas
permintaan Nyai Sholihah. Acara akad nikah dan walimah digelar di Pesantren Daar Al-
Faalah.
Kemudian Ainu mengajak Mary ke Kertosono untuk meminta doa restu dari orang-orang
yang dicintainya. Ia juga tak lupa membawa Mary berziarah ke makm orang tuanya di
Mojosari. Kebahagiaan demi kebahagiaan menghiasi hari-hari Ainu Bersama Mary. Ia
menjalankan kehidupan yang penuh suka cita.

KESIMPULAN
NOVEL KYAI TANPA PESANTREN Karya Imam Sibawaih El-Hasany

Kisah Kyai Muda bernama Ainu yang tidak mempunyai pesantren, namun dakwahnya
mampu diterima oleh kalangan anak muda yang tidak religius dan penuh kemaksiatan.
Kyai Ainu membangun komunitas pojok yasin, kemudian ia dipanggil dengan sapaan Kyai
Joksin. Dakwah Kyai Ainu menerapkan metode yang lemah lembut, toleran, santun,
menggunakan keteladanan, sembari sesekali memberikan wejangan-wejangan ringan
(nasihat), wasiat, dan hikmah-hikmah yang dapat diterima oleh para santrinya.
Dengan banyak cobaan, ujian, celaan, hinaan dan cemohan datang dari berbagai pihak dan
kalangan saat beliau dakwah. Namun ia tetap menerima dan menghadapinya dengan sabar
dan berdialog dengan baik. saat usianya 28 tahun, ia pun mendapatkan ujian saat kedua
orang tuanya meninggal, istri, bapak mertua, dan anaknya meninggal dunia, tetapi ia tetap
sabar dan ikhlas menjalani hidupnya. Dan akhirnya pun ia bertemu dengan teman lamanya
yang dulunya beragama katolik tetapi saat bertemu ia sudah masuk ke agama islam dan
mereka bersepakat menyatukan hati mereka. Mereka menikah menjalani kehidupan yang
penuh suka cit

Anda mungkin juga menyukai