Anda di halaman 1dari 5

" REVIEW BUKU " By. Jz Jml L.

*Guruku Orang-orang dari Pesantren*

Berkatilah pengarang kitab ini, semoga Allah merahmatinya, dan semoga bermanfaatlah
ilmunya bagi kita sekalian. Amin!

Qoola almushannifu rohimahulloohu Ta’ala wa an yanfa ‘anaa bi ‘uluumihii aamiin!

Lazimnya, sebelum kitab yang diajarkan dimulai, para guru/ustadz/kyai mengajak para
murid membaca Surat Al-Fatihah untuk dihadiahkan kepada pengarang kitab yang
bersangkutan, disertai do’a khusus yang diucapkan seperti kutipan di atas. Saya jadi
berpikir, tiap hari tiap saat sebelum pengajian dimulai, selalu kita menghadiahkan Surat Al-
Fatihah kepada para pengarang kitab yang kita kaji. Betapa mulianya mereka. Betapa
rendah hatinya mereka. dan betapa alimnya mereka. Kita doakan mereka dan kita do’akan
semoga ilmunya bermanfaat bagi kita sekalian.

Pesantren adalah salah satu tempat yang pernah menempa saya ketika usia memasuki ranah
SMP. Berbicara mengenai pesantren tentu membuat saya rindu dengan situasi-situasi yang
mana pada waktu itu (dengan usia segitu) membuat saya niscaya jemu, mengikuti segala
aturan dan tata caranya yang memang membuat saya geleng-geleng kepala sambil berdecak
kapan semua ini akan berakhir. Tentu kawan-kawan yang sudah mengalami hal demikian,
mondok di pesantren NU tulen dapat menceritakan hal-hal yang demikian saya alami. Tapi
sekarang, rongrongan akan kerinduan dengan para guru-guru saya yang mengajar di
pesantren dulu, aroma kertas dari kitab kuning yang menguar di antara indomie kremes
saya, membuat hati ini sampai mbrebes mili mengingat itu semua, masa-masa itulah di mana
saya mengais titik demi titik ilmu nahwu dan shorof yang sulit bagi nalar saya waktu itu. Dan
bahkan sampai sekarang. Wallahu A’lam Bishawab.

Buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantrententunya menjadi salah satu roh obyektif
(meminjam istilah Hegel) bagi saya dikarenakan isinya yang menceritakan kehidupan serba
ugahari dan NU. Tentu barang sebentar manakiban ataupun talqin mayit menjadi hal umum
bagi kawan-kawan yang hidup di lingkungan seperti saya. Buku ini secara singkat
menceritakan perjalanan hidup KH. Saifuddin Zuhri, khususnya mengenai tokoh-tokoh yang
menjadi gurunya dikala itu, baik dari guru sekolah ongko loro sampai guru sekolah arab.
Tepatnya mulai dari periode awal pendidikannya di sekitar akhir dekade 1920-an, sampai
sekitar tahun 1955, ketika ia telah menjadi salah satu tokoh NU. Buku ini dibagi menjadi 10
bab, yakni: “Di Ambang Pintu Pesantren”, “Madrasahku cuma Langgar”, “Tokoh-tokoh
Pengabdi tanpa Pamrih”, Apresiasi terhadap Rasa Seni”, “Memasuki Persiapan Pengabdian”,
Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian”, “Menjadi Guru”, “Tamatnya
Zaman Penjajahan”, Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung”, dan “Merdeka Berarti 1000
Perjuangan”.

Keinginan K.H. Saiufuddin Zuhri untuk mendaftar madrasah (sekolah arab) sangatlah tinggi.
Bisa mengenyam pendidikan Madrasah merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi beliau.
Madrasah keinginan beliau adalah madrasah Al-Huda Nahdatul Ulama yang baru dibuka
dikampungnya, Sukaraja. Madrasah baru yang diasuh oleh Ustadz Mursyid. Tapi memang,
pada waktu itu pembayaran sekolah arab tersebut termasuk mahal dibandingkan sekolah
arab lainnya. Pasalnya mendaftar madrasah tersebut harus siap-siap merogoh kocek
sebanyak 25 sen sebulan (sekolah arab lainnya rata-rata 3 sen sebulannya). Belum lagi,
sekolah pagi atau sekolah ongko loro yang harus dibayarnya pula seharga 10 sen. Bisa 35 sen
total pengeluarannya untuk skeolah ongko loro dan sekolah arab.

Betapa asyiknya kalau aku lagi melamun menjadi murid Madrasah Al-Huda. Nyatanya, Ayah
dan Ibu masih saja berbincang-bincang jadi tidaknya aku dimasukkan Madrasah Al-Huda.
Dongkolku bukan main kalau si Muslim, temanku mengaji petang di Langgar Kiai Khudori
menghiburku dengan katanya, enakan kita tak usah masuk Madrasah Al-Huda, biar kita bisa
puas bermain-main.

Begitulah ungkapan-ungkapan bahagia beliau untuk bisa memasuki Madrasah Al-Huda. Saya
pun ikutan terharu bilamana membayangkan situasi tersebut terjadi terhadap diri saya.
Tentu kecintaannya akan ilmu itulah yang membuat saya kagum dengan KH. Saifuddin Zuhri.
Alhasil beliau berhasil mendaftar di madrasah dengan beribu usaha yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya. Disini juga diceritakan tentang kelakuan-kelauan yang dilakukan anak-
anak kampung waktu itu, yang tak beda jauh dengan zaman saya ketika seumuran beliau.

Salah satu yang diceritakan KH. Saifuddin dibagian awal buku adalah Ustadz Mursyid.
Ustadz Mursyid sebagai guru di madrasah itu kesehariannya bekerja sebagai penjual kain
batik. Orangnya lugu, tak pandai mengobrol dengan orang. Bahkan kalau terdapat cacat,
misalnya di sebelah pinggir tidak rata gambar dan motifnya disebabkan karenakemungkinan
terlipat lilinnya hingga pecah, dia katakana terus terang pada calon pembelinya. Karena Mas
Mursyid tak pandai memikat calon pembeli dengan mengobral omongan, tidak heran kalau
kiosnya selalu sepi. Waktu yang lengang ini dipergunakan Mas Mursyid untuk membaca
kitab. Bukan kitab sembarang kitab, apalagi buku roman, tetapi kitab Agama Islam.
Istilahnya muthala ‘ah Kitab. Bayangkan, alangkah ganjilnya orang Solo ini. Pemain sepak
bola yang jempolan, tetapi kok muthala’ah kitab…! Betul-betul orang ajaib, misterius!
Muthala’ah kitab kok di tengah pasar. Begitu ujar banyak orang.

Tentu ada sorogan. Istilah yang sudah tidak asing lagi bagi dunia pesantren. Bahkan di
tempat tinggal K.H. Saifuddin Zuhri pun tidak ketinggalan dilakukan tradisi ini. Tiap bulan
sekali di Sukaraja diadakan Pengajian Khusus. Itu terjadi pada tahun 1928-an. Pengajian
untuk para kiai. Orang awam yang bukan golongan kiai boleh saja hadir sebagai pendengar.
Dari hampir seluruh daerah Banyumas, para alim-ulama datang menghadiri Pengajian Khusus
ini. Mereka masing-masing membawa kitab yang sudah disepakati. Kitab Tafsir Al-Baidlawi,
kitab Hadits Al-Bukhari, kitab Ikya al-‘Ulum ad-din dan kitab tasawuf Al-Hikam, adalah
serangkaian kitab-kitab besar yang punya daya hidup. Apalagi kalau dibaca di hadapan
berpuluh-puluh kiai. Semuanya membuka halaman-halaman kitab yang sedang dibaca, semua
menyimak dengan amat seksama. Sedikit saja salah membacanya, misalnya “Al-hamdu”
(akhiran”u”) dibaca “Al-hamda” (akhiran “a”), hoo,… hoo bisa pecah suara koor menyalahkan,
serentak memberikan koreksi. Sebab salah baca akhiran ini bisa menimbulkan kesalahan
tentang makna, akhiran itu menentukan fungsi kata yang dibaca, bisa berfungsi pelaku, bisa
penderita, bisa pula kata sifat dan sebagainya. Salah arti ini bisa menimbulkan konklusi yang
fatal tentu saja. Makanya, kalau cuma “setengah kiai”, jangan coba-coba memberanikan diri
membaca di muka kiai-kiai, keringat dingin bisa mengucur!

Untuk ukuran K.H. Saifuddin waktu kecil terdapat pula sorogan yang diberikan langsung oleh
K. Khudlori. Jika sembahyang maghrib berjamaah telah selesai, Kiai Khudlori memberi
pelajaran, masing-masing anak mempunyai balagh sendiri. Jadi tidak sama kitab bacaannya.
Kiai Khudlori dibantu oleh murid-muridnya yang sudah senior untuk mengajar sorogan bagi
anak-anak yang masih dianggap junior. Ada yang mengaji vak fiqh misalnya kitab-kitab
Safinah, Riyadh al-’Badi’ah, Taqrib. Ada yang vak aqaid seperti Qathr al-Ghaits, ‘Aqidat
al-’awwam, Jauharah at-Tauhid. Ada juga vak lain misalnya Sullam attaufiq dan Bidayah.
Semua dalam bahasa Arab. Bayangkan, kalau yang datang mengaji 20 anak yang masing-
masing kebagian waktu 15 menit. Padahal lepas waktu isya biasanya kiai masih memberikan
pelajaran pada pengajian orang-orang tua. Tidaklah heran kalau anak-anak yang belum dapat
giliran, diberi tugas memijat-mijat kiai secara berganti-ganti. Yang lain mendapat tugas
menyediakan secangkir kopi panas dengan jadah goreng.

Itulah gambaran singkat kehidupan KH. Saifuddin Zuhri ketika kecil. Mengaji kitab-kitab
dengan para ulama yang masih berada disekitaran kampungnya. Selanjutnya, sampai usia
dewasa beliau melanjutkan pendidikannya sampai ke Solo, tentu dengan ulama-ulama yang
kharismatik pula. Nama-nama seperti KH. Wahab Casbullah sampai Wahid Hasyim pun ikut
mengisi buku ini.

Sejak kecil Kiai Saifuddin berkesempatan mencecap dua dunia pendidikan berbeda. Yang
pertama sekolah ongko loro yang merupakan sekolah umum, serta madrasah yang
berkonsentrasi pada ilmu agama. Ia juga terlibat dalam organisasi pemuda NU, Ansor.
Jelang proses kemerdekaan Indonesia, menteri agama era Bung Karno ini kian terlibat
dalam aktivitas perjuangan, jurnalisme, dan tugas-tugas keorganisasian di tingkat nasional.
Bahkan sampai menjadi pelopor berdirinya IAIN di bumi pertiwi ini.

Dari pesantren mereka datang, dan untuk cita-cita pesantren mereka berjoang.

Buku ini berisi tokoh-tokoh wajar dan peristiwa-peristiwa yang tak sensasional. Saifuddin
Zuhri berkisah mirip pendongeng dari desa, berkaitan urusan pendidikan, keluarga, kota,
politik, dan lain-lain. Cerita yang sangat organik dialami manusia, mungkin lebih tepat
disebut sebagai catatan sehari-hari. Dalam buku ini banyak diuraikan nilai-nilai moral yang
dipelajari KH Saifuddin Zuhri selama berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang dianggap
gurunya. Di luar itu, salah satu nilai terpenting Guruku Orang-orang dari Pesantren adalah
catatan tentang peran besar komunitas pesantren dan nahdliyin dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia, serta periode sesudahnya. Catatan ini sulit ditemui dalam buku-
buku teks sejarah versi Orde Baru. Ketika proses tumbuhnya nasionalisme Indonesia pasca
Sumpah Pemuda 1928, misalnya, penulis menceritakan bagaimana KH Hasyim Asy’ari dan KH
Wahab Chasbullah menyebar pesan ke dunia pesantren untuk ikut serta dalam gelombang
ini. Demikian pula ketika masa Revolusi Fisik terjadi. Para pemuda kalangan pesantren
mengorganisasi diri dalam laskar-laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk terlibat
langsung dalam pertempuran melawan penjajah. Bahkan kala itu pesantren menjadi tempat
penyebaran paham nasionalisme dan antipenjajahan, serta wadah pelatihan militer bagi para
pemuda.

Laa ya’riful ‘ulama illal ‘ulama tidak ada yang mengerti ulama kecuali ulama. Kutipan yang
bagus bukan? Entah ini yang biasa disebut kalangan masyarakat pada umumya sebagai
ma’rifat para ulama atau para ulama dengan sedemikian rupa menjadi kalangan aristrokrat
intelektual pada zamannya. Tentang intelektual ini sering disinggung di buku ini, misal
mengambil hikmah dari cerita nabi Sulaiman yang disuruh Tuhan memilih 3 perkara: ilmu
kerajaan, harta benda. Nabi Sulaiman memilih ilmu pengetahuan. Apa sebab, karena ilmu
pengetahuan maka akhirnya Nabi Sulaiman memperoleh kerajaan dan kekuasaan harta
benda. Walaupun terlalu materialistis ceritanya, tapi tak apalah ada maqam-nya tersendiri
dalam penyampaian dakwah.

Untuk urusan soal pengetahuan itu, saya lebih suka kutipan buku ini yang menyebutkan
mautul alim mautul alam artinya matinya orang alim atau ulama merupakan matinya sebagian
alam. Kematian masyarakat. Sebab itu masyarakat harus jadi alim. Jadi orang yang berilmu,
jadilah ulama. Kalau dalam masyarakat banyak pemimpin yang baik juga karena hasil kerja
ulama. Orang hartawan yang dermawan juga karena hasil kerja ulama. Bahkan para pahlawan
mau mengorbankan nyawanya untuk cita-cita mulia juga karena anjuran dan hasil kerja
ulama

Akhir kata buat para guru, alim, atau ulama. Seperti yang dikatakan kiai Saifuddin Zuhri
“tidak layak bagi seorang guru yang hendak mengajarkan ilmunya kepada orang banyak
sebelum menguasai kebijaksanaan tiga perkara: pertama ilmu ulama (pengetahuan ukuran
ulama) kedua siya satul-muluk (pengetahuan politik raja-raja) dan ketiga hikmatul
hukama(hikmat kebijaksanaan para hukama)”

See you later...

Anda mungkin juga menyukai