Anda di halaman 1dari 3

Nama : Angga Iman Syah

NIM : A14110023
Mayor : Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan

Review Buku Memoar Seorang Anak Kampung


Oleh Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif Syafii dilahirkan di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935.
Sedari kecil Syafii Maarif bergumul dengan pengetahuan tentang agama Islam. Hal itu berkat
pendidikan dari orangtuanya, Makrifah, dan juga dipertajam dengan pendidikan yang dijalani
kemudian, yang akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam tradisi Islam. Setamat
dari Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di Sumpurkudus pada tahun 1947, kemudian beliau melanjutkan
studinya ke Madrasah Mu'allimin Lintau, Sumatera Barat. Selama kurun itu, Syafii menjalani
kehidupan secara sederhana sebagai anak kampung yang suka menjala ikan, menggembala sapi,
ternak ayam, mandi di sungai, dan bermain bersama teman-temannya. Senyampang itu, Syafii
kecil mewarisi tradisi dan adat tanah Minang yang sarat falsafah. Diantara adat yang melekat
pada anak-anak Minang berbunyi: alam terkembang jadi guru. Artinya, orang Minang
seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia dengan wawasan
universal. Spirit inilah yang diyakini akan melahirkan karakter Minang yang maju, berkembang,
dan suka dengan segala tantangan. Tak heran, setamat belajar dari Muallimin Muhammadiyah
Balai Tengah, Syafii merantau ke tanah Jawa melanjutkan pendidikannya di Madrasah
Yogyakarta. Di sanalah, jendela wawasannya mulai terbuka, dan onak duri kehidupan mulai silih
berganti menghinggapnya. Cobaan terberat sewaktu orang tuanya meninggal dunia. Praktis,
biaya sekolah menjadi tanggung jawab Syafii; "Saya terdampar di pantai karena belas kasihan
ombak," katanya mengilustrasikan perjalanan hidupnya yang berliku.
Ahmad Syafii Maarif mendapat bantuan dari saudaranya, Syafii Maarif akhirnya bisa
melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta. Disana, Syafii yang
sudah biasa hidup mandiri semenjak remaja, harus berjuang keras menempuh hidup yang
tertatih-tatih. Beliau menjalani beratnya sekolah sambil bekerja, sehingga pada mulanya
mengambil fakultas hukum harus rela pindah ke FKIP jurusan sejarah budaya Universitas
Cokroaminoto Surakarta, dengan alasan efisiensi jadwal dan waktu bekerjanya. Perjuangannya

sungguh berat, berbagai profesi pun pernah beliau jalani demi mengais rejeki dalam membiayai
kuliahnya, mulai dari guru les, penjaga toko kain, penimbang besi, berdagang ayam dan kambing
sampai menjadi guru honorer di Wonogiri. Berbekal motivasi menuntut ilmu yang kuat, Syafii
berhasil meraih sarjana pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP
Yogyakarta pada tahun 1968.
Sampai usia 28 tahun, Syafii menjadi bujang lapuak yang masih begulat menuntut ilmu di
Jawa, belum memiliki tumpuan hati. Sudah 4 tahun lamanya dia tidak pulang, sehingga membuat
Etek Bainah, bibi yang merawatnya semenjak kecil, ikut merasa sedih dan gelisah. Kemudian
atas inisiatif Ismael, timbulah keinginan untuk menjodohkan Syafii dengan Lip, dimana usia
keduanya terpaut jauh sekitar 10 tahun. Setelah berkirim surat tentang perjodohannya, Syafii pun
pulang kampung dan terlaksanalah pertunangan dirinya dengan Lip, yang saat itu berumur 18
tahun. Hubungan jarak jauh sempat mereka jalani dengan rasa sayang dan saling memahami.
Suatu masalah besar menimpa dan hampir mengandaskan hubungan mereka, namun bisa diatasi.
Akhirnya berbekal kesabaran yang teguh, mengantarkan keduanya sampai ke pelaminan,
menjalani kehidupan bersama.
Selanjutnya, tak disangka ketekunan Buya Syafii berbuah manis, ia mendapat beasiswa
mendalami ilmu sejarah hingga memperoleh gelar Master di Universitas Ohio, Amerika Serikat
dan gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Tak heran, kepakaran di bidang sejarah itu mengantarkannya sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah di
IKIP Yogyakarta. Praktis, dalam keseharian, Buya Syafii menjadi figur ilmuwan, sejarawan
sekaligus agamawan. Kiprahnya di Muhammadiyah sejatinya diukir dari ranting. Lambat laun,
nama Syafii Maarif dikenal dan didaulat menjadi pengurus Nasional. Buya Syafii akhirnya
didapuk menggantikan Amien Rais, sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga tahun
2005. Baginya, Muhammadiyah memberikan hikmah besar pada aras kepemimpinan yang peka
untuk mendengar keluh kesah rakyat.
Penghargaan yang pernah diperoleh oleh beliau diantaranya adalah dari Hamengku
Buwono IX (2004) atas kegigihannya memperjuangkan kehidupan yang harmonis membangun
hubungan antar agama yang baik, Magsaysay Award pada tahun 2008 (Manila, 31 Agustus 2008)
untuk kategori Peace and International Understanding, Bacharuddin Jusuf Habibie Award 2010
dalam bidang khusus Harmoni Kehidupan Beragama. Tokoh Perbukuan Islam 2011 dari Islamic

Book Fair (IBF) Award atas karya-karyanya yang dinilai banyak memberikan inspirasi serta
kontribusi bagi perkembangan perbukuan di Indonesia terutama mengenai buku-buku Islam,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Award pada tahun 2011 untuk kategori Tokoh
Pemerhati Pemerintahan atas kinerja yang tidak henti-hentinya memeberikan masukan yang
kritik-konsruktif, dan yang paling hangat ialah penghargaan Lifetime Achievement Soegeng
Sarjadi Award on Good Governance untuk kategori Intelectual Integrity dari Soegeng Sarjadi
Syndicate tahun 2011 yang menganggap Buya sebagai tokoh yang terus-menerus
memperjuangkan hak-hak publik melalui kritikan dan ajakan untuk menegakkan keadilan di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai