Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah salah satu dari tiga agama samawi yang mana berasal dari Allah SWT.
Dalam perkembangannya Islam memiliki banyak sekali peradaban yang sampai saat ini
dapat kita lihat. Hasil dari peradaban pun bermacam-macam, ada yang berupa tempat,
perkakas, seni, tradisi, adat dll. Tepat seperti halnya kabah yang ada di Mekkah,
masjidil aqsa yang ada di Palestina, masjid qordoba di Spanyol dll. Hasil peradaban
yang berupa seni seperti kaligrafi, ukiran-ukiran pada senjata dll. Hasil peradaban yang
berupa tempat memiliki kelebihan, karena ukurannya lebih besar serta dengan desain
yang kokoh.
Di Indonesia sendiri juga banyak peninggalan peradaban islam yang masih ada,
terutama tempat seperti menara Kudus, masjid Ampel dll. Baik yang dilakukan oleh
para wali songo ataupun para pejuang islam setelahnya kebanyakan peradabannya
masih bisa kita lihat sampai saat ini.
Pondok pesantren juga merupakan salah satu dari peninggalan peradaban islam
yang sangat urgent, karena disitulah para santri mendapatkan ilmu, baik ilmu agama,
rohani dan juga ilmu kehidupan. Salah satu pondok yang akan kuita bahas di sini yaitu
pondok yang terletak di turen yang bernama Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah,
konon pondok tersebut menurut warga sekitar dibangun oleh jin, namun pendapat itu
mulai terbantahkan, dan memlalui laporan observasi ini kami juga akan menjelaskan
seeluk beluk pondok tersebut dalam membanngun peradaban Islam.

1.2 Rumusan Masalah


Dari paparan diatas kami dapat merumuskan masalah:
1. Siapakah pendiri pondok pesantren Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah?
2. Bagaimanakah masa room kyai dalam dakwahnya?
3. Bagaimana profil pondok pesantren Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah?

1.3 Tujuan Observasi


Adapun tujuan diadakannya observasi ini adalah

1
1. Untuk mengetahui pendiri pon-pes Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah.
2. Untuk mengetahui kegiatan dakwah kyai dalam membangun peradaban Islam
3. Untuk mengetahui profil pon-pes Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi pendiri Pondok Pesantren Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah.
Di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang
sekarang ini menjadi lokasi tempat berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri
Asali Fadlaailir Rahmah, Romo Kyai dilahirkan. Beliau adalah putra dari pasangan Kyai
Sholeh dan Nyai Hajjah Amanatul Fadliyah. Beliau lahir pada tanggal 14 di Bulan
Ramadhan 1362 H yang bertepatan dengan tanggal 14 September 1943 M. Tidak seperti
kebiasaan bayi-bayi lain, semasa bayinya, Beliau tidak pernah menyusu/minum/makan
ketika di siang hari. Beliau menyusu/minum selalu setelah tiba waktu Maghrib. Kebiasaan
seperti itu menggambarkan, bahwa ketika Beliau masih bayi, Beliau sudah ikut berpuasa
di siang hari.
Sejak masih bayi, Beliau tidak pernah mengompol (buang air kecil) sembarangan.
Apalagi buang air besar ketika Beliau sedang digendong oleh orang yang mengasuhnya
(ngemong), Beliau tidak pernah melakukannya. Kebiasaan ini, tentulah sangat diluar
kewajaran untuk ukuran bayi/anak kecil pada umumnya. Ketika umur Beliau sekitar 8
tahun ( belum aqil baligh ), Romo Kyai setiap waktu selalu memikirkan tentang kehidupan
akhirat. Setiap merenung dan berpikir, yang selalu dipakai sebagai acuan bagi Beliau
adalah, bagaimana caranya agar bisa selamat dalam urusan akhirat nanti?
Bahkan, menurut sebuah riwayat, ketika Beliau melihat ada orang sedang
membangun rumah gedung, spontan dalam hati dan pikiran Romo Kyai muncul rasa heran.
Beliau selalu akan bertanya dalam hatinya: Kok wong-wong sing disiapno urusan ndonya
tok yo? Terus urusan akherat yo opo? [Mengapa kebanyakan orang hanya menyiapkan
urusan dunia saja, ya? Lalu, bagaimanakah dengan urusan akhiratnya?]
Ketika dalam hati Beliau muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu, saat itu juga
muncul jawaban dalam hati Beliau: O ... iyo sih, mungkin a dhwk diparingi umur
dhowo karo Gusti Allah, dadi isih ono waktu gaw wong-wong ngumpulno sangun
akherat. Lha nk aku? Yo gak wani. Iyo nk diparingi umur panjang karo Gusti Allah? Lha
nk umurku cendhk, terus sopo sing nulung aku nang akherat? [O ... iya juga. Boleh jadi,
mereka itu diberi umur yang panjang oleh Allah, sehingga masih mempunyai banyak
kesempatan untuk mengumpulkan bekal akhirat. Sedangkan saya, tidak berani melakukan

3
hal itu. Iya kalau saya diberi umur panjang oleh Allah? Bagaimana kalau umur saya tidak
panjang, maka siapakah yang akan menolong saya di akhirat nanti?]
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu muncul setiap saat dalam pikiran
dan hati Beliau. Terutama ketika Beliau melihat orang-orang tengah sibuk dengan urusan
dunia. Sehingga, sebab itu pulalah, Beliau akhirnya selalu tidak bisa konsentrasi ketika
mengikuti pelajaran di sekolah. Beliau berpikir, mengapa pelajaran yang didapat di sekolah
itu sangat cepat lupanya? Dalam hati dan pikiran Beliau bertanya-tanya, apakah benar ilmu
yang saya pelajari itu dapat menyelamatkan saya di akhirat? Kalau memang dapat,
mestinya kan ilmu yang dipelajari itu tidak cepat lupa atau cepat hilang? Sebab, ilmu yang
bermanfaat itu kan bisa dibawa sampai mati? Dari pertanyaan itulah, Beliau akhirnya
merasa tidak betah di sekolah, sehingga ketika Beliau memasuki jenjang pendidikan
terakhir --- yakni di PGA (Pendidikan Guru Agama) --- Beliau tidak sampai tamat. Beliau
kemudian pindah ke Mualimin.
Di samping Beliau mendapatkan ilmu agama dari bangku sekolah, Beliau juga ngaji
dan belajar agama secara intens sejak kecil kepada ayah Beliau sendiri, yaitu Kyai Sholeh.
Orangtua Beliau merupakan tokoh NU di Desa Sananrejo, Turen, yang menjabat sebagai
Suriyah NU di Sananrejo hingga Beliau berhalangan tetap. Selain itu, Kyai Sholeh adalah
salah satu alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang semasa kepemimpinan
Hadhratu as-Syaikh KH. Hasyim Asari.
Setelah tidak belajar di pendidikan formal lagi, Romo Kyai --- layaknya seperti
keluarga yang lain --- ingin mencari ilmu agama di Pondok Pesantren, walaupun sebetulnya
Beliau sudah mendapatkan semua bekalnya dari Ayah Beliau sendiri, yang notabene
merupakan alumnus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Untuk itulah, Beliau kemudian
mondok di Pujon. Di tempat tersebut Beliau tidak lama. Hanya hitungan bulan saja.
Kurang-lebih setengah tahun lamanya, Beliau kemudian pamit keluar dari pondok tersebut.
Hal ini disebabkan karena, banyak kejadian yang luar biasa dan tidak biasa terjadi di
pondok tersebut.
Menurut sejumlah riwayat, orang-orang yang belajar agama di pondok tersebut
biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa lulus. Ada yang menyebut
sampai puluhan tahun. Bahkan ada juga yang sampai akhir hayatnya baru lulus. Tetapi,
ketika Romo Kyai mondok di tempat tersebut, ternyata banyak santri yang dinyatakan lulus

4
oleh Kyai pondok tersebut. Hanya dalam hitungan hari atau bulan setelah keberadaan
Beliau di pondok tersebut, banyak santri yang akhirnya dinyatakan lulus oleh Sang
Pengasuh Pondok.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun oleh tim penyusun manaqib ini, pada
saat Beliau mondok di Pujon tersebut, sempat terjadi kecemburuan yang sangat tinggi
kepada Beliau. Ceritanya, kalau ada santri yang riyadloh di kamar ( yang dikenal dengan
istilah Guthekan ) Beliau, atau hanya sekedar main sebentar saja di kamar Beliau, tahu-
tahu santri tersebut dipanggil oleh Pengasuh Pondok dan kemudian dinyatakan lulus.
Bahkan, konon, Pengasuh Pondok sendiri pun merasa sangat heran melihat fenomena
tersebut.
Ketika para santri tersebut diminta oleh sang Kyai untuk menceritakan amalan apa
yang dilakukannya sehingga bisa cepat berhasil, para santri tersebut menceritakan bahwa
mereka tidak punya amalan apa-apa. Mereka hanya riyadloh di Guthekan Beliau atau
hanya main sebentar di kamar Beliau. Buntut dari kejadian aneh tersebut adalah, semakin
hari semakin banyak warga pondok yang bertambah besar rasa cemburunya kepada Beliau.
Dengan niat untuk tidak mau menambah penyakit hati, Beliau akhirnya memutuskan untuk
pamit sama Kyai yang punya pondok tersebut.
Sepulang dari mondok di Pujon, Beliau lebih banyak mengurung diri di dalam
kamar. Dalam kesendiriannya itulah, Beliau kemudian memohon petunjuk kepada Allah
SWT. Adapun permohonan yang Beliau minta kepada Allah pada saat itu antara lain
adalah: mohon ditunjukkan, ke mana sebaiknya Beliau harus mondok? Beliau ingin belajar
agama di pondok yang benar-benar dapat mengantarkan Beliau agar bisa dekat kepada
Allah SWT. Termasuk minta diajari bagaimana caranya agar bisa dekat kepada Allah SWT
yang tidak mengikuti keinginan atau nafsu Kyainya.
Permohonan tersebut Beliau ajukan setiap hari dalam waktu yang cukup lama.
Setiap hari di dalam hati dan benak Beliau selalu terucap: Nang endi yo ono pondok sing
iso markno aku marang Gusti Allah? [Di mana ya ada pondok yang dapat mendekatkan
diri saya kepada Allah SWT?]
Singkat cerita, suatu ketika Beliau merasa diterbangkan melewati gunung dan
hutan. Bahkan, ketika menerobos pohon-pohonan, menurut pengakuan Romo Kyai sendiri,
Beliau merasakan betul, dalam waktu yang relatif singkat, Beliau turun di suatu tempat

5
yang sangat asing bagi Beliau. Tempat tersebut sangat terpencil dan sepi. Kemudian Beliau
mendatangi beberapa orang yang ada di tempat tersebut dan menanyakan apa nama tempat
tersebut. Mereka menjawab, bahwa tempat tersebut adalah Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Sidorangu, Krian-Sidoarjo yang dipimpin oleh Hadhratu as-Syaikh Al-Maghfurloh KH.
Sahlan Thalib ( yang sekarang biasa disebut Mbah Kyai Sahlan). Setelah cukup, maka
Beliau pun pamit pulang kembali. Saat pulang tersebut, kejadian yang sama terulang
kembali. Beliau diterbangkan seperti waktu berangkatnya. Tak lama setelah itu, Beliau
sudah berada di kediaman Beliau yang sekarang telah berubah menjadi pondok ini.
Tidak berselang lama setelah peristiwa tersebut, dengan diantarkan oleh ayah
Beliau, yaitu Kyai Sholeh, bersama Mbah Jasim, Beliau kemudian mendatangi Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Sidorangu - Krian Sidoarjo. Di pondok inilah Beliau kemudian
mendaftarkan diri menjadi santri. Pada waktu itu, biaya pendaftaran untuk menjadi santri
di Pondok Pesantren Bahrul Ulum sebesar Rp 5.000,-.
Karena Beliau tidak punya uang untuk biaya pendaftaran, maka Beliau
memutuskan untuk menjual sebuah sepeda Relly. Berdasarkan patokan harga pasaran
yang berlaku saat itu, kondisi sepeda Relly milik Beliau ditaksir sekitar Rp 3.000,-. Tapi,
berkat adanya pertolongan Allah, sepeda tersebut akhirnya bisa terjual dengan harga Rp
5.000,-. Hasil penjualan itu ternyata pas untuk keperluan biaya pendaftaran sebagai santri
di pondok Bahrul Ulum. Walaupun biaya pendaftaran di pondok tersebut sebesar Rp
5.000,-, tapi pada kenyataannya, Mbah Kyai Sahlan tidak mau menerima uang
pendaftaran yang diserahkan oleh Romo Kyai. Uang tersebut dikembalikan lagi ke
Beliau. Mbah Kyai Sahlan justru meminta Romo Kyai agar membawa sendiri uang yang
telah Beliau serahkan saat itu.
Begitu tiba di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Sidorangu - Krian - Sidoarjo, Beliau
langsung diterima oleh Kyai Sahlan. Pada saat sebelum dan setelah Romo Kyai datang ke
Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Mbah Kyai Sahlan sempat mengatakan kepada para
santri yang ada di pondoknya: "Kita hari ini kedatangan orang pangkat!" Pernyataan itu
diucapkan berkali-kali oleh Mbah Kyai Sahlan di hadapan para santrinya.
Waktu Kyai Sahlan dhawuh seperti itu, ada salah satu santri yang nyeletuk bicara:
Nk wong olh jatah pangkat iku, berarti pangkat ndonyan. Akhirat gak olh" [Kalau
orang dapat jatah pangkat itu, berarti pangkat urusan dunia. Derajat akhiratnya tidak ada]

6
Mendengar omongan santri tersebut, seketika itu juga tubuh Romo Kyai jadi
gemetar. Hati Beliau pun jadi gelisah dan resah karena takut tidak punya jatah akhirat.
Setelah mendengar pernyataan dari Kang Shobirin itu, hari-hari Beliau kemudian banyak
dihabiskan dengan kegiatan tafakkur. Beliau memikirkan perkataan Kang Shobirin
tersebut dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, Beliau tidak bisa makan apapun selama 1
(satu) minggu hingga akhirnya menyebabkan badan Beliau jadi lemas dan panas.
Di saat itu pula, ada salah satu teman Beliau sesama santri yang menyarankan
Beliau untuk meminum jamu beras kencur yang dilintir. Harapannya adalah agar gairah
makan Romo Kyai jadi tumbuh kembali. Tapi, karena Beliau tidak biasa minum jamu,
ditambah karena kesedihan yang amat sangat lantaran memikirkan bagaimana kehidupan
di negeri akhirat nanti, maka jamu beras kencur yang diharapkan dapat meningkatkan
selera makan tersebut, malah makin memperparah kondisi fisik Romo Kyai. Beliau jadi
makin sering bersendawa dan batuk yang terasa panas seperti rasa kencur yang telah Beliau
minum itu.
Kondisi buruk tersebut Beliau alami dalam waktu yang relatif cukup lama.
Setelah gairah makan Beliau sudah mulai tumbuh kembali, para santri banyak yang
menawari Beliau untuk makan pelepah pisang, tapi Romo Kyai tidak mau. Pasalnya, kalau
makan pelepah pisang, perut Beliau terasa sakit yang amat sangat. Akhirnya Beliau
memutuskan untuk mengkonsumsi daun lempuyang, daun singkong dan dedek. Hal itu
Beliau jalani ketika Beliau masih mondok di Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Sidorangu - Krian - Sidoarjo. Belakangan, setelah diteliti oleh Beliau, akhirnya
terjawablah sudah rahasia mengapa Beliau tidak bisa memakan pelepah pisang.
Ternyata, pelepah pisang itu mengandung soda. Mungkin karena faktor itulah yang
membuat perut Beliau akhirnya jadi terasa sakit kalau mengkonsumsi pelepah pisang.
Dari pengalaman Beliau menjalani kehidupan di Pondok Bahrul Ulum Sidorangu,
Krian itu, Beliau pernah dhawuh: Sak soro-soron wong mondok, yo mondok nang
Sidorangu Krian. Awan poso karo tandang gaw, bengi riyadloh gak turu-turu. Sing
dipangan yo koyok ngono-ngono iku. [Sesengsara-sengsaranya orang mondok, ya
mondok di Sidorangu, Krian. Siang puasa sambil bekerja, malam tirakat tidak pernah
tidur. Yang dimakan, ya itu-itu saja].

7
Bahkan menurut cerita Romo Kyai, ketika di pondok tersebut ada acara
tasyakuran sekalipun, yang dimasak oleh para santri adalah pelepah pisang. Kalau pun
menyembelih kambing, maka kambing yang disembelih itu hanya satu ekor saja.
Selebihnya dicampur dengan pelepah pisang dalam jumlah yang sangat banyak.
Sehingga, hanya aromanya saja terasa seperti masakan gule kambing. Adapun yang
dijadikan sebagai nasinya adalah berasal dari tepung gaplek yang dicampur beras dengan
kualitas yang sangat jelek.
Tidak seperti kebanyakan orang, sebelum memakan makanan yang ada
dihadapannya, Romo Kyai biasanya selalu meneliti terlebih dahulu: apakah makanan
tersebut halal atau haram? Ketika di hati Beliau mengatakan bahwa makanan tersebut
haram, kemudian tetap dimakan, maka Romo Kyai merasakan seperti sedang jatuh di
dalam lubangan (seperti sumur) yang kedalamannya bisa mencapai 10 M --- bahkan
boleh jadi lebih dalam lagi --- dan merasakan betul bagaimana jatuhnya ke dalam
lubangan tersebut. Akan tetapi, ketika di hati Beliau mengatakan bahwa makanan itu
halal dan kemudian Beliau makan, maka pada saat itu Beliau merasakan seperti langsung
terangkat ke langit dengan berbagai rasa kenikmatan lain yang menyertainya.
Hari-hari terus berlalu. Seiring dengan berlalunya waktu, Romo Kyai selalu
berpikir bagaimana kalau nanti Beliau sudah kerja? Apakah ada atau bisa Beliau
mendapatkan hasil yang halal dari pekerjaannya itu nanti? Ketika pikiran itu terus timbul
di dalam hati Beliau, maka Beliau kemudian memutuskan untuk merasa seakan-akan
hidup di hutan dan tidak melakukan usaha apa-apa. Beliau memilih untuk diam di tempat
saja tanpa berusaha untuk mendapatkan makan atau minum. Kalau ada makanan atau
minuman yang datang, maka itulah yang akan dimakan dan diminum.
Ws, saiki ngn a, aku tak anggep urip ono alas. Opo a sing ono nang
ngarepku, yo iku sing tak pangan lan tak omb. [Ya sudah, sekarang begini saja, saya
menganggap seolah-olah saya sekarang sedang hidup di hutan. Apa saja yang ada
dihadapan saya, ya itu yang akan saya makan dan saya minum.]
Kata-kata itulah yang ada dihati Beliau. Setelah hal itu dilakukan, maka makanan
dan minuman malah datang silih berganti di kamar Beliau. Makanan dan minuman
itu sebagian besar berasal dari para santri yang selalu menyisipkan makanan,
berkatan, tebu, dan berbagai macam makanan lainnya di kamar atau di longan Beliau.

8
Padahal, aslinya, para santri itu juga sebetulnya masih kekurangan makanan. Salah satu
santri yang masih diingat Beliau sering meletakkan makanan dan minuman di longan
(bawah tempat tidur) Beliau adalah Kang Pardi. Kang Pardilah yang selalu menyisipkan
tebu atau berkatannya di longan Beliau.
Kegelisahan lain yang dialami Romo Kyai ketika berada di Pondok Pesantren
Bahrul Ulum Sidorangu, Krian adalah, ketika Mbah Kyai Sahlan menyuruh Beliau untuk
belajar ilmu nahwu sharaf. Tapi Beliau tidak mau. Alasannya, karena ilmu nahwu sharaf
itu, di samping, sudah pernah dipelajari ketika di PGA, juga karena ilmu itu sudah
pernah Beliau pelajari dari ayahnya sendiri. Singkat kata, Beliau sebetulnya sudah tamat
dalam mempelajari ilmu nahwu sharaf tersebut.
Bukti bahwa Beliau sudah tamat dan sudah menguasai ilmu tentang nahwu sharaf
yang dipelajari dari ayahnya adalah, Beliau terkadang ikut mengajarkan atau menerangkan
kepada murid-murid ayah Beliau yang mengalami kesulitan dalam memahami tentang ilmu
tersebut. Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh yang mengalami kesulitan ketika diajari ilmu
nahwu sharaf adalah Haji Dzikri AR. Ketika Haji Dzikri AR mengalami kesulitan dalam
memahami ilmu tentang nahwu sharaf yang diterangkan oleh Mbah Kyai Sholeh, maka
Romo Kyai kemudian membantu menerangkan maksud dari ilmu itu kepada Haji Dzikri
AR dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai alat bantunya. Anehnya, Mbah Haji
Dzikri AR malah menjadi faham semua. Padahal, kalau dipikir-pikir, Romo Kyai hanya
belajar sampai PGA/Mualimin, di mana pelajaran bahasa Inggris yang pernah didapat di
sekolahnya, tentu saja sangatlah minim sekali. Namun, kenyataannya, Beliau malah bisa
menerangkan ilmu tentang nahwu sharaf --- yang merupakan ilmu Grammernya bahasa
Arab itu --- justru dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Bukan itu saja, Beliau juga mampu mengajarkan ilmu gaya (vektor) kepada Haji Dzikri
AR dengan tanpa mengalami kesulitan sedikitpun.
Keengganan Romo Kyai untuk mempelajari ilmu nahwu sharaf itu, tentu saja,
bukan karena tanpa alasan. Yang jelas, menurut pengakuan dari Romo Kyai sendiri, tujuan
Beliau belajar di pondok Bahrul Ulum itu bukanlah untuk kepentingan supaya Beliau bisa
menguasai ilmu nahwu sharaf. Tetapi yang dicari oleh Romo Kyai adalah, guru/pondok
yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Kalau masih disuruh belajar ilmu alat

9
seperti nahwu sharaf, lalu kapan cita-cita tersebut --- yaitu bisa dekat kepada Allah SWT -
-- dapat tercapai?
Akhirnya Romo Kyai memutuskan untuk tidak mau belajar ilmu tentang nahwu
sharaf. Sebagai gantinya, setiap hari Beliau membaca surat Yasin sebanyak 3 kali, wiridan
dan membaca Shalawat di sebuah tempat yang di kalangan masyarakat Jawa biasa disebut
dengan istilah Gutekan Gladak. Hal tersebut dijalani Beliau selama kurang lebih sekitar
setengah tahun. Tetapi sayangnya, Beliau tidak merasakan adanya perubahan sama sekali.
Artinya, Beliau belum bisa merasakan tambah dekat dan tambah cinta kepada Allah SWT.
Menghadapi hal seperti itu, Beliau kemudian memutuskan untuk pindah mondok
di Ngelom-Sepanjang. Yaitu salah satu daerah yang terkenal banyak pondok
pesantrennya. Bahkan Beliau sempat matur ke Mbah Kyai Sahlan dan mengungkapkan
niat tersebut.
Nk ndiko pados ilmu agomo, ngg pancn ten mriko panggonan. Tapi, nk
madosi jati diri kal madosi tambah cinta dhateng Alloh, ngg tn mriki. [Kalau
sampeyan mencari ilmu agama, ya di sana itu memang tempatnya. Tapi, kalau mencari
jati diri dan mencari tambah cinta kepada Allah SWT, ya di sinilah tempatnya] Begitulah
jawaban Mbah Kyai Sahlan saat itu.
Mendengar jawaban seperti itu, Romo Kyai semakin gelisah. Timbul tanda tanya
besar dalam hati Beliau. Di satu sisi, sudah hampir 6 bulan lamanya Romo Kyai berada
di Pondok Sidorangu, tapi Beliau belum bisa merasakan tambah cinta kepada Allah SWT,
malah disuruh belajar ilmu alat. Sementara, di sisi lain, kok katanya di sini akan
menemukan jati diri, bisa tambah dekat dan cinta kepada Allah SWT? Di saat itulah
Beliau akhirnya memutuskan untuk patuh pada dhawuh Kyai Sahlan, yaitu melakukan
tela'ah ilmu nahwu sharaf. Spontan, ketika Beliau berniat untuk patuh pada guru, tiba-
tiba Beliau merasakan ada sesuatu yang membuat keyakinan kepada Allah SWT semakin
kuat dan bisa merasakan betul perasaan tambah dekat dan tambah cinta kepada Allah.
Beliau dalam hati mengatakan: "Iki tah sing diarani yakin iku? Yo ngn iki ta
rasan wong park lan cinta marang Gusti Allah iku? Oh ... ternyata, nk nganut guru,
akhir ketemu yo?" (Inikah yang dimaksud yakin itu? Ya begini ini ta rasanya orang kalau
dekat dan cinta kepada Allah SWT? Oh ... ternyata kalau kita taat kepada guru itu,
akhirnya ketemu juga?] Maksudnya, walaupun yang dipelajari itu nahwu sharaf yang

10
merupakan ilmu alat untuk mempelajari kitab-kitab lain, tapi, karena itu adalah perintah
guru, maka kalau dilakukan dengan tulus, dapat menjadi jalan untuk menggapai tujuan,
meskipun kelihatannya jalan yang diberikan oleh guru itu tidak sesuai dengan keinginan
kita.
Selama hampir satu setengah tahun melalui kehidupan di pondok Krian dengan
berbagai suka dan dukanya, akhirnya muncul dalam benak Beliau:
"Nang kn panas, ngorong, luw, ngelak. Nk nang omah, mangan, ngomb kari
njopok. Ws, mn aku mulh a." [Di sini panas, haus, lapar, dahaga. Kalau di rumah,
makan, minum tinggal ambil. Ya sudah, besok saya pulang saja]. Maka, besoknya,
tepatnya tahun 1963, atas persetujuan Mbah Kyai Sahlan, Beliau pun akhirnya pulang ke
Sananrejo-Turen.
Setelah pulang dari pondok Sidorangu-Krian, hari-hari Beliau di rumah lebih banyak
digunakan untuk mengaji, wiridan, baca shalawat (riyadloh) di gubuk yang saat ini telah
berubah menjadi Taman Dauroh. Kebiasaan wiridan dan baca shalawat tersebut
berlangsung kurang lebih sekitar setengah tahun lamanya yang diikuti oleh beberapa
orang dari desa setempat dan desa sekitar. Tiba-tiba, suatu saat Beliau mendengar ada
suara dari langit: "Nek ngaji nang panggonan kono, yo dadi juara I sak ndonyo, tapi
njron kosong." [Kalau mengaji di tempat sana, jadi juara 1 di dunia, tapi dalamnya
kosong]
Ketika mendengar suara tersebut, spontan Romo Kyai ingat tentang Kang Shobirin.
Pasalnya, Kang Shobirin dulu pernah mengatakan, bahwa Beliau tidak punya derajat
akhirat. Dalam hati, Romo Kyai mengatakan: Lho, nk ngono aku lak duw pangkat
akhirat. [Lho kalau begitu aku kan punya derajat akhirat]. Tak lama setelah
mendengar suara dari langit itu, Beliau kemudian kembali lagi ke pondok Sidorangu-
Krian guna menyampaikan isyarah tersebut kepada Mbah Kyai Sahlan, dan dijawab:
Nggih-nggih ngoten niku. [Iya-iya seperti itu] Beliau pun akhirnya tinggal beberapa hari
di pondok tersebut hingga dipersilahkan pulang dari pondok Sidorangu-Krian oleh Mbah
Kyai Sahlan.
Di Pondok Pesantren Sidorangu, Krian, Beliau diperlakukan sangat istimewa oleh
Mbah Kyai Sahlan. Tidak seperti santri-santri lainnya yang dipungut bayaran untuk uang
pendaftaran sebesar Rp 5.000,-, terhadap Romo Kyai, Mbah Kyai Sahlan tidak

11
memungutnya. Begitu juga halnya dengan kewajiban untuk membayar uang bulanan.
Akan tetapi, Romo Kyai Ahmad tetap memenuhi kewajibannya setiap bulan dengan cara
membayar uang bulanan tersebut.
Seluruh santri di Pondok Sidorangu wajib bekerja setiap hari, baik itu kerja di
sawah atau membangun pondok. Sebagai santri, Romo Kyai juga ikut melibatkan diri.
Akan tetapi, ketika Mbah Kyai Sahlan mengetahuinya, maka serta merta Mbah Kyai
Sahlan langsung menghampiri Romo Kyai seraya mengatakan: Pun, pun, pun. Ndiko pun
tumut-tumut. Ndiko ten guthekan mawon! [Sudah, sudah, sudah. Sampeyan tidak usah
ikut-ikut. Sampeyan di kamar saja!] Itulah yang selalu dikatakan oleh Mbah Kyai Sahlan
ketika mengetahui Romo Kyai ikut bekerja seperti santri yang lain. Walaupun demikian,
karena tidak enak dengan santri yang lain, maka setiap ada kegiatan kerja, Romo Kyai
selalu melibatkan diri seperti santri yang lain. Beliau melakukan hal itu karena Beliau
ingin menjaga agar tidak terjadi kecemburuan pada santri yang lain.
Saat masih berada di Pondok Bahrul Ulum ini, menurut sejumlah riwayat
menyebutkan bahwa, ada sebuah peristiwa unik yang terjadi --- dan tentu saja hal itu
diluar kebiasaan --- di Pondok Sidorangu. Peristiwa unik itu adalah, setiap Romo Kyai
sedang melintas, maka Mbah Kyai Sahlan serta merta mengajak semua santrinya untuk
berdiri seraya mengatakan: Ayo ngadhk, ayo ngadhk, ono rojon liwat. [Ayo berdiri,
ayo berdiri, ada rajanya lewat]
Padahal, umumnya, di pondok manapun, setiap kali ada Kyai yang juga adalah
Pengasuh Pondok sedang melintas, biasanya semua santri akan berdiri sebagai tanda
tadzim kepada Sang Kyai. Begitu juga dengan para santri di pondok Bahrum Ulum
tersebut. Setiap Mbah Kyai Sahlan melintas, semua santri biasanya berdiri untuk memberi
tadzim kepada Kyai Sahlan.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Kyai Sahlan terhadap Romo Kyai, sungguh sangat
diluar kewajaran. Pasalnya, Mbah Kyai Sahlan tidak pernah melakukan hal seperti itu
kepada siapapun. Bahkan, konon, terhadap Bung Karno yang pernah nyantri di Pondok
Bahrul Ulum pun, waktu itu, Mbah Kyai Sahlan memperlakukan Presiden RI Pertama
tersebut sebagaimana lazimnya orang kebanyakan. Bung Karno sendiri --- menurut
banyak saksi mengatakan --- selalu melangkah sambil merunduk tadzim --- seperti para
santri lainnya --- jika tengah berhadapan dengan Mbah Kyai Sahlan. Fenomena itu, tentu

12
saja, menimbulkan tanda tanya besar bagi para santri lainnya. Pertanyaan itu baru terjawab
setelah Romo Kyai mendirikan pondok di Turen ini.

2.2 Dakwah Romo kyai dan pendirian Pondok Pesantren.


Sepulang dari Pondok Sidorangu, Krian, sekitar tahun 1963, setelah dinyatakan
lulus oleh Mbah Kyai Sahlan, Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
dzikrullah dan ikut belajar pada ayah Beliau bersama banyak orang yang lainnya. Selain
itu, Beliau juga banyak mengadakan percobaan-percobaan dan mengadakan perjalanan
(lelono/musyafiran) ke berbagai tempat. Kesemua itu Beliau lakukan tidak lain adalah
untuk taqarrub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) dan agar selalu bertambah rasa
cinta Beliau kepada Allah SWT.
Dalam hal mengkaji urusan agama, taffakur dan dzikrullah, Beliau amat sangat
kuat. Bahkan, kalau sudah tenggelam dalam aktivitas tersebut, Beliau sering kali lupa
untuk makan dan istirahat. Beliau berhenti atau istirahat, biasanya, hanya waktu-waktu
sholat saja, atau saat menemui tamu. Dalam kesehariannya, Beliau selalu dalam keadaan
suci, dalam arti tidak pernah lepas dari memiliki wudlu. Senangnya Beliau melakukan
dzikrullah ini banyak diikuti oleh jamaah dari kampung setempat dan juga dari beberapa
desa lain. Bahkan, menurut kesaksian sejumlah sumber mengatakan, bahwa tempat yang
sekarang dijadikan untuk menyemayamkan jasad Beliau, dulunya juga pernah digali untuk
lubangan dengan ukuran 3 x 3 M. Di tempat itulah Beliau biasanya melakukan khalwat
bersama 2 orang yang mengikutinya.
Sebetulnya, Romo Kyai melakukan dzikrullah seperti itu, selalu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Tapi, karena sering terjadi hal-hal yang luar biasa, akhirnya
menyebabkan banyak orang yang mengetahui. Misalnya, pernah suatu ketika, banyak
orang dari desa setempat dan desa-desa yang lain, ramai-ramai datang ke pondok ini (saat
itu masih rumah). Pasalnya, mereka melihat ada cahaya yang luar biasa besarnya
memancar dari arah pondok ini. Mereka mengira cahaya tersebut adalah kebakaran. Tetapi,
setelah mereka sampai di tempat munculnya cahaya tersebut, ternyata mereka menjumpai
Romo Kyai dengan beberapa orang sedang melakukan dzikrullah.
Banyak orang-orang yang senang mengikuti dzikrullah dengan Beliau. Pasalnya,
dari pengalaman orang-orang yang pernah ikut thariqat mengatakan, untuk bisa sambung

13
dengan Allah dan untuk bisa menghidupkan satu titik latifah saja dalam tubuh manusia itu,
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ada yang menyebut, paling tidak dibutuhkan
waktu selama 10 tahun dengan tiap hari harus membaca zikir sekian ribu kali, barulah satu
titik latifah bisa menyala. Anehnya, ketika mereka mengikuti Romo Kyai berdzikir,
ternyata tidak sampai membutuhkan waktu yang lama --- hanya dalam satuan jam atau
menit dengan hanya sekian kali bacaan dzikir saja --- titik latifah dalam tubuhnya sudah
hidup dan sudah merasakan sambung dengan Allah SWT.
Selain dzikrullah setiap malam, Romo Kyai juga selalu menemani murid-
murid/santri Mbah Kyai Sholeh, ayah Beliau. Ketika ada yang mengalami kesulitan dalam
memahami pelajaran yang diberikan ayah Beliau, maka Romo Kyailah yang menerangkan.
Alhamdulillah, mereka yang mengalami kesulitan itu, ternyata jadi mudah dalam
menerimanya, seperti yang pernah dirasakan oleh Haji Dzikri AR saat mengalami kesulitan
dalam memahami ilmu nahwu sharaf.

Pendirian Pondok Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah


Pondok Pesantren tersebut mulai dibangun pada tahun 1978 oleh Ayah Bihaaru
Bahri Asali Fadlaailir Rahmah yaitu Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh
Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad. Bangunan utama
pondok dan masjid tersebut sudah mencapai 10 lantai, tingkat 1 sampai dengan 4
digunakan sebagai tempat kegiatan para Santri Pondokan, lantai 6 seperti ruang keluarga,
sedangkan lantai 5, 7, 8 terdapat toko-toko kecil yang di kelola oleh para Santriwati (Santri
Wanita), berbagai macam makanan ringan dijual dengan harga murah, selain itu ada juga
barang-barang yang dijual berupa pakaian Sarung, Sajadah, Jilbab, Tasbih dan sebagainya.
Tak hanya unik, di dalam ponpes tersebut juga tersedia kolam renang, dilengkapi perahu
yang hanya khusus untuk dinaiki wisatawan anak-anak. Di dalam komplek ponpes itu juga
terdapat berbagai jenis binatang seperti kijang, monyet, kelinci, aneka jenis ayam dan
burung.
Arsitek dari pembangunan ponpes ini bukanlah seseorang yang belajar dari ilmu
arsitektur perguruan tinggi, melainkan hasil dari istikharah pemilik pondok, KH Achmad
Bahru Mafdloludin Sholeh. Karenanya, bentuknya menjadi sangat unik, seperti perpaduan
timur tengah, china dan modern. Untuk pembangunannya pun tidak menggunakan alat-alat

14
berat dan modern seperti halnya untuk membangun gedung bertingkat. Semuanya
dikerjakan oleh para santri yang berjumlah 250 orang dan beberapa penduduk di sekitar
pondok. Romo Kiai sudah mulai membangun pondok dengan material apa adanya.
Contohnya, waktu itu adanya baru batu merah saja maka batu merah itulah yang dipasang
dengan luluh (adonan) dari tanah liat (lumpur atau ledok).
Dakwah Romo Kyai
Sepulang dari Pondok Sidorangu Romo Kyai Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir
Rahmah, beliau berdakwah, Krian, sekitar tahun 1963, setelah dinyatakan lulus oleh Mbah
Kyai Sahlan, Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk dzikrullah dan ikut
belajar pada ayah Beliau bersama banyak orang yang lainnya. Selain itu, Beliau juga
banyak mengadakan percobaan-percobaan dan mengadakan perjalanan
(lelono/musyafiran) ke berbagai tempat. Kesemua itu Beliau lakukan tidak lain adalah
untuk taqarrub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) dan agar selalu bertambah rasa
cinta Beliau kepada Allah SWT.
Dalam hal mengkaji urusan agama, taffakur dan dzikrullah, Beliau amat sangat
kuat. Bahkan, kalau sudah tenggelam dalam aktivitas tersebut, Beliau sering kali lupa
untuk makan dan istirahat. Beliau berhenti atau istirahat, biasanya, hanya waktu-waktu
sholat saja, atau saat menemui tamu. Dalam kesehariannya, Beliau selalu dalam keadaan
suci, dalam arti tidak pernah lepas dari memiliki wudlu. Senangnya Beliau melakukan
dzikrullah ini banyak diikuti oleh jamaah dari kampung setempat dan juga dari beberapa
desa lain. Bahkan, menurut kesaksian sejumlah sumber mengatakan, bahwa tempat yang
sekarang dijadikan untuk menyemayamkan jasad beliau dulunya juga pernah digali untuk
lubangan dengan ukuran 3 x 3 M. Di tempat itulah Beliau biasanya melakukan khalwat
bersama 2 orang yang mengikutinya.
Sebetulnya, Romo Kyai melakukan dzikrullah seperti itu, selalu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Tapi, karena sering terjadi hal-hal yang luar biasa, akhirnya
menyebabkan banyak orang yang mengetahui. Misalnya, pernah suatu ketika banyak orang
dari desa setempat dan desa-desa yang lain, ramai-ramai datang ke pondok ini (saat itu
masih rumah). Mereka melihat ada cahaya yang luar biasa besarnya memancar dari arah
pondok itu. Mereka mengira cahaya tersebut adalah kebakaran. Tetapi, setelah mereka

15
sampai di tempat munculnya cahaya tersebut, ternyata mereka menjumpai Romo Kyai
dengan beberapa orang sedang melakukan dzikrullah.
Banyak orang-orang yang senang mengikuti dzikrullah dengan Beliau. Dari
pengalaman orang-orang yang pernah ikut thariqat mengatakan untuk bisa sambung
dengan Allah dan untuk bisa menghidupkan satu titik latifah saja dalam tubuh manusia itu
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ada yang menyebut paling tidak dibutuhkan
waktu selama 10 tahun dengan tiap hari harus membaca zikir sekian ribu kali barulah satu
titik latifah bisa menyala. Anehnya, ketika mereka mengikuti Romo Kyai berdzikir,
ternyata tidak sampai membutuhkan waktu yang lama hanya dalam satuan jam atau menit
dengan hanya sekian kali bacaan dzikir saja titik latifah dalam tubuhnya sudah hidup dan
sudah merasakan sambung dengan Allah SWT.
Selain dzikrullah setiap malam, Romo Kyai juga selalu menemani murid-murid
atau santri Mbah Kyai Sholeh, ayah Beliau. Ketika ada yang mengalami kesulitan dalam
memahami pelajaran yang diberikan ayah Beliau, maka Romo Kyailah yang menerangkan.
Alhamdulillah, mereka yang mengalami kesulitan itu, ternyata jadi mudah dalam
menerimanya, seperti yang pernah dirasakan oleh Haji Dzikri AR saat mengalami kesulitan
dalam memahami ilmu nahwu sharaf.
Di samping itu, Romo Kyai juga sangat senang melakukan lelono, yaitu melakukan
perjalanan jauh atau musyafiran dalam bahasa Arab. Beliau senang mengunjungi tempat-
tempat Awliya, baik di Jawa maupun di Madura. Bahkan, sebagai tanda tadzim Beliau
kepada guru Beliau, yaitu Mbah Kyai Sahlan, Beliau sering melakukan silaturrahmi sekian
puluh kali. Di mana, setiap kali datang, Beliau membawa rombangan sekian bus. Hal itu
dilakukan Beliau sampai niatan Beliau juthul (tembus).
Sejak Beliau melakukan hal-hal di atas, mulai saat itu Beliau sudah banyak
menerima tamu yang datang. Baik tamu yang berasal dari kampung sekitar maupun dari
tempat yang jauh. Kebanyakan mereka yang sowan kepada Beliau, di samping itu ingin
memperdalam ilmu agama yang lebih banyak, mereka juga rata-rata ingin mendapat jalan
keluar atau bimbingan dan juga berkah dari Beliau, lantaran mereka banyak diliputi oleh
masalah (seperti masalah kesehatan, masalah ekonomi, masalah keluarga dan lain
sebagainya). Akibatnya, hari-hari Beliau pun terasa makin sibuk. Mulai setelah shalat

16
Subuh sampai jam 1 atau 2 malam, waktu Beliau banyak digunakan untuk kepentingan
menjamu para tamu yang sowan ke Beliau. Hal itu berlangsung sampai tahun 1992.

2.3 Profil Pondok Pesantren Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah.


Nama Pondok Pesantren ( Ponpes ) Salafiyah yang terletak di jalan Jl.Kh.Wachid
Hasyim,Gg.Anggur no:17,RT 027/RW 006 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen,
Kabupaten Malang ini adalah, Bihaaru Bahri Asali Fadhaailir Rahmah ( Bi Baa
Fadlrah ), Artinya yaitu Segarane , Segara, Madune, Fadhole Rahmat. Rintisan Ponpes
Bi Baa Fadhlrah ini dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru
Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai
Ahmad.
Sedang ijin kecamatan dan kepolisian setempat dilakukan tahun 1963.Sementara
ijin resmi pendirian pondok dilakukan pada tahun 2002. Adapun rekomendasi dari
Departemen Agama Kabupaten Malang dikeluarkan di Malang yang ditandatangani oleh
Kepala Departemen Agama, Kabupaten Malang, dengan Nomor : D / Mm.16 / Pontren /
153 / 2002. Sedang nomor Statistik Pontren NSPP : 512350712153. Adapun prinsip
pondok adalah setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), taat dan patuh
kepada peraturan dan perundangan yang berlaku.Menghargai dan menyayangi sesama
manusia. Sedang haluan pondok yaitu, Islam Ahlus Sunnah Wal-Jamaah.
Di resmikan Pada tahun 1978, dan sudah mulai ada santri yang menetap, Baru
pada tahun 1987 proses pembangunan pondok mulai dilakuka ( perubahan dari rumah ke
bangunan pondok ). Tapi sifatnya kecil-kecil, apa adanya hingga tahun 1992.Setelah itu
proses pembangunan sempat berhenti. Kemudian mulai membangun kembali sekitar
tahun 1998 akhir dan awal tahun 1999 yang ditandai dengan adanya aktivitas ngecor dan
pembuatan jalan serta pos.
Menurut Pak Kisyanto, salah seorang panitia Ponpes Bi Baa Fadhlrah yang
akrab disapa Pak Kis, pada tahun 1987, sebenarnya kegiatan pembangunan pondok sudah
dimulai.Tapi masih bersifat apa adanya , Karena untuk menjaga agar hati tidak toma,
kata Pak Kis ketika di temui diruang Taman Oval (29/7/08).

Dana Pembangunan

17
Lebih jauh Pak Kis mengatakan, dalam hal pendanaan, beliau punya prinsip tidak
meminta-minta, tidak tama ( tidak mengharap - harap pemberian orang ) dan tidak
pinjam.
Mencegah agar tidak toma,lanjutnya maka pada tahun 1987, Romo Kyai sudah
mulai membangun pondok dengan material apa adanya . Contohnya waktu itu adanya
baru batu bata merah saja, maka batu bata merah tulah yang dipasang dengan luluh (
adonan ) dari tanah liat ( lumpur / ledok ).
Kemudian ada orang yang datang, kok hatinya bisa merasakan enak, tenteram
dan nyaman. Setelah itu ada lagi yang datang, juga merasakan hal yang sama. Mereka
berfikir , sayang kalau pondok seperti ini kok cuma dari batu merah dan luluh. Mereka
kemudian berprakarsa untuk mengganti luluh dari lumpur dengan pasir dan gamping,
tanpa semen. Maka dikerowakilah (diganti ) sebagian demi sebagian luluh tanah liat tadi
dengan luluh pasir dan gamping. Begitulah seterusnya, sampai kemudian dibangun
seperti sekarang ini, ujar Pak Kis. Setelah itu proses pembagunan pondok
berhenti.Mpun kulo mboten mbangun. Ujar Romo Kyai seperti dikutip oleh Pak
Kisyanto.
Ketika Romo Kyai punya niat untuk berhenti membangun pondok, maka serta
merta proses pembangunan pondok pun menjadi terhenti bahkan uang seribu rupiah pun,
beliau tidak punya untuk jatah bangunan. Namun ketika beliau punya niat mau naik haji
sekeluarga dan punya keinginan untuk membangun musholla, keadaan menjadi berubah.
Apalagi setelah beliau melaksanakan haji bersama keluarga berkali-kali, Allah
menghadiai Beliau pondok seperti sekarang ini. Jadi, menurut dhawuh Beliau, pondok
ini adalah pondok hadiah.
Contoh dalam proses perolehan tanah sekitar pondok, orang yang memiliki tanah
sendiri yang menginginkan tanahnya dibeli oleh pondok.Mereka menawarkan berkali-
kali. Bahkan rela menunggu sampai pondok mau membelinya. Prinsip dana
pembangunan pondok,jika uang untuk semen,ya digunakan untuk semen. Jika untuk
beras, ya digunakan untuk beras. Jadi tenang. tidak nggrangsang. Tidak pinjam uang
yang ada dilingkungan pondok.Misalnya, jika butuh bata, ya tidak pinjam uang untuk
semen, ungkap Pak Kis.

18
Yang jelas, tegas Pak Kis, sumber dana pembangunan pondok, utamanya berasal
dari dana Romo Kyai sendiri. Selain itu, juga dari para jamaah, yang memang
menginginkan bangun pondok ini.
Beliau sendiri tidak punya keinginan untuk membangun pondok ini. Beliau
mernahke atau mengarahkan keinginan para jamaah sesuai dengan kebutuhan rohaninya.
Ada yang mohon petunjuk kepada Beliau terkait dengan harta yang dimilikinya. Ada
yang menyampaikan permasalahan. Baik yang bersifat pribadi, keluarga dan masalah
masalah lainnya. Semuanya itu atas kemauan mereka sendiri, bukan dari keinginan
Beliau, tukas Pak Kis.
Karena itu pondok tidak menerima amal jariyah dari siapapun. Pasalnya yang
namanya amal jariyah itu sebesar atau sekecil apapun, harus dimusyawarahkan terlebih
dahulu peruntukkannya kepada yang mengamanahkannya.Hal ini akan menyulitkan bagi
orang yang datang ke pondok untuk mengharapkan barokah Beliau. Sebab Barokah
tersebut akan sangat tergantung dari keridhaan dari si pemilik. Jika pondok ini dibangun
dari amal jariyah, tentunya akan sangat menyulitkan. Lain halnya jika dan tersebut
berasal dari Beliau sendiri, maka urusan jadi lebih mudah, tandas Pak Kis.
Tapi, jika ada yang mau infaq, timpal Pak Kis, bisa diterima. Namun jika ada
orang yang berkeinginan untuk pasrah sepenuhnya kepada Beliau, maka Beliau akan
menempatkannya sesuai pada fungsinya. Artinya Beliau akan menempatkan harta yang
diamanahkan itu dengan mengacu dari hasil istikharah Romo Kyai.

Tujuan Didirikannya Pondok


Sementara itu, menyinggung soal tujuan didirikannya pondok, Pak Kis
mengatakan, adalah untuk pembenahan akhlak secara menyeluruh, sebagai sarana
pembersihan hati dan menciptakan perdamaian dunia. Kalau hatinya sudah bersih dan
damai, maka orang akan lebih cinta kepada Allah SWT, yang ditandai dengan prilaku
kasih sayang terhadap sesama makhluk, dan hal itu terbukti. Ketika ditanyakan kepada
kebanyakan tamu/pengunjung yang datang, jawaban yang mereka berikan adalah , hati
mereka merasa damai, bahagia, tenang, tentram dan bisa merasakan hilangnya penyakit-
penyakit hati. Bahkan, banyak yang mengaku bahwa mereka belum pernah merasakan

19
perasaan yang seperti ini sebelumnya. Selain itu, tidak sedikit orang yang mengaku,
setelah datang kepondok, penyakit jasmaninya menjadi sembuh, ungkap Pak Kis.
Menjawab pertanyaan.Pak Kis mengatakan, hingga sekarang, pemerintah
mendukung dan memberikan tanggapan positif terhadap keberadaan pondok. Yang jelas,
dalam konsep pembangunan di pondok ini, Romo Kyai selalu memperhatikan semua
unsur kehidupan yang ada di dalam pondok.
Konsep Pembangunan
Sementara itu, menurut Pak Kis, konsep pembangunan pondok ini dilakukan atas
dasar fungsi, yang termasuk didalamya adalah ; kuat, cepat, hemat, dan indah. Yaitu, kuat
dalam kontruksi, cepat dalam arti segera dilaksanakan, dan tepat waktu dalam
penyelesaian, tepat dalam ukuran dan takaran, tepat dalam teknis dan sasaran, efektif dan
efesien dalam pemakaian bahan serta bersih, rapi dan indah. Jika dibangun atas dasar
fungsi tersebut,maka otomatis variable yang lain sudah termasuk didalamnya.Untuk
fungsi itu lah,makanya bangunan dipondok ini,tidak ada yang sama antara satu tempat
dengan tempat lainnya.
Karena masing-masing fungsi tidaklah sama. Jadi konsep pembangunan pondok
ini,sesungghnya berjalan atas kehendak Allah. Sedang yang menjadi arsiteknya adalah
Romo Kyai. Jadi, Romo Kyai tidak pernah meniru atau mencontoh konsep pembangunan
ditempat lain untuk dipakai disini.Karena memang fungsinya tidak sama, Kata Pak Kis.
Contohnya, imbuh Pak Kis yang terbaru disampaikan adalah mengenai pos
depan. Yang punya masalah diselesaikan melalui pembangunan pos depan. Ketika pos
tersebut diberi satu ornamen bintang, kemudian ditanyakan kepada yang bersangkutan.
Ketika dijawab, misalnya,masalahnya sudah berkurang tapi belum plong. Lantas
ditambah dengan satu ornamen bintang lagi, kemudian ditambah ornamen lain lagi
sampai yang bersangkutan bisa merasakan benar-benar plong. Bahkan sampai warnanya
sekalipun, semua juga tidak tahu akhirnya seperti itu.
Karena itu, lanjutnya, bagi yang mempunyai masalah dan mengeluarkan dananya,
termasuk yang mengerjakan yang memanfaatkan,hingga yang memandang sekalipun,
bisa merasakan dan mengambil fungsinya. Jadi yang menandai, bisa merasakan bahagia
dan terselesaikan masalahnya. Demikian pula bagi yang mengerjakan dan menikmati
hasilnya.

20
Menjawab pertanyaan, Pak Kis menjelaskan, pihaknya tidak tahu bagaimana
akhir dan proses pembangunan pondok ini. Semua tidak ada yang tahu, kecuali Romo
Kyai sendiri. Yang jelas kalau kondisi keuangan seperti sekarang ini taraf pembangunan
pondok baru mencapai sekitar 20 persen. Tapi, kalau masayarakat dunia mengehendaki
dan kondisi keuangan sudah mencapai triliyunan, maka kondisinya saat ini belum
mencapai seperempat persen katanya.
Contoh , kata Pak Kis, di sebelah musholla itu ada kubah. Padahal, ketika tahun
1992 lalu, bangunan ini merupakan bangunan yang paling besar dan megah. Namun,
sekarang, kubah tersebut malah menjadi tiang saja. Romo Kyai sendiri pernah bilang,
jika memang ada dana trilliyunan, maka semua ruangan yang sekarang ini, hanya akan
menjadi tiang saja nantinya, ujar Pak Kis.

Tidak Meniru
Dan yang terpenting, lanjutnya, belau berprinsip mengutamakan fungsi, kemudian
bagus / indahnya. Kalau fungsi pasti bagus / indah, sedangkan bagus dan indah, belum
tentu fungsi.
Terkait dengan maraknya penilaian negatif dari masayarakat yang
berkembang,selama ini, pihak pondok tetap berusaha meluruskannnya. Bagi Beliau
sendiri,adanya isu negatif itu justru dijadikan sebagai bahan koreksi kedalam ( intropeksi
diri ). Apakah pondok kurang bersih, atau karena lainnya.Beliau tidak pernah menyalahkan
sikap orang lain kepada pondok, tandas Pak Kis. Yang jelas prinsipnya, Romo Kyai tidak
pernah menyalahkan siapapun. Semua dikembalikan kepada diri sendiri

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

22

Anda mungkin juga menyukai