Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan
ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat
serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol
Hindu-Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK
ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh
akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu
memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan
ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik
lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa
penasaran masyarakat.
Sunan Kudus atau dengan nama Ssyyid Ja’far Shadiq Azmatkhan lahir di
Palestina, pada tanggal 9 September 1400 M/ 808 H. Sunan Kudus merupakan
anak dari Raden Usman Haji yang merupakan seorang panglima perang
Kesultanan Deman Bintoro.
Ayah Sunan Kudus yang juga dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung
merupakan putra dari Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Mustazha. Masyarakat Jawa mengenalnya sebagai Raja Pandita atau Raden
Santri. Sunan Ngung melaksanakan hijrah hingga ke Pulau Jawa yang
kemudian tiba di Kesultanan Islam Demak dan diangkat sebagai panglima
besar perang.
Sejak kecil, Sunan Kudus mempelajari agama Islam melalui ayahnya sendiri
dan juga pada Kyai Telingsing. Hingga pertemuannya dengan Sunan
Ampel kala itu. Kyai Telingsing sendiri merupakan seorang ulama dari China
yang sengaja datang ke Jawa bersama Panglima Besar Cheng Hoo.
Kedatangan Kyai Telingsing bersama Cheng Hoo kemudian membuat tali
persaudaraan dengan orang-orang Jawa dengan nilai-nilai yang diajarkan
Islam. Di tengah-tengah Sunan Kudus belajar ilmu Agama, Beliau juga
beberapa kali menjabat di beberapa bidang berbeda di Kesultanan Islam
Demak, diantaranya sebagaimana berikut:
1. Sultan Demak (Penasihat Kesultanan)
2. Panglima Perang Depan
3. Qadhi (Hakin Syariat)
4. Mufti (Pemberi Fatwa/ ahli hukum Islam)
5. Imam Besar Masjid Demak dan Masjid Kudus
6. Mursyid tarekat
7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan
8. Ketua Pasar Islam Walisongo
9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam
10.Ketua Baitulmal Walisongo
Mengetahui riwayat hidup Sunan Kudus, sudah tentu kita tahu bahwa semasa
hidupnya beliau berdampingan dengan masyarakat Jawa yang memeluk
Hindu dan Budha. Lantas bagaimana cara dakwah Sunan Kudus untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam yang bertoleransi terhadap sesamanya?
Sama halnya dengan sunan-sunan lainnya, Sunan Kudus juga memakai
metode pendekatan atau syiar budaya. Syiar budaya ini tentu akan lebih
mudah diterima masyarakat dan dirasa tidak terkesan memaksa masyarakat
Jawa kala itu untuk memeluk Islam.
Karena sedari awal Islam mengajarkan nilai toleransi dan kedamaian di
dalamnya. Nah, adapun ulasan metode dakwah Sunan Kudus lebih lengkapnya
berikut ini:
Pendekatan dengan Masyarakat Hindu
Dahulu, diketahui bahwa masyarakat Hindu sangat berpegang teguh terhadap
keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya. Sehingga pendekatan ini cukup
sulit dilakukan. Kendati demikian, tetap saja Sunan Kudus mencoba melalui
metode ini.
Tidak secara terus terang memaksa masyarakat kala itu memeluk Islam secara
langsung, namun beliau hanya mengajak masyarakat mempelajari sedikit demi
sedikit tentang Islam. Ja’far Shadiq benar-benar menerapkan rasa toleransi
yang tinggi melalui ajaran Islam. Siapapun boleh mempelajari kendati tidak
memeluknya.
Niscaya dengan berjalannya waktu, mereka akan mengenal dan memahami
pasti tentang Islam. Karena memeluk Islam sudah tentu harus dari keinginan
dan niat ikhlas dari harta masing-masing. Sebagai penghormatan kemudian
dibangunlah masjid dengan menara yang menyerupai bangunan candi.
Pendekatan dengan Masyarakat Budha
Berbeda dengan pendekatan masyarakat Hindu, di Budha, Sunan Kudus secara
khusus membuat tempat wudhu yang berbentuk pancuran sejumlah delapan
titik pancuran. Dimana setiap titip pancuran ini diberi arca Kebo Gumarang
yang sangat dihormati oleh masyarakat Budha.
Pembuatan tempat wudhu ini diharapkan menarik penasaran masyarakat
setempat sehingga mereka mau masuk ke area masjid. Setidaknya masyarakat
Budha yang sekadar penasaran juga mau mendengarkan penjelasan Sunan
tentang nilai-nilai agama Islam
Mengubah Ritual Selametan (Mitoni)
Mitoni sendiri merupakan acara adat yang sajak zaman dahulu bernilai sakral
oleh masyarakat Hindu Budha di Jawa. Makna selametan atau mitoni ini
merupakan cara masyarakat kala itu mengungkapkan rasa syukur akan karunia
Tuhan yaitu seorang anak.
Dahulu, mitoni sebagai wujud syukur diwujudkan dengan mempersembahkan
berbagai sesajen dan persembahan kepada patung dan arca, bukan kepada
Allah sebagaimana harusnya. Maka disinilah, tugas utama Sunan Kudus untuk
meluruskan isi acara tersebut.
Rekontruksi mitoni ini kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai Islam dan tidak
dihilangkan begitu saja sehingga saat ini mitoni tetap menjadi tradisi Jawa.
Melalui cerita sejarah yang berkembang hingga saat ini, diketahui bahwa Ayah
Sunan Kudus yang merupakan seorang pimpinan pasukan Majapahit juga
sekaligus seorang Senopati Kesultanan Demak, gugur saat terjadi
pertempuran melawan Husain atau Adipati Terung dari Majapahit.
Jabatan ayahnya, Sunan Ngudung, sebagai senopati Demak kemudian
digantikan oleh Sunan Kudus. Kendati menjabat sebagai seorang Senopati,
Sunan Kudus tetap menyampaikan syiar Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya. Dalam dakwah yang dilakukannya, Beliau selalu mengutamakan
sikap tenang dan halus.
Hal ini semata-mata bukan sekadar mengharap masyarakat menerima ajaran
Islam tanpa paksaan, juga meyakinkan bahwa Islam sangat toleran terhadap
lainnya. Sunan Kudus cukup dikenal sebagai seorang ulama yang gemar
mengembara. Bahkan, beberapa cerita menyebutkan Beliau pernah sampai ke
tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Saat di kota Mekkah, dikatakan beliau juga sempat membantu
menyembuhkan para warga yang sedang terkena wabah penyakit.
Atas jasanya, kemudian Sunan Kudus di hadiahi batu yang berasal dari Baitul
Maqdis oleh penguasa setempat kala itu.
Batu itu kemudian dibawa pulang ke Jawa, yang selanjutnya diletakkan di area
Imam di Masjid Kudus yang hingga saat ini berdiri kokoh.