Anda di halaman 1dari 4

Kiai Disiplin dan Penuh Karismatik

KH. A. Bunyamin Ruhiat, M.Si


Oleh : H.Mahtum Khaerani, BA

Perjalanan saya di Cipasung sangatlah panjang dan bermakna. Selain saya


adalah santri dari Almarhum Almaghfurllah Drs. KH. A Bunyamin Ruhiat, M.Si,
saya juga merupakan Khodim ayah beliau, Almarhum Almaghfurllah KH. Ruhiat.
Kebersamaan dengan Kiai Abun tidaklah singkat, banyak sekali pengalaman,
pembelajaran yang di rasakan. Termasuk bagaimana Kiai Abun menjadi pendidik
saya di Cipasung.

Saya berasal dari Kampung Citeweres, RT/RW 003/002, Desa


Linggamulya, Kecamatan Leuwisari yang masuk Cipasung pada tahun sekitar
1975-an sampai 1993. Saya memulai perjalanan mondok di Cipasung setelah lulus
dari bangku SLTP, kemudian bermukim di asrama Selamet dan setelah itu pindah
ke asrama Pusaka. Pada saat itu, di Cipasung terbagi menjadi dua kategori santri
yakni santri negeri dan santri biasa. Saya termasuk kategori santri negeri, yaitu
yang khusus untuk mengaji saja.

Setelah beberapa tahun, bersama salah satu teman saya dari Cipancur, KH.
Udin ditawari untuk ikut kuliah di PTI-Cipasung, kami pun menyetujuinnya dan
masuk jurusan baru di Fakultas Syari’ah. Yang mana terdiri dari beberapa
mahasiswa bahkan teman perempuan kami hanya ada tiga orang, di antaranya Ibu
H. Nunuy; Istri Alm. KH. Dudung Abdul Halim.

Kiai Abun adalah sosok Kiai paling aktif di pesantren dan Kiai perhatian
terhadap santrinya. Pernah suatu hari, ketika pengajian subuh sedang berlangsung,
saya diperintahkan oleh Emih Aisyah untuk pergi ke pasar untuk membeli
keperluan makan santri. Dengan perhatian Kiai Abun mempersilakan memenuhi
perintah tersebut, sebab beliau telah memahami hal tersebut. Jadi apabila ada
perintah dari Emih atau Abah, Kiai Abun tidak bertanya lagi.

Kiai Abun merupakan Kiai muda yang sudah mengabdikan dirinya pada
pesantren, saat itu beliau belum menikah bahkan masih kuliah. Saya juga
mengetahui bagaimana perjalanan asmaranya bersama Ibu. Hj. Tuti, sebab saya
sering pulang pergi Sukarame-Cipasung.

Bicara tentang Kiai muda, tentu dalam mengajarnya pun mempunyai


ghirah yang luar biasa. Kiai Abun mengajar santrinya pada dua waktu dan kelas
tertentu, yaitu subuh dan malam. Kitab yang beliau ajarkan adalah kitab
Jurumiyah sebagai pengantar dasar ilmu nahwu bagi para santri. Kemudian kitab
Ta’limul Mua’alim yang bisa membentuk karakter santri, bagaimana berakhlakul
karimah, bagaimana takdzim terhadap guru, dan Kiai Abun mencontohkan
langsung hal tersebut. Serta masih ada kitab-kitab lainnya.

Pada pembelajaran Kiai Abun, khususnya kitab Jurumiyah semua santri


diharuskan mencatat materi yang telah beliau sampaikan dan beliau rangkum di
papan tulis. Dulu belum ada buku pengantar ringkas tentang Jurumiyah. Sekarang
para santri lebih mudah untuk mempelajari Jurumiyah sebab beliau telah
menciptakan rangkuman Jurumiyah yakni sebuah karya luar biasa yang berjudul
Dikat Jurumiyah yang bisa di baca dan di pahami dengan mudah. Masya Allah

Karena di pesantren tidak ada yang namanya kurikulum, maka cara Kiai
Abun mengajar adalah dengan cara mengulas materi sebelumnya, atau beliau akan
bertanya secara acak kepada beberapa santri. Jika para santri sudah paham, beliau
akan melanjutkan kepada materi selanjutnya. Meskipun hanya beberapa santri
yang mendapatkan pertanyaan, tetapi beliau mengenal semua santrinya. Apabila
ada santri yang belum hafal atau belum paham, Kiai Abun akan mengulangi
penjelasannya atau membuat trik agar santri tersebut mudah memahami
materinya. Selain itu, di sela-sela pembelajaran beliau sering memberikan
motivasi santri baik tentang bagaimana supaya ilmu dapat bermanfaat ataupun
yang lainnya.

Sosok Kiai Abun yang luar biasa membuat siapapun segan terhadapnya.
Sikap beliau saat di pengajian dan hari-hari biasa tentu saja bebeda. Kiai Abun ini
benar-benar menggambarkan sosok yang disiplin terhadap santrinya, saat di kelas
pengajian mungkin memang serius. Namun di sisi lain beliau suka bergaul dengan
yang lain meskipun tidak pernah blak-blakan, bahkan terkadang juga
melemparkan lelucon.

Perihal kedisiplinan beliau menunjukannya pada saat pengajian kapanpun,


dimanapun, sekalipun pengajian bulanan bersama masyarakat. Kiai Abun tidak
akan memulai pengajiannya apabila barisan para mustami’ belum rapi dan terlihat
kosong sebagian, beliau akan merapikan semuanya terlebih dulu. Bahkan tidak
sungkan untuk merapikan secara langsung hingga tidak ada barisan yang kosong.
Sehingga saat pegajian berlangsung tidak ada yang berani bersuara, semuanya
khidmat mendengarkan. Rasa-rasanya tidak ada yang bisa dan berani seperti Kiai
Abun ini.

Tanggung jawab Kiai Abun terhadap pesantren pastilah sungguh-sungguh,


salah satunya tidak alpa dalam mengajar dan memberikan perhatian. Bahkan
bukan hanya memperhatikan, tetapi beliaupun turun langsung untuk mengerakkan
para santrinya. Sehingga ketika bertemu beliau semua santri akan segan, dan
apabila ada suatu pembangunan ini atau itu beliau dapat menggerakkan santrinya
dengan mudah.

Untuk lebih efektif Kiai Abun membentuk sebuah tim penggerak agar
santri lebih terkoordinir, beliau menamainya Tim Penggerak Kegiatan Santri yang
di singkat menjadi TPKS. Anggotanya terdiri dari empat orang, di antaranya saya
H.Mahtum, Pak H. Agus RW, Pak Rahmadin, dan Alm. Pak Rosadi. Semuanya di
bawah pantauan Kiai Abun, padahal saat itu beliau sedang menjabat sebagai
sekretaris pesantren. TPKS ini bukan semacam keamanan, bahkan pada saat itu
keamanan juga berada di bawah TPKS.

Kesan-kesan yang dirasakan bersama beliau sangatlah banyak. Terkadang,


suatu waktu beliau akan mengajak saya ketka akan pergi ke suatu tempat
tergantung bagaimana situasai dan kondisi. Meskipun saya adalah khodim Abah
Ruhiat, namun berdialog langsung dengan belau memang bisa dikatakan jarang.
Namun, banyak sekali sikap-sikap yang bisa di tiru. Sebab beliau adalah sosok
yang benar-benar menunjukkan sebuah keteladan, apabila ada santri yang salah
beliau akan menergurnya, seperti “Hey ulah kitu”. Selain itu, apabila di pengajian
tak jarang membuat lelucon pada santrinya yang tidur “Hey banjur-banjur” ucap
beliau dengan sedikit tertawa, sampai santri tersebut bangkit kembali.

Pada tahun 1992 Kiai Abun mendirikan Madrasah Tsanawiyah yang mana
di kepalai langsung oleh beliau. Waktu itu angkatan pertama kurang lebih ada 30
orang siswa. Kiai Abun benar-benar aktif, sampai kegiatan Camping di Geger
Hanjuang pun beliau ikut turun langsung. Padahal bisa saja beliau menunjuk
seseorang untuk mengantrakan peserta camping mewakili dirinya. Saat itu
kebetulan peserta camping beragkat pada hari jumat, disana Kiai Abun menjadi
pemimpin solat Jumat. Selain itu, beliau juga aktif menjadi kepala sekolah di
SMA Islam Cipasung menggantikan Pak Ibrahim.

Perjalanan panjang saya di Cipasung kira-kira sampai usia 45 tahun. Jadi


menurut pandangan saya, Kiai Abun adalah sosok yang istimewa. Segala sesuatu
dan sekecil apapun beliau selalu hafal. Buktinya dari sekian banyaknya santri di
sini apabila menemui beliau setelah beberapa tahun, pasti beliau mengingatnya
bahkan memanggil namanya. Kiai Abun adalah sosok yang karismatik, apapun
yang beliau intruksikan Insha Allah semua orang akan mengikutinya, bukan
hanya para santri tetapi yang berada di lembaga pesantren ini pun demikian. Ada
peribahasa sunda mengatakan “Lamun di suruh ku Pak Abun, sigana rek
mindahkeun gunung oge siap kabeh ge”.1 Hal ini menunjukkan Sami’na Wa
atho’na, di dengar kemudian di taati.

Banyak sekali keteladan yang bisa kita tiru mulai dari sikap, ucapan,
perilaku, kepemimpinan, dan kedisiplinan. Mengenai kedisiplinan hal ini adalah
yang tersulit, sebab ketika akan mendisiplinkan orang lain apabila dirinya tidak
disiplian akan sulit. Namun sikap tersebut sudah ada pada diri Kiai Abun.

1
Apabila diperintahkan oleh Pak Abun, sepertinya jika harus memindahkan gunung pun semua
orang akan siap

Anda mungkin juga menyukai