Anda di halaman 1dari 17

Sensor Luminescent berbasis Metal Organic Frameworks (LMOFs)

Isni Trisnawati, Muhammad Shuluhil Amri, dan Olivia Ratna Indahapsari.

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sebelas Maret.

REVIEW

Abstrak

Kombinasi Metal Organic Frameworks (MOF) dengan sifat optik seperti


luminescent (LMOFs) dikembangkan sebagai pembaharu dari polimer organik
berbasis luminescent pada umumnya. LMOFs dengan dengan ion lantanida sebagai
unit bangunan sekunder (SBU) dan disensitisasi oleh kromofor organik melalui
efek antena, sehingga memancarkan luminescence tajam dan kuat karakteristik.
Selain itu juga dapat digunakan logam bervalensi tinggi dengan ligan hidrofobik
mengakibatkan kapasitas SBU meluas sehingga LMOFs dapat stabil dalam pH dan
suhu yang tinggi dalam air. Pemanfaatan MOF juga dapat menyebabkan perubahan
signifikan dalam sifat luminesensi sehingga didapatkan hasil pengamatan yang
sangat baik, sehingga sangat bagus jika diaplikasikan sebagai sensor dan deteksi.
Berbagai pengaplikasian kemosensor mampu dilakukan dengan menggunakan
LMOF, namun tergantung dari guest dan metodenya yaitu organik volatil, sensor
gas oksigen, sensor komponen senyawa organik yang eksplosif dan energetik,
dansensor antibiotik dan biomolekul.

Kata Kunci:

MOF, luminescent, SBU, kromofor organik, kemosensor.

1. PENDAHULUAN

MOFs merupakan polimer koordinasi berpori (PCP) yang tersusun atas ion logam atau klaster
yang dihubungkan dengan ligan organik multidentat dalam tiga dimensi. MOFs dapat dirancang
struktur dan topologi dengan memvariasi modifikasi node logam dan ligannya. MOFs yang
dikembangkan dalam dekade terakhir ini telah berhasil dalam berbagai aplikasi diantaranya sebagai
penyimpanan gas dan pemisahan, katalis heterogen, sensor kimia, drug delivery serta bioimaging
(Horcajada dkk., 2010).
Chen dkk (2013) menyatakan Luminesensi MOFs (LMOFs) baru-baru ini dikembangkan
sebagai sensor kimia karena pendaran MOFs yang mudah diinduksi oleh luminesensi. Selain itu
memiliki beragam keuntungan dalam struktur dan komponen fungsionalnya serta mekanisme
pendeteksiannya bervariasi. Linker dengan pusat luminesensi merupakan jenis umumnya, yang mana
termasuk dalam tiga subtypenya diantaranya linker emisi, transfer muatan ligan ke logam (LMTC), dan
transfer muatan logam ke ligan (MLCT). Adapun skema pembentukan LMOFs ditunjukkan pada
Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pembentukan LMOFs

