Anda di halaman 1dari 11

A.

SEJARAH KARAKTERISTIK DAN PANCA JIWA PONDOK PESANTREN


1. SEJARAH PONDOK PESANTREN
Pondok pesantren adalah pondok pesantren. Penyataan ini penting
dikemukakan untuk menyatakan perbedaan karakteristik antara institusi pendidikan
ini dengan institusi lainnya, seperti tentang sejarah pertumbuhannya, komponen –
komponen kelembagaannya, dan pola hidup keseharian warga institusinya.
Hasil studi Ronald Alan lukens Bull (1977), doctor yang menekuni studi
pondok pesantren asal Amirika, menunjukkan bahwa sebagai lembaga pendidikan
Islam, pondok pesantren pertama kali dirintis oleh syaikhhMaulana Malik Ibrahim
pada tahun 1399 M untuk menyebarkan islm di jawa. Selanjutnya, dia menelusuri
bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren
adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pertama kali didirikan pondok pesantren di
Kembangkuning dan waktu hanya memiliki tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo,
Abu Hurairoh, dan Kiai Bangkuning. Setelah itu pindah ke Ampel Denta Surabaya dan
mendirikan pondok pesantren, sehingga akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan
Ampel. Selanjutnya, muncul pondok pesantren baru yang didirikan oleh para santri
dan putranya, seperti Pondok Pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pondok Pesantren
Demak oleh Raden Patah, dan Pondok Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang
(Wahjoetomo, 1977:70). Fungsi pondok pesantren pada awalnya hanya sebagai
media Islamisasi yang memadukan tiga unsur, yakni: ibadah untuk menanamkan
iman, tabligh, untuk menyebarkan Islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan
kegiatan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena ini, untuk memahami pondok pesantren secara lebih utuh,
harus dilakukan kajian dari berbagai aspek, terutama aspek kesejarahan dan
pertumbuhan pondok pesantren. Berdasrkan pelacakan referensi, wawancara dan
observasi yang sering kami lakukan setelah lebih dua dasawarsa menekuni studi
tentang pondok pesantren, dihasilkan banyak informasi mengenai tradisi
pertumbuhan institusi yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok pesantren.
Awl mula ada seorang ‘alim (yang mendalam ilmu pengetahuan agamanya, baik
akhlaknya, dan tekun ibadahnya) berdomisili disuatu tempat. Beliau berasal dari
komunitas penduduk asli daerah tersebut yang baru pulang kampung setelah lama
menuntut ilmu, ataupun berasal dari daerah lain yang sengaja datang untuk
mengamalkan ilmu dan menyebarkan agama Islam.
Setelah beberapa waktu masyarakat mulai mengatahui bahwa orang ‘alim
tersebut memiliki kelebihan-kelebihan dalam berbagai bidang yang tidak dimiliki
kebanyakan orang dan orang tersebuut kemudian disebut kiai. Masyarakat
selanjutnya berdatangan untuk meminta fatwa atau bimbingan tentang berbagai
persoalan hidup, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaa. Hal
ini tentu saja sangat menggembirakan sang kiai, karena dinilai sejalan dengan hasrat
kiai dan niat semula mngembangkan ajaran Islam dan sesuai dengan harapan
kebutuhan umat. Akhirnya dengan penuh keramahan dan suka cita, kiai menyambut
kedatangan orang-orang tersebut dan berusaha untuk memberikan bimbingan,
pendidikan, dan pengajaran agama Islam yang mereka butuhkan. Orang-orang
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan santri.
Semula, para santri yang datang diterima dan difalisitasi di rumah kiai. Rumah
kiai itulah yang awalnya dijadikan sebagai pusat kegiatan ibadah, pembelajaran, dan
pendidikan. Tetapi karena semakin lama semakin banyak masyarakat yang datang
dengan maksud dan tujuan yang sama, rumah kiai pun akhirnya tidak memadai lagi
untuk menampung para santri, sehingga muncul inisiatif dari para santri dan kiai
dengan dukungan masyarakat untuk mendirikan langgar atau masjid, sebagai pusat
kegiatan ibadah, pendidikan, dan belajar sehari-hari, serta pondokan tempat para
santri tersebut beristirahat, melakukan pendalaman, dan brmalam.
Selanjutnya, untuk memudahkan segala urusan, maka terjadilah kesepakatan
antara kiai dan santri tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan,
pengajaran, pondok, dan tata cara kehidupan mereka sehari-hari. Hubungan antara
mereka pada umumnya berjalan dalam suasana penuh kesederhanaan, keikhlasan,
kemandirian, dijiwai oleh nilai-nilai ukhuwah dan ajaran-ajaran Islam, dan
berlangsung dalam suatu tradisi yang penuh harmoni.
Bangunan pondok tersebut ternyata bertambah dari waktu kewaktu, seiring
dengan bertambahnya santri. Akhirnya dengan bantuan dari masyarakat sekitar
yang menaruh simpati, berkembanglah pemukiman tersebut menjadi “kampus atau
kompleks”, tempat para santri beridah, mencari ilmu, dan berinteraksi dengan kiai
sebagai tokoh sentralnya yang menjadi panutan para santri dalam kehidupan sehari-
hari. Itulah sebabnya, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama atau istilah
pondok pesantren. Pondok berarti “tempat tinggal”, sedang pesantren merupakan
“penyantrian”, yang memiliki dua arti, yaitu “tempat santri” atau “proses
menjadikan santri”.
Hsil penelitian LP3ES berhasil menjelaskan cikal bakal pertumbuhan pondok
pesantren bermula dari pengakuan suatu kalangan, bahkan lingkukan masyarakat
tertentu, akan kelebihan dalam bidang ilmu agama dan kesalehan seorang ulama,
sehingga penduduk sekitar banyak yang datang untuk belajar menuntut ilmu pada
ulama. Oleh masyarakat, ulama tersebut kemudian di panggil kiai, sementara yang
belajar kepadanya disebut santri. Selanjutnya dibangun mushalla/masjid, di samping
berfungsi sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat pengajian dan pendidikan.
Karena para santri yang datang semakin banyak dan tidak terbatas dari kalangan
terdekat, maka didirikan pondok (Sudjoko Prasodjo, 1974).
Dari deskripsi tersebut kian memperjelas akar sejarah pertumbuhan pondok
pesantren. Kiai adalah figure utama yang menjadi panutan, lembaga ini didirikan
bersama-sama oleh masyarakat yang peduli dan mempunyai kometmen untuk
tafaqquh fiddin. Di institusi ini ada beberapa komponen utama, yakni: kiai, santri,
mushalla/masjid, pengajian kitab, dan pondok, Pola kehidupan di institusi ini
diwarnai dengan kesederhaan, keikhlasan, kemandirian, ukhuwah diniyah, dan jiwa
bebas yang bertanggung jawab. Integrasi lima komponen utama dan pola kehidupan
yang dikenal dengan panca jiwa ini yang akhirnya membedakan pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam dengan berbagai institusi lembaga pendidikan
lainnya. Inilah akar sejarah pondok pesantren dalam membina santri menjadi lulusan
yang berwatak.
Selain itu, sebagaimana dikemukakan, bahwa sebuah lembaga disebut
sebagai pondok pesantren karena telah memiliki lima komponen utama, yakni: kiai,
santri, mushalla/masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, dan pondok/asrama
dengan system pengajaran sorogan, bondongan, dan weton dengan materi
kurikulum sepenuhnya ajaran agama. Pondok pesantren tipe seperti ini termasuk
dalam kategori pondok pesantren salafi atau tradisional. Namun demikian, ketika
dilakukan upaya-upaya inovasi sebagai hasil temuan-temuan baru sehingga
komponen pondok pesantren bertambah, seperti pengembangan pendidikan
keterampilan, pengembangan sistem pendidikan klasikal (sekolah umum atau
madrasah), maka kategori pondok pesantren dengan sendirinya berubah dari
kategori pondok pesantren salafi menjadi pondok pesantren khalafi.
Sekarang, dan lebih-lebih di masa-masa depan dalam perkembangan
mutakhir, pemtumbuhan pondok pesantren tidak selalu sama dengan akar sejarah
pertumbuhan pondok pesantren di masa lalu, seperti: ada pondok pesantren yang
pertama kali dirintis adalah bangunan pondoknya tanpa dikketahui siapa yang
menjadi kiai; ada pondok pesantren yang pertama kali dirintis adalah lembaga-
lembaga pendidikan klasiknya, dan sebagainya. Inilah bagian dari varian pondok
pesantren yang memang sangat variatif, sehingga akar sejarah pertumbuhan pondok
pesantren selalu tidak sama antara pondok pesantren yang satu dengan pondok
pesantren yang lain. Tetapi yang menarik, meskipun pondok pesantren telah
melintasi proses sejarah melebihi lima abad, pondok pesantren tetap eksis.
Eksistensi pondok pesantren, selain ditentukan karena lembaga ini adalah asli
Indonesia untuk melakukan pemberdayaan umat, di pihak lain, eksistensi pondok
pesantren dalam perubahan zaman ternyata menunjukkan kesinambungan dan
perubahan. Kesinambungan terkait dengan pengembangan ajaran Islam, perubahan
terkait dengan performance pondok pesantren dalam menyikapi perubahan zaman
dari waktu ke waktu.
Akar sejarah pondok pesantren sebagaimana bahasan tersebut telah banyak
dipahami. Dalam fungsi ini, peran pondok pesantren diakui sangat besar, meskipun
beberapa kalangan hanya memasukkannya sebagai bagian dari sejarah masa lalu,
yang sering kali belum dipahami justru seperti ditegaskan oleh A. Mukti Ali (1987),
bahwa pondok pesantren adalah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam. Meskipun berfungsi dalam kegiatan dakwah, ia tetap lembaga pendidikan
Islam dan bukan lembaga dakwah. Meskipun mempunyai banyak saham dalam
pengembangan masyarakat, ia tetap sebagai lembaga pendidikan Islam dan bukan
sebagai lembaga pengembangan masyarakat (agent of rural development).
2. Karakteristik Pondok Pesantren
Proses pertumbuhan pondok pesantren sebagaimana dideskkripsikan
sebelumnya ternyata bebeda di berbagai tempat, baik bentuk maupun kegiatan
kurikulernya. Meskipun demikian, masih ditemukan adanya pola yang sama.
Persamaan pola tersebut oleh A. mukti Ali dibedakan dua segi: segi fisik dan segi
nonfisik. Segi pertama terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada
setiap pondok pesantren, yaitu: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan
panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) masjid sebagai
penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan (d) pondok sebagai
asrama untuk mukim santri. Sedanag segi kedua, komponen non fisik, yaitu
pengajian (pengajaran agama) yang di sampaikan dengan berbagai metode yang
secara umum memiliki keseragaman, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik
dan buruk yang menjadi dasar kehidupan dan perkembangan pondok pesantren.
Zamakhsyari Dhofier merumuskan pola yang sama denngan A. Mukti Ali, hanya
menurut Dhofier dalam komponen non fisik dititikberatkan pada pengajaran kitab-
kitab Islam klasik, karena tanpa pengajaran kitab-kitab Islam klasik, maka pondok
pesantren dianggap bukan lagi asli (indigenious).
Dengan demikian, maka secara umum komponen utama pondok pesantren
yang akan dideskripsikan lebih lanjut terdiri dari: kiai, santri, mushalla/masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (zamakhsyari Dhofier, 1982 dan
Manfred Ziemek, 1986). Kiai, dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pondok
pesantren, karena kiailah yang selalu memberi bimbingan, pengarahan, dan
pendidikan kepada para santi. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam
proses pengembangan diri. Pendidik lainnya, yang biasa berstatus sebagai
pembantu, dikenal dengan istilah ustadz atau santri senior. Kiai, dalam pengertian
umum, adalah pendiri dan pimpinan pondok pesantren, yang sebagai Muslim
terpelajar telah membaktikan hidupnya demi Allah, menyebarluaskan serta
memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Isalm melalui kegiatan pendidikan
(Zamakhsyari Dhofier, 1982).
Dalam masyarakat tradisional, seorang dapat disebut kiai kareana ia diterima
masyarakat sebagai kiai, karena orang datang meminta nasihat kepadanya, atau
mengizinkan anaknya supaya belajar kepada kiai. Dan tidak ada persyaratan tertentu
yang sifatnya formal untuk menjadi kiai, tetapi terdapat beberapa hal yang menurut
Karel A. Steenbrink (1986) dijadikan sebagai tolak ukur, yaitu: pengetahuannya,
keshalehannya, keturunnya, dan jumlah santrinya.
Profil kiai, dengan amat menarik, pernah digambarkan oleh Hiroko Horikoshi
(1987), sebagai berikut:
Kiai menduduki posisi ssenntral dalam masyarakat Islam tradisional dan
menyatukan berbagai golongan hingga hingga mampu melakukan tindakan kolektif,
jika diperlukan. Dia mengambil peran sebagai poros hubungan antara umat dengan
Tuhan. Pada pandangan sebagian besar pengikutnya, kiai adalah contoh Muslim
ideal yang hendak mereka capai. Dia seorang yang dianugerahkan pengetahuan dan
rahmat Tuhan. Sifat hubungan antara kiai dan masyarakat adalah kolektif. Kiai
terkesan sebagai pemimpin simbolis yang tak gampang ditiru oleh orang biasa.
Beberapa orang terdekat menghubungkan kiai dengan masyarakat, tetapi atas nama
pribadi.
Kiai dalam kehidupan pondok pesantren merupakan komponen yang paling esensial.
Ia sering kali, bahkan merupakan pendirinya, sehingga wajar jika pertumbuhan
suatu pondok pesantren amat tergantung pada kemampuan pribadi kiai.

Santri, adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pondok pesantren.
Jumlah santri biasanya menjadi tolak ukur perkembangan pondok pesantren.
Manfred Ziemek (1986), membedakan santri menjadi dua, yakni: santri mukim dan
santi kalong. Santri mukim adalah santri yang bertempat tinggal di pondok
pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinnggal di luar pondok
pesantren dan santri yang mengunjungi pondok pesantren secara teratur untuk
belajar agama. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang mengaji di langgar-
langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang hari mereka
pulang ke rumah.

santri dengan variasi umur dewasa, remaja dan anak-anak yang tinggal bersama di
pondok pesantren, sebenarnya dapat menghasilkan proses sosialisasi yang
sedemikian efektif di kalangan mereka, khususnya sosialisasi anak-anak dengan
santri yang lebih dewasa, dan sebaliknya.
Namun demikian, kemungkinan lainnya dapat terjadi penyimpangan-penyimpangan
dalam perkembangannya, yakni terlalu cepatnya perkembangan psikis santri anak-
anak dan remaja, mengikuti santri dewasa. Akitnya akan terlihat tingkah laku
mendewasakan diri pada santri muda tersebut.

Masjid, adalah sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren
serta dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mmendidik para santri,
misalnya dalam praktik shalat berjamaah lima waktu, khutbah, sembahyang jum’at,
dan pengajian kitab-kitab Islam klasik.

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pondok pesantren


merupakan manifestasi universitas sistem pendidikan tadisional, di mana sistem
pendidikan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. Juga mengabil
tempat di masjid, yang seakan-akan kini terpancar dalam praktik pendidikan di
pondok pesantren. Sejak zaman Nabi Saw., masjid telah menjadi telah menjadi pusat
pendidikan Islam. Di mana pun kaum muslimin berada, mmereka, kata Zamakhsyari
Dhofier (1982), selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat
pendidikan, aktivitas administrasi dan kultural, yang hingga kini telah berlangsung
selama 14 abad. Bahkan, di zaman sekarang pun di daerah di mana umat Islam
belum begitu terpengaruh oleh kehiidupan Barat, ditemukan para ulama yang
dengan penuh pengabdian mengajar murid-muridnnya untuk meneruskan tradisi
yang telah terbentuk sejak zaman permulaan Islam.

Lembaga-lembaga pondok pesantren, khususnya di jawa, menjaga terus tradisi ini.


Para kiai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai
tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam
mengerjakan shalat lima waktu, mendapatkan pengegemblengan mental,
pengetahuan agama, dan sebagainya. Seorang kiai yang ingin mengembangkan
pondok pesantren, terlebih dahulu biasanya mendirikan masjid di dekat rumahnya.
Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan
sanggup memimpin pondok pesantren.

Pondok asrama para santri, merupakan ciri khas tradisi pondok pesantren yang
membedakannya deengan sistem tradisional di masjid-masjid yang kini berkembang
di Negara lainnya. Bahkan sistem pondok di pesantren membedakannya pula dengan
sistem pendidikan surau atau masjid yang akhir-akhir ini tumbuh dan berkembang
sedemikian pesat.

Sebuah pondok pesantren, pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional, di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
seorang kiai. Asrama para santri tersebut berada di kompleks pesantren di mana
sang kiai juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas masjid sebagai tempat
ibadah, ruang belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks pondok pesantren
pada umumnya dikelilingi dengan pagar atau tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku.

Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982), ada tiga alasan mengapa pondok pesantren
harus menydiakan asrama bagi santri, yakni: pertama kemasyhuran seorang kiai dan
kedalaman pengetahuannya tentang agama Islam menarik santri-santri yang jauh.
Untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang
lama, dan santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap
didekat kediaman kiai. Kedua, hampir semua pondok pesantren berada di desa-desa
di mana tidak tersedia perumahan (akomudasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana para
santri menganggap kiainya seolah sebagai bapaknya sendiri, sadangkan kiai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi dan
dibimbing. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk
saling berdekatan.
pengajaran kitab-kitab Islamklasik, terutama karangan ulama Syafi’iyah, merupakan
satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di lingkungan pondok
pesantren. Tujuan utama pengajaran ini adalah calon-calon ulama. Para santri yang
di pondok pesantren untuk jangka waktu pendek dan tidak bercita-cita menjadi
ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman
perasaan atau jiwa keagamaannya.
Sekarang, meskipun di kebanyakan pondok pesantren telah memasukkan materi
pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikannya, namun
pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan
tujuan utama pondok pesantren mendidik calon ulama yang setia kepada paham
Islam tradisional (Zamakhsyari Dhofier, 1982). Keseluruhan kitab-kitab Islam klasik
yang diajarkan di pondok pesantren dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu: (a)
bahasa, (b) Al-Qur’an, (c) al-hadits, (d) tauhid, (e) fikih dan (f) tasawuf. Lebih lanjut
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Komponen bahasa, terdiri dari bahasa Arab dan Inggris. Untuk bahasa Arab, di
sajikan materi nahwu (Imriti dan Nahw al-Wadih), sarraf (Amsilat al-Tasrifiyyah,
Matnulbina, kailani, Alfiyah Ibn Malik, Mutammimah), balaghah, dan mantiq.
b. Komponen Al-Qur’an, terdiri dari: qiraat (tajwid: Hidayatus Sibyan, Tuhfatul Atfal,
Hidayatul Mustafid, Mursyidul Wildan, dan Syifaur Rahman), tafsir (Jalalain,
Maraghi, dan terjemahan Departemen Agama RI), dan Ulum Al-Qur’an.
c. Komponen hadits, terdiri dari: matan hadits (Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-
Hadits, Bulugh al-Maram, Jawahir al-Bukhari) dan Ulum al-Hadits (Minhaju al-
Mughits).
d. Komponen tauhid, tediri dari: aqaid 50 dan ilmu kalam yang diambilkan dari kitab
Kifayatul ‘Awam, Aqidah Islamiyah, Jawahir al-Kalimiyah, Tuhfatul Murid, Husn
al-Hamidiyah, dan sebagainya.
e. Komponen fiqh, terdiri dari: fiqh, usul fiqh dan qawaid al-fiqh yang diambilkan
dari kitab Safinah al-Annajah, Matan Taqrib, Minhaj al-Qawim, Kifayah al-Akhyar,
Sullam, Fath Mu’in, Waraqat dan sebagainya.
f. Komponen tasawuf, terdiri dari: tasawuf perilaku, tasawuf illmu, dan tasawuf
organisasi (tareqat), yang merujuk pada kitab al-Wasaya al-Abna’, Ta’lim al-
Muta’allim Minhajul ‘Abidin, Irsyadul ‘Ibad, Risalah al-Mu’awanah wa al-
Mudaharah wa al-Muwazarah, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, banyak pengatahuan umum diberikan kepada santri.


Ini isyarat nyata bahwa pondok pesantren harus mengacu pada program system
pendidikan nasional, yang dalam pengamatan Nurcholish Madjid (dalam M.
Dawam Rahardjo, ed., 1985) dianggap sebagai berkecenderungan ke arah
konvergensi, yakni suatu hasil bentuk saling pengertian, mutual understanding,
dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima, atau
yang disebut eklektif-inkorforatif oleh Imam Barnatib (1988), yakni mengambil
ajaran-ajaran kefilsafatan yang merupakan kenyataan dan kebenaran atau
disebut eklektis, dengan dilepaskan dari dasar system atau aliran filsafat yang
bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan yaitu dimasukkan dalam struktur
filsafat Pancasila. Peengetahuan umum dimaksud adalah kurikulum pendidikan
keterampilan, matemetika, fisika, kimia, dan bahasa, sehingga pondok pesantren
tidak sekadar mengajarkan pengetahuan agama Islam saja, tetapi juga
pengetahuan umum, dan masih berlangsung sampai sekarang.
Ke depan, peluang pengembangan komponen pondok pesantren semakin
terbuka. Pondok pesantren yang berupaya melakukan standarisasi pendidikan
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system
pindidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, maka sudah seharusnya
jika pondok pesantren tersebut melakukan pembenahan-pembenahan dalam
semua aspek, tetapi harus dengan tiga syarat: pondok pesantren perlu
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pondok pesantren perlu
merespons harapan masyarakat, tetapi pondok pesantren harus tetap menjaga
kekhassan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan pendidikan Islam.

3. Panca Jiwa Pondok Pesantren

Pola kehidupan pondok pesantren termanefestasikan dalam istilah “panca


jiwa”, di mana di dalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam
proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa tersebut adalah jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa
kebebasan yang bertanggung jawab.
Jiwa keikhlasan. Jiwa ini tergammbar dalam dalam ungkapan (sepi ing
pamrih”, yaitu perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak
dimotivasi oleh keingingan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini
tampak pada orang-orang yang tinggal di pondok pesantren, mulai dari kiai, jajaran
ustadz, hingga para santri. Dari sinilah kemudian tercipta suasana harmonis antara
kiai yang disegani dan santri yang menaati suasana yang didorong oleh jiwa yang
penuh cinta dan penuh hormat. Oleh karena belajar dianggap sebagai ibadah, maka
menurut Wolfgang Karcher (1988: 251), ia menimbulkan tiga akibat, yaitu: (1)
berlama-lama di pesantren tidak pernah dianggap sebagai suatu masalah, (2)
keberadaan ijazah sbagai tanda tamat belajar tidak terlalu dipedulikan, dan (3)
lahirnya budaya restu kiai yang terus bertahan hingga saat ini.
Jiwa kesederhanaan. Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana
kesederhanaan yang bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat,
nrimo, dan miskin, melainkan mengandung unsur kekuatan hati, ketabahan, dan
pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga
diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani, bergerak maju, dan pantang mundur
dalam segala keadaan. Dengan kata lain, di sinilah awal tumbuhnya kekuatan
mental dan karakter yang menjadi syarat bagi suksesnya suatu perjuangan dalam
segala bidang kehidupan.
Jiwa kemandirian. Berdikari, yang biasanya dijadikan akronim dari, “berdiri di
atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar mengurus
keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan
kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak
lain. Selain itu, dilihat dari sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren kebanyakan
dirintis oleh kiai denagn hanya mengandalkan dukungan dari santri dan masyarakat
sekitar-dimana mereka memang membutuhkan kehadiran kiai dan pondok
pesantren di wilayah mereka-sehingga jiwa kamandirian tak ubahnya fondasi utama
bagi perintis pondok pesantren.
Jiwa Ukhuwah Islamiyah. Suasana kehidupan di pondok pesantren selalu
diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang
tampak dirasakan bersama-tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan yang
melegitimasinya,. Tidak ada lagi pembatas yang memisahkan mereka, sekalipun
mereka, sekalipun merka sejatinya berbeda-beda dalam aliran politik, sosial,
ekonomi, dan lain-lain baik selama berada di pondok pesantren maupun setelah
pulang kerummah masing-masing.
Jiwa kebebasan. Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup kelak
di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya-dengan berbekal
jiwa yang besar dan optimisme yang mereka dapatkan selama ditempat di pondok
pesantren-selama hal itu masih dianggap dengan sejalan dengan nilai-nilai
pendidikan yang mereka dapatkan di pondok pesantren. Ditinjau dari sudut pandnag
pondok pesantren itu sendiri, ia juga telah terbiasa bebas dari campur tangan asing
dan pengaruh dari luar. Itulah mengapa pondok pesantren biasanya merupakan
lembaga swasta dalam arti penuh.
Dalam rumusan lain, yang secara substansial tidak berbeda dengan konsep
“panca jiwa” pondok pesantren, adalah sebaigamana dikemukakan oleh A. Mukti Ali
(1987: 19-20) sebagai berikut:
a. Adnya hubungan akrab yang terjalin antara santri dan kiai. Dalam hubungan ini,
kiai tampak begitu perhatian terhadap para santrinya dan hal ini dimungkinkan
karena mereka sama-sama tinggal di dalam satu kompleks.
b. Tunduknya santri kepada kiai. Santri mengangap bahwa menentang kiai, selain
tidak sopan, juga dilarang agama.
c. Gaya hidup hemat dan sederhana benar-benar dijalankan di pondok pesantren.
Dengan kata lain, gaya hidup mewah dan glamour tidak tampak di sana hingga,
tidak sedikit santri yang hidupnya tampak terkesan terlalu sederhana atau
terlampau hemat sampai kurang memerhatikan kondisi kesehatan mereka.
d. Semanagat kemandirian amat terasa di pondok pesantren. Para santri mencuci
pakaian mereka sendiri, membersihkan kamar tidur mereka sendiri, bahkan tidak
sedikit yang memasaksendiri.
e. Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan tampak begitu mewarnai
pergaulan di pondok pesantren. Ini disebabkan, selain faktor kondisi sosial dan
ekonomi yang hampir merata di kalangan santri, juga karena mereka harus
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah atau
membersihkan mushalla/langgar/masjid dan ruang belajar secara bersama-sama.
f. Disiplin sangat ditekankan. Di pagi hari sekali atau sekitar pukul 04.00 kiai telah
membangunkan para santrinya untuk diajak shalat berjamaah. Pendidikan
seperti ini tentu saja berdampak besar terhadap kehidupan para santri itu
nantinya.
g. Berani menderita demi menggapai tujuan. Hal ini merupakan salah satu
pendidikan yang diperoleh santri di pondok pesantren. Telah jamak diketahui
bahwa di antara para santri itu ada yang gemar menempa diri (tirakat) dengan
berpuasa sunah, shalat tahajud di tengah malam, beri’tikaf di masjid dengan
tujuan kontemplasi atau merenungkan kebesaran-kebesaran Allah, dan
seterusnya.

Sebuah gambaran tentang ekspresi kehidupan di pondok pesantren pernah


disampaikan oleh Djamil Suherman (1994: 30), seorang santri alumni Pondok
Pesantren Kedungpring-yang tampaknya sampai saat ini masih sangat relevan-
sebagai berikut:

Sebagai santri yang saling menyayangi, aku tidak pisah dari kawan yang lain
dalam segala hal. Hidup rukun dan desa Kedungpring sebagi pesantren
merupakan keluarga besar yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain.
Hubungan batin antara kami dan keluarga kiai sangat eratnya, keluarga besar
yang dilindungi oleh bapak dunia-akhirat. Hidup begini kami rasa tenteram di
bawah lindungan surau dan kiai yang alim. Kami percaya di sinilah letak dunia
kami, hidup damai dan diridhai Allah.

Berdasarkan beberapa ulasan di atas tampak bahwa betapa besar pengaruh


pendidikan pondok pesantren itu. Di lembaga ini “panca jiwa” benar-benar
dijadikan fondasi utama sistem pendidikan. Hal ini karena pembinaan karakter
dan mintalitas santri di pondok pesantren memang sangatlah diutamakan.

Selain itu, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sebuah lembaga disebut


sebagai pondok pesantren karena ia telah memiliki lima komponen utama, yaitu
kiai, santri, mushalla/langgar/masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, dan
pondok/asrama. Lembaga ini juga menganut system pengajaran sorogan,
bandongan, dan weton dengan materi ajaran agama yang sepenuhnya mengisi
kurikulumnya. Pondok pesantren tipe ini lumrahnya dikategorikan sebagai
pondok pesantren salafi atau tradisional. Namu demikian, ketika upaya-upaya
inovasi mulai dilakukan-yakni sebagai renpons atas berbagai temuan baru-maka
komponen pondok pesantren pun otomatis bertambah. Dalam konteks ini,
misalnya, pondok pesantren tampak mulai melakukan pengembangan
pendidikan di bidang keterampilan, pengembangan system sekolah umum, atau
pengembangan madrasah. Dari sinilah, kemudian, kategori pondok pesantren
dimaksud dengan dengan sendirinya berubah dari pondok pesantren salafi
menjadi pondok pesantren khalafi.

Anda mungkin juga menyukai