Santri, adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pondok pesantren.
Jumlah santri biasanya menjadi tolak ukur perkembangan pondok pesantren.
Manfred Ziemek (1986), membedakan santri menjadi dua, yakni: santri mukim dan
santi kalong. Santri mukim adalah santri yang bertempat tinggal di pondok
pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinnggal di luar pondok
pesantren dan santri yang mengunjungi pondok pesantren secara teratur untuk
belajar agama. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang mengaji di langgar-
langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang hari mereka
pulang ke rumah.
santri dengan variasi umur dewasa, remaja dan anak-anak yang tinggal bersama di
pondok pesantren, sebenarnya dapat menghasilkan proses sosialisasi yang
sedemikian efektif di kalangan mereka, khususnya sosialisasi anak-anak dengan
santri yang lebih dewasa, dan sebaliknya.
Namun demikian, kemungkinan lainnya dapat terjadi penyimpangan-penyimpangan
dalam perkembangannya, yakni terlalu cepatnya perkembangan psikis santri anak-
anak dan remaja, mengikuti santri dewasa. Akitnya akan terlihat tingkah laku
mendewasakan diri pada santri muda tersebut.
Masjid, adalah sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren
serta dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mmendidik para santri,
misalnya dalam praktik shalat berjamaah lima waktu, khutbah, sembahyang jum’at,
dan pengajian kitab-kitab Islam klasik.
Pondok asrama para santri, merupakan ciri khas tradisi pondok pesantren yang
membedakannya deengan sistem tradisional di masjid-masjid yang kini berkembang
di Negara lainnya. Bahkan sistem pondok di pesantren membedakannya pula dengan
sistem pendidikan surau atau masjid yang akhir-akhir ini tumbuh dan berkembang
sedemikian pesat.
Sebuah pondok pesantren, pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional, di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
seorang kiai. Asrama para santri tersebut berada di kompleks pesantren di mana
sang kiai juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas masjid sebagai tempat
ibadah, ruang belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks pondok pesantren
pada umumnya dikelilingi dengan pagar atau tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku.
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982), ada tiga alasan mengapa pondok pesantren
harus menydiakan asrama bagi santri, yakni: pertama kemasyhuran seorang kiai dan
kedalaman pengetahuannya tentang agama Islam menarik santri-santri yang jauh.
Untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang
lama, dan santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap
didekat kediaman kiai. Kedua, hampir semua pondok pesantren berada di desa-desa
di mana tidak tersedia perumahan (akomudasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana para
santri menganggap kiainya seolah sebagai bapaknya sendiri, sadangkan kiai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi dan
dibimbing. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk
saling berdekatan.
pengajaran kitab-kitab Islamklasik, terutama karangan ulama Syafi’iyah, merupakan
satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di lingkungan pondok
pesantren. Tujuan utama pengajaran ini adalah calon-calon ulama. Para santri yang
di pondok pesantren untuk jangka waktu pendek dan tidak bercita-cita menjadi
ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman
perasaan atau jiwa keagamaannya.
Sekarang, meskipun di kebanyakan pondok pesantren telah memasukkan materi
pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikannya, namun
pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan
tujuan utama pondok pesantren mendidik calon ulama yang setia kepada paham
Islam tradisional (Zamakhsyari Dhofier, 1982). Keseluruhan kitab-kitab Islam klasik
yang diajarkan di pondok pesantren dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu: (a)
bahasa, (b) Al-Qur’an, (c) al-hadits, (d) tauhid, (e) fikih dan (f) tasawuf. Lebih lanjut
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Komponen bahasa, terdiri dari bahasa Arab dan Inggris. Untuk bahasa Arab, di
sajikan materi nahwu (Imriti dan Nahw al-Wadih), sarraf (Amsilat al-Tasrifiyyah,
Matnulbina, kailani, Alfiyah Ibn Malik, Mutammimah), balaghah, dan mantiq.
b. Komponen Al-Qur’an, terdiri dari: qiraat (tajwid: Hidayatus Sibyan, Tuhfatul Atfal,
Hidayatul Mustafid, Mursyidul Wildan, dan Syifaur Rahman), tafsir (Jalalain,
Maraghi, dan terjemahan Departemen Agama RI), dan Ulum Al-Qur’an.
c. Komponen hadits, terdiri dari: matan hadits (Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-
Hadits, Bulugh al-Maram, Jawahir al-Bukhari) dan Ulum al-Hadits (Minhaju al-
Mughits).
d. Komponen tauhid, tediri dari: aqaid 50 dan ilmu kalam yang diambilkan dari kitab
Kifayatul ‘Awam, Aqidah Islamiyah, Jawahir al-Kalimiyah, Tuhfatul Murid, Husn
al-Hamidiyah, dan sebagainya.
e. Komponen fiqh, terdiri dari: fiqh, usul fiqh dan qawaid al-fiqh yang diambilkan
dari kitab Safinah al-Annajah, Matan Taqrib, Minhaj al-Qawim, Kifayah al-Akhyar,
Sullam, Fath Mu’in, Waraqat dan sebagainya.
f. Komponen tasawuf, terdiri dari: tasawuf perilaku, tasawuf illmu, dan tasawuf
organisasi (tareqat), yang merujuk pada kitab al-Wasaya al-Abna’, Ta’lim al-
Muta’allim Minhajul ‘Abidin, Irsyadul ‘Ibad, Risalah al-Mu’awanah wa al-
Mudaharah wa al-Muwazarah, dan sebagainya.
Sebagai santri yang saling menyayangi, aku tidak pisah dari kawan yang lain
dalam segala hal. Hidup rukun dan desa Kedungpring sebagi pesantren
merupakan keluarga besar yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain.
Hubungan batin antara kami dan keluarga kiai sangat eratnya, keluarga besar
yang dilindungi oleh bapak dunia-akhirat. Hidup begini kami rasa tenteram di
bawah lindungan surau dan kiai yang alim. Kami percaya di sinilah letak dunia
kami, hidup damai dan diridhai Allah.