Luminesensi yang berpusat pada logam sering terjadi pada MOF dengan ion lantanida, di mana logam
tersebut digunakan sebagai unit bangunan sekunder (SBU). Kemudian lantanida disensitisasi oleh
kromofor organik melalui efek antena akan memancarkan luminescence yang tajam dan kuat
karakteristiknya. LMOFs dengan sifat kristalnya, keanekaragam strukturnya, serta porositasnya yang
permanen sangat sesuai digunakan sebagai jenis sensor yang unik dan lebih baik dibandingkan dengan
sensor luminesensi tradisional lainnya. Dimana sifat berpori dari MOFs dapat menyerap dan
memekatkan analit, meningkatkan kemungkinan interaksi host-guest dan juga meningkatkan
sensitivitas dari sensor tersebut. Selain itu, MOFs dapat diaktifkan kembali dan digunakan untuk
beberapa siklus tanpa kehilangan kristalinitas dan luminesensinya dikarenakan porositasnya permanen
(Lu dkk., 2014).
LMOFs dapat membedakan diri dari polimer luminesensi organik lain dengan kemudahan
fungsionalisasinya. Kebanyakan polimer luminesensi organik memiliki prosedur sintetik yang rumit
sedangkan MOFs disintesis dengan logam sebagai SBU dan ligan organik sebagai linkernya melalui
interaksi host-guest. Selain itu, MOF juga dapat difungsikan melalui modifikasi pasca-sintetis untuk
meningkatkan kinerja sensor. Apalagi melalui metode sintesis solvothermal, ligan campuran atau logam
dengan fitur luminesensi berbeda dapat dimasukkan ke dalam satu struktur MOF dengan tujuan untuk
memberikan kalibrasi sendiri dalam sistem sensor (Yang dkk., 2016).
Luminescence dapat disesuaikan dengan berbagai cara dalam MOFs. Dengan struktur yang
serupa, MOFs dibangun dari yang linker emisi cahaya yang berbeda dapat menunjukkan karakteristik
emisi yang berbeda juga, misalnya sifat emisi dapat bervariasi dapat dilakukan dengan mengubah
tingkat konjugasi linker organik. Sedangkan MOFs berbasis lantanida biasanya, emisi dapat diatur
dengan memanfaatkan campuran ion lantanida dengan rasio yang berbeda.
Sensor berbasis MOF juga memiliki stabilitas kimia dan termal yang tinggi karena ikatan
koordinasi yang relatif kuat terbentuk antara ion logam dan linker organik dalam MOF. stabilitas termal
yang tinggi dapat dicapai sehingga membuatnya tahan bahkan pada suhu tinggi. Selain itu, kestabilan
air didapat dengan merancang linker organik dengan gugus hidrofobik atau menggunakan logam
valensi tinggi karena SBU meluas secara signifikan dengan kapasitas penginderaan MOFs dalam media
berair. MOFs juga tetap utuh dalam larutan air dengan kisaran nilai pH yang luas (Lu dkk., 2014).

A. PEMBAHASAN
1. Mekanise deteksi MOFs
Dengan mengambil keuntungan dari porositas MOFs, deteksi analit selektif dapat diwujudkan
melalui ukuran di mana lubang MOFs berfungsi sebagai penyaringan yang memungkinkan molekul
tertentu untuk masuk, sehingga mengubah photoluminescence. Pemilihan gugus fungsional, situs dasar
Lewis/asam, dan ion pada MOF juga dapat secara istimewa menargetkan molekul spesifik. Mekanisme
seperti itu sering terlihat saat sensing spesies ionik. Sebagai contoh, MOF yang mengandung piridil
dapat digunakan untuk mendeteksi Cu2+ karena afinitas yang kuat antara piridil dan ion Cu2+. Sejauh
ini, interaksi analit-sensor yang paling umum adalah melalui transfer elektron host-guest. Karena
tingkat energi orbital molekul kosong (LUMOs) terendah untuk sebagian besar analit umumnya terletak
di bawah LUMOs atau pita konduksi (CBs) untuk MOFs, transfer elektron dari MOFs ke molekul guest
sangat dimungkinkan. Transfer energi antara host-guest juga penting untuk penginderaan, yang sangat
tergantung pada tingkat tumpang tindih antara penyerapan analit dan emisi sensor. Biasanya, transfer
energi bekerja secara sinergis dengan transfer elektron, yang mengarah pada perubahan fluoresensi (Cui
dkk., 2015).
Namun, sebagian besar mekanisme yang dieksplorasi di atas melibatkan 'turn-off' sinyal optik,
dimana intensitas fluoresen terjadi pada puncak emisi yang sama dan membatasi sensitivitas sensor-
sensor tersebut: pertama, perubahan fluoresensi yang disebabkan oleh analit bisa terlalu kecil untuk
dipantau. Kedua, molekul dengan sifat struktural atau elektronik yang sama dapat memberikan efek
quenching yang sama pada intensitas fluoresensi, sehingga sulit untuk membedakan spesies tersebut.
Untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitas sensor berbasis MOF yaitu, ketika analit berada
ditangkap, baik intensitas yang lebih kuat dipicu dari latar belakang gelap, atau pergeseran panjang
gelombang atau bahkan puncak emisi baru dihasilkan dalam sistem tersebut. Latar belakang gelap bisa
dicapai dengan menggunakan fluorofor dengan bagian yang dapat berputar bebas sebagai penghubung
organik atau menggabungkan ion logam paramagnetik sebagai unit sekunder. Pada akhirnya, molekul
guest dapat menyalakan pendaran dengan membatasi jalur non-radiasi ini, seperti membatasi rotasi
bebas penghubung atau menghambat transfer muatan ligan ke logam dengan memutus koordinasi
obligasi dalam MOFs. Pergeseran panjang gelombang dapat dipicu oleh interaksi antara analit tertentu
dengan host.

