Anda di halaman 1dari 2

Identitas : Judul : Jendela Seribu Sungai

ANITA / 8D / 04
Penulis : Miranda Seftiana dan Avesina Soebli

Pengantar : Putu Fajar Arcana

Jumlah Halaman : 316

Tanggal Terbit : 10 Sep 2018

ISBN : 9786020511863

Bahasa : Indonesia

Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia

Arian,anak seorang seniman kurinding asal kalimantan selatan,mungkin tidak prnah menyangka
Orientasi :
pertemuannya dengan bunga ,seorang gadis penderita Cerebal Palsy,dan Kejora,seorang gadis dari Gunung
Meratus,membawa menghadapi petualangan yg tidak pernah ia duga sebelumnya.

Arian yg selalu mendapat nasihat dari sang Abah melalui Kurinding merasa bertanggung jawab menjaga dua
gadis tersebut ketika mereka berpatualangan.nasihat Kurinding dari Abah juga menjadi pedoman Arian
untuk menjalani hidup dan bergaul dengan teman-temannya.Arian,Bunga,dan kejora adalah anak yg
berasal dari tempat berbeda,budaya berbeda,tapi mereka memiliki semangat sama dalam mewujudkan
mimpi masing-masing.

Miranda Seftiana dan Avesina Soebli merangkai cerita dalam novel ini dengan apik.mimpi ketiga anak
tersebut boleh di bilang sangat sederhana.Arian hanya bermimpi agar bisa mengiringi band Radja dengan
Kurinding.Bunga,ingin sekali menjadi penari.Sementara itu,kejora mimpinya samar-samar,namun ia
memiliki keinginan kuat untuk bersekolah.

Sinopsis : Mimpi yg sederhana itu dibuat begitu besar oleh penulis melalui narasi yg mereka susun.mereka membuat
konflik kecil dalam setiap berpetualangan yg dilalui Arain dan teman-temanya.Konflik yg sebenarnya sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari lantas apa yg membuat Novel ini tampak istimewa.

Keistimewaan novel ini terletak pada unsur budaya yg kuat.Novel ini berhasil mengeksplorasi sisi-sisi
kebudayaan pada masyarakat secara utuh dan mendalam.Arian dan Bunga mewakili masyarakat yg tinggal
di sepanjang aliran sungai.Kejora mewakili masyarakat di lereng gunung.

Perbedaan dua kebudayaan itu ditonjolkan dengan apik oleh penulis lewat perilaku keseharian
tokoh.Melalui dialog,konflik,batin,hingga tindakan dari tokoh.Misalnya,penulis menggambarkan kultur
masyarakat sungai dengan menampilkan adegan-adegan masyarakat yg memaksimalkan fungsi
sungai.Masyarakat ditunjukan dalam novel ini menjadikan sungai sebagai lajur transportasi dan perniagaan.

Kebudayaan yang ditonjolkan dalam novel ini bukanlah hasil imajinasi belaka dari penulis. Salah
satu penulisnya. Miranda, lahir di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sebelum menulis novel ini ia
juga melakukan riset mendalam ke berbagai komunitas masyarakat di Kalimantan Selatan. Ia juga
mengunjungi komunitas Dayak di Desa Haratai, Lokasado.

Hasil riset yang ia lakukan terlihat jelas dalam novel ini. Ia masih mempertahankan mantra - mantra
dari para balian ( tabib tradisional Dayak Meraturs) dengan bahasa aslinya tanpa diterjemahkan. Ia
menulinya secara utuh. Tentu untuk menulis itu secara utuh dengan bahasa asli membutuhkan sebuah riset
yang mendalam.

Unsur kebudayaan dalam novel ini semakin terasa kuat dengan digunakannya istilah - istilah lokal
Kalimantan Selatan, seperti jukung, kelotok, abah , bapang , indung, uma dan masih banyak yang lainnya.
Istilah - istilah itu menjadi kelebihan sekaligus berpotensi menjadi kelemahan, Menjadi kelebihan karena
menambah kuat unsur budaya, menjadi kelemahan karena istilah itu sukar dipahami pembaca dan kegiatan
membaca akhirnya tersendat.
Novel ini bukan hanya berbicara tentang bertemunya kebudayaan sungai dan kebudayaan gunung,
Analisis:
tapi ada pesan yang lebih dalam. Penulis dalam novel ini menggambarkan bagaimana perlawanan
komunitas Dayak Maratus terhadap moderenisasi.

Kelahiran Kejora menggambarkan itu. Indung (ibu) Kejora meninggal saat melahirkan bapang-nya
(bapak) saat itu marah sekali pada bidan yang membantu persalinan ia menuduh bidan itu membunuh
istrinya sehingga ia berucap tidak akan percara lagi pada “orang puskesma”

Hal yang dihadapi oleh masyarakat sungai juga sama. Dalam novel ini penulis berhasil
menggambarkan perubahan budaya pada masyrakat sungai melalui narasi yang mereka bingung. Mereka
menggambarkan masyrakat sungai tidak lagi menjadi sungai sebagai”kiblat” Rumah mereka tidak lagi
memiliki sungai sebagai halaman depan , kini mereka membelakanginya. Sungai kini juga menjadi tempat
pembuangan sampah.

Keresahan masyarakat sungai ini digambarkan lewat sosok Abah. Ia pernah bercerita pada Arian,
mimpinya agar sungai kembali menjadi tempat kehidupan bagi masyarakat. Mimpi itu menggambarkan
resahnya masyarakat melihat sungai tidak lagi seperti dulu.

Unsur - unsur dalam novel ini berhasil dibangun dengan padu oleh penulis. Masing - masing
Evaluasi:
karakter terlihat jelas perbedaan wataknya, kejora yang mandiri dan gesit, Arian si pemberani yang taat
pada abah, bunga yang senang bermain di tengah kesepiannya.

Plot dalam cerita ini tidak terlalu mengagumkan , konflik yang dibangun kebanyakan konflik -
konflik “receh”. Namun karena”receh” konflik itu menjadi sangat berkaitan erat dengan pembaca , meski
dengan latar budaya berbeda sekalipun.

Hal yang menarik dalam novel ini ialah gaya bahasa. Meski disusun dua penulis novel ini dari awal
sampai akhir memakai gaya bahasa yang konsisten. Pembaca jadi merasa novel ini ditulis oleh satu orang .
Ini hal yang baik, pembaca jadi tidak bingung karena perubahan gaya bahasa.

Rekomendasi: Novel ini secara keseluruhan sangat menyenangkan untuk dibaca . Melihat bagaimana Arian,
Bunga, dan Kejora berpetualanagan merupakan hal yang menarik. Pembaca seperti ada di tengah - tengah
petualangan itu . Pembaca bisa merasakan senangnya Bunga ketika berpetualangan dengan Arian.
Begitupun sebaliknya. Novel ini sangat cocok bagi mereka yang senang dengan cerita - cerita yang dibalut
dengan sisi- sisi antropoligis dari masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai