Anda di halaman 1dari 127

ASUMSI MASYARAKAT BUGIS TERHADAP IDEOLOGI SUKU

TOLAKI DI KOLAKA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Skripsi pada Jurusan
Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

JUMARDI

10538 2519 12

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul Skripsi : Asumsi Masyarakat Bugis Terhadap ideologi Suku Tolaki di


Kolaka Utara
Mahasiswa yang bersangkutan :

Nama : JUMARDI

NIM : 10538 2519 12

Jurusan : Pendidikan Sosiologi S1

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Setelah diperiksa dan diteliti ulang, skripsi ini dinyatakan telah memenuhi
persyaratan untuk diujikan dihadapan Tim Penguji Ujian Skripsi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 2016

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Syahsibulan K. M.pd, Muhammad Nawir, S.Ag. M.pd

Diketahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan
Unismuh Makassar Pendidikan Sosiologi

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. Dr. H. Nursalam, M.Si


NBM : 858625 NBM:951 829
HALAMAN PENGESAHAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Judul Skripsi : Peran Keluarga dalam Merehabilitasi Anak Korban


Pencabulan di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana
Mahasiswa yang bersangkutan:

Nama : JUMARDI

NIM : 10538 2519 12

Jurusan : Pendidikan Sosiologi S1

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Makassar, 2016

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Syahsibulan K. M.pd, Muhammad Nawir, S.Ag. M.pd

Diketahui:

Dekan FKIP KetuaJurusan


Unismuh Makassar Pendidikan Sosiologi

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. Dr. H. Nursalam, M.Si


NBM : 858625 NBM:951 829

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : JUMARDI

NIM : 10538 2519 12

Jurusan : Pendidikan Sosiologi S1

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Asumsi Masyarakat Bugis Terhadap Ideologi Suku Tolaki di


Kolaka Utara
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji
adalah ASLI hasil karya sendiri dan bukan ciptaan orang lain atau dibuatkan oleh
siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi
apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, 2016
Yang Membuat Pernyataan

JUMARDI

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Syahsibulan K. M.pd, Muhammad Nawir, S.Ag. M.pd

SURAT PERJANJIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Saya yang bertandatangan di bawahini:


Nama : JUMARDI
NIM : 10538 2518 12
Jurusan : Pendidikan Sosiologi S1
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:


1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya
akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, 2016
Yang Membuat Perjanjian

JUMARDI

Mengetahui,
Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi

Dr. H. Nursalam, M.Si


NBM: 951 829

KARTU KONTROL BIMBINGAN SKRIPSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

NAMA MAHASISWA : JUMARDI


STAMBUK : 10538 2519 12
JURUSAN : Pendidikan Sosiologi S1
PEMBIMBING I : Dra. Hj. Syahsibulan K. M.pd,
JUDUL SKRIPSI : Asumsi Masyarakat Bugis Terhadap Ideologi Suku
Tolaki di Kolaka Utara
No. Hari/Tanggal Uraian Perbaikan Tanda Tangan

Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi

Dr. H. Nursalam, M.Si


NBM:951 829

KARTU KONTROL BIMBINGAN SKRIPSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

NAMA MAHASISWA : JUMARDI


STAMBUK : 10538 2519 12
JURUSAN : Pendidikan Sosiologi S1
PEMBIMBING II : Muhammad Nawir, S.Ag. M.pd

JUDUL SKRIPSI : Asumsi Masyarakat Bugis Terhadap Ideologi Suku


Tolaki di Kolaka Utara

No. Hari/Tanggal Uraian Perbaikan Tanda Tangan

Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi

Dr. H. Nursalam, M.Si


NBM:951 829
GTUJUANPE,MBIMBING
ldeologi Suku To taki di
Bugs terhadap
E*,

RL.,*****
leielah ditcliti dan diperiksa ulang. skripsi ini telah n:emenuhi s.varat untrrtri

:rrcrtanggung jawa#<an di depan tim penguji skripsi Fakultas Keguruan dan llmu

? :ndidikan Univer'sitas lvluhammadiyah Makassar.

Makassar, 20 Desember 2016

Disahkan oleh:

Pembiuebing I

Dn Muhammad Nawir. M.Pd'

Mengetahui

NBM:951829
HALAMAN PENGESAHAN

NIM 105382519L2 diterima dan disalrkan oleh


Skripsi atas nama Jumardi,
hmua Ujian Skripsi berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas
\tu-hmmadiyah Makassar Nomor: 120 Tahun 1438 H/ 2016 M, Sebagai salah satu
*Erar guna memperoleh Gelar Sarjana Penrlidikan pada Jmusa.n
Pendidikan
>osologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Llniversitas Muhammadiyah
\rtrekassar, Yudisium pada hari Senin, 14 November 2016.

20 Rabiul Awal, 1438 H


Makassar,
*" 20 Desember 2016 M

?engawas Lhnum tr. H, Abd. Rahman Rahfuri, S. E'. MIv{. t

iietua

Sekretaris

Fenguji

l. Sulfasyah MA.. Ph.D

2. Dra. Hj. Syahnbulan K. N'l.Pd' ( )

3. Prof. Dr, Ir. Darmauran Saiman. M.S. ( )

4. Tasrif Akib, S.Pd.,lvi.Pd. { )

Mengetahui

Ketua Juntsan
rdikan Sosiologi

ffiuu"*utu-. rvr.si\
NBM:951829
\
ABSTRAK

Jumardi. 2016. Asumsi Masyarakat Suku Bugis Terhadap Ideologi Suku Tolaki
di Kolaka Utara. Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Hj. Syahribulan dan Muhammad
Nawir.

Penelitian tentang Asumsi Masyarakat Suku Bugis Terhadap Ideologi Suku


Tolaki. Adapun rumusan masalah yaitu mengapa masyarakat Bugis berasumsi negatif
terhadap ideologi suku Tolaki dan mengapa masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan
suku Tolaki. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriftif,
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, serta dokumentasi.
Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran penelitian masyrakat Bugis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Masyarakat Bugis berasumsi bahwa


suku Tolaki dulunya adalah budak, pengembala kerbau, miskin, darah
bangsahwannya lebih tinggi dari pada darah kebangsahwanan suku Tolaki
sehingga sebagian besar orang Bugis berasumsi suku Tolaki lebih rendah
derajatnya. Orang Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki karena orang
Bugis berasumsi jika menikah dengan suku Tolaki rejekinya kurang baik dan
bernasip sial, sehingga sebagian orang Bugis membatasi diri dalam bentuk
hubungan yang sakral seperti dalam bentuk ikatan pernikahan.

Kata Kunci : Asumsi, Masyarakat, Bugis, Ideologi, Suku, Tolaki


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN...................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN........................................................................................... v
KARTU KONTROL BIMBINGAN SKRIPSI...................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................................................................viii
ABSTRAK............................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR............................................................................................ x
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvii
DAFTAR BAGAN............................................................................................ xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah....................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 5

BAB II KAJIAN TEORI

A. Hasil Penelitian yang Relevan.................................................................... 7

B. Asumsi ...................................................................................................... 9

C. Masyarakat ................................................................................................10

D. Suku Bugis ................................................................................................13

E. Ideologi .....................................................................................................17

F. Suku Tolaki ...............................................................................................20

G. Landasan Teori..........................................................................................25

1. Teori Komunikasi Antar Budaya................................................................ 25


2. Teori Labelling................................................................................. 27

3. Teori Sosialisasi ............................................................................... 28

H. Kerangka Pikir ................................................................................................... 30

BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 32

A. Jenis Penelitian....................................................................................... 32

B. Lokasi Penelitian .....................................................................................32

C. Informan Penelitian ................................................................................ 32

D.Fokus Penelitian ..................................................................................... 34

E. Sasaran Penelitian....................................................................................34

F. Instrumen Penelitian ............................................................................... 34

G. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 35

H.Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 35

I. Teknik Analisis Data ............................................................................... 36

J. Tekni Pengapsahan Data ......................................................................... 36

BAB IV DEKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN DESKRIPSI

KHUSUS LATAR PENELITIAN .................................................................... 37

A. Deskripsi Umum Kolaka Utara Sebagai Lokasi Penelitian .......................... 37

1. Sejarah Singkat Kabupaten Kolaka Utara............................................... 37

2. Keadaan Geografis.................................................................................. 38

3. Topgrafi, Geologi, Hidrologi .................................................................. 39

4. Kesenian.................................................................................................. 46

5. Pendidikan............................................................................................... 47

6. Pariwisata ................................................................................................ 48
B. Deskripsi Khusus Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki di Kolaka Utara

49

1. Sejarah Masuknya Masyarakat Bugis di Kabupaten Kolaka Utara ........ 49

2. Tingkat Pendidikan Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki .......... 53

3. Mata pencaharian Masyarakat Bugis Dan Masyarakat Tolaki ........... 55

4. Hubungan Sosialisasi Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki ....... 56

BAB V ASUMSI NEGATIG MASYARAKAT BUGIS TERHADAP IDEOLOGI SUKU TOLAKI

............................................................................................................................ 59

A. Deskripsi Permasalahan ................................................................................. 59

B. Pendapat Para Informan ................................................................................ 65

BAB VI MASYARAKAT BUGIS TIDAK MAU MENIKAH DENGAN SUKU TOLAKI.... 78

A. Deskripsi Permasalahan ..................................................................... 78

B. Pendapat Para Informan ................................................................... 81

BAB VII ASUMSI MASYARAKAT BUGIS TERHADAP IDEOLOGI SUKU TOLAKI

SEBUAH PEMBAHASAN TEORITIS........................................................................96

A. Asumsi ................................................................................................ 96

B. Masyarakat Bugis ............................................................................... 99

C. Ideologi.............................................................................................. 102

D. Mayarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki .......................................... 102

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 106

A. Kesimpulan........................................................................................ 106

B. Saran.................................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 109

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 110

RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1.................................................................................................................10

Tabel 3.1.................................................................................................................39

Tabel 3.2................................................................................................................ 45

Tabel 4.5 fasilitas pendidikan yang tersedia di kelurahan mangasa..................... 53

Tabel 4.3 Prasarana kesehatan yang tersedia di kelurahan mangasa.................... 55

Tabel 4.4 Sarana kesehatan yang tersedia di kelurahan mangasa......................... 56


DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1.............................................................................................................34
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara terbesar di Benua Asia yang

memiliki beraneka ragam agama, bahasa, suku, ras, etnis, dan kebudyaan.Tak

heran jika Indonesia menjadi pusat perhatian Negara-negara di dunia. Keunikan

Negara Indonesia merupakan salah satu daya tarik bagi Negara-negara lain,

keunikan ini didasarkan karena Negara Indonesi memiliki banyak pulau, suku,

ras, etnis dan budaya, dengan demikian Bangsa Indonesia selalu menjadi sorotan

dan pusat perhatian dunia.

Mungkin tak banyak warga negeri ini yang tahu, berapa persisnya jumlah

suku bangsa di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan

survei mengenai jumlah suku bangsa tersebut. Kepala BPS, Rusman Heriawan,

dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3/2),

menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa

Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Badan Pusat Statistik(BPS)

(https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127) diakses, 04 Juni 2016).

Indonesia negeri yang kaya “gemah ripah loh jinawi”. Kekayaan itu tidak sebatas

pada hasil alam saja, tetapi juga pada ragam suku, bahasa, agama, kepercayaan,

dan adat istiadat. Misal untuk kekayaan suku bangsa, Indonesia memiliki ratusan

nama suku bahkan ribuan jika dirinci hingga subsukunya. Kemajuan teknologi

dan kemudahan di bidang transportasi mendorong peningkatan mobilitas

1
2

penduduk. Imbas dari mobilitas penduduk diantaranya adalah mempercepat

perubahan komposisi suku di suatu wilayah. Perubahan komposisi suku ini kerap

menjadi potensial kesenjanangan sosial dan konflik sosial, ekonomi, maupun

politik.Terkait hal itu, mengkaji data etnis menjadiurgen. Terlebih sejak tahun

1998, Indonesia mulai melaksanakan proses demokrasi dan desentralisasi.

Banyaknya suku yang dimiliki oleh suatu Negara akan memicu timbulnya

asumsi-asumsi masyarakat terhadap suku yang lain yang dapat memicu terjadinya

kesenjangan sosial dan konflik sosial seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara

tepatnya di daerah Kolaka Uatara yaitu asumsi-asumsi masyarakat Bugis terhadap

ideologi suku Tolaki, masyarakat Bugis beranggapan atau berasumsi bahwa suku

Tolaki adalah suku yang memiliki derajat paling rendah dari pada suku-suku yang

lain sehingga dari dulu hingga sekarang asumsi negatif masyarakat terhadap suku

Tolaki masih dipertahankan, ironisnya sebagian masyarakat membatasi diri

menjalin hubungan sosial kepada suku Tolaki, salah satu contoh suku Bugis tidak

mau menikahkan keturununannya dengan suku Tolaki karena suku Bugis

beranggapan atau berasumsi bahwa apabila suku Bugis menikah dengan suku

Tolaki meraka akan bernasib sial bahkan rejekinya kurang baik. Sehingga

kesenjangan sosial antara suku Bugis dengan suku Tolaki berimbas ke anak-anak,

dan remaja karena mereka telah mencap bahwa suku Tolaki mempunyai budaya

yang kurang baik dan paling rendah stratanya dibandingkan dengan suku-suku

yang lainnya.

Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar pemikiran atau

landasan berpikir karena dianggap benar. Asumsi mempunyai sifat subjektif,


3

karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu,

sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian

tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat,

didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah

laku atau disebut sebagai perilaku individu. Menurut Slameto (2010:102) Asumsi

adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak

manusia, melalui asumsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan

lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu. Asumsi–asumsi

negatif masyarakat Bugis terhadap idelogi suku Tolaki bukan hal yang lumrah

lagi bagi masyarakat Bugis itu karena asumsi–asumsi ini telah berkembang sejak

lama dari nenek moyang sampai cucu-cucunya.

Ideologi merupakan istilah yang berasal dari Yunani.Terdiri dari dua kata,

idea dan logi. Idea artinya melihat (idean), dan logi berasal dari kata logos yang

berarti pengetahuan atau teori. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ideologi

adalah hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori.

Ideologi dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan konsep bersistem yang

dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk

kelangsungan hidup. Ideologi merupakan gabungan dua kata, yaitu idea dan logos.

Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, dan cita-cita.

Sedangkan logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi dapat diartikan

sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertian-

pengertian dasar (Kodhi dan Soejadi, 1988 : 49) Pengertian dari ideologi ini juga
4

dimaknai berbeda-beda oleh beberapa orang, diantaranya adalah: (1). Karl Marx

mendefinisikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan

berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik

atau sosial ekonomi. (2). Lanur menyatakan bahwa ideologi bisa dimasukkan

dalam kategori pengetahuan yang subjektif.

Jika diteliti dari dialek bebicara suku Tolaki bukan tampa alasan jika

masyarakat Bugis berasumsi bahwa suku Tolaki itu kasar karna memang cara

berbicara bernada cepat dan keras, mungkin itulah salah satu alasan mengapa

masyarakat Bugis berasumsi suku Tolaki itu berprilaku kasar tapi anehnya suku

Tolaki bisa bertahan hidup berdampingan dengan suku-suku yang lain, seperti

suku Bugis, jawa, Lombok, Bali, Toraja, Enrekang, Tator, luwu dll. Padahal suku

Tolaki sering dipandang sebelah mata oleh suku-suku yang lainnya khususnya

suku bugis yang sangat apatis terhadap kehadiran suku Tolaki padahal hampir

semua suku Tolaki pasih dan sering menggunakan bahasa bugis dalam

berkomunikasih atau berdialog dengan masyarakat lain.

Asumsi masyarakat Bugis terhadap suku Tolaki perlu adanya pengamatan

dan tindakan serius untuk membuktikan benar atau tidak asumsi-asumsi negatif

masyarakat Bugis terhdap ideologi suku Tolaki, mengingat suku Tolaki

merupakan penduduk asli Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara) dan telah lama hidup

berdampingan dengan suku–suku yang lainya.


5

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dirumuskan di atas, maka masalah dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa penyebab masyarakat Bugis berasumsi negatif terhadapi deologi suku

Tolaki?

2. Mengapa Masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa penyebab masyarakat berasumsi negatif terhadap

ideologi suku Tolaki?

2. Untuk mengetahui mengapa Masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan

suku Tolaki?

D. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoeritis

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dalam

menambah khasanah keilmuan dalam pengembangan ilmu pangetahuan

khususnya pada jurusan sosiologi dan sebagai bahan acuan bagi peneliti

selajutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan bisa menjadi bahan acuan untuk peneliti lain yang

tertarik untuk meneliti topik yang terkait sehingga studi sosiologi


6

selalu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu

pengetahuan.

b. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangsi pengetahuan

bagi masyarakat tentang ideologi suku Tolaki.

c. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian sejenis,

yaitu penelitian yang terkait dengan asumsi masyarakat terhadap

ideologi suku Tolaki di Kolaka Utara.


7

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hasil Penelitian Yang Relevan

Asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki merupakan

karya asli penulis. Adapun hal-hal yang membedakan dengan skripsi yang lain

antara lain:

1. Penelitian Syamsuddin

Penelitian Syamsuddin 2010, Peran Budaya Tolea dalam Penyelesaian

Kasus Umoapi pada Masyarakat Suku Tolaki di Desa Waturai Kecamatan

Wonggeduku Kabupaten Konawe mengungkapkan bahwa suku Tolaki sangat

memegang teguh nila-nila budaya dalam menyelesaikan sebuah permasalahan,

salah satunya budaya Tolea.

2. Penelitian Laxmi

Laxmi 2007, Analisia Istilah Tombalaki Pada Seorang Laki-laki Suku

Tolaki. Tombalaki adalah sebuah istilah atau julukan yang diberikan oleh

masyarakat kepada seorang laki-laki yang mempunyai sifat atau watak selalu

menyimpan sesuatu utamanya materi, maupun barang-barang tertentu, sehingga

tidak memberikan hak kepada istri atau anggota keluarga untuk dikelola. Jika

tombalaki terjadi dalam sebuah keluarga, akan menimbulkan sejumlah kejahatan

seperti dominasi, kekuasaan, bahkan kekerasan berjamak terhadap istri dan

anggota keluarga lainnya. Kekerasan tersebut antara lain kekerasan ekonomi,

7
8

psikologi, bahkan kekerasan fisik. Sebagai sebuah sifat atau watak, hal ini sangat

dibenci. Bukan hanya lingkungan sekitarnya bahkan saudara, hingga kerabatpun

akan mengalami keretakan silaturahmi jika terdapat anggota keluarga yang

tombalaki. Dalam hukum adat Tolaki atau yang disebut dengan o’ sara telah diatur

hukuman yang dianggap layak jika seorang laki-laki mempunyai sifat tombalaki,

yaitu dengan cara dikucilkan dari pergaulannya atau tidak berkawan, begitupun

jika seorang istri mempunyai suami yang tombalaki, kemudian melaporkannya

kepada lembaga adat setempat, maka istri berhak menggugat cerai suaminya atau

yang dikenal dengan sebutan tepobinda.

Kajian dalam tesis ini menerapkan cara penelitian kualitatif dalam proses

pengumpulan data yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga bulan sejak

Januari hingga akhir Maret 2010 melalui metode etnografi, dengan menggali dan

menyelami kehidupan 2 keluarga kemudian dilengkapi dengan banyaknya

informasi yang berhasil dihimpun oleh sejumlah informan yang rata-rata usianya

di atas 60 tahun. Mereka umumnya banyak mengetahui, melihat, dan terlibat

langsung dalam memutuskan perkara adat yang menyangkut persoalan tombalaki,

untuk kemudian di putuskan dalam kelembagaan adat o’sara. Beberapa pihak

yang terlibat yaitu tonomotuo sebagai ketua pengadilan, tolea sebagai hakim

anggota, pabitara sebagai jaksa penuntut umum serta sesepuh adat setempat

sebagai hakim anggota. Kata Kunci: kekerasan, kontrol, tepobinda, o’sara,

tolea/pabitara.
9

B. Asumsi

Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar pemikiran atau

landasan berpikir karena dianggap benar. Asumsi mempunyai sifat subjektif,

karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu,

sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian

tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat,

didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah

laku atau disebut sebagai perilaku individu.

Adapun pengertian asumsi menurut para ahli sebagai berikut: (1). Menurut

Bimo Walgito Asumsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan

yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. (2). Menurut Slameto

(2010:102) Asumsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau

informasi kedalam otak manusia, melalui asumsi manusia terus menerus

mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat

inderanya, yaitu Indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. (3).

Menurut Robbins (2003:97) yang mendeskripsikan bahwa asumsi merupakan

kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa

(diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut

memperoleh makna. (4). Menurut Purwodarminto (1990:759), asumsi adalah

tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui

beberapa hal melalui pengindraan. (5). Dalam kamus besar psikologi, asumsi
10

diartikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan

menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala

sesuatu yang ada dilingkungannya.

C. Masyarakat

Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup bersama,

bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki

tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam

lingkungannya. Masyarakat berasal dari bahasa inggris yaitu "society" yang

berarti "masyarakat", lalu kata society berasal dari bahasa latin yaitu "societas"

yang berarti "kawan". Sedangkan masyarakat yang berasal dari bahasa arab

yaitu"musyarak" Pengertian Masyarakat-Pengertian masyarakat terbagi atas dua

yaitu pengertian masyarakat dalam arti luas dan pengertian masyarakat dalam arti

sempit. (1). Pengertian Masyarakat dalam Arti Luas adalah keseluruhan

hubungan hidup bersama tanpa dengan dibatasi lingkungan, bangsa dan

sebagainya. (2). Sedangkan Pengertian Masyarakat dalam Arti Sempit adalah

sekelompok individu yang dibatasi oleh golongan, bangsa, teritorial, dan lain

sebagainya. Pengertian masyarakat juga dapat didefinisikan sebagai kelompok

orang yang terorganisasi karena memiliki tujuan yang sama. Pengertian

Masyarakat secara sederhana adalah sekumpulan manusia yang saling

berinteraksi atau bergaul dengan kepentingan yang sama. Terbentuknya

masyarakat karna manusia menggunakan perasaan, pikiran dan keinginannya

Masyarakat sebagai suatu sistem, individu-individu yang terdapat di dalam


11

masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi satu sama lain, misalnya dengan

melakukan kerja sama guna memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Apabila

kita mengikuti pengertian masyarakat baik secara natural maupun kultural, maka

akan tampak bahwa keberadaan kedua masyarakat itu merupakan satu-kesatuan.

Dengan demikian, kita akan tahu bahwa unsur-unsur yang ada di dalam

masyarakat yang masing-masing saling bergantung merupakan satu-kesatuan

fungsi. Adanya mekanisme yang saling bergantung, saling fungsional, saling

mendukung antara berbagai unsur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain itulah

yang kita sebut sebagai sistem.

Masyarakat sebagai suatu sistem selalu mengalami dinamika yang

mengikuti hukum sebab akibat (kausal). Apabila ada perubahan pada salah satu

unsur atau aspek, maka unsur yang lain akan menerima konsekuensi atau

akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena itu, melihat

masyarakat atau perubahan pada masyarakat selalu dalam kerangka sistemik,

artinya perubahan yang terjadi di salasatu aspek akan memengaruhi faktor-faktor

lain secara menyeluruh dan berjenjang.

Berbicara mengenai ciri-ciri masyarakat, maka dapat dipaparkan mengenai

ciri-ciri masyarakat sebagai berikut: (a). Masyarakat adalah Manusia Yang Hidup

Berkelompok, Ciri-ciri masyarakat yang pertama adalah Manusia yang hidup

secara bersama dan membentuk kelompok. Kelompok ini lah yang nantinya

membentuk suatu masyarakat. Mereka mengenali antara yang satu dengan yang

lain dan saling ketergantungan. Kesatuan sosial merupakan perwujudan dalam

hubungan sesama manusia ini. Seorang manusia tidak mungkin dapat meneruskan
12

hidupnya tanpa bergantung kepada manusia lain. (b). Masyarakat Yang

Melahirkan Kebudayaan, Ciri-ciri masyarakat yang berikutnya ialah yang

melahirkan kebudayaan. Dalam konsepnya tidak ada masyarakat maka tidak ada

budaya, begitupun sebaliknya. Masyarakatlah yang akan melahirkan kebudayaan

dan budaya itu pula diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai

proses penyesuaian. (c). Masyarakat yaitu yang Mengalami Perubahan, Ciri-ciri

masyarakat yang berikutnya yaitu yang mengalami perubahan. Sebagaimana yang

terjadi dalam budaya, masyarakat juga turut mengalami perubahan. Suatu

perubahan yang terjadi karena faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat

itu sendiri. Contohnya: dalam suatu penemuan baru mungkin saja akan

mengakibatkan perubahan kepada masyarakat itu. (d). Masyarakat adalah

Manusia Yang Berinteraksi, Ciri-ciri masyarakat yang berikutnya adalah manusia

yang berinteraksi. Salah satu syarat perwujudan dari masyarakat ialah terdapatnya

hubungan dan bekerja sama di antara ahli dan ini akan melahirkan interaksi.

Interaksi ini boleh saja berlaku secara lisan maupun tidak dan komunikasi berlaku

apabila masyarakat bertemu di antara satu sama lain. (e). Masyarakat yang

Terdapat Kepimpinan, Ciri-ciri masyarakat yang berikutnya yaitu terdapat

kepemimpinan. Dalam hal ini pemimpin adalah terdiri daripada ketua keluarga,

ketua kampung, ketua negara dan lain sebagainya. Dalam suatu masyarakat

Melayu awal kepimpinannya bercorak tertutup, hal ini disebabkan karena

pemilihan berdasarkan keturunan. (f). Masyarakat terdapat Stratifikasi Sosial,

Ciri-ciri masyarakat yang terakhir ialah adanya stratifikasi sosial. Stratifikasi


13

sosial yaitu meletakkan seseorang pada kedudukan dan juga peranan yang harus

dimainkannya di dalam masyarakat.

Adapun pengertian masyarakat menurut definisi para ahli sebagai berikut:

(a). Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat pada umumnya mempunyai ciri-

Manusia yang hidup bersama, sekurang-kurangny terdiri atas dua orang. (b). Karl

Marx, Menurut Karl Marx pengertian masyarakat merupakan suatu sturktur yang

mengalami ketegangan organisasi maupun perkembangan karena adanya

pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecah secara ekonomi. (c).

Menurut M. J. Herkovits, pengertian masyarakat merupakan kelompok individu

yang diorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu. (d). F.J. L. Gillin

dan J. P. Gillin Sedangkan Menurut J. L. Gillin dan J. P. Gillin, pengertian

masyarakat merupakan kelompok yang tersebar dengan perasaan persatuan yang

sama. (e). Menurut Max weber, pengertian masyarakat merupakan suatu struktur

atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nila yang

dominan pada warganya sendiri. (f). Selo Soemardjan sedangkan menurut Selo

Soemardjan, pengertian masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama

dan menghasilkan kebudayaan.

D. Suku Bugis

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.

Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia

tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di

Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La


14

Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka

menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La

Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan

Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We

Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya

sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang

dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah

Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan

beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk

beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan,

bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik

antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.

Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan

adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis

tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap,

Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah

Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis

dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah

kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi

Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di

Pangkajene Kepulauan).
15

Adat dan Kebudayaan Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di

antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi

bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah

menyebar luas ke seluruh Nusantara. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah

Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan

dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang

dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya

faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu. Orang Bugis zaman

dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi

titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia

bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi

(Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan

hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini.

Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul

keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti

orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan

negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan

Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La

Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka

menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi.

La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara

Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘

Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya
16

sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah

kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.

Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,

Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber :

id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis). Peradaban awal orang–orang Bugis banyak

dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan

diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo

atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan

yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan

harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–

kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.

Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah

Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu

We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo (Anak Sawerigading

dan We‘ Cudai). Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai

pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam

Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta

nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi

kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial,

bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat

setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan

sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah
17

lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial,

serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis

mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian

norma yang terkait satu sama lain. Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat

di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang

(norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang

mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada,

Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh

masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng,

We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman

pra-Islam. Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat

dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa

saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di

kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta

spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang

diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa

laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat

menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa

itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

E. Ideologi

Ideologi merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Terdiri dari dua kata,

idea dan logi. Idea artinya melihat (idean), dan logi berasal dari kata logos yang

berarti pengetahuan atau teori. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ideologi
18

adalah hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori.

Ideologi dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan konsep bersistem yang

dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk

kelangsungan hidup.

Ideologi merupakan gabungan dua kata, yaitu idea dan logos. Idea berarti

gagasan, konsep, pengertian dasar, dan cita-cita, sedangkan logos berarti ilmu atau

pengetahuan. Jadi ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-

ide atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kodhi dan Soejadi, 1988 : 49)

Pengertian dari ideologi ini juga dimaknai berbeda-beda oleh beberapa orang,

diantaranya adalah: (a.) Karl Marx mendefinisikan ideologi sebagai pandangan

hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial

tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. (b). Lanur menyatakan bahwa

ideologi bisa dimasukkan dalam kategori pengetahuan yang subjektif. (c). Carl J.

Friederich mendefinisikan ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dikaitkan

dengan tindakan. (d). C.C Rodee menyatakan bahwa ideologi adalah sekumpulan

gagasan yang cara losegis berkaitan dan mengidentifikasikan nilai-nilai yang

memberi keabsahan bagi institusi politik dan pelakunya.

Terkait dengan soal penafsiran ideologi, secara pengelompokkan ideologi

terbagi dalam dua macam watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi

terbuka. Dari kedua ideologi tersebut dapat dipahami tentang pengertian dan cirri

cirinya, sebagaimana terangkum seperti berikut:

1. Ideologi Tertutup
19

Ideologi tertutup adalah ideologi yang bersifat mutlak. Dengan kata lain

bahwa Ideologi tertutup merupakan ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang

menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan

sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima

sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.

Ciri-ciri ideologi tertutup, adalah: (a). Bukan merupakan cita-cita yang

sudah hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita sebuah kelompok yang

digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat; (b). Apabila kelompok

tersebut berhasil menguasai Negara, ideologinya itu akan dipaksakan pada

masyarakat. Nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai segi kehidupan masyarakat

akan diubah sesuai dengan ideologi tersebut; (c). bersifat totaliter, artinya

mencakup mengurusi semua bidang kehidupan. Karena itu, ideologi tertutup ini

cenderung cepat-cepat berusaha menguasai bidang informasi dan pendidikan;

sebab, kedua bidang tersebut merupakan sarana efektif untuk mempengaruhi

perilaku masyarakat;

2. Ideologi Terbuka

Ideologi terbuka adalah ideologi yang tidak dimutlakkan. Dapat diartikan

juga bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan

digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri.

Ideologi terbuka merupakan ideologi yang dapat berinteraksi dengan

perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal


20

Ciri-ciri ideologi terbuka, adalah: (a). Merupakan kekayaan rohani, dan

budaya masyarakat (falasafah). Jadi, bukan keyakinan ideologis sekelompok

orang, melainkan kesepakatan masyarakat; (b). Tidak diciptakan oleh Negara,

tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri; ia adalah milik seluruh rakyat, dan

bisa digali dan ditemukan dalam kehidupan mereka; (c). Isinya tidak langsung

operasional. Sehingga, setiap generasi baru dapat dan perlu menggali kembali

falasafah tersebut dan mencari implikasinya dalam situasi kekinian mereka.

F. Suku Tolaki

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. mendiami

daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan Konawe. Suku Tolaki

berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan

masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang

dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam

bentuk kebudayaan memakan sagu, yang hingga kini belum dibudidayakan atau

dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Masakan asli Suku Tolaki

sebelum beras adalah dalam bentuk sajian sinonggi.

Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat

Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan

yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini

belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini

masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka

ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka.

untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai
21

ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan

menuju Selat Kendari.

Secara geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian

Tenggara, yang mendiami beberapa daerah yaitu Kabupaten Konawe, Kota

Kendari, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka

Timur. Beberapa daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan kepulauan

Sulawesi bagian Tenggara. Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia sejak

ribuan tahun yang lalu diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba ini

merupakan campuran berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro

Melanesoid yang datang dari arah selatan (migrasi dari pulau Jawa) dengan ciri

khaskapak genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk lonjong dan senang

memakan binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui

arah utara (migrasi dari kepulauan sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan

ujung panah dan isinya bergerigi (R. Soekmono, Wedide 1973: 42). Termasuk

dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia yang pertama kali dan

merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolitikum.

Sejarah Singkat Tolaki di Konawe masyarakat Tolaki sejak zaman

prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapodi Konawe

bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua di

daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo,

Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya tengkorak I, gua Tanggalasi, gua

Tengkorak II, gua Tengkorak III, gua Ladori, gua arang, gua Anawai Ngguluri,
22

gua Wawosabano, gua Tenggere, gua Kelelawar serta masih banyak situs gua

prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi

uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon

14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan

bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun

yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah

berlangsung sejak 5000 tahun sebelum Masehi.

Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak

manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,

gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailan, VOC, Hindia Belanda, batu

pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak

tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar

perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa

Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia termasuk

rumpun bahasa Bungku laki, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras

Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur,

masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara. ditasbihkan

sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima

sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.

Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu

simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau

persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut:


23

“KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin

sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan

kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat. Didalam berinteraksi

sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan

Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan, adapun filosofi kebudayaan

masyarakat Tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain

sebagai berikut : (a). Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap

putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih

menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam

hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat Tolaki,

misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki

akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya

masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih

jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. (b). Budaya Kohanu

(budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari

setiap pribadi masyarakat Tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan

bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan

sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan ,

pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya.

Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat

tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu

meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan. (c).

Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan
24

budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling

hormat-menghormati sesama manusia.

Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk

perumpamaan antara lain sebagai berikut: (1). “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio

Toono Merou Ihanuno” Artinya : Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang

lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya. (2). “Inae Ko Sara

Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”Artinya: Barang siapa

yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum,

namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan

sanksi/hukuman. (3). “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”Artinya:

Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan. (d).

Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong

menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap

permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta

pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai

warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-

membantu. (e). Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat

dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya

kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini

tersirat sifat mandiri, kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang

tolaki.
25

G. Landasan Teori

1. Teori Komunikasi Antar Budaya

Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansakerta buddhaya yang merupakan

bentuk jamak antara buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu

sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan budi atau akal. Istilah ‘culture’

berasal dari ‘colere, yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan , yang

dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani.

Kata ‘colero’, kemudian menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan

kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soerkanto, 1996: 188).

Komunikasi antar budaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi

komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relative

besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan .

Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda

pula perilaku komunikasinya dan makna yang dimilikinya.

E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai

kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks mengcukupi pengetahuan, kepercaan,

kesenian, moral, hukum, ada istiadat, kemanpuan dan kebiasaan-kebiassan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan

bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-

pola perilaku normatif artinya mencangkup segala cara atau pola pikir , merasakan

dan bertindak (dalam Soekanto, 1996: 189). Definisi yang paling sederhana dari

komunikasi antar budaya adalah menambahkan kata budaya dalam pernyataan,


26

komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan,

dalam beberapa definisi komunikasi antar budaya yang paling sederana, yakni

komunikasi antar peribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar

belakang kebudayaan.

Teori Merton (1996:156) yang berdasarkan pada konsep anomi (konsep

anomi mula-mula di kemukakan oleh Durkheim). Keadaan anomi, dan kemudian

penyimpangan timbul jika terdapat perbedaan diantara tujuan sebagaimana

ditentukan oleh kebudayaan atau penyimpangan adalah kurangnya peluang guna

mencapai tujuan tertentu sesuai dengan norma norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat itu. Penyebaran tingka laku yang menyimpang itu ditentukan oleh

bagaimana upaya yang dianggap syah dalam mencapai tujuan tertentu, tingkat

penerimaan tujuan, dan upaya berbagai lapisan dalam masyarakat. Anomi secara

umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan sosial dalam keterikatan pada aturan

aturan normatif sangat lemah. Robert K Merton (1996:157) dalam pembentukan

teori anomienya, mengemukakan anomie sebagai suatu keadaan dari struktur

sosial dimana terdapat beberapa ketidakserasian antara nilai nilai yang di akui

secara budaya dan cara cara yang diakui untuk pencapaian nilai-nilai ini.nomi

terjadi dimana penekanan yang berlebihan di letakkan pada suatu pilihan dengan

mengorbankan yang lain:penekanan pada pencapaian nilai nilai budaya mungkin

akan menyebabkan orang mengambil dengan cara apaun baik sah maupun tidak.

Penekanan ini pada pencapaian tujuan tujuan ekonomi, misalnya mungkin akan

cenderung menyebabkan sedikitnya cara-cara yang dipergunakan. Bagi beberapa

kelompok sosial, dalam mencapai nilai nilai tertentu sebagai keberhasilan


27

mungkin akan digunakan cara cara yang kurang diterimah secara budaya dari

kelompok kelompok lainnya. Merton (1996:150), ia mengemukakan bahwa

penyimpangan terjadi melalui struktur sosial. Menurut Merton struktur sosial

dapat menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma) dan sekaligus

perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan. Merton berpendapat

bahwa struktur sosial mengahasilkan tekanan kearah anomie dan perilaku

menyimpang karena adanya ketidak harmonisan antara tujuan budaya dengan

cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut.

2. Teori labelling

Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert (1912:12). Menurut teori

ini, seseorang menjadi penyimpang karena proses labelling yang diberikan

masyarakat kepadanya. Maksudnya adalah pemberian julukan atau cap yang

biasanya negatif kepada seseorang yang telah melakukan penyimpangan primer

(primary deviation) misalnya pencuri, penipu, pemerkosa, pemabuk, dan

sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, si pelaku penyimpangan

kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi

penyimpangannya sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder (secondary

deviation). Alasannya adalah sudah terlanjur basah atau kepalang tanggung.

Edwin M. Lemert: Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun

(1912:12) ini menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori

labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga kategori, yaitu: (a).

Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena


28

tekanan psikis dari dalam. (b). Situational deviation, sebagai hasil stres atau

tekanan dari keadaan. Systematik deviation, sebagai polapola perilaku yang

terorganisir dalarn subsubkultur atau sistem tingkah laku.

Menurut Lemert (1912: 12) yang dimaksudkan tentang teori labelling

adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap atau label dari

masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan

penyimpangan tersebut. Secara sederhana diartikan bahwa ‘labelling’ adalah

penjulukan atau pemberian cap.

Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari tentang

pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu. Labelling adalah sebuah

definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang

tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori Labelling

mengatakan bahwa terkadang proses labelling itu berlebihan karena sang korban

salah interpretasi itu bahkan tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.

Menurut pendapat saya tentang teori yang dikemukakan oleh Edwin

lemert, labeling adalah pemberian cap negative tentang orang-orang yang

melakukan perilaku penyimpangan yang membuat masyarakat memberikan

penilaian yang buruk.

3. Teori Sosialisasi

Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial

merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal.

Menurut Albert Bandura dan Richard H. Walters (2003:14) misalnya, anak-anak

belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang
29

memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang

yang dekat dengannya.

Selanjutnya, menurut Capaldi dan Peterson, (2002:8). anak-anak yang

agresif umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya terlalu keras dan

agresif. Akibatnya, anak kehilangan teladan pengendalian diri dan mungkin

menanggapi hukuman dengan meningkatkan agresi. Intinya, perilaku

menyimpang dihasilkan oleh proses sosialisasi yang sama dengan perilaku itu.

Sementara itu, menurut Mark S. Gaylord dan john F. Galliher serta Edwin

Sutherland (2002:15), orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung

memiliki ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang,

dimana orang tersebut mengokohkan norma-norma dan nilai-nilai yang

menyimpang. Prinsipnya, setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai-nilai dan

norma-norma kelompoknya kepada anggota-anggota baru.

Kaum muda pada umumnya sangat terbuka terhadap norma, perilaku, dan

nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda, termasuk subkultur perilaku

menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R. Akers (2013:13) perilaku teman-

teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah

perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku

menyimpang.

Menurut pendapat saya mengenai teori soialisasi yang di kemukakan oleh

Albert Bandura dan Richard H. Walters bahwa kecendurunga seorang anak atau

individu melakukan sebuah tindakan dan menarik sebuah kesimpulan mengenai

suatu fakta yang dilihatnya entah itu perbuatan yang bersifat menyimpang akan
30

terus terekam dalam memorinya sehingga akan terbawa dalam jangka waktu yang

lama.

I. Kerangka Pikir

Bagan kerangka pikir di bawah ini menggabarkan bagaimana proses

terjadinya asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di Kolaka

Utara dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi-asumsi negatif masyarakat Bugis

terhadap idelogi suku Tolaki sudah berlangsung sangat lama melalui proses yang

sangat panjang sehingga sampai sekarang asumsi-asumsi tersebut masih bertahan

hingga saat ini, terkait mengeni kasus tersebut terjadi sebuah staratifikasi sosial

dan kesenjangan sosial antara suku Bugis dan suku Tolaki.

Asumsi merupakan dugaan yang diterima sebagai dasar pemikiran atau

landasan berpikir karena dianggap benar. Asumsi mempunyai sifat subjektif,

karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu,

sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian

tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat,

didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah

laku atau disebut sebagai perilaku individu.

Ideologi merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Terdiri dari dua kata,

idea dan logi.Idea artinya melihat (idean), dan logi berasal dari kata logos yang

berarti pengetahuan atau teori. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ideologi

adalah hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori.
31

Ideologi dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan konsep bersistem yang

dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk

kelangsungan hidup.

Adapun kerangka pemikir peneliti ini dapat di lihat pada gambar dibawah

ini.

Asumsi masyarakat Bugis

Asumsi negatif Masyarakat Bugis tidak


masyarakat Bugis mau menikah dengan
terhadap suku Tolaki suku Tolaki

Teori-teori Komunikasi Antar


Budaya, Sosialisasidan
Labelling

Asumsi masyarakat Bugis terhadap


ideologi suku Tolaki
32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai Asumsi

Masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di kolaka utara ini adalah

penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang

menghasilkan deskripsi dari orang-orang atau perilaku, dalam bentuk kata-kata,

baik lisan maupun tulisan. Metode penelitian kualitatif ini juga sering disebut

metode penelitian naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang

alamiah (natural setting).

B. Lokasi Penelitian

Waktu dan lokasi penelitian yaitu di mulai pada bulan Juli 2016 sampai

selesai tepatnya di Kabupaten Kolaka Utara

C. Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah warga masyarakat Kolaka Utara dengan

menggunakan teknik penentuan informan Purposive Sampling atau Judgemental

Sampling, yakni penarikan informan secara purposive, merupakan cara penarikan

informan yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan Kriteria spesifik

yang telah ditetapkan sebelumnya (Jamaluddin Arifin Dkk, 2015 : 21). Adapun

kriteria dari informan yaitu:

1). Masyarakat yang bertempat tinggal atau satu lokasi dengan suku Tolaki.

2). Yang pernah berbincang-bincang dengan suku Tolaki.

32
33

3). Anggota keluarga yang akrab dengan suku Tolaki.

Jumlah Informan penelitian ini tidak dibatasi, jika telah memadai dan

mencapai “data jenuh”, yaitu tidak ditemukan informasi baru lagi dari subjek

penelitian (Endraswara, 2008:116). Adapun jumlah subjek penelitian yaitu

informan ditentukan dengan mengikuti tradisi fenomenologis yaitu tidak lebih

dari 10 orang atau sudah mencapai data jenuh.

Dari pendapat di atas adapun profil dari informan dalam penelitian ini

adalah sebgai berikut:

No Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan

P/L

1 H. Bakri 56 Tahun L SD

2 H. Alwi 67 Tahun L SD

3 Ambo dalle 50 Tahun L SD

4 Baharuddin 57 Tahun L SD

5 Kardi. Spd 49 Tahun L S1

6 Muh.Tang 47 Tahun L SMA

7 Nurgama. S.Pd 45 Tahun P S1

8 Nursia 40 Tahun P SD

9 Hj.Junaida 70 Tahun P SD

10 Hj.Banong 73 Tahun P SD

11 Ismail 24 Tahun L SMA

12 Bustam 43 Tahun L SMA


34

Jumlah informan yakni 12 orang yang terdiri dari laki-laki dan peremuan

berjumlah 12 orang informanyang terdiri dari 8 laki-laki dan 4 perempuan ,

informan yang tersebar di kolaka utara.

D. Fokus Penelitian

Fokus merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari

situasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi fokus atau titik

perhatian dalam penelitian ini adalah “Asumsi masyarakat Bugis terhadap

ideologi suku Tolaki di Kolaka Utara”

E. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian yaitu masyarakat Bugis di Kolaka Utara

F. Instrument Penelitian

Melancarkan kegiatan penelitian maka digunakan beberapa alat yang

dalam istrumen penelitian yakni

1. Observasi

Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung terhadap suatu

objek untuk mengetahui keadaan sebenarnya mengeai objek tersebut.

2. Kamera

Kamera merupakan salah satu alat yag digunakan untuk melakukan

dokumentasi pada saat penelitian berlangsung. Hal ini bertujuan sebagai

sarana untuk meyakinankan seorang pembaca penelitian.

3. Peneliti sendiri
35

Peneliti sendiri merupakan penulis yang melakukan penelitian yang bergerak

dalam mencari bahan atau konsep penelitian yang dilakukan.

G. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang di gunakan dalam penelitian adalah jenis data primer yang

di dapatkan dari hasil wawancara dan observasi.

H. Teknik Pengumpulan Data

1. Interview Suatu pengumpulan data dengan cara mengajukan petanyaan

secara langsung kepada informan. Interview adalah suatu bentuk

komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan untuk

mendapatkan informasi. Interview atau wawancara adalah langkah

pertama sebelum melangkah ke metode observasi.

2. Observasi Suatu cara yang digunakan untuk mengamati dan mencatat

obyek yang akan diteliti. Metode ini digunakan untuk mengetahui

upaya apa yang di lakukan masyarakat setempat dalam pengguna bom ikan

serta dampaknya. Karena dengan observasi dapat kita memperoleh

gambaran yang lebih jelas yang sukar diperoleh dari metode lain.

Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan jenis observasi

atau pengamatan tanpa partisipasi pengamat, jadi pengamat sebagai non

partisipan.

3. Dokumentasi Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia


36

adalah berbentuk foto.

I. Teknik Analisis Data

1. Deskriptif yaitu tulisan yang diperoleh dari sumber data asli ketika

berada dilapangan, seperti hasil wawancara atau informasi yang

didapatkan dari informan untuk dipakai dalam penerapan metode

kualitatif. Deskriptif ini yaitu menggambarkan karakteristik suatu

masyarakat atau suatu kelompok.

2. Analisis Analisis yaitu memadukan fakta yang terdapat dilapangan dan

selanjutnya menganalisanya, menjelaskan pokok-pokok persoalan dan

mendapatkan kesimpulan akhir dari asumsi masyarakat Bugis terhadap

ideology suku Tolaki di kabupaten Kolaka Utara.

J. Teknik Pengabsahan Data

Dalam penelitian tentang asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi

suku Tolaki di Kolaka Utara, ini kemudian dilakukan penafsiran data sesuai

dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan

pengecekan pengabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat

dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan

bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan

dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti.


37

BAB IV

DESKRIPSI UMUM DERAH PENELITIAN DAN DESKRIPSI KHUSUS

LATAR PENELITIAN

A. Deskripsi Umum Kolaka Utara Sebagai Daerah Penelitian

1. Sejarah Singkat Kabupaten Kolaka Utara

Masyarakat yang bermukim diwilayah Kabupaten Kolaka bagian Utara

sejak tahun 1960-an sebenarnya telah berupaya menghadirkan kabupaten baru

sejalan perubahan sistem politik dengan pembentukan kabupaten dan provinsi.

Kebijakan pemerintah pusat menetapkan kalau wilayah bagian utara kabupaten

Kolaka yang juga dikenal dengan nama “Patowanua” (artinya 4 wilayah yang

dipersatukan, yakni; wonua Lewawo, wonua Lato, wonua Watunohu, serta wonua

Kodeoha)” masuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka.

Kabupaten baru yang dicita-citakan itu akhirnya terwujud pada 18

desember 2003 dengan lahirnya Undang-Undang No 29 tahun 2003 yang ditanda

tangani oleh presiden Republik Indonesia kala itu, Megawati Soekarno Putri.

Semua elemen masyarakat menyambut gembira pembentukan kabupaten baru itu.

Sesaat setelah Undang-Undang 29/23 yang mengatur tentang pembentukan

Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di

provinsi Sulawesi Tenggara ditanda tangani presiden, masyarakat Kolaka Utara

menyambutnya dengan haru penuh kegembiraan. Sambutan itu juga dating dari

warga Kolaka Utara yang berdomisili diluar daerah.

37
38

Impian masyarakat yang berjuang menghadirkan hadirnya sebuah

kabupaten baru telah terwujud. Daerah baru yang membawa harapan dan cita-cita

baru bagi banyak kalangan. Warga Kolaka Utara yang berkarir diluar daerah pun

satu persatu terpanggil kembali kedaerahnya untuk membangun dan

mengembangkanya.

2. Kondisi Geografis

Kabupaten Kolaka Utara adalah salah satu daerah tingkat II di Provinsi

Sulawesi Tenggara, Indonesia dengan ibukota Kecamatan Lasusua. Kabupaten ini

merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kolaka luas wilayah Kabupaten

Kolaka mencakup wilayah daratan dan kepulauan daerah Kabupaten Kolaka Utara

berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada

bagian Barat. Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari Utara ke Selatan berada

diantara 2o46'45" - 3o50'50" Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur

diantara 120o41'16" - 121o26'31" Bujur Timur.

Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka Utara adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur (Provinsi

Sulawesi Selatan)

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka

dan Kabupaten Konawe Utara (Provinsi Sulawesi Tenggara)

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka

(Provinsi Sulawesi Tenggara)

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone


39

3. Topgrafi, Geologi, Hidrologi

a. Topgrafi

Keadaan permukaan wilayah Kabupaten Kolaka Utara umumnya terdiri

dari gunung dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Di antara gunung

dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk

pengembangan sektor pertanian. Kabupaten Kolaka Utara mempunyai ketinggian

umumnya dibawah 1.000 meter dari permukaan laut dan berada di sekitar daerah

khatulistiwa maka daerah ini beriklim tropis. Suhu udara minimum sekitar 10 °C

dan maksimum 31 °C atau rata-rata antara 24 °C - 28 °C.adapun luas wilayah

menurut kecematandi kabupaten kolaka utara yaitu:

Kecematan Luas (Km2) Peresentase (%)

Ranteangin 189,92 5,60

Lambai 162,74 4,80

Wawo 234,99 6,93

Lasusua 287,67 8,48

Katoi 82,64 2,44

Kodeoha 250,49 7,39

Tiwu 81,92 2,42

Ngapa 149,18 4,40

Watunohu 109,99 3,24

Pakue 313,25 9,24


40

Pakue tengah 191,82 5,66

Pakue utara 131,25 3,87

Batu putih 374,95 11,06

Porehu 647,23 19,08

Tolala 183,58 5,41

Jumlah 3391,62 100,00

Table 1.1:Luas Wilayah Kecematan Yang Ada Di Kolaka Utara:Sumber

Badan Pertahana Nasional Kabupaten Kolaka Utara

b. Geologi

Kabuaten kolaka utara memiliki luas wilayah daratan sekitar 3.391,62

km2 dan wilayah perairan laut membentang sepanjang teluk bone seluas 12,376

km2 Kabuaten kolaka memilik perairan laut seluas 12,376 km2 katerstik dasar

perairan yang landai, terjal dan sangat terjal dengan pesisir pantai terdiri dari

paparan batuan teluk dan muara serta daerah yang kaya organisme planton,

panjang jalan dikabupaten Kolaka Utara, mencapai 822,62 km.

c. Hidrologi

Kabupaten Kolaka Utara memiliki beberapa sungai yang terbesar pada 6

(enam) kecamatan. Sungai tersebut pada umumnya memiliki potensi yang dapat

dijadikan sebagai sumber tenaga, kebutuhan idustri, kebutuhan rumah tangga, dan

kebutuhan irigasi serta pariwisata.


41

Iklim Kabupaten Kolaka Utara mempunyai ketinggian umumnya dibawah

1.000 meter dari permukaan laut dan berada didaerah khatulistiwa maka daerah

ini beriklim tropis minimum sekitar 10°C dan maksimum 31 ˚C-28 ˚C.

d. Kondisi Demografi

Kepadatan penduduk Kabupaten Kolaka Utara pada tahun 2011 adalah 37

jiwa/km2 dari 15 kecamatan, kecamatan Ngapa merupakan satu-satunya

kecamatan yang memiliki kepadatan diatas 100 jiwa/km2 yaitu 123 jiwa/km2.

kecamatan yang memiliki diatas 50 jiwa/km2 adalah kecamatan Lasusua yaitu 80

jiwa/km2, kecamatan katoi 72 jiwa/km2, kematan tiwu 50 jiwa/km2 dan

kecamatan Watunohu yaitu sebesar 56 jiwa/km2 untuk kecamatan lainnya yaitu

Rante angin, Wawo, Lambai, Kodeoha, Pakue, Pakue Tengah, Pakue Utara, Batu

Putih, Porehu, dan Tolala kepadatannya dibawa 50 jiwa/km2.

Gambar 1.4 Lambang dan Peta lokasi Kabupaten Kolaka Utara


42

Koordinat: 2.00˚ Ls- 122.045˚ - 124.060˚ BT, Provinsi Sulawaesi

Tenggara dasar hukum UU No. 29 Tahun 2003, Pemerintah Bupati Rusda

Mahmud wakil bupati Boby Alimuddin. DAU Rp. 385. 721. 156.000.-(2013)

Luas: 3.391 km2 Populasi. Total: 113.317 jiwa/km2 Kepadatan: 33,42 jiwa/km2.

Keadaan penduduk Kolaka Utara dalam proses Pembangunan di Kolaka

Utara yang merupakan upaya pemerintahan bersama dengan masyarakat untuk

menciptakan masyarakat yang sejahtera di bidang sosial yang lebih baik. usaha

dalam bidang tersebut antara lain meliputi kegiatan yang berkaitan dengan

Pendidikan, Kesehatan, Keluarga Berencana, Agama dan Sosial lainnya keadadan

penduduk tahun 2016 yaitu:

Jenis Kelamin

Kecematan Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis

Kelamin

Ranteangin 2978 2769 5747 108

Lambai 3164 2907 6071 109

Wawo 2965 2995 5960 99

Lasusua 14 488 13782 28270 105

Katoi 3523 3283 6806 107

Kodeoha 5693 5506 11199 103

Tiwu 2174 2108 4282 103

Ngapa 11 120 10394 21514 107

Watunohu 3250 3156 6406 103


43

Pakue 5040 4798 9838 105

Pakue tengah 4251 3901 8152 109

Pakue utara 3215 3151 6366 102

Batu putih 4411 4253 8664 104

Porehu 4249 3516 7765 121

Tolala 1955 1711 3666 114

Jumlah 72476 68230 140 706 106

Tabel 1.2: jummlah penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecematan di

kabupaten kolaka utara sumber proyeksi penduduk Indonesia

Menurut jumlah penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecematan di

Kabupaten Kolaka Utara berjumlah 140 706 jiwa yang terdiri dari laki-laki 72 476

jiwa dan perempuan berjumlah 68 230 jiwa berdasarkan dan jummlah penduduk

dan rasio jenis kelamin menurut kecematan di Kabupaten Kolaka Utara.

Mata pencarian Kolaka Utara atau masyarakat Kolaka Utara Sumber ini

adalah perkubunan kakao, kelapa dan cengkeh sekitar 80% penduduk kabupaten

ini bergantuk pada perkubunan untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan

tinkat partisipasi masyarakat dalam bidang angkatan kerja menurut jenis kelamin

laki-laki jauh lebih tinggi yaitu 81,37% dan untuk perempuan 69,75 % jumlah

pendudukusia kerja sebesar 73.619 dari jumlah penduduk usia kerja

tersebut,sebanyak 55.634 rang (75,57%) merupakan angkatan kerja dan sisanya

18.328 orang (24.43%) merupakan bukan angkatan kerja.dari jumlah penduduk


44

angkatan kerja yang bekerja menyerap sebanyak 83,91 % sedangkan pencari kerja

(pengangguran terbuka) sebanyak 16,09%

Pemerintah di Kabupaten Kolaka Utara berjumlah 15 kecematandan desa

terdiri 127 desa dan kelrahan berjumlah 6 dari setiap kecemaan yang ada di

Kolaka Utara wilayah administrasi pemerintahan tersebut meliputi:

Kecematan Ibu Kota Jumlah desa Kelurahan

Ranteangin Ranteangin 6 Desa 1 Kelurahan

Lambai Lambai 7Desa -

Wawo Wawo 7 Desa -

Lasusua Lasusua 11 Desa 1 Kelurahan

Katoi Katoi 6 Desa -

Kodeoha Kodeoha 11 Desa 1 Kelurahan

Tiwu Tiwu 7 Desa -

Ngapa Ngapa 11 Desa 1 Kelurahan

Watunohu Watunohu 8 Desa -

Pakue Pakue 11 Desa 1 Kelurahan

Pakue tengah Pakue tengah 10 Desa -

Pakue utara Pakue utara 9Desa -

Batu putih Batu putih 10 Desa 1 Kelurahan

Porehu Porehu 8 Desa -

Tolala Tolala 6 Desa -

Jumlah 15 Kecematan 127 Desa 6 Kelurahan

Tabel 1.3:Wilayah Administrasi Pemerintahan Di Kolaka Utara


45

Berdasarkan data tabel diatas wilayah administrasi pemerintahan di

Kolaka Utara berjumlah 15 kecematan 127 desa 6 kelurahan dan setiap kecematan

memiliki pemekaranya masing-masing yaitu kecematan wawo dan lembai

meruakan hasil pemekaran dari Ranteangin, di ibu kota Katoi merupakan hasil

pemekaran dari Lasusua sedangkan kecamatan Tiwu merupakan hasil pemekaran

dari Kodeoha, kecematan Watunohu merpakan hasil mekaran dari kecematan

Ngapa, Pakue Tegah dan Pakue Utara merupakan hasil dari pemekaran dari

kecematan Pakue, kecematan yang terakhir adalah kecematan Tolala, Porehu

meruakan hasil pemekaran dari kecematan Batu Putih.

Menurut kecamatan dan agama yang dianut oleh masyarakat Kolaka Utara

berdasrakan sumber informasi dari kementrian agama Kabuaten Kolaka Utara

155066 terdapat 143 unit tempat beribada yang terdiri dari 125 unit masjid, 20

unit mushola dan 1 buah gereja. Adapun jumlah penduduk menurut kecematan

dan agama yang di anut dikabupaten kolaka utara adalah:

Kecematan Islam Protestan Katolik Hindu Budha

Ranteangin 6208 12 - - -

Lambai 6387 5 - - -

Wawo 7248 98 1 -7 -

Lasusua 33384 118 7 - -

Katoi 7553 4 - -

Kodeoha 12597 12 - - -

Tiwu 4665 - - - -
46

Ngapa 221331 2 - - -

Watunohu 6745 8 - - -

Pakue 10877 39 - - -

Pakue tengah 9750 17 - 3 -

Pakue utara 8656 36 - - -

Batu putih 8887 12 - - -

Porehu 6781 609 15 - -

Tolala 3197 23 - - -

Jumlah 155066 995 23 10 -

Tabele 1.4: Jumlah Agama Yang Dianut Di Kabupaten Kolaka Utara Sumber

Kementrian Agama Kabupaten Kolaka Utara

Masyarakat Kabupaten Kolaka Utara terdiri atas kesatuan-kesatuan kecil

yang unsur-unsurnya adalah ayah, ibu dan anak. Kesatuan-kesatuan keluarga kecil

ini merupakan inti dari pada suatu masyarakat, Pembentukan rumah tangga baru

sampai sekarang bagi masyarakat tolaki umumnya memprioritaskan pada garis

keturunan yang sama, dan ada juga bukan dari garis keturuna yang sama diluar

sukunya

4. Kesenian

Sistem Kesenian, tradisi tari Mollulo ini merupakan tarian khas orang

Tolaki yang menggambarkan persamaan dan persatuan bagi warga. jika

melakukan kunjungan kerja ke pelosok daerah Sultra dan ada suguhan tarian

Mollulo, tarian yang sampai kini tetap dilestarikan oleh orang Tolaki dan warga

masyarakat Sultra. Tari Molulo atau Tari Lulo adalah salah satu tarian tradisional
47

yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Tarian ini merupakan tarian masyarakat

Suku Tolaki yang dilakukan secara masal dan bisa dilakukan oleh semua kalangan

baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Tari Molulo juga merupakan salah

satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Sulawesi Tenggara, terutama di

daerah Kendari, Kolaka, Kolaka Timur, Kolaka Utara, Konawe dan darah yang

ada di Sulawesi Tengara dan sering ditampilkan di berbagai acara seperti

pernikahan adat, panen raya, dan berbagai perayaan adat lainnya.

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku

seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pembelajaran dan pelatihan, di Kolaka Utara sendiri memiliki pendidkan

yang cukup baik sekolah yang ada di Kolaka Utara pada tahun 2015/2016 tingkat

taman kanak- kanak (TK) berjumlah 4,3 persen jumlah guru untuk taman kanak-

kanak disetip kecamatan berjumlah 31,7 persen dan jumlah murid disetia

kecamatan berjumlah 12,98 persen

Untuk sekolah dasar (SD) pada tahun ajaran 2015/2016 megelami

kenaikan jika dibandingka dengan tahun ajaran 2014/2015 yaitu 109 sekolah

umlah guru juga megalami kenaikan sebesar 4,66 persen namun jumlah murid

mengalami penurunan sebesar 0,77 persen dari 16,234 pada tahun ajaran

2014/2015 menjadi 16,109 pada tahun ajaran 2015/2016.

Sedangkan pada tingkat Smp dan Mts pada tahun jaran 2015/2016

berjumlah 34 unit sekolah tinkat lanjutan, sedangan jumlah guru menurun

sebesar 0,95 persen namun jumlah murid mengalami peningkatan sebesar 2,13
48

persen adapun rasio umlah guru terhada jumlah sekolah tahun 2015/2016 sebayak

15 guru perseolah.

Jenjang sekolah menegah umum (Smu) pada tahun ajaran 2015/2016

berumlah 6 jumlah ini sama dengan tahun sebelumyah jumlah guru mengalami

penigkatan dari 184 guru pada tahun 2013/2014 menjadi 219 guru pada tahun

2015/2016 atau meningkat sebesar 19,02 persen

Pada tahun ajaran 2015/2016 terjadi perubahan jumlah sekolah menegah

kejuruan (Smk) yaitu sebanyak 6 unit, jumlah guru mengalami peningkatan

sebesar 3,95 persen namun jumlah siswa mengalami penurunan yaitu sebesar 0,28

persen

Perguruan tinggi yang terdapat di Kabupaten Kolaka Utara pada tahun

2016 berumlah 2 unit yaitu pergruan tinggi oppu mapata dan universitas Sembilan

belas November (Usn).

6. Pariwisata

Tempat pariwisata merupakan suatu tempat rekeasi bersama keluarga

maupun teman dalam menghilangkan rasa kejenuhan. Tempat rekreasi yang ada di

Kolaka Utara yaitu pantai pasir putih 130 kilumeter kearah utara tepanya berada

di kecematan Tolala kerasi alam yang unik yang lainya tersaji di desa Sarambu di

kecematan Katoi 112 kilumeter dari ibu kota kabupaten air terjun Ponggi

Sarambu, kecematan Batuh Putih 103 kilumeter dari ibu kota kabpaten terdapat

air terjun museriri pesona alam lainya yaitu air terjun tinuna, air terjun tangga

ruru, air terjun tangga, psunah alam lainya terdapat di kecamatan BatU Putih yaitu
49

air terjun batu putih, goa datuk luwu di kecematan Pakue Utara 86 kilumeter dari

ibu kota kabupaten megalir air terjun salamore dan pantai tumbuha 45 kilumeter

dari ibu kota kabupaten tepanya di kecematan Gama terdapat sebuh gua degan

ratuusan tengkorang manusia yaitu goa Lawolatu atau goa tengkorang kecematan

Katoi terletak sekitar 14 kilumeter dari ibu kota kabupaten permandian alam wae

batoei Katoi, Pantai tanjung Tobaku di kecematan Lasusua ibu kota Kabupaten

Kolaka Utara terdapat pantai tanjung toil-toli antara tanjung toli-toli ketika air

surut akan tersaj keindahan alam terdaat pulau karang Kolaka Utara meyajikan

wisata dayung danau kirambu 33 kilumeter dari arah selatan ibu kota kabupaten

terdapat kecematan Lambai menawarkan pesona air terjun lapasi-pasi, kecematan

Ranteangin 41 kilumeter dari ibu kota kabupaten terdapat dinding batu gua

tappareng posongi di kecematan Wawo 46 kilumeter ibu kota kabupaten terdapat

danau biru.

B. Deskripsi Khusus Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki di Kolaka

Utara

1. Sejarah masuknya masyrakat Bugis di Kabupaten Kolaka Utara

a. sejarah masuknya masyarakat Bugis di Kolaka Utara

Awal masuknya suku Bugis di Kabupaten Kolaka Utara di mulai

masuknya seorang lelaki pemberani yang bernama Larungpalangi yang

merupakan raja pertama di kerajaan Mekongga pada abat XIII. Masyarakat

Mekongga menganggap Larumpalangi sebagai juru penyelamat yang telah

menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung raksasah Konggaaha.


50

Oleh karena itu setelah Larungpalangi menjadi raja (snskia), mereka menamai

kerajaannya Mekongga. Wilaya kerjaan ini, sekarang dikenal sebagai Kabupaten

Kolaka dan Kolaka Utara.

Adat dan Kebudayaan Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di

antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi

bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah

menyebar luas ke seluruh Nusantara. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah

Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan

dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang

dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya

faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.

b. Sejarah masuknya masyarakat suku Tolaki di Kolaka Utara

Sejarah Singkat Tolaki di Konawe masyarakat Tolaki sejak zaman

prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapodi Konawe

bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua di

daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo,

Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya tengkorak I, gua Tanggalasi, gua

Tengkorak II, gua Tengkorak III, gua Ladori, gua arang, gua Anawai Ngguluri,

gua Wawosabano, gua Tenggere, gua Kelelawar serta masih banyak situs gua

prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi

uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon
51

14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan

bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun

yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah

berlangsung sejak 5000 tahun sebelum Masehi.

Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak

manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,

gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailan, VOC, Hindia Belanda, batu

pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak

tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar

perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa

Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia termasuk

rumpun bahasa Bungku laki, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras

Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur,

masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara. ditasbihkan

sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima

sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.

Secara geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian

Tenggara, yang mendiami beberapa daerah yaitu Kabupaten Konawe, Kota

Kendari, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka

Timur. Beberapa daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan kepulauan

Sulawesi bagian Tenggara.

Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan masyarakat nomaden

yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang dilaksanakan secara
52

gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam bentuk kebudayaan

memakan sagu, yang hingga kini belum dibudidayakan atau dengan kata lain

masih diperoleh asli dari alam. Masakan asli Suku Tolaki sebelum beras adalah

dalam bentuk sajian sinonggi.

Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat

Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan

yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini

belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini

masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka

ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka.

untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai

ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan

menuju Selat Kendari.

“KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin

sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan

kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat. Didalam berinteraksi

sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan

Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan, adapun filosofi kebudayaan

masyarakat Tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain

sebagai berikut : (a). Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap

putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih

menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam

hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat Tolaki,
53

misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat Tolaki

akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya

masyarakat Tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih

jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. (b). Budaya Kohanu

(budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari

setiap pribadi masyarakat Tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan

bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan

sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan ,

pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya.

Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat

tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu

meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan. (c).

Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan

budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling

hormat-menghormati sesama manusia.

2. Tingkat pendidikan masyarakat Bugis dan masyarakat Tolaki

a. Tingkat pendidikan masyarakat Bugis

Gaya hidup masyarakat Bugis sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet dalam

upaya meningkatkan pendidikan yang kemudian mendongkrak kualitas hidup

masyarakat Bugis di berbagai daerah di Kabupaten Kolaka Utara inilah yang

membuka pola pikir masyarakat pribumi untuk menata kehidupan mereka yang

lebih baik, peningkatana dari sektor pendidikan. gaya hidup suku Bugis memberi

pengaruh sangat besar bagi perubahan pola pikir dan pola hidup masyarakat suku
54

Tolaki, dalam peningkatan kualitas hidup baik dari segi ekonomi maupun

pendidikan. sebelum orang-orang Bungis masuk dan menginjakkan kaki ditanah

Mekongga (Kolaka Utara) pola hidup masyarakat suku Tolaki masih sangat

memperhantikan, dari sektor pendidikan. Dengan melihat gaya hidup orang-orang

Bugis, masyarakat pribumi belajar banyak hal tentang pentingnya pendidikan.

Masuknya orang-orang Bugis di Kabupaten Kolaka Utara membawa

perubahan dan memberi dampak positif bagi masyarakat pribumi secara

signifikan, perubahan-perubahan tersebut telah mengantar pertumbuhan,

kemajuan dan perkembangan daerah Kolaka Utara dalam sektor pendindikan.

seperti yang kita ketahui orang bugis dalam hal pemerintahan memang memiliki

peran yang sangat penting, dari tingkat Kabupaten, Kecamatan Maupun Desa.

ditingkat Kabupaten, Bupati Kolaka Utara dua priode dari tahun 2006-2011 dan

2011-2016 adalah orang Bugis (Bapak Drs. H. Rusda Mahmud M.h), sekertaris

daerah Kabupaten Kolaka Utara adalah orang Bugis Bone, dan beberapa kepala

dinas lainnya adalah orang Bugis. sebagian besar camat di kecamatan di

Kabupaten Kolaka Utara diantaranya adalah orang Bugis sampai dengan para

kepala desapun sebagian besar adalah orang Bugis. Dalam hal ini bukanlah suatu

masalah bagi masyarakat pribumi yang harus dipimpin oleh pendatang, karena

sampai saat ini belum ada konflik tentang suku.

b. Tingkat pendidikan masyarakat Tolaki

Sejak masuknya masyarakat Bugis di Kolaka Utara tingkat pendidikan

masyarakat suku Tolaki terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun, tak
55

heran jika diberbagai sektor baik dalam pemerintahan Kabupaten, Kecamatan,

Maupun desa, mayarakat suku Tolaki telah ikut andil dalam meningkatkatkan

mutuh pendidikan dan sumberdaya manusia di Kabupaten Kolaka Utara.

Peningkatan mutuh pendidikan masyarakat Tolaki di pengaruhi karena

semangat dan kerja kerja keras masyarakat Tolaki untuk mau berubah lebih baik

dari sebelumnya serta di topang oleh perhatian pemerintah Kabupaten Kolaka

Utara Terhadap masyarakat Tolaki, dengan melihat dan belajar dari masyarakat

Bugis sebagai masyarakat pendatang masyarakat Tolaki termotifasi untuk terus

berbenah dan meningkatkat pendidikan sehingga hasil kerja keja keras masyarakat

Tolaki berbuah manis dan kini masyarakat Tolaki menjadi salah satu suku yang

mempunyai tingkat pendidikan terbaik di Kabupaten Kolaka utara.

Dari beberapa uraian diatas dapat diketahui bahwa masyarakat Tolaki

dalam hal pemerintahan juga memiliki peran yang sangat penting, dari tingkat

Kabupaten, Kecamatan Maupun Desa karena masyarakat Tolaki kini menyadari

pentingnya pendidikan.

3. Mata pencaharian utama Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki

a. Mata pencaharian Masyarakat Bugis

Pada umumnya mata pencaharian masyrakat Bugis di Kabupaten Kolaka

Utara yakni, petani kakao dan cengkeh, nelayan, serta pedagang. Mengingat

Kolaka Utara memiliki kekeyaan sumberdaya alam yang melimpah dan tanah

yang subur, sehingga masyarakat Bugis betah dan menetap di Kolaka Utara.
56

Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan bidang

pendidikan.

b. Mata pencaharian Masyarakat Tolaki

Mata pencaharian pokok masyarakat tolaki adalah bercock tanang

diladang, menanam padi disawa, berkebun tanaman masa panjang, beternak

kerbau dll. kemudian sebagai mata pencaharian sampingan, ada di antara mereka

sewaktu-waktu meramu misalnya menggali ubi di hutan, berburu rusa, anuang,

ayam hutan, dan berbagai jenis burung, serta menangkap ikan di rawa dan di

sungai, sebagai makanan tambahan selain beras, masyarakat Tolaki juga menanam

sagu sebagai makanan pokok. kemudian seiring berkembangnya zaman

masyarakat Tolaki berangsur-angsur beralih menjadi petani kakao dan cengkeh,

nelayan dan sebagian besar juga menggeluti birokrasi pemerintahan dari bidang

pendidikan guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Tolaki.

4. Hubungan Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki

Heterogenitas masyarakat di Kolaka Utara yang sangat membanggakan

adalah masyarakat yang selalu ingin hidup berdampingan seperti salah satu contoh

antara masyarakat Bugis dan masyarakat Tolaki dengan damai menjaga persatuan

dan kesatuan, sehingga stabilitas daerah tetap terjaga dengan baik, hal ini

merupakan modal dasar untuk melakukan pembangunan demi kemajuan dan

perkembangan kota Kabupaten Kolaka Utara dimasa sekarang dan yang akan

datang. Dan tak mengherankan jika Kabupaten Kolaka Utara mengalami

perkembangan yang sangat pesat karena hubungan sosial masyarakat Bugis dan
57

masyarakat Tolaki terus terjaga dan bahkan sebagian besar masyarakat Tolaki

mengikuti budaya pernikahan masyarakat Bugis begitupun sbaliknya umunya

masyarakat Bugis menggunakan tarian molulu sebagai hiburan dalam setiap

pernikahan masyrakat Bugis tapi namun disisi lain masih ada sebagian masyarakat

Bugis yang enggan menikah dengan suku Tolaki.

Dari urain diatas dapat diketahui bahwa hubungan sosial antara masyrakat

Bugis dan masyarakat Tolaki masih terjaga dengan baik hanya saja sebagiam

masyarakat Bugis membatasi diri dalam ikatan yang sakral seperti ikatan

pernikahan.

C. Profil Informan

Pada profil informan ini oleh peneliti menyajikannya berdasarkan

atas gambaran tentang identitas informan yang disesuaikan dengan kriteria-

kriteria dalam penentuan subjek atau informan yang mendukung diperolehnya

hasil penelitian yang sesuai dengan kenyataan pada kehidupan masyarakat

Kolaka utara. Adapun profil informan berikut adalah beberapa daftar informan

dalam penelitian berdasarkan, pendidikan, pekerjaan dan usia. Daftar Informan

Berdasarkan Jenis adalah sebagai berikut:

No Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan

P/L

1 H. Bakri 56 Tahun L SD

2 H. Alwi 67 Tahun L SD

3 Ambo dalle 50 Tahun L SD


58

4 Baharuddin 57 Tahun L SD

5 Kardi. Spd 49 Tahun L S1

6 Muh.Tang 47 Tahun L SMA

7 Nurgama. S.Pd 45 Tahun P S1

8 Nursia 40 Tahun P SD

9 Hj.Junaida 70 Tahun P SD

10 Hj.Banong 73 Tahun P SD

11 Ismail 24 Tahun L SMA

12 Bustam 43 Tahun L SMA

Jumlah informan yakni 12 orang yang terdiri dari laki-laki dan peremuan

berjumlah 12 orang informanyang terdiri dari 8 laki-laki dan 4 perempuan ,

informan yang tersebar di kolaka utara.


59

BAB V

ASUMSI NEGATIF MASYARAKAT BUGIS TERHADAP IDEOLOGI

SUKU TOLAKI

A. Deskripsi Permasalahan

Permasalahan yang mengemuka dalam masyarakat Bugis adalah asumsi–

asumsi negatif terhadap ideologi suku Tolaki, sehingga pada umumnya

masyarakat Bugis di Kolaka Utara menganggap bahawa suku Tolaki derajat atau

strata sosialnya paling rendah dan anggapan ini berkembang dari nenek moyang

atau orang-orang tua terdahulu hingga sekarang. Terkait mengenai asumsi negatif

suku Bugis terhadap ideologi suku Tolaki bukan tampa alasan, masyarakat Bugis

beralasan bahwa dulu suku Tolaki hidupnya miskin dan sederhana bahkan

sebagian besar menjadi budak dan pengembala orang- orang Bugis dan juga suku

Tolaki mempunyai perinsip kerja yaitu kerja hanya untuk kebutuhan sehari dan

makan seadanya tampa memperhitungkan tuk masa depan dan suku Tolaki

umumnya bekerja ketika persediaannya benar-benar habis, alasan inilah yang di

pertahankan dan berkembang oleh sebagian besar masyarakat Bugis.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.

Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia

tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di

Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La

Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka

menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La

59
60

Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan

Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We

Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya

sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang

dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah

Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan

beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk

beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan,

bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik

antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.

Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan

adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis

tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap,

Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah

Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis

dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah

kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi

Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di

Pangkajene Kepulauan).

Adat dan Kebudayaan Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di

antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi


61

bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah

menyebar luas ke seluruh Nusantara. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah

Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan

dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang

dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya

faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu. Orang Bugis zaman

dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi

titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia

bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi

(Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan

hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini.

Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul

keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti

orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan

negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan

Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La

Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka

menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi.

Jika diteliti dari dialek bebicara suku Tolaki bukan tampa alasan jika

masyarakat Bugis berasumsi bahwa suku Tolaki itu kasar karna memang cara

berbicara bernada cepat dan keras, mungkin itulah salah satu alasan mengapa

masyarakat Bugis berasumsi bahwa suku Tolaki itu berprilaku kasar tapi anehnya

suku Tolaki bisa bertahan hidup berdampingan dengan suku-suku yang lain,
62

seperti suku Bugis, jawa, Lombok, Bali, Toraja, Enrekang, Tator, luwu dll.

Padahal suku Tolaki sering dipandang sebelah mata oleh suku-suku yang lainnya

khususnya suku Bugis yang sangat apatis terhadap kehadiran suku Tolaki padahal

hampir semua suku Tolaki pasih dan sering menggunakan bahasa Bugis dalam

berkomunikasih atau berdialog dengan masyarakat lain, terkait dari masalah yang

ditimbulkan dan melihat budaya suku Tolaki sehingga orang Bugis bersaumsi

negatit terhadap ideologi suku Tolaki.

Seperti yang di kemukakan E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan

definisi mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks mengcukupi

pengetahuan, kepercaan, kesenian, moral, hukum, ada istiadat, kemanpuan dan

kebiasaan-kebiassan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan

dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencangkup segala cara

atau pola pikir , merasakan dan bertindak (dalam Soekanto, 1996: 189). Definisi

yang paling sederhana dari komunikasi antar budaya adalah menambahkan kata

budaya dalam pernyataan, komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda

latar belakang kebudayaan, dalam beberapa definisi komunikasi antar budaya

yang paling sederana, yakni komunikasi antar peribadi yang dilakukan oleh

mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.

Seiring berkembangnya zaman asumsi-asumsi negatif masyarakat Bugis

tehadap ideologi suku Tolaki terus mencuak dikalangan masyrakat Bugis dan

masih di jadikan sebuah alasan untuk beanggapan yang negatif kepada suku
63

Tolaki tapi disisi lain dari dulu hingga sekarang suku Bugis dan suku Tolaki bisa

hidup bedampingan dan melakukan hubungan intraksi sosial secara nomal.

Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai asumsi negatif masyarakat Bugis

terhadap ideologi suku Tolaki terlebih dahulu kita harus tau sejarah suku Tolaki.

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. mendiami

daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan Konawe. Suku Tolaki

berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan

masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang

dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam

bentuk kebudayaan memakan sagu, yang hingga kini belum dibudidayakan atau

dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Masakan asli Suku Tolaki

sebelum beras adalah dalam bentuk sajian sinonggi.

Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat

Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan

yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini

belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini

masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka

ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka.

untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai

ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan

menuju Selat Kendari.

Secara geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian

Tenggara, yang mendiami beberapa daerah yaitu Kabupaten Konawe, Kota


64

Kendari, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka

Timur. Beberapa daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan kepulauan

Sulawesi bagian Tenggara. Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia sejak

ribuan tahun yang lalu diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba ini

merupakan campuran berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro

Melanesoid yang datang dari arah selatan (migrasi dari pulau Jawa) dengan ciri

khaskapak genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk lonjong dan senang

memakan binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui

arah utara (migrasi dari kepulauan sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan

ujung panah dan isinya bergerigi (R. Soekmono, Wedide 1973: 42). Termasuk

dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia yang pertama kali dan

merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolitikum.

Sejarah Singkat Tolaki di Konawe masyarakat Tolaki sejak zaman

prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapodi Konawe

bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua di

daerah ini umumnya terletak di Konawebagian Utara seperti Asera, Lasolo,

Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya tengkorak I, gua Tanggalasi, gua

Tengkorak II, gua Tengkorak III, gua Ladori, gua arang, gua Anawai Ngguluri,

gua Wawosabano, gua Tenggere, gua Kelelawar serta masih banyak situs gua

prasejarah yang belum teridentifikasi.

Filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara

lain sebagai berikut: (1). “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou
65

Ihanuno” Artinya : Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka

pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya. (2). “Inae Ko Sara Nggoie

Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”Artinya: Barang siapa yang

patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun

barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi

hukuman. (3). “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”Artinya: Barang siapa

yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan. (d). Budaya

“samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong

dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan

sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat, pesta pernikahan, kematian

maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu

bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu. (e). Budaya

“taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang

Tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu)

namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,

kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki.

B. Pendapat Para Imforman

Pendapat setiap manusia sudah jelas tidaklah sama sesuai dengan

pemikiran para individu itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh beberapa

informan yang peneliti wawancarai selama berlangsungnya penelitian. yang

berujdul asumsimasyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di Kolaka Utara.

rumusan masalah pertama berikut ini pandapat dari beberapa informan tentang:
66

1. Mengapa masyarakat Bugis berasumsi negatif terhadap ideologi suku Tolaki

Manusia harusnya memahami apa itu asumsi setelah memahami tentang

arti dari kata asumsi. Ini dikarenakan karena manusia adalah makhluk sosial

dengan individu yang berbeda serta beragam sehingga perlu dibentuk adanya

suatu kelompok atau golongan yang membentuk suatu masyarakat seperti jika

kita ingin membuat suatu bangunan atau rumah. terkit mengenai masalah tersebut

diperkut dengan adanya teori labelling yang di kemukakan oleh Edwin M.

Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert (1912:12). Menurut teori

ini, seseorang menjadi penyimpang karena proses labelling yang diberikan

masyarakat kepadanya. Maksudnya adalah pemberian julukan atau cap yang

biasanya negatif kepada seseorang yang telah melakukan penyimpangan primer

(primary deviation) misalnya pencuri, penipu, pemerkosa, pemabuk, dan

sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, sipelaku penyimpangan

kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi

penyimpangannya sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder (secondary

deviation). Alasannya adalah sudah terlanjur basah atau kepalang tanggung.

Edwin M. Lemert: Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun

(1912:12) ini menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori

labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga kategori, yaitu: (a).

Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena

tekanan psikis dari dalam. (b). Situational deviation, sebagai hasil stres atau
67

tekanan dari keadaan. Systematik deviation, sebagai polapola perilaku yang

terorganisir dalarn subkultur atau sistem tingkah laku.

Menurut Lemert (1912: 12) yang dimaksudkan tentang teori labelling

adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap atau label dari

masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan

penyimpangan tersebut. Secara sederhana diartikan bahwa ‘labelling’ adalah

penjulukan atau pemberian cap.

Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari tentang

pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu. Labelling adalah sebuah

definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang

tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori Labelling

mengatakan bahwa terkadang proses labelling itu berlebihan karena sang korban

salah interpretasi itu bahkan tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.

Menurut pendapat saya tentang teori yang dikemukakan oleh Edwin

lemert, labeling adalah pemberian cap negatif tentang orang-orang yang

melakukan perilaku penyimpangan yang membuat masyarakat memberikan

penilaian yang buruk.

Pengertian asumsi secara umum, asumsi adalah dugaan yang diterima

sebagai dasar pemikiran atau landasan berpikir karena dianggap benar, sesorang

dapat berasumsi negatif kepada orang lain jika melihat dan mendengar suatu

peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampu dan menjadi sebuah patokan

dalam mengambil sebuah kesimpulan terhadap apa yang terjadi di masa sekarang
68

seperti yang di katakan Albert Bandura dan Richard dalam toerinya yakni teori

sosialisasi.

Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial

merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal.

Menurut Albert Bandura dan Richard H. Walters (2003:14) misalnya, anak-anak

belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang

memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang

yang dekat dengannya.

Selanjutnya, menurut Capaldi dan Peterson, (2002:8). anak-anak yang

agresif umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya terlalu keras dan

agresif. Akibatnya, anak kehilangan teladan pengendalian diri dan mungkin

menanggapi hukuman dengan meningkatkan agresi. Intinya, perilaku

menyimpang dihasilkan oleh proses sosialisasi yang sama dengan perilaku itu.

Sementara itu, menurut Mark S. Gaylord dan john F. Galliher serta Edwin

Sutherland (2002:15), orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung

memiliki ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang,

dimana orang tersebut mengokohkan norma-norma dan nilai-nilai yang

menyimpang. Prinsipnya, setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai-nilai dan

norma-norma kelompoknya kepada anggota-anggota baru.

Kaum muda pada umumnya sangat terbuka terhadap norma, perilaku, dan

nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda, termasuk subkultur perilaku

menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R. Akers (2013:13) perilaku teman-

teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah
69

perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku

menyimpang.

Menurut pendapat saya mengenai teori soialisasi yang di kemukakan oleh

Albert Bandura dan Richard H. Walters bahwa kecendurunga seorang anak atau

individu melakukan sebuah tindakan dan menarik sebuah kesimpulan mengenai

suatu fakta yang dilihatnya entah itu perbuatan yang bersifat menyimpang akan

terus terekam dalam memorinya sehingga akan terbawa dalam jangka waktu yang

lama.

Asumsi mempunyai sifat subjektif, karena bergantung pada kemampuan

dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh

individu yang satu dengan yang lain. Dengan demikian persepsi merupakan proses

perlakuan individu yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau

penginterprestasian terhadap apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan oleh

indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku atau disebut sebagai

perilaku individu. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ibu Hj. Banong

dan Ibu Nurgama yang berada di kecematan Watunohu kabupaten Kolaka Utara

yang menyatakan bahawa:

“ Iyya wissengnge yaro suku Tolakie riolo marendah ladde derajanna


nasaba mega mancaji ata, kasiasi kemudian macuccu yarega pakkojang
mauni maga batena massapa tettemui makoro istilana alena Tolakie
cappu tongengpi agagangna nappaisi massapa assaleng engkana nanre
yae essoe silaingeng idi Ogie macca mataro doi maunni deppa nacappu
agagae tetteki massapa. Padahal ako ipikiiki yaro tolakie keturunang
arung meto yarega anakia tapi nasenge taue maccapureng bicara
angatingnna Tolakie marndah derajanna tapi engkameto mancaji arung
sesa. Ako mabicara arungki arungnna ogie pali matanre dibanding
arungnna suku Tolakie. Jadi makuannaro idi Ogie yanggai marendah
derajanna Tolakie ibanding Ogie”
70

Artinya:
” yang saya tau itu suku Tolaki, dulu rendah sekali derajatnya karna
kebanyakan dari suku Tolaki menjadi budak dan juga suku Tolaki orangx
boros, miskin dan hidup seadanya, jadi biarpun bagi mana caranya
mencari uang tetap saja begitu-gitu saja ngga ada peningkatan,
kemumudian prinsip kerjanya suku Tolaki bekerja hanya untuk kebutuhan
hari ini tampa memperhitungkan untuk kebutuhan masa depan atau
kebutuhan jangka panjang dan dia beru bekerja ketika persediaannya
benar-benar habis beda kita orang Bugis sebelum habis persediaan
makanan kita terus bekerja bahkan persediaan masih cukup banyak kita
masih tetap bekerja. Padahal kalo dipikir suku Tolaki juga keturunan
bangsahwan atau raja yaitu raja Anakia tapi istilahnya bisa dikata
tingkatan kebansahwanannya paling rendah derajatnya tetapi sebagian juga
ada yang menjadi bangsahwan. Kalau kita berbicara kebangsahwanan
keturunan bugislah paling tinggi derajatnya. Jadi begitunyalah mengapa
mengapa kita menganggap suku Tolaki lebih rendah derajatnya di banding
suku Bugis” (Wawancara, 20 september 2016).

Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Bugis

beasumsi atau menganggap suku Tolaki lebih rendah derajatnya karna meliahat

dari perinsip hidup dan budaya kerjanya serta pola hidup yang miskin dan

sedehana, sehingga asumsi itu berkembang dari orang-orang dulu hingga

sekarang. Kemudian Bustam menyatakan bahwa:

“Menuru ceritanna taue riolo, idi tau Ogie riaanggai detosisisuku Tolakie
rianggai toi maendah derajanna nasaba riolo mega suku Tolaki mancaji
ata sibawa kasiasi, riolomi makoro tapi makukue denna apanna megana
tona Tolaki meningka.”

Atinya:
“ Menuut cerita orang dulu, kita Bugis menganggap bahwa suku Tolaki
rendah derajatnya kerena dulu banyak suku Tolaki yang menjadi budak
dan hidup miskin, dulu begitu tapi sekarang tidak lagi sebab sekarng suku
Tolaki sudah banyak peningkatan” (Wawancara 20 Sebtember 2016).

Argumentasi dari bapak Bustam, bahwa suku Bugis menganggap bahwa

suku Tolaki lebih rendah derajatnya di bandingkan dengan suku Bugis karena
71

dulu banyak suku Tolaki yang menjadi budak dan hidup miskin sehingga orang-

oang bugis menganggap rendah suku Tolaki. Dari penyataan bapak Bustam

berbeda dengan pernyataan ibu Hj. Junaida menyatakan:

“ Pappahangku iyya, yaro suku Tolakie magello apanna rata-rata selleng


maneng, yaro passabarenna magai Ogie nacaccai Tolakie dewissengi
makeda aga passabarengnna, yamiro kapang nacaccai apanna denna
nasisuku. Riolo mingkoka yasengi Tolakie makukuemeni iyasengi Tolaki.
Pappahangku iyya magello Tolakie apanna akko iritai poleko adenna,
magello metoha adenna Tolakie apa ako ipikiriki pada engka
makkesingnna sibawa jaanna suku makkometo idi Ogie engka jaanna
engkato makessingnna.”
Atinya:
" Menurut pemahaman saya itu suku Tolaki bagus karena rata-rata islam
semua, mengenai sebab kenapa orang Bugis tidak suka sama suku Tolaki
saya kurang tau kenapa, mungkin kaena orang Bugis menganggap tidak
sesuku dengan suku Tolaki. Dulu suku Tolaki disebut mingkoka baru
sekaang ini di sebut Tolaki. Setau saya suku Tolaki itu bagus karena kalo
dilihat dari kebudayaannya bagus juga adatnya karna kalau di pikir semua
suku ada baik dan jeleknya begitupun kita orang bugis ada baik dan
jeleknya” (Wawancara 15 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa asumsi negatif

masyarakat Bugis suku Tolaki hanya karna orang Bugis menganggap bahwa suku

Tolaki tidak sesuku dengannya padahal pada dasarnya suku Tolaki bagus karna

rata-rata beragama islam serta kebudayaan dan adatnya bagus. Dulu suku Tolaki

disebut dengan sebutan mingkoka bau sekang ini disebut suku Tolaki. Dan kalau

dipikir semua suku ada baik dan jeleknya begitupun kita orang Bugis ada baik dan

jeleknya. Kemudian H. Bakri menyatakan:

“ Riolo mega Ogi naita siwali mata Tolakie nasaba pappahangnna Ogie
denna sisuku sibawa Tolakie, kemudian naanggai alena Ogie ketuunang
arung arega darah biru makoro passabarengnna diangga rendahi Tolakie
okko Ogie. Engkato makeda Tolakie Makunrru-kunru dalle ako ipikiriki
engka manengje dallenna taue, padahal maka gellonna Tolakie okko Ogie
tapi idi tommi Ogie massali-Sali oko Tolakie”
72

Artinya:
“ Dulu banyak orang Bugis melihat sebelah mata suku Tolaki karna
pemahaman atau anggapan oang Bugis tidak sesuku dengan suku Tolaki,
kemudian menganggap dirinya orang bugis keturunun bansahwan dan
berdarah biru, begitulah sebabnya suku Tolaki direndahkan oleh orang
Bugis. Ada juga mengatakan suku Tolaki rejekinya kurrang bagus padahal
kalau kita pikir semua orang ada rejekinya, padahal betapa baiknya suku
Tolaki kepada orang Bugis” (Wawancara 18 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa asumsi negatif

masyarakat Bugis suku Tolaki hanya karna orang Bugis menganggap dulu banyak

orang Bugis melihat sebelah mata suku Tolaki karna pemahaman atau anggapan

oang Bugis tidak sesuku dengan suku Tolaki, kemudian menganggap dirinya

orang bugis keturunun bangsahwan dan berdarah biru sehingga dengan alasan

tersebut orang-orang Bugis berasumsi atau beranggapan negatif terhadap suku

Tolaki, namun pada hakikatnya suku Tolaki tetap respon baik kepada orang bugis

dan menjalin hubungan sosial dan berusaha beradaptasi dengan semua

masyarakat. Kemudian bapak H. Alwi menyatakan:

“ Riolo maega Ogie naanggai suku Tolakie denna sederaja nasaba riolo
suku Tolake masipa padai laona manu-manue massuna rekko purani
masampe monro tuttunni bolae denna najama iyyapa najamasi rekko
cappu tongengnni agagangnna yarega duinna nasaba prnsina Tolakie
assaleng engkana dianre yae essoe, beda idi Ogie mauni engka mopa
agagangta arega duita tetteki majjama, tapi riolomi makkoro makukue
megana Tolaki meningka. Jadi makkuannaro Ogie naanggai denna
sebanding derajanna sibawa Tolakie"

Artinya:
" Dulu sebagian besar orang Bugis menganggap suku Tolaki tidak
sedaerajat dengan orang Bugis karena dulu suku Tolaki bersifat ibarat
seperti burung maksudnya ketika sudah paenen suku Tolaki hanya
tinggal di rumah saja dan tidak lagi bekerja selama persediaan
makanannya masih ada atau ketika uangnya masih adan setelah
persediaan makanannya atau uangnya benar-benar habis mereka baru
bekerja lagi karena prinsipnya suku Tolaki yaitu asalkan ada yang bisa
73

dimakan hari ini, berbedah kita orang Bugis biarpun persediaan makanan
ataukah uang masih ada kita tetap bekerja. Tapi dulu begitu sekarang
tidak lagi karena sudah banyak suku Tolaki udah mengalami
peningkatan.Dari alasan itulah sehingga Orang Bugis menganggap suku
Tolaki tidak sederjat dengannya" (Wawancara 20 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa asumsi negatif

masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki karena sebagian besar oarng

Bugis menganggap tidak sederajat dengan suku Tolaki karena dulunya suku

Tolaki mempunyai sifat ibarat seperti sifat burung-burung yang maksudnya ketika

habis panen suku Tolaki hanya tinggal di rumanya dan tidak lagi bekerja selagi

persediaan makanan atau uang masih ada terkecuali ketika persediaan makanan

sudah benar-benar habis barulah mereka bekerja lagi karena prinsip suku Tolaki

yaitu asalkan bisa makan untuk hari ini saja dan berbedah dengan orang Bugis

biarpun persediaan makanan atau uang masih banyak mereka tetap berkerja tampa

harus menunggu persediaannya habis. Kemudian ibu Nursia mengatakan:

" Memengi idi Ogie yasei derajata ibandingkang sulu Tolaki nasaba idi
Ogie arrungki tapi keturunang arrung metoje suku Tolakie nakia
matanre mopi darah arrungta ibandingkang suku Tolakie nasaba riolo
maega suku Tolaki mancaji ata, kasiasi, sibawa pakkampi tedong,
silsingeng idi Ogie maloang tanana sibawa mega warangparangnna.
Rekko mabicara arrungki paling mariawa laddeni arrungna suku Tolakie
ibandingkang idi Ogie, jadi makuannaro narianggai matanre dejata idi
Ogie ibandingkang Tolakie"
Artinya:
" Memang kita orang Bugis diatas derajatnya dibandingkan suku Tolaki
karena kita orang Bugis keturunan bangsahwan tapi sebenarnya suku
Tolaki juga keturnan Bansahwan tetapi masih lebih tinggi darah
bangsahwannya kita orang bugis dibandingkan suku Tolaki sebab dulu
banyak suku Tolaki yang mejadi budak, miskin dan pengembala kerbau,
beda kita orang bugis banyak tanahnya dan banyak hartanya. Jadi jika
kita bicara tentang keturunan bangsahwan paling dibawah tingkat
keturunan bangsahwannya suku Tolaki dibandingkan kita orang Bugis.
74

Jadi begitulah alsannyalebih tinggi derajatnya orang Bugis di banding


suku Tolaki" (Wawancara 22 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa asumsi negatif

masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki karena sebagian besar orang

Bugis menganggap dirinya keturunan bangsahwan yang mempunyai tanah yang

luas dan mempunyai harta yang banyak dan menggap suku Tolaki tidak sedejat

dengan orang Bugis sebab dulu sebagian besar suku Tolaki banyak menjadi

budak, miskin dan pengembala kerbau padahal sebenarnya suku Tolaki juga

keturunan bangsahwan anikia tetapi orang-orang Bugis tetap menganggap derajat

suku Tolaki lebih rendah karena orang Bugis menganggap darah bangsahwannya

lebih tinggi dibanding darah bangsahwan suku Tolaki. Kemudian Ismail yang

menyatakan:

" Setahu saya kenapa orang-orang Bugis menganggap suku Tolaki lebih
rendah derajatnya atau starata sosialnya karena orang Bugis menganggap
suku Tolaki tidak sesuku dengannya dan juga menganggap suku Tolaki
mempunyai prinsip kerja yang hanya bekerja ketika uangnya benar-benar
habis, juga hidup poya-poya, dan selalu sial, kemudian yang saya dengar
dari orang-orang tua katanya suku Tolaki dulunya budak, miskin,
pengembala kerbau sehingga orang Bugis membatasi diri dalam benntuk
ikatan sakral seprti ikatan pernihan, kemudian katanya suku Tolaki kurang
budaya pamalinya dan budaya malunya makanya mereka anak-anaknya
dibebaskan bergaul baik itu laki-laki maupun permpuan kerena mereka
memang tidak membatasi anak-anaknya berbedah orang Bugis yang
mempunya budaya malu yang tinggi dan banyak pamali sehingga anak-
anaknya di batasi pergaulannya terutama anak perempuannya, misayalnya
kita orang Bugis melarang anak permpuannya keluar malam besama anak
laki-laki berbedah dengan suku Tolaki membaskan anak perempuanya
keluar malam besama laki-laki" (Wawancara 26 September 2016).
75

Dalam wawancara dengan Ismail argumentasi dari Ismail bahwa orang

Bugis menganggap suku Tolaki tidak sesuku denganya dan menganggap suku

Tolaki mempunyai prinsip kerja yaitu bekerja ketika uangnya benar-benar sudah

habis kemudian katanya dulu suku Tolaki sebagian besar menjadi budak, miskin,

pengembala sapi selau bernasib sial, kemudian katanya suku Tolaki kurang

budaya pamalinya dan budaya malunya.

Umumnya orang Bugis juga menganggap bahwa suku Tolaki mempunya

pergaulan yang bebas sehingga anak- anak mereka tidak diberi batasan dalam

bergaul baik itu anak laki-laki maupun anak perempuannya misalnya anak

permpuannya dibebaskan keluar malam bersama laki-laki berbedah budaya orang

Bugis yang tidak membolehkan anak perempuan keluar malam apa lagi bersama

dengan laki-laki, karena alasan itulah sehingga orang Bugis menganggap suku

Tolaki lebih rendah derajanya dan membatasi diri dalam bentuk ikatan yang sakral

misalnya dalam bentuk pernikahan. Kemudian bapak Baharuddin menyatakan:

" Kebanyakan yang saya dengar dari orang tua dulu katanya suku Tolaki
suku yang paling rendah derajatnya dibandingkan dengan kita orang bugis
karena katanya dulu suku Tolaki kebanyakan menjadi budak dan
pengembala kerbau, kemudian suku Tolaki perinsipnya ketika habis
memanen merka hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja lagi selama
hasil panennya belum habis dan nanti ketika hasil panennya benar-benar
habis baru lagi bekerja makanya kita orang-orang Bugis menganggap suku
Tolaki tidak sederajat denagan kita karena kita ini ketirunan arrungki dan
juga katanya orang tua dulu kita tidak seseku dengan suku Tolaki"
(Wawancara 26 September 2016).

Dari arumentasi yang diutarakan bapak Baharuddin dapat diketahui bahwa

umumnya masyarakat Bugis menganggap bahwa dulu suku Tolaki hanya budak
76

dan pengembala kerbau sehingga orang-orang Bugis menganggap bahawa suku

Tolaki tidak sedejat dengan orang Bugis kerena meraka berbedah suku atau tidak

serumpung. Selanjutnya bapak Muh.Tang menyatakan:

" Kebanyakan yang saya dengar dari orang-orang tua bahwa kita orang
Bugis keturuna arrungki dan matanre sirinna atau tinggi rasa malunya
sehingga menganggap suku Tolaki lebih dibawah derajatnya karena
katanya dulu suku Tolaki rata-rata menjadi budak dan pengembala serta
boros sehingga biar bagi mana caranya mencari nafkah tetapji begitu-
begitu kehidupannya tapi itu dulu karena sekarang banyakmi juga suku
Tolaki yang meningkat bahkan adami yang menjadi pejabat tetapi sampai
sekarang masih ada sebagian orang Bugis masih memandang rendah suku
Tolaki karena perkataan orang tua terdahulu" (Wawancara 28 September
2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa munculnya anggapan-

anggapan negatif terhadap suku Tolaki berawal dari mendengar kata-kata dari

orang tua terdahulu yang mengatakan bahwa suku Tolaki tidak sederajat dengan

orang Bugis karena mereka menganggap bahwa dulunya hampir semua suku

Tolaki hanya budak dan pengembala kerbau sehingga anggapan-anggapan itu

berkembang hingga sekarang tapi saat ini suku Tolaki sudah mengalami

peningkatan karena sudah banyak yang menjadi seorang pejabat dan lain

sebagainya namun masih ada sebagian suku Bugis yang masih mempertahankan

asumsi-asumsi negatif terhadap suku Tolaki karena perkataan-perkataan orang tua

terdahulu. Kemudian bapak Kardi menyatakan:

" Menurut pemahan saya yang saya dengar dari orang tua dulu bahwa
dulunya suku Tolaki dijadikan budak dan pengembala kerbau bahkan
kehidupannya sangat miskin dan mereka mempunyai prinsip jika selesai
memanen hasil kebunnya mereka hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja
selama persediaan makanannya masih ada dan mereka baru bekerja jika
persediaan makanannya benar habis, dan katanya juga suku Tolaki itu
77

boros dan tidak tau menabung karena mereka memikirkan untuk masa
depan " (Wawancara 28 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa orang Bugis


menganggap bahwa suku Tolaki dulunya seorang budak, pengembala kerbau,
boros dan miskin kemudian suku Tolaki berprinsip jika sehabis memanen hasil
kebunnya mereka hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja ketika persediaannya
masih tetap ada dan jika persediaan sudah benar-benar habis barulah mereka
kembali bekerja. Kemudian dari berbagai pendapat informan ada beberapa orang
yang mempunyai pendapat atau argumen yang sama yakni pendapat ibu Hj.
Banong, Nurgama, Nursia, bapak Ambo dalle, baharuddin, H. dan H. Bakri
yang menyatakan:
" Kata orang tua terdahulu bahwa kita orang Bugis menganggap suku
Tolaki paling rendah derajatnya kerena dulunya suku Tolaki sebagian
besar menjadi budak, miskin dan pengembala sehingga kita orang Bugis
menganggap tidak sederajat dengan suku Tolaki, kemudian suku Tolaki
mempunya preinsip ketika habis panen mereka hanya tinggal di rumah
bersantai-santai dan tidak bekerja lagi selagi persediaan makanan masih
banyak berbedah denagan kita orang Bugis biarpun persediaan masih
cukup banyak kita tetap bekerja sehingga dari situlah orang Bugis
mengaggap tidak sesuku dengan suku Tolaki.
Dari beberapa pendapat informan diatas yang amemiliki beberapa

kesamaan pendapat atau argumen dapat di ketahui bahwa suku Bugis menganggap

suku Tolaki paling rendah derajatnya karena dulunya sebagian besar suku Tolaki

menjadi budak, pengembala dan miskin sehingga orang Bugis beranggapan tidak

sederajat dengan suku Tolaki dan juga suku Tolaki mempunyai prinsip ketika

habis panen mereka hanya tinggal di rumah bersantai-bersantai dan tidak bekerja

selama persediaan makanan masih cukup banyak dan ketika persediaan makanan

benar-benar sudah habis barulah mereka kembali bekerja berbeda dengan orang

Bugis yang berprinsip biarpun persediaan makanan masih cukup banyak mereka

tetap bekerja sehingga dengan alasan itu orang Bugis menganggap tidak sesuku

dengan suku Tolaki.


78

BAB VI

MASYARAKAT BUGIS TIDAK MAU MENIKAH DENAGAN SUKU

TOLAKI

A. Deskripsi Permasalahan

Permasalahan yang mengemuka dalam masyarakat Bugis adalah

masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki kerena pada umumnya

masyarakat Bugis sangat anti tidak mau menikah dengan suku Tolaki masyarakat

Bugis beranggapan atau berasumsi bahwa suku Tolaki adalah suku yang memiliki

derajat paling rendah dari pada suku-suku yang lain sehingga dari dulu hingga

sekarang asumsi negatif masyarakat terhadap suku Tolaki masih dipertahankan,

ironisnya sebagian masyarakat membatasi diri menjalin hubungan sosial kepada

suku Tolaki, dalam bentuk ikatan sakral salah satu contoh suku Bugis tidak mau

menikahkan keturununannya dengan suku Tolaki karena suku Bugis beranggapan

atau berasumsi bahwa apabila suku Bugis menikah dengan suku Tolaki meraka

akan bernasib sial bahkan rejekinya kurang baik, tetapi uniknya suku Toalaki

mersepon baik dan mau menikah dengan orang Bugis bahkan jika suku Tolaki

melaksanakan acara pernikahan justru mamakai adan pernikahan orang Bugis

namun disisi lain kesenjangan sosial antara suku Bugis dengan suku Tolaki

berimbas ke anak-anak, dan remaja karena mereka telah mencap bahwa suku

Tolaki mempunyai budaya yang kurang baik, miskin, pergaulan bebas, dan paling

rendah stratanya dibandingkan dengan suku-suku yang lainnya.

Filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara

lain sebagai berikut: (1). “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou

78
79

Ihanuno” Artinya : Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka

pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya. (2). “Inae Ko Sara Nggoie

Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”Artinya: Barang siapa yang

patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun

barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi

/ hukuman. (3). “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”Artinya: Barang

siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan. (d).

Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong

menolong dan saling membantu), masyarakat Tolaki dalam menghadapi setiap

permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat, pesta

pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai

warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-

membantu. (e). Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat

dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya

kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini

tersirat sifat mandiri, kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang

tolaki.

Asumsi-asumsi ini terus berkembang dan sebagian besar masyarkat Bugis

masih mempertahankannya hingga sekarang dan bejamur ke anak-anak cucuhnya.

Dewasa ini tak heran jika masih ada sebagian yang berfikir dua kali untuk

menikah denagan suku Tolaki kareana sebagian orang Bugis menganggap jika

orang Bugis menikah suku Tolaki maka rejeki orang Bugis kurang baik bahkan

bernasib sial dan akan hidup melarat, dari itu ada istilah dari kalangan anak muda
80

bersuku Bugis yaitu " jika ingin mencari pacar, carilah orang Tolaki tapi kalau

ingin mencari calon istri carilah selain suku Tolaki." terkit mengenai masalah

tersebut diperkut dengan adanya teori labelling yang di kemukakan oleh Edwin

M.

Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert (1912:12). Menurut teori

ini, seseorang menjadi penyimpang karena proses labelling yang diberikan

masyarakat kepadanya. Maksudnya adalah pemberian julukan atau cap yang

biasanya negatif kepada seseorang yang telah melakukan penyimpangan primer

(primary deviation) misalnya pencuri, penipu, pemerkosa, pemabuk, dan

sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, si pelaku penyimpangan

kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi

penyimpangannya sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder (secondary

deviation). Alasannya adalah sudah terlanjur basah atau kepalang tanggung.

Edwin M. Lemert: Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun

(1912:12) ini menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori

labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga kategori, yaitu: (a).

Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena

tekanan psikis dari dalam. (b). Situational deviation, sebagai hasil stres atau

tekanan dari keadaan. Systematik deviation, sebagai polapola perilaku yang

terorganisir dalarn subsubkultur atau sistem tingkah laku.

Menurut Lemert (1912: 12) yang dimaksudkan tentang teori labelling

adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap atau label dari
81

masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan

penyimpangan tersebut. Secara sederhana diartikan bahwa ‘labelling’ adalah

penjulukan atau pemberian cap.

Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari tentang

pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu. Labelling adalah sebuah

definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang

tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori Labelling

mengatakan bahwa terkadang proses labelling itu berlebihan karena sang korban

salah interpretasi itu bahkan tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.

Menurut pendapat saya tentang teori yang dikemukakan oleh Edwin

lemert, labeling adalah pemberian cap negatif tentang orang-orang yang

melakukan perilaku penyimpangan yang membuat masyarakat memberikan

penilaian yang buruk

B. Pendapat Para Imforman

Pendapat atau argumen setiap manusia sudah jelas tidaklah sama sesuai

dengan pemikiran para individu itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh

beberapa informan yang peneliti wawancarai selama berlangsungnya penelitian.

yang berujdul asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di Kolaka

Utara. rumusan masalah kedua berikut ini pandapat dari beberapa informan

tentang:
82

2. Mengapa masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki

Manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai akal dan pikiran sangat

perlu memahami apa itu menikah atau pernikahan setelah memahami tentang arti

dari kata menikahi. Ini dikarenakan karena manusia adalah makhluk sosial dengan

individu yang berbeda serta beragam sehingga perlu dibentuk adanya suatu

kelompok atau golongan yang membentuk suatu masyarakat seperti misalnya

menikah karena hanya denagan menikah manusia bisa berkembang dan

berketurunan untuk membentuk generasi berikutnya sebab pada dasarnya manusia

membutuhkan sebuah ikatan pernikahan atau menikah untuk membentuk suatu

keluarga dan menjalim hubungan yang sakral. seperti yang di katakan Albert

Bandura dan Richard dalam toerinya yakni teori sosialisasi.

Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial

merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal.

Menurut Albert Bandura dan Richard H. Walters (2003:14) misalnya, anak-anak

belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang

memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang

yang dekat dengannya.

Selanjutnya, menurut Capaldi dan Peterson, (2002:8). anak-anak yang

agresif umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya terlalu keras dan

agresif. Akibatnya, anak kehilangan teladan pengendalian diri dan mungkin

menanggapi hukuman dengan meningkatkan agresi. Intinya, perilaku

menyimpang dihasilkan oleh proses sosialisasi yang sama dengan perilaku itu.
83

Sementara itu, menurut Mark S. Gaylord dan john F. Galliher serta Edwin

Sutherland (2002:15), orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung

memiliki ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang,

dimana orang tersebut mengokohkan norma-norma dan nilai-nilai yang

menyimpang. Prinsipnya, setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai-nilai dan

norma-norma kelompoknya kepada anggota-anggota baru.

Kaum muda pada umumnya sangat terbuka terhadap norma, perilaku, dan

nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda, termasuk subkultur perilaku

menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R. Akers (2013:13) perilaku teman-

teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah

perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku

menyimpang.

Menurut pendapat saya mengenai teori soialisasi yang di kemukakan oleh

Albert Bandura dan Richard H. Walters bahwa kecendurunga seorang anak atau

individu melakukan sebuah tindakan dan menarik sebuah kesimpulan mengenai

suatu fakta yang dilihatnya entah itu perbuatan yang bersifat menyimpang akan

terus terekam dalam memorinya sehingga akan terbawa dalam jangka waktu yang

lama. Pengertian menikah secara umum yaitu suatu ikatan antara dua keluarga

yang menjalin sebuah ikatan keluarga secara sah dan sakral melaui berbagai

pensyaratan yang telah disepakati atau yang seuai dengan undang-undang atau

sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan wawancara dengan

bapak H. Bakri menyatakan:


84

" Riolo Ogie denaelo siala sibawa Tolakie nasaba dena sisuku makomiro
magai Ogie dena melo pasialai anana sibawa Tolakie, yaro makedae
makurang dalle apanna engkka manengje dallenna taue apa lagi
matanre laddetu elona Tolakie okko Ogie, idi tomma Ogie masali-sali
okko Tolakie"
Artinya:
" Dulu orang Bugis tidak mau menikah denga suku Tolaki karena
katanya tidak sesuku, begitulah orang Bugis tidak mau menikahkan
anaknya dengan suku Tolaki, yang mengatakan katanya suku Tolaki
kurang bagus rejekinya karena sebenarnya ada semuaje rejekinya orang
apalagi sebenarnya suku Tolaki sangat tinggi maunya kepada orang
Bugis cuman kitaji orang Bugis yang selalu membatasi diri dalam bentuk
pernikahan" (Wawancara 18 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa dulu orang Bugis tidak

mau menikah dengan suku Tolaki karena orang Bugis menganggap tidak sesuku

denagan suku Tolaki padahal sebenarnya suku Tolaki sangat tinggi kemaunnya

menjalin ikatan pernikahan dengan orang Bugis cuman orang Bugis yang selalu

menghindari hubungan dalam bentuk pernikahan dengan suku Tolaki. Kemudian

Hj. Banong menyatakan:

" Akko ipikkiriki dememeng wedding siala Ogie sibawa Tolakie teapi
temma kua na siala Ogie na Tolakie apanna yatu Tolakie macuccu
masuna maui maga batemu masappa tette moi makotu degaga
peningkatan, tanra denawedding siala naengka bicara makkoro contona
sajitta H.Bada engka kapolona siala Tolakie dettu gaga peningkatanna
tette tommi makkasiasi.Riolo yatu Tolakie maega mancaji ata, pakampi
tedong istilana alena Tolakie iyyapa nasappa reko cappu tongengpi
nappasi massapa silaingeng idi Ogie mauni engka mopa tettemoki
massapa. Sebenarna Tolakie arung meto cuma marenda laddei darah
arrungna di dandingkang dara arrungna Ogie. Rekko sialai Ogie sibawa
Tolakie makurang makessing dallena, jadi makuannaro idi Ogie denaelo
siala Tolakie"
Artinya:
" Kalo dipikir memang kita orang Bugis tidak bisa menikah dengan suku
Tolaki kecuali dalam keadaan terpaksa karena suku Tolaki boros biarpun
bagi mana caranya dia berusaha tetap saja begitu-begitu saja tidak ada
peningkatan tetap saja moskin. Contohnya keluarga kita H. Bada yang
keponakannya menikah dengan suku Tolaki kehidupannya melarat. Dulu
suku Tolaki sebagian besar menjadi budak, pengembala kerbau dan
85

miskin. Padahal sebenarnya suku Tolaki juga keturnan bangsahwan


cuman darah bangsahwannya paling rendah dibandingkan dengan darah
bangsahwan orang Bugis kemudian jika orang Bugis menikah dengan
suku Tolaki rejekinya kurang baik makanya itu orang Bugis tidak mau
menikahkan anaknya dengan suku Tolaki" (Wawancara 20 September
2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa orang Bugis tidak

dibolehkan menikah dengan suku Tolaki kecuali dalam keadaan terpaksa karena

orang Bugis menganggap suku Tolaki boros biarpun bagi mana caranya berusaha

tetap saja begitu-begitu saja tidak ada peningkatan karena melihat salah satu

keluarganya yang menikah denagan suku Tolaki kehidupannya melarat dan

dengan anggota keluarga yang lainnya yang menikah sesama orang Bugis

kehidupannya baik. Padahal sebenarnya suku Tolaki juga keturunan bangsahwan

hanya saja darah bangsahwannya lebih rendah dibandingkan dengan orang Bugis

kemudian orang Bugis menganggapa jika orang Bugis menikah dengan suku

Tolaki rejekinya kurang baik dan bernsib sial sehingga sebagian besar orang

Bugis tidak mau menikahkan anaknya dengan suku Tolaki. Selanjutnya H. Awi

menyatakan:

" Riolo maega Ogi dennamelo siala Tolaki nasaba masipa padai laona
manu-manue masunna rekko purani massampe moro tuttuni kobolae
iyyapa nassapa rekko cappu tongengpi agagangganna apa tapi riolomi
makkoro makukue denna apanna meningkanni Tolakie apanna engkan
sesa Ogie siala Tolakie jadi yamiro sabanna riolo denna maelo siala
Ogie sibawa Tolaki nasaba prinsinna Tolakie iyyapa nassapa rekko
cappu tonengpi agagangnna silaingeng idi Ogie"
Artinya:
" Dulu banyak orang Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki sebab
suku Tolaki berprinsip ibarat seperti burung-burung yakni ketika habis
paenen mereka hanya tinggal di rumah saja dan tidak lagi bekerja selagi
86

persediaan makana masih banyak dan ketika persediaan makanan benar-


benar habis barulah mereka kembali bekerja tapi itu dulu karena sekarang
suku Tolaki sudah meningkat sebab sekarang sudah ada sebagian Orang
Bugis yang menikah dengan suaku Tolaki. Jadi begitu sebabnya kenapa
dulu banyak orang Buagis tidak mau menika dengan suku Tolaki"
(Wawancara 20 September 2016).

Dari argumen yang di lontarkan oleh bapak H.Alwi dapat diketahui bahwa

dulu orang Bugis tidak mau menikah denagan suku Tolaki karena suku Tolaki

berprinsip ibarat seperti burung-burung yakni ketika habis panen mereka hanya

tianggal di rumah dan tidak lagi bekerja selagi masih banyak persediaan makanan

dan tika persediaan sudah benar-benar habis barulah kembali bekerja berbedah

dengan orang Bugis walaupun persediaan makanan masih banyak tetap bekerja,

jadi sebab prinsip itulah sehingga dulu orang Bugis tidak mau menikah dengan

suku Tolaki tapi sekarang suku Tolaki sudah menagalami peningkatan dan

sebagian orang Bugis sudah mulai menikah dengan suku Tolaki. Kemudian bapak

Bustam menyatakan:

" Menurut cerita orang dulu kenapa orang Bugis tidak mau menikah
dengan suku Tolaki karena orang Bugis menganggap tidak sesuku dengan
suku Tolaki dan menganggap suku Tolaki lebih rendah derajatnya tapi itu
dulu karena suku Tolaki sudah menagalami peningkatan tapi masih ada
juga sebagian yang orang Bugis yang tidak mau menikah dengan suku
Tolaki tapi sebagian juga udah ada yang menikah denagan suku Tolaki
karena pada dasarnya suku Tolaki sangat tinggi kemaunnya untuk menikah
dengan suku Bugis" (Wawancara 20 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa menurut cerita orang-

orang terdahulu orang Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki karena orang

Bugis menganggap tidak sesuku dengan suku Tolaki sehingga orang Bugis
87

menganggap suku Tolaki paling rendah derajatnya tapi sekarang suku Tolaki

sudah mengalami peningkatan namun masih ada sebagian orang Bugis yang

masih belum mau menikah denagn suku Tolaki tetapi sebagian juga sudah ada

orang Bugis yang menikah dengan suku Tolaki karena pada dasarnya suku Tolaki

sangat besar kemaunnya untuk menikah dengan orang Bugis. Selanjutnya ibu

Nurgama menyatakan:

" Menurut orang tua dulu itu orang Tolaki bisa dipersuamikan tapi tidak
boleh diperistri karena peruan suku Tolaki nda tau menyimpang uang dan
boros, yang saya dengar begitu nda tau benar atau tidak tapi yang saya
lihat selama ini bagusji juga penghidupanya dan memang katanya sesama
sukunya natemani menikah bagusji ekonominya tapi kalau suku Bugis
menikah dengan suku Tolaki pasti kehidupanya baik atau jauh dari
kesejateraan begitunyami kenapa orang bugis tidak mau menikah dengan
suku Tolaki nabilang orang-orang dulu katannya begitu menurut
pemahamnnya. kenapa kita Orang bugis tidak mau menikah dengan suku
Tolaki karena karena katanya suku Tolaki boros bedah dengan suku Bugis
perhitungan tentang ekonomi jadi kalau dapatmi orang Tolaki nda bisami
katanya. Padahal sebenarnya suku Tolaki sangat senang jika menikah
dengan orang Bugis, kalau berbicara keturunan suku Tolaki juga ada
keturunan bansahwannya yaitu anakia dan memang kita orang bugis tidak
bisa menikahi suku Tolaki , coba perhatiakan orang Bugis yang menikah
dengan suku Tolaki pasti kehidupan ekonominya jauh dari kesejateraan
karena pernah saya telusuri katanya suku Tolaki itu suku yang dikutuk dan
kalau orang tua dulu yang kutukki nyata itu dan terbukti kutukanya
kemudian prisipnya mereka nanti berusaha cari uang jika uangnya benar-
benar habis bedah kita orang Bugis sebelum habis berusahamq mencari
kalu perlu ada simpanan untuk masa depan" (Wawancara 21 September
2016).

Dari hasi wawancara diatas dapat diketahui bahwa Menurut orang tua dulu

itu orang Tolaki bisa dipersuamikan tapi tidak boleh diperistri karena perempuan

suku Tolaki tidak tahu menyimpang uang dan boros, dia mendengar begitu tapi

belum pasti benar atau tidak tapi yang dan dia melihat selama ini penghidupanya

cukup bagus dan memang katanya ketika sesama suku Tolaki menikah
88

penghidupan ekonominya cukup bagus tetapi jikalau suku Bugis menikah dengan

suku Tolaki pasti kehidupanya kurang baik atau jauh dari kesejateraan oleh sebab

itu kenapa orang bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki karena mendengar

perkataan orang tua terdahulu, orang Bugis tidak mau menikah dengan suku

Tolaki karena menganggap suku Tolaki boros bedah dengan suku Bugis

perhitungan tentang ekonomi.

Ketika berbicara keturunan suku Tolaki juga ada keturunan bansahwannya

yaitu anakia dan memang kita orang bugis tidak bisa menikahi suku Tolaki , coba

perhatiakan orang Bugis yang menikah dengan suku Tolaki pasti kehidupan

ekonominya jauh dari kesejateraan dan orang Bugis juga beranggapan bahwa suku

Tolaki adalah suku yang dikutuk sehingga sebagian besar orang Bugis membatasi

diri dalam bentuk hubnungan ikatan pernikahan, padahal sebenarnya sangat besar

keinginan suku Tolaki untuk menikah dengan suku Bugis. Prisip suku Tolaki

berusaha cari uang jika uangnya benar-benar habis bedah dengan orang Bugis

sebelum habis berusahamq mencari kalu perlu ada simpanan untuk masa depan.

Selanjutnya bapak Ambo dalle menyatakan:

" Dulu kenapa orang Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki karena
dulu suku Tolaki kebanyakan menjadi babu atau budak orang Bugis dan
pengembala kerbau karena dulu suku Tolaki misakin bedah dengan orang
Bugis luas tanahnya dan banyak hartanya tapi sekarang tidak seperti itumi
sebab banyak suku Tolaki meningkat penghidupannya dan juga suku
Tolaki berprinsip ketika habis paenen mereka hanya tinggal di rumah dan
tidak bekerja selama persediaan makanannya masih banyak berdah
dengan orang Bugis bekerja walaupun persdiaan makanan masih banyak
justru makin banyak makin ditambah jadi karena itu orang bugis tidak mau
menikah dengan suku Tolaki sebab suku Tolaki hanya budak dan orang
Bugis pantang untuk menikah dengan budak tapi sekarang tidak begitu lagi
karena suku Tolaki sudah meningkat bahkan sudah ada sebagian orang
Bugis menikah dengan suku Tolaki karena sebenarnya suku Tolaki sangat
89

senang jika menikah dengan orang Bugis hanya kitaji sebagian orang
Bugis yang membatsi diri untuk menikah dengan suku Tolaki. contohnya
dikampung ini sudah banyak suku Tolaki yang menikah dengan orang
Bugis" (Wawancara 21 September 2016).
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa dulu sebagian besar

orang Bugis tidak mau menikah sebab orang Bugis menganggap bahwa suku

Tolaki hanya budak dari orang Bugis dan pengembala kerbau dan juga suku

Tolaki miskin berbedah dengan orang Bugis yang mempunyai tanah yang luas

dan harta yang banyak sehingga orang bugis pantang mau menikah dengan

seorang budak, kemudian alasan lain kenapa orang Bugis tidak mau menikah

dengan suku Tolaki sebab suku Tolaki mempunya prinsip ketika habis paenen

merekah hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja ketika persediaan makanan

masih banyak dan bekerja jika persediaan benar-benar sudah habis berbedah

dengan orang Bugis yang terus bejkerja walaupaun persediaan makanan masih

cukup banyak. Tetapi suku Tolaki sudah mulai mengalami banyak perkembangan

dan sekarang sebagian orang bugis sudah ada yang menikah dengan suku Tolaki

karena pada dasarnya suku Tolaki sangat besar kemauannya untuk menikah

denagan orang Bugis hanya saja sebagian orang Bugis membatasi diri dengan

suku Tolaki dalam bentuk pernikahan. Kemudian ibu Nursia menyatakan:

" Memang kita orang Bugis diatas derajatnya dibandingkan suku Tolaki
karena kita orang Bugis keturunan bangsahwan tapi sebenarnya suku
Tolaki juga keturnan Bansahwan tetapi masih lebih tinggi darah
bangsahwannya kita orang bugis dibandingkan suku Tolaki sebab dulu
banyak suku Tolaki yang mejadi budak, miskin dan pengembala kerbau,
beda kita orang bugis banyak tanahnya dan banyak hartanya. Makanya
pamali sekali kita orang Bugis menikah dengan suku Tolaki, jadi jika kita
bicara tentang keturunan bangsahwan paling dibawah tingkat keturunan
bangsahwannya suku Tolaki dibandingkan kita orang Bugis. Jadi begitulah
alsannyalebih tinggi derajatnya orang Bugis di banding suku Tolaki"
(Wawancara 22 September 2016).
90

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa sebagian besar orang

Bugis pamali atau sangat tidak boleh menikah denagan suku Tolaki sebab

menganggap dirinya keturunan bangsahwan yang mempunyai tanah yang luas dan

mempunyai harta yang banyak dan menggap suku Tolaki tidak sedejat dengan

orang Bugis sebab dulu sebagian besar suku Tolaki banyak menjadi budak, miskin

dan pengembala kerbau padahal sebenarnya suku Tolaki juga keturunan

bangsahwan anikia tetapi orang-orang Bugis tetap menganggap derajat suku

Tolaki lebih rendah karena orang Bugis menganggap darah bangsahwannya lebih

tinggi dibanding darah bangsahwan suku Tolaki. Kemudian Ismail menyatakan:

" Setahu saya kenapa orang-orang Bugis tidak mau menikah dengan suku
Tolaki sebab menganggap suku Tolaki lebih rendah derajatnya atau starata
sosialnya karena orang Bugis menganggap suku Tolaki tidak sesuku
dengannya dan juga menganggap suku Tolaki mempunyai prinsip kerja
yang hanya bekerja ketika uangnya benar-benar habis, juga hidup poya-
poya, dan selalu sial, kemudian yang saya dengar dari orang-orang tua
katanya suku Tolaki dulunya budak, miskin, pengembala kerbau sehingga
orang Bugis membatasi diri dalam benntuk ikatan sakral seprti ikatan
pernihan.
Kemudian katanya suku Tolaki kurang budaya pamalinya dan
budaya malunya makanya mereka anak-anaknya dibebaskan bergaul baik
itu laki-laki maupun permpuan kerena mereka memang tidak membatasi
anak-anaknya berbedah orang Bugis yang mempunya budaya malu yang
tinggi dan banyak pamali sehingga anak-anaknya di batasi pergaulannya
terutama anak perempuannya, misayalnya kita orang Bugis melarang anak
permpuannya keluar malam besama anak laki-laki berbedah dengan suku
Tolaki membaskan anak perempuanya keluar malam besama laki-laki"
(Wawancara 26 September 2016).

Dari hasil wawancara dengan Ismail argumentasi dari Ismail bahwa orang

Bugis tidak mau menikah karena menganggap suku Tolaki tidak sesuku

denganya dan menganggap suku Tolaki mempunyai prinsip kerja yaitu bekerja
91

ketika uangnya benar-benar sudah habis kemudian katanya dulu suku Tolaki

sebagian besar menjadi budak, miskin, pengembala sapi selau bernasib sial,

kemudian katanya suku Tolaki kurang budaya pamalinya dan budaya malunya.

Umumnya orang Bugis juga menganggap bahwa suku Tolaki mempunya

pergaulan yang bebas sehingga anak- anak mereka tidak diberi batasan dalam

bergaul baik itu anak laki-laki maupun anak perempuannya misalnya anak

permpuannya dibebaskan keluar malam bersama laki-laki berbedah budaya orang

Bugis yang tidak membolehkan anak perempuan keluar malam apa lagi bersama

dengan laki-laki, karena alasan itulah sehingga orang Bugis menganggap suku

Tolaki lebih rendah derajanya dan membatasi diri dalam bentuk ikatan yang sakral

misalnya dalam bentuk pernikahan. Dari penyataan Ismail berbeda dengan

pernyataan ibu Hj. Junaida menyatakan:

" Menurut pemahaman saya itu suku Tolaki bagus karena rata-rata islam
semua, mengenai sebab kenapa orang Bugis tidak mau menikah denngan
suku Tolaki saya kurang tau kenapa, mungkin kaena orang Bugis
menganggap tidak sesuku dengan suku Tolaki. Dulu suku Tolaki disebut
mingkoka baru sekaang ini di sebut Tolaki. Setau saya suku Tolaki itu
bagus karena kalo dilihat dari kebudayaannya bagus juga adatnya karna
kalau di pikir semua suku ada baik dan jeleknya begitupun kita orang
bugis ada baik dan jeleknya” (Wawancara 15 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa orang Bugis tidak

mau menikah dengan suku Tolaki karena menganggap bahwa suku Tolaki tidak

sesuku dengannya padahal pada dasarnya suku Tolaki bagus karna rata-rata

beragama islam serta kebudayaan dan adatnya bagus. Dulu suku Tolaki disebut

dengan sebutan mingkoka bau sekang ini disebut suku Tolaki. Dan kalau dipikir
92

semua suku ada baik dan jeleknya begitupun kita orang Bugis ada baik dan

jeleknya. Kemudian bapak Baharuddin menyatakan:

" Kebanyakan yang saya dengar dari orang tua dulu katanya orang Bugis
tidak mau menikah dengan suku Tolaki sebab suku Tolaki suku yang
paling rendah derajatnya dibandingkan dengan kita orang bugis karena
katanya dulu suku Tolaki kebanyakan menjadi budak dan pengembala
kerbau, kemudian suku Tolaki perinsipnya ketika habis memanen merka
hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja lagi selama hasil panennya
belum habis dan nanti ketika hasil panennya benar-benar habis baru lagi
bekerja makanya kita orang-orang Bugis menganggap suku Tolaki tidak
sederajat denagan kita karena kita ini ketirunan arrungki dan juga katanya
orang tua dulu kita tidak seseku dengan suku Tolaki" (Wawancara 26
September 2016).

Dari arumentasi yang diutarakan bapak Baharuddin dapat diketahui bahwa

umumnya masyarakat Bugis menganggap bahwa dulu suku Tolaki hanya budak

dan pengembala kerbau serta suku Tolaki mempunya prinsip ketika habis

memanen merka hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja lagi selama hasil

panennya belum habis dan nanti ketika hasil panennya benar-benar habis baru lagi

sehingga orang-orang Bugis menganggap bahawa suku Tolaki tidak sederajat

dengan orang Bugis kerena berbedah suku atau tidak serumpung, sehingga orang

Bugis membatasi diri dalam bentuk ikatan yang sakral salah satunya orang tidak

mau menikah dengan suku Tolaki anggapan ini dirperkuat karena katanya

mendengar dari perkataan orang tua dulu. Selanjutnya bapak Muh.Tang

menyatakan:

" Kebanyakan yang saya dengar dari orang-orang tua bahwa kita orang
Bugis keturunan arrungki dan matanre sirinna atau tinggi rasa malunya
sehingga menganggap suku Tolaki lebih dibawah derajatnya karena
katanya dulu suku Tolaki rata-rata menjadi budak dan pengembala serta
93

boros sehingga biar bagi mana caranya mencari nafkah tetapji begitu-
begitu kehidupannya dan jika orang Bugis menikah dengan suku Tolaki
rejekinya kurang baik dan bernasip sial makanya orang tua dulu tidak mau
menikahkan anaknya dengan suku Tolaki tapi sekarang adami orang Bugis
sebagian yang menikah dengan suku Tolaki karena sekarang banyakmi
juga suku Tolaki yang meningkat bahkan adami yang menjadi pejabat
tetapi sampai sekarang masih ada sebagian orang Bugis masih memandang
rendah suku Tolaki" (Wawancara 28 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa orang Bugis tidak mau

menikah dengan suku Tolaki karena mendengar kata-kata dari orang tua terdahulu

yang mengatakan bahwa suku Tolaki karena jika menikah dengan suku Tolaki

rejekinya kurang baik dan bernasip sial kemudian katnya suku Tolaki tidak

sederajat dengan orang Bugis karena mereka menganggap bahwa dulunya hampir

semua suku Tolaki hanya budak dan pengembala kerbau sehingga anggapan-

anggapan itu berkembang hingga sekarang tapi saat ini suku Tolaki sudah

mengalami peningkatan karena sudah banyak yang menjadi seorang pejabat dan

lain sebagainya namun masih ada sebagian suku Bugis yang masih tidak mau

menikah dengan suku Tolaki namun sebagian juga orang Bugis sudah ada yang

mau menikah dengan suku Tolaki. Kemudian bapak Kardi menyatakan:

" Menurut pemahan saya yang saya dengar dari orang tua dulu bahwa kita
orang Bugis tidak mau bahkan tidak dibolehka menikah dengan suku
Tolaki karena dulunya suku Tolaki dijadikan budak dan pengembala
kerbau bahkan kehidupannya sangat miskin dan mereka mempunyai
prinsip jika selesai memanen hasil kebunnya mereka hanya tinggal di
rumah dan tidak bekerja selama persediaan makanannya masih ada dan
mereka baru bekerja jika persediaan makanannya benar habis, dan katanya
juga suku Tolaki itu boros dan tidak tau menabung karena mereka
memikirkan untuk masa depan makanya itu kita orang Bugis jarang ada
yang mau menikah dengan suku Tolaki.
Yang paling sering saya dengar dari orang tua dulu bahwa katanya
jika orang Bugis menikah dengan suku Tolaki rejekinya kurang baik dan
94

kehidupan ekonominya jauh dari kesejateraan tapi sekarang kita tidak


boleh lagi berpendapat seperti itu kerena suku Tolaki sudah mengalami
banyak peningkatan bahkan sudah banyak yang menjadi pejabat dan lain
sebagainya" (Wawancara 28 September 2016).

Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa orang Bugis tidak mau

menikah dengan suku Tolaki karena menganggap bahwa suku Tolaki dulunya

seorang budak, pengembala kerbau, boros dan miskin kemudian suku Tolaki

berprinsip jika sehabis memanen hasil kebunnya mereka hanya tinggal di rumah

dan tidak bekerja ketika persediaannya masih tetap ada dan jika persediaan sudah

benar-benar habis barulah mereka kembali bekerja, orang Bugis juga beranggapan

jika menikah dengan suku Tolaki rejekinya kurang baik bahkan penghidupan

ekonominya jauh dari kesejateraan, itu dulu karena sekarang ini suku Tolaki

mulai banyak peningkatan. Kemudian dari berbagai pendapat informan ada

beberapa orang yang mempunyai pendapat atau argumen yang sama yakni

pendapat bapak Baharuddin , Kardi, Ambo dalle, Bustam, dan ibu Hj. Banong,

Nurgama, Nursia, yang menyatakan:

" Kata orang tua terdahulu bahwa kita orang Bugis menganggap suku
Tolaki paling rendah derajatnya kerena dulunya suku Tolaki sebagian
besar menjadi budak, miskin dan pengembala sehingga kita orang Bugis
menganggap tidak sederajat dengan suku Tolaki, dan katanya jika orang
Bugis menikah dengan suku Tolaki rejekinya kurang baik dan benasip sial
kemudian juga suku Tolaki mempunya preinsip ketika habis panen mereka
hanya tinggal di rumah bersantai-santai dan tidak bekerja lagi selagi
persediaan makanan masih banyak berbedah denagan kita orang Bugis
biarpun persediaan masih cukup banyak kita tetap bekerja sehingga dari
situlah orang Bugis mengaggap tidak sesuku dengan suku Tolaki"

Dari beberapa pendapat informan diatas yang amemiliki beberapa

kesamaan pendapat atau argumen dapat di ketahui bahwa suku Bugis menganggap
95

suku Tolaki paling rendah derajatnya karena dulunya sebagian besar suku Tolaki

menjadi budak, pengembala dan miskin sehingga orang Bugis beranggapan tidak

sederajat dengan suku Tolaki dan katanya jika orang Bugis menikah dengan suku

Tolaki rejekinya kurang baik dan benasip sial kemudian juga suku Tolaki

mempunyai prinsip ketika habis panen mereka hanya tinggal di rumah bersantai-

bersantai dan tidak bekerja selama persediaan makanan masih cukup banyak dan

ketika persediaan makanan benar-benar sudah habis barulah mereka kembali

bekerja berbeda dengan orang Bugis yang berprinsip biarpun persediaan makanan

masih cukup banyak mereka tetap bekerja sehingga dengan alasan itu orang Bugis

menganggap tidak sesuku dengan suku Tolaki dan sebenarnya suku Tolaki sangat

respon baik bahkan senang jika menikah dengan orang Bugis hanya saja orang

Bugis yang selalu membatasi diri dalam dengan suku Tolaki dalam bentuk

pernikahan.
96

BAB VII

ASUMSI MASYARAKAT BUGIS TERHADAP IDEOLOGI SUKU

TOLAKI SEBUAH PEMBAHASAN TEORITIS

Dalam pembahasan bab ini, penulis menjelasakan secara signifikan

mengenai permasalahan yang telah diparakan dibab-bab sebelumya serta

keterkaitan teori-teori dengan permasalahan yang diangkat dalam judul " Asumsi

Masyaraka Bugis terhadap Ideologi Suku Tolaki".

A. Asumsi

Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar pemikiran atau landasan

berpikir karena dianggap benar. Asumsi mempunyai sifat subjektif, karena

bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga

akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain. Dengan

demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian

tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat,

didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah

laku atau disebut sebagai perilaku individu. Menurut Slameto (2010:102) Asumsi

adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak

manusia, melalui asumsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan

lingkungannya.

Adapun pengertian asumsi menurut para ahli sebagai berikut: (1). Menurut

Bimo Walgito Asumsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan

yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu

98
97

melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. (2). Menurut Slameto

(2010:102) Asumsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau

informasi kedalam otak manusia, melalui asumsi manusia terus menerus

mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat

inderanya, yaitu Indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. (3).

Menurut Robbins (2003:97) yang mendeskripsikan bahwa asumsi merupakan

kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa

(diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut

memperoleh makna. (4). Menurut Purwodarminto (1990:759), asumsi adalah

tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui

beberapa hal melalui pengindraan. (5). Dalam kamus besar psikologi, asumsi

diartikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan

menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala

sesuatu yang ada dilingkungannya.

Dari uraian diatas dapat dikaitkan dengan teori labelling, teori ini

dikemukakan oleh Edwin M. Lemert (1912:12). Menurut teori ini, seseorang

menjadi penyimpang karena proses labelling yang diberikan masyarakat

kepadanya. Maksudnya adalah pemberian julukan atau cap yang biasanya negatif

kepada seseorang yang telah melakukan penyimpangan primer (primary

deviation) misalnya pencuri, penipu, pemerkosa, pemabuk, dan

sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, si pelaku penyimpangan

kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi

penyimpangannya sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder (secondary


98

deviation). Alasannya adalah sudah terlanjur basah atau kepalang tanggung.

Edwin M. Lemert: Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun

(1912:12) ini menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori

labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga kategori, yaitu: (a).

Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena

tekanan psikis dari dalam. (b). Situational deviation, sebagai hasil stres atau

tekanan dari keadaan. Systematik deviation, sebagai polapola perilaku yang

terorganisir dalarn subsubkultur atau sistem tingkah laku.

Menurut Lemert (1912: 12) yang dimaksudkan tentang teori labelling

adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap atau label dari

masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan

penyimpangan tersebut. Secara sederhana diartikan bahwa ‘labelling’ adalah

penjulukan atau pemberian cap.

Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari tentang

pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu. Labelling adalah sebuah

definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang

tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori Labelling

mengatakan bahwa terkadang proses labelling itu berlebihan karena sang korban

salah interpretasi itu bahkan tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.

Menurut pendapat saya tentang teori yang dikemukakan oleh Edwin

lemert, labeling adalah pemberian cap negatif atau asumsi-asumsi tentang orang-
99

orang yang melakukan perilaku penyimpangan yang membuat masyarakat

memberikan penilaian yang buruk.

B. Masyarakat

Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup bersama,

bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki

tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam

lingkungannya. Masyarakat berasal dari bahasa inggris yaitu "society" yang

berarti "masyarakat", lalu kata society berasal dari bahasa latin yaitu "societas"

yang berarti "kawan". Sedangkan masyarakat yang berasal dari bahasa arab

yaitu"musyarak" Pengertian masyarakat terbagi atas dua yaitu pengertian

masyarakat dalam arti luas dan pengertian masyarakat dalam arti sempit. (1).

Pengertian masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan hubungan hidup

bersama tanpa dengan dibatasi lingkungan, bangsa dan sebagainya. (2).

Sedangkan pengertian masyarakat dalam arti sempit adalah sekelompok individu

yang dibatasi oleh golongan, bangsa, teritorial, dan lain sebagainya. Pengertian

masyarakat juga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang terorganisasi

karena memiliki tujuan yang sama. Pengertian masyarakat secara sederhana

adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi atau bergaul dengan

kepentingan yang sama. Terbentuknya masyarakat karna manusia menggunakan

perasaan, pikiran dan keinginannya masyarakat sebagai suatu sistem, individu-

individu yang terdapat di dalam masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi


100

satu sama lain, misalnya dengan melakukan kerja sama guna memenuhi

kebutuhan hidup masing-masing.

Berbicara mengenai ciri-ciri masyarakat, maka dapat dipaparkan mengenai

ciri-ciri masyarakat sebagai berikut: (a). Masyarakat adalah manusia yang hidup

Berkelompok, (b). Masyarakat yang melahirkan kebudayaan, (c). Masyarakat

yaitu yang mengalami perubahan, (d). Masyarakat adalah manusia yang

berinteraksi, (e). Masyarakat yang terdapat kepimpinan, (f). Masyarakat terdapat

stratifikasi sosial.

Terkait mengenai pengertian masyarakat serta ciri-cirinya bahwa sahnya

didalam suatu masyarakat terdiri dari kumpulan individu-individu yang tinggal

dalam suatu wilaya tertentu yang melakukan sebuah hubungan sosial dan

membentuk suatu kebudayaan secara manusiawi. Seperti yang dijelasakan dalam

teori komunikasi antar budaya. Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansakerta

buddhaya yang merupakan bentuk jamak antara buddhi yang berarti ‘budi’ atau

‘akal’. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan budi atau

akal. Istilah ‘culture’ berasal dari ‘colere, yang artinya adalah mengolah atau

mengerjakan , yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan

tanah atau bertani. Kata ‘colero’, kemudian menjadi culture, diartikan sebagai

segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam

(Soerkanto, 1996: 188). Komunikasi antar budaya memiliki tema pokok yang

membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang

pengalaman yang relative besar antara para komunikatornya, yang disebabkan


101

perbedaan kebudayaan . Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda

budaya maka akan berbeda pula perilaku komunikasinya dan makna yang

dimilikinya.

E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai

kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks mengcukupi pengetahuan, kepercaan,

kesenian, moral, hukum, ada istiadat, kemanpuan dan kebiasaan-kebiassan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan

bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-

pola perilaku normatif artinya mencangkup segala cara atau pola pikir , merasakan

dan bertindak (dalam Soekanto, 1996: 189). Definisi yang paling sederhana dari

komunikasi antar budaya adalah menambahkan kata budaya dalam pernyataan,

komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan,

dalam beberapa definisi komunikasi antar budaya yang paling sederana, yakni

komunikasi antar peribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar

belakang kebudayaan.

Teori Merton (1996:156) yang berdasarkan pada konsep anomi (konsep

anomi mula-mula di kemukakan oleh Durkheim). Keadaan anomi, dan kemudian

penyimpangan timbul jika terdapat perbedaan diantara tujuan sebagaimana

ditentukan oleh kebudayaan atau penyimpangan adalah kurangnya peluang guna

mencapai tujuan tertentu sesuai dengan norma norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat itu. Penyebaran tingka laku yang menyimpang itu ditentukan oleh

bagaimana upaya yang dianggap syah dalam mencapai tujuan tertentu, tingkat
102

penerimaan tujuan, dan upaya berbagai lapisan dalam masyarakat. Anomi secara

umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan sosial dalam keterikatan pada aturan

aturan normatif sangat lemah. Robert K Merton (1996:157) dalam pembentukan

teori anomienya, mengemukakan anomie sebagai suatu keadaan dari struktur

sosial dimana terdapat beberapa ketidakserasian antara nilai nilai yang di akui

secara budaya dan cara cara yang diakui untuk pencapaian nilai-nilai ini.nomi

terjadi dimana penekanan yang berlebihan di letakkan pada suatu pilihan dengan

mengorbankan yang lain:penekanan pada pencapaian nilai nilai budaya mungkin

akan menyebabkan orang mengambil dengan cara apaun baik sah maupun tidak.

Penekanan ini pada pencapaian tujuan tujuan ekonomi, misalnya mungkin akan

cenderung menyebabkan sedikitnya cara-cara yang dipergunakan. Bagi beberapa

kelompok sosial, dalam mencapai nilai nilai tertentu sebagai keberhasilan

mungkin akan digunakan cara cara yang kurang diterimah secara budaya dari

kelompok kelompok lainnya. Merton (1996:150), ia mengemukakan bahwa

penyimpangan terjadi melalui struktur sosial. Menurut Merton struktur sosial

dapat menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma) dan sekaligus

perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan. Merton berpendapat

bahwa struktur sosial mengahasilkan tekanan kearah anomie dan perilaku

menyimpang karena adanya ketidak harmonisan antara tujuan budaya dengan

cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut.


103

C. Ideologi

Ideologi merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Terdiri dari dua kata,

idea dan logi. Idea artinya melihat (idean), dan logi berasal dari kata logos yang

berarti pengetahuan atau teori. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ideologi

adalah hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori.

Ideologi dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan konsep bersistem yang

dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk

kelangsungan hidup.

D. Masyarakat Bugis dan Masyarakat Tolaki

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumya bahwa proses

terjadinya asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di Kolaka

Utara dalam kehidupan sehari-hari berawal dari masyarakat Bugis beralasan

bahwa dulu suku Tolaki hidupnya miskin dan sederhana bahkan sebagian besar

menjadi budak dan pengembala orang-orang Bugis dan juga suku Tolaki

mempunyai perinsip kerja yaitu kerja hanya untuk kebutuhan sehari dan makan

seadanya tampa memperhitungkan tuk masa depan dan suku Tolaki umumnya

bekerja ketika persediaannya benar-benar habis, alasan inilah yang di pertahankan

dan berkembang oleh sebagian besar masyarakat Bugis.

Asumsi-asumsi negatif masyarakat Bugis terhadap idelogi suku Tolaki

sudah berlangsung sangat lama melalui proses yang sangat panjang sehingga

sampai sekarang asumsi-asumsi tersebut masih bertahan hingga saat ini, terkait
104

mengeni kasus tersebut terjadi sebuah staratifikasi sosial dan kesenjangan sosial

antara suku Bugis dan suku Tolaki.

Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial

merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal.

Menurut Albert Bandura dan Richard H. Walters (2003:14) misalnya, anak-anak

belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang

memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang

yang dekat dengannya.

Selanjutnya, menurut Capaldi dan Peterson, (2002:8). anak-anak yang

agresif umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya terlalu keras dan

agresif. Akibatnya, anak kehilangan teladan pengendalian diri dan mungkin

menanggapi hukuman dengan meningkatkan agresi. Intinya, perilaku

menyimpang dihasilkan oleh proses sosialisasi yang sama dengan perilaku itu.

Sementara itu, menurut Mark S. Gaylord dan john F. Galliher serta Edwin

Sutherland (2002:15), orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung

memiliki ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang,

dimana orang tersebut mengokohkan norma-norma dan nilai-nilai yang

menyimpang. Prinsipnya, setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai-nilai dan

norma-norma kelompoknya kepada anggota-anggota baru.

Kaum muda pada umumnya sangat terbuka terhadap norma, perilaku, dan

nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda, termasuk subkultur perilaku

menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R. Akers (2013:13) perilaku teman-

teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah
105

perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku

menyimpang.

Menurut pendapat saya mengenai teori soialisasi yang di kemukakan oleh

Albert Bandura dan Richard H. Walters bahwa kecendurunga seorang anak atau

individu melakukan sebuah tindakan dan menarik sebuah kesimpulan mengenai

suatu fakta yang dilihatnya entah itu perbuatan yang bersifat menyimpang akan

terus terekam dalam memorinya sehingga akan terbawa dalam jangka waktu yang

lama.

Dari urain diatas dapat diketahui bahwa hubungan sosial antara masyrakat

Bugis dan masyarakat Tolaki masih terjaga dengan baik hanya saja sebagiam

masyarakat Bugis membatasi diri dalam ikatan yang sakral seperti ikatan

pernikahan. Seperti yang terjadi antara hubungan sosial masyarakat Bugis dan

masyarakat Tolaki terus terjaga dan bahkan sebagian besar masyarakat Tolaki

mengikuti budaya pernikahan masyarakat Bugis begitupun sbaliknya umunya

masyarakat Bugis menggunakan tarian molulu sebagai hiburan dalam setiap

pernikahan masyrakat Bugis tapi namun disisi lain masih ada sebagian masyarakat

Bugis yang enggan menikah dengan suku Tolaki.


106

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai

asumsi masyarakat Bugis terhadap ideologi suku Tolaki di Kolaka Utara

berdasarkan pendekatan proses.

1. Masyarakat Bugis berasumsi atau menganggap bahwa suku Tolaki lebih rendah

derajatnya tetapi mereka tetap hidup berdampingan dan menjalin hubungan sosial

secara normal tampa adanya pertikaian bahkan hampir semua suku Tolaki fasih

berbahasa Bugis.

3. Masyarakat Bugis berasumsi bahwa suku Tolaki dulunya adalah budak,

pengembala kerbau dan miskin sehingga sebagian besar orang Bugis tidak mau

menikah dengan suku Tolaki tetapi suku Tolaki merespon baik dan senang jika

menikah dengan orang Bugis

4. Asumsi negatif orang Bugis terhadap ideologi suku Tolaki muncul karena

mendengar perkatan orang-orang tua dulu sehingga asumsi atau anggapan tersebut

terus mengalir hingga keanak dan cucu-cucunya.

5. Masyarakat Bugis berasumsi atau beranggapan bahwa darah bangsahwannya

lebih tinggi dari pada darah kebangsahwanan suku Tolaki sehingga sebagian

orang Bugis membatasi diri dalam bentuk hubungan yang sakral seperti dalam

bentuk ikatan pernikahan.

106
107

6. Sebagian besar masyarakat Bugis tidak mau menikah dengan suku Tolaki sebab

orang Bugis berasumsi atau beranggapan bahwa suku Tolaki tidak sesuku, tidak

sederajat dengannya dan jika orang Bugis menikah dengan suku Tolaki rejekinya

kurang baik dan bernasip sial, dan juga katanya suku Tolaki mempunyai prinsip

yakni ketika selesai memanen hasil kebunnya mereka hanya tinggal dirumah dan

tidak berkerja selama persediaan makanannya masih cukup banyak kertika

persediaan makanannya sudah benar-benar habis barulah mereka kembali bekerja

berbeda denga orang Bugis yang berprinsip biarpun persediaan makanannya

masih cukup banyak mereka tetap bekerja tepai sekarang suku Tolaki sudah mulai

banyak peningkatan baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan sehingga

sebagian orang bugis sudah ada yang mau menikah denga suku Tolaki namun

disisi lain masih ada sebagian orang Bugis yang masih belum mau menikah

dengan suku Tolaki karena masih mempertahankan asumsi-asumsi negatif

terhadap ideologi suku Tolaki dengan alasan perbedaan suku dan derajat atau

strata sosial.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan

berupa saran-saran sebagai berikut :

1. Untuk menjaga dan mempererat hubungan sosial dalam suatu masyarakat

hendaknya kita harus saling menghargai antara satu suku dengan suku yang lain,

menerima budaya, dan ideologi suatu suku.


108

2. Sebagai manusia yang mempunya akal dan pikiran tentunya kita harus

menggunakan akal dan pikiran kita secara serta pola pikir yang lebih dewasa

dalam memeknai perbedaan setiap budaya yang ada dalam kehidupan

bermasyarakat dan menghindari asumsi-asumsi negatif terhadap ideologi suku

atau budaya lain.

3. Perbedaan suku atau ras bukan suatu hambatan untuk mejalankan sautu ikatan

pernikahan tetapi yang terpenting adalah seagama dan seeiman, menikah dengan

suku manapun tidak akan memperburuk rejeki ataupun nasib seseorang dan baik

buruknya rejeki ataupun nasib seseorang yaitu tergantung dari usaha dan doanya

masing-masing.

4. Untuk meningkatkan solidaritas dalam suatu masyarakat harusnya kita

menghidarai asumsi-asumsi negatif terhadap orang lain dan berusaha untuk selalu

positif terhadap ideologi suku yang lain kareana setiap individu ataupun

masyarakat akan terus mengalami peningkat ideologi ataupun pola pikir sehingga

asumsi-asumsi dimasa lalu bukanlah patokan untuk mencap sesorang atau suatu

suku dengan cap yang negatif.


109

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Kama, Manusia dan Lingkungan Sosial Budaya.makalah,


Lokakarya Dosen ISBD, Dikti Ddepdiknas,Batam.

Achmad, Yusdi, 2006, Manusia sebgai Makhluk individu dan Makhluk Sosial,
makalah, Lokakarya Dosen ISBD, Dikti Depdiknas, Batam.

Abdullah, A.W .1986. Topik-topik Masalah Sosial Bahan Bacaan Mata Kuliah
Ilmu Sosial Dasar.Jakarta: Akademika presindo.

Ahmad, Amrullah, Bustanul. Arifin, 1996. Dimensi Hukum Islam System Hukum
nas mengenang 65 tahun . Jakarta: gema insanipress.

Arikunto, suharsimi, prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta:


rineka cipta, cet11, 1998

Garna, Judistira K. 1996. Sistem Budaya Indonesia.Bandung: Ghalia Indonesia.

Jenkes Charis, 2013. Culture Studi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaningrat, 2000.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Laxmi. (2007)..Analisia Istilah Tombalaki Pada Seorang Laki-laki Suku Skripsi

Tidak diterbitkanTolaki..Kendari: Universitas Haululeo.

Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaandan Lingkungan Sosial dalam Perspektif


Antropologi Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

Syamsuddin Rosdianti, 2010..Peran Budaya Tolea dalam Penyelesaian

Tidak diterbitkanKasus. Kendari: Unversitas Haululeo.

Ranjabar, Jakobus, 2012. Sistem Sosial Suatu Pengantar.Bogor: Ghalia Indonesia.

SeloSoemardjan dan Solaeman Soemardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi.

Slameto 2010.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta: kencana Pernada Media

Group.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja


GrafindoPersada

109
110

Tilaar, H.J.R, 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesi,


Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.

Garna, Judistira. 1996. Ilmu Sosial Budaya. Bandung: Katalog dalam Terbitan.

Widjadja, A.W .1986. Topik-topik Kumpulan BahanBacaan Mata Kuliah Ilmu


Sosia lDasar.Jakarta: Akademika presindo.

Zoetmulder,P.J, 1990. Manunggaling Kaula Gusti Pantheisme dalam Sastra Suluk


Jawa, Suatu Studi iFilsafat. Jakarta: PT Gramedia.

Kodhi dan Soejadi, 1988.Ilmu social budaya dasar. Jakarta: PT Citra Aditya .

Frida Hatta Wasono, Maurio, Dr. MA. Kebudayaan Nasional Indonesia:


Penataan pola pikir. www.ekonomo pancasiala.Org.

Frondizi, Risieri, 2001. Pengatar filsafat Etika, Terjemahan Cuk Ananta Wijaya,
Yogyakarata.Pustaka Pelajar.

Abustam Idrus. (2010). Komunitas pedesaan, Budaya Kemiskinan, dan


Pendidikan Orang Dewasa. Makassar: Uversitas Negeri Makassar.

Abdulsyani (2004). Sosiologi, Skematis, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi


aksara.

Koentjayaningrat.(2010). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Penerbit Djambatan.

Kolip, Usman dan Setiadi Elly M. (2010). Pengatar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Prenada Kencana Group.

Kartono Kartini. (2003). Patologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kartono, Nanang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik


Moderen, postmoderen, Postkolonial. Jakarta: Rajawali Pers.

Nasir, Nasrullah. (2009). Teori-teori, Sosiologi. Padjajaran: Widya Padjajaran.

Narwoko J. Dwi dan Bagong Suyanto. (2011). Sosiologi Teks Pengetahuan dan
Terapan.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer George. (2011). Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Grafindo


Prasada.
111

Syani, Abdul.( 1995). Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung:


Pustaka Jaya.

Setiadi Elly M. (2011). Pengatar sosiologi. Pemahaman Gejala dan Fakta


Permasalahan Sosial: Teori Aplikasi dan Pemecahannya. Kencana.
Jakarta.

Soekanto.(2006). Sosiologi Suatau Pengantar. Jakarta: Grafindo Perseda.


Suyanto, Bagong, dan Narwoko J. Dwi. (2007). Sosiologi Pengatar dan Terapan
(edisi kedua). Jakarta: Kencana.

Samsul.(2009). Pembentukan kelompok (Online), (http :// marskrip .blogspot.


com/2009/12/ Pembentukan kelompok. html, diakses 03 oktober 2016)

Siaham Jikie MS. (2009). Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi. Depok:


PT Matla Pritindo.

Anda mungkin juga menyukai