2. Aplikasi MOF sebagai sensor


a. Sensor Anion
Sensor berbasis MOF dapat secara efisien membedakan anion, seperti Cl-, Br-, I-, SCN- dan N3-,
melalui pertukaran anion. Hal ini dikarenakan bukaan pori dan ukuran pori memainkan peran penting
untuk anion karena MOFs secara selektif mengenali anion melalui mekanisme eksklusi ukuran
(pengayakan molekuler), di mana celah pori kerangka secara selektif memungkinkan pengambilan
anion. Bergantung pada karakteristik MOF, pengenalan anion dan selektivitas tergantung pada
beberapa interaksi non-kovalen, seperti interaksi van der Waals, interaksi elektrostatik jarak jauh,
ikatan-H dan ikatan-anion. Media pelarut di mana proses pertukaran anion dilaksanakan memainkan
peran penting untuk pengenalan selektif. Penginderaan anion dalam media berair merupakan aspek
yang menantang karena fakta bahwa anion hadir dalam bentuk terhidrasi melalui ikatan H yang kuat
dengan molekul air. MOF dengan modifikasi unit bangunan yang sesuai menjadikannya stabil secara
hidrolitik untuk mengenali anion dengan bersaing dengan lingkungan berair (Mandal dkk., 2018).
Anion target bisa dengan mudah mengganti konter bebas, sebagai contoh nitrat dalam MOF
[Cu(pytpy)].NO3.H2O} (pytpy = 2,4,6-tris (4-pyridyl) pyridine) dengan bukti warna karakteristik analit
yang ditunjukkan pada Gambar 2. (Chen dkk., 2013).
Gambar 2. Perubahan warna pada [Cu(pytpy)](NO3).(CH3OH) (pytpy = 2,4,6-tris (4-pyridyl)
pyridine) dengan pertukaran anion
Dari gambar diatas sampel yang dipertukarkan mengalami perubahan warna yang jelas
dibandingkan dengan aslinya. Serupa dengan warna halogen yang sesuai, warna F, Cl, Br dan I secara
bertahap semakin gelap. Oleh karena struktur kompleks yang dipertukarkan dengan ion tidak dapat
dilakukan dengan pengukuran difraksi sinar-X kristal tunggal, maka menggunakan beberapa metode
untuk mengidentifikasi struktur kompleks yang dihasilkan. Hasil uji PXRD dari sampel yang
dipertukarkan menunjukkan pola yang sama dengan yang kompleks, menyiratkan bahwa MOF tetap
tidak berubah pada pertukaran anion yang ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Hasil Pola PXRD Kompleks dan Kompleks Pertukaran Anion


Pada gambar 4. Menunjukkan hampir tidak ada pita emisi untuk eksitasi di bawah pada 310 nm. Emisi
terkuat ditunjukkan pada fase yang ditukar dengan anion SCN-. Peningkatan intensitas fluorescent
sebagian besar tergantung pada jenis anion.

Gambar 4. Spektra Luminescence Kompleks dan Kompleks Pertukaran Anion

b. Sensor Kation
Selain anion, sensor kation berbasis MOF untuk mendeteksi logam transisi lainnya juga
semakindikembangkan. Prinsip LMOF, setiap perubahan karakteristik spektroskopinya berpotensi
digunakan sebagai sinyal penginderaan. Komponen yang paling umum digunakan yaitu intensitas
fluoresensi, tergantung pada sifat elektronik dari molekul yang terdeteksi (analit), baik pendinginan
atau peningkatan dari luminescence. Perubahan ini dapat dikaitkan dengan transfer elektron atau
transfer energi (ET) antara spesies analit dan LMOF, atau kombinasi keduanya (Gomez dkk., 2019).
Logam berat misalnya ion Hg2+, merupakan ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia. MOF yang mengandung piridil yang tidak terkoordinasi atom nitrogen biasanya digunakan
untuk sensor Hg2+. MOF yang tersusun dari kelompok zirkonium dan penghubung porfirin, TCPP
(TCPP = Tetra (4-carboxyphenyl) porphyrin) untuk mendeteksi Hg2+ pada HEPES (HEPES = 4- (2-
hydroxyethyl) -1-piperazineethanesulfonic acid) larutan buffer. Ion Hg2+ mengikat pusat porfirin dan
memberikan efek pendaran fluoresens di area yang terlihat. Selanjutnya, sensor berbasis MOF ini dapat
dengan mudah dipulihkan dengan menambahkan larutan kalium iodida pada sistem sehingga terlihat
menghasilkan perubahan warna dari hijau muda ke ungu. Skema cara kerja MOF ini ditunjukkan pada
Gambar 5. (Yang dkk., 2016).
Gambar 5. Skema Cara Kerja Sensor Kation Hg2+
Kemudian dilakukan penyelidikan untuk tingkat respons analit probe fluorescence, karakteristik kinetik
untuk penginderaan Hg2+ diukur pada interval waktu yang berbeda. Hasilnya ditunjukkan pada gambar
6.

Gambar 6. Pengaruh Waktu Respons Terhadap Intensitas Fluoresen pada Penambahan Hg2+ ke
dalam MOF PCN-224
Hasil menunjukkan pada penambahan Hg2+ (1 μM), intensitas fluoresens MOF PCN-224 mulai
berkurang segera dan mencapai minimum dan stabilitas setelah 120 detik, yang menunjukkan bahwa
reaksi sudah selesai. Hal ini juga terjadi pada konsentrasi Hg2+ yang lebih tinggi (5 μM) mengarah ke
waktu keseimbangan yang lebih pendek sekitar 60 detik.
Sedangkan pada pemeriksaan spektra UV-vis dari MOF PCN-224 pada penambahan berbagai
kation selain Hg2+ tidak terlihat dengan jelas perbedaan yaitu tetap tidak berubah dan warna MOF
PCN-224 tetap berwarna ungu di hadapan kation logam yang berpotensi mengganggu.
c. Sensor pH
MOF yang menunjukkan respons fluoresens yang baik terhadap berbagai nilai pH terutama
untuk kisaran pH 5-7,5. Dimana kisaran pH tersebut sangat diperlukan mengingat potensi perannya
yang besar sebagai probe pH dalam larutan air atau bahkan sel hidup. LMOF yang dilaporkan sebagai
sensor yang cocok untuk mendeteksi pH. Sebagian besar mekanisme penginderaannya berdasarkan
protonasi/deprotonasi linker, terutama yang yang mengandung atom N pada strukturnya.
Lu dkk (2014), telah mengembangkan MOF berbasis ligan phorpyrin yang sangat stabil yaitu
PCN-225, yang digunakan untuk mendeteksi nilai pH dalam rentang luas 0-10,2. Hasil ditunjukkan
dengan data pada Gambar 7.

Gambar 7. Hasil Uji PCN-225 terhadap pH


Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa PCN-225 tetap utuh dalam kondisi pH yang keras. Studi
fluoresensi mengungkapkan korelasi non-linear antara emisi intensitas nilai-nilai MOF dan pH. Ketika
pH kurang dari 5, protonasi bertahap dari nitrogen tipe piridin memecah sistem π-elektron terkonjugasi
dari inti porfirin, membuat MOF hampir non-emisi dalam kondisi asam. Sementara itu, sistem
terkonjugasi pulih karena deprotonasi gugus imino dalam kondisi dasar (pH > 7), sehingga mengarah
ke peningkatan tajam emisi fluoresensi.
Didalam studi ini juga dikembangkan MOF dengan dua jenis ion Eu3+ dengan lingkungan
koordinasi berbeda dicapai dengan menyetel Eu3+/ rasio 2-thenoyltrifluoroacetone (TTA)
terdeprotonasi, di mana Eu1 hanya terkait oleh bipyridine, sedangkan Eu2 membentuk cincin khelat
dengan enam anggota molekul TTA terdeprotonasi. Skema intensitas emisi kompleksnya ditunjukkan
pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Intensitas Emisi Kompleks Eu3+ terhadap pH
Terlihat dari gambar, dua kelompok Eu3+ ini menunjukkan panjang gelombang eksitasi yang berbeda
pada 330 nm dan 375 nm. Dalam kisaran pH dari 5-7.7, intensitas emisi Eu1 (λex = 330 nm) tetap ada
hampir utuh, sedangkan intensitas Eu2 (λex = 375 nm) menurun dengan penurunan nilai pH. Perbedaan
intensitas emisi dapat disebabkan oleh protonasi dari TTA. PKa dari a-proton TTA adalah sekitar 5,3,
karenanya kompleks Eu3+ dijembatani oleh TTA ternyata diprotonasi dalam pH kisaran 5-7,7 dan
akhirnya mematahkan cincin beranggota enam. Sementara itu, basis linker Lewis dengan nilai pKa 3,6
adalah tidak terprotonasi dalam kisaran pH tersebut.
d. Sensor senyawa organic volatil
Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah senyawa yang tekanan uapnya cukup rendah
sehingga mudah menguap pada kondisi atmosfer normal. Deteksi bahan-bahan ini adalah yang paling
penting, mengingat efeknya yang berbahaya pada kesehatan manusia dan lingkungan. Meskipun
banyak MOF dieksplorasi sebagai sensor VOC, namun apikasi ini tetap menarik dan menantang, karena
perilaku mendeteksi sebagian besar bahan MOF berbasis larutan, yaitu, kinerja luminesensi dievaluasi
dengan memasukkan MOFs dalam larutan VOC. Keberhasilan penggunaan MOFs untuk penginderaan
fase uap masih menjadi tantangan, terutama karena konsentrasi analit yang rendah dalam fase gas.
Selain itu, MOF dengan respons 'nyalakan' yang lebih akurat terhadap molekul tamu masih diperlukan
untuk meningkatkan efisiensinya sebagai sensor fase uap.
Metal Organic Framework (MOF) 2D dengan saluran lebar bernama NUS-1 dan struktur analog
yang diaktifkan NUS-1a yang terdiri dari unit bangunan sekunder mirip-Zn4O dan ligan berbasis
tetraphenylethene (TPE) 4,4′-(2,2-difeniletena-1,-diil) asam dibenzoat. Karena struktur khusus ini,
NUS-1a menunjukkan perilaku penyerapan gas yang belum pernah terjadi sebelumnya, transisi fase
seperti transisi kaca di bawah kondisi kriogenik, dan fluoresensi penyalaan responsif ke berbagai
senyawa organik yang mudah menguap. Penggunaan ligan yang mengandung unit TPE yang diperbaiki
sebagian membuka jalan menuju MOF yang sangat berpori dengan respons nyala fluoresensi yang
dapat diaplikasikan secara luas sebagai sensor kimia.
Gambar 6. Struktur MOF NUS-1a

Gambar 9. (a) Spektra emisi NUS-1a terhadap beberapa analit (b) Quantum yield vs pergeseran
λfl dibandinkan dengan NUS-1a
Penelitian dilakukan dengan merendam kristal NUS-1a di berbagai VOC diikuti dengan tes
fotoluminesen. Sebagian besar kristal NUS-1a⊃ guests tampak cerah setelah iluminasi dengan sinar
UV. Perubahan intensitas dan pergeseran puncak lebih jelas diilustrasikan dalam spektrum emisi, di
mana terdapat pergeseran nyata dari emisi maksimum λfl (Gambar 7a). Dibandingkan dengan NUS-1a
murni (λfl = 486 nm), NUS-1a direndam dalam benzena (NUS-1a⊃benzene, λfl = 504 nm) memiliki
pergeseran merah terbesar (18 nm), sedangkan yang direndam dalam mesitylene (NUS-1a⊃mesitylene,
λfl = 458 nm) memiliki pergeseran biru terbesar (28 nm). Dalam sistem AIE berbasis TPE, pergeseran
puncak biasanya berkorelasi dengan penguncian konformasi cincin fenil perifer, di mana konformasi
koplanar akan mempromosikan konjugasi π elektron yang mengarah ke pergeseran bathokromik
(pergeseran merah), sedangkan konformasi tegak lurus cenderung melemahkan π konjugasi elektron,
menghasilkan pergeseran hypsochromic (pergeseran biru). Sangat dimungkinkan bahwa pergeseran
puncak disebabkan oleh perubahan konformasi cincin fenil menggantung dari NUS-1a yang terpapar
analit. Selain pergeseran puncak, juga diaamati respon fluoresensinya. Dibandingkan dengan NUS-1a
(Φfl = 15%), keberadaan analit meningkatkan quantum yield secara signifikan. Sebagai contoh, 49fl
49% dicapai pada NUS-1a⊃benzene, yang menunjukkan pengaktifan fluoresensi yang efektif. Plot Φfl
versus pergeseran puncak terhadap NUS-1a mengungkapkan hubungan yang menarik, di mana semakin
besar pergeseran puncak (apakah itu pergeseran biru atau merah), semakin tinggi quantum yield
(Gambar 3b). Pengamatan di atas menunjukkan bahwa interaksi antara analit dan cincin fenil yang
menjuntai di NUS-1a dapat menghambat rotasi / getaran cincin fenil ini untuk memblokir peluruhan
nonradiatif dan memicu pergeseran puncak bersamaan dengan fluoresensi yang menyala secara
responsif. Mekanisme emisi ini, yang sangat berbeda dari MOF berfluoresen lain seperti luminescence
berbasis ligan, luminescence berbasis logam dan transfer muatan. Sehingga MOF ini dapat digunakan
sebagai sensor karena sensitivitasnya terhadap analit (Zhang dkk., 2013).
e. Sensor Senyawa Nitroaromatis
Dua Co (II) -MOFs dengan struktur yang berbeda berhasil disintesis dengan dasar pemikiran
mendesain dua ligan yang mengandung gugus fungsi alkkyl. Kompleks 1 ([Co(TEPA)(TPT)
2/3]∙2DMF∙H2O) dan 2 ([Co(EPA)(TPT)]∙1.5DMF∙1.5H2O) menunjukkan sifat pendaran yang sangat
baik.

Gambar 10. (a) Struktur Kompleks 1 ([Co(TEPA)(TPT) 2/3]∙2DMF∙H2O) dan 2


([Co(EPA)(TPT)]∙1.5DMF∙1.5H2O)
Sementara itu, sebagai sensor fluoresen, kompleks 1 dan 2 menunjukkan selektivitas dan sensitivitas
untuk Fe3 + dengan Ksv 1.520 104 L / mol dan 3.543 104 L / mol, yang dapat dengan cepat mendeteksi
senyawa nitroaromatik dalam metanol dan etanol, terutama untuk 2,4-NPH melalui quenching
fluoresensi dengan efisiensi quenching yang tinggi. Secara khusus, nilai Ksv dari kompleks 1 dan 2
menuju 2,4-NPH dapat mencapai hingga 1,627 105 L / mol dan 9,600 104 L / mol, menunjukkan
bahwa kompleks 1 dan 2 adalah kandidat yang baik untuk identifikasi dan deteksi Fe3+ dan senyawa
nitroaromatic (Li dkk., 2019).
(b)

Gambar 11. Persentase quenching kompleks (a)1 dan (b)2 terhadap beberapa senyawa
nitroaromatis

f. Sensor Gas Oksigen


Kami melaporkan desain kerangka kerja nano-organik fosforesensi / fluoresensi dual-fluoresensi
(NMOF), R-UiO, sebagai sensor oksigen intraseluler (O2). R-UiO mengandung ligan Pt (II) -porphyrin
sebagai probe sensitif-O2 dan ligan isothiocyanate Rhodamine-B sebagai probe referensi tidak sensitif
O2. Ini menunjukkan kristalinitas yang baik, stabilitas tinggi, dan respons luminesensi ratiometrik yang
sangat baik terhadap tekanan parsial O2. Eksperimen in vitro mengkonfirmasi penerapan R-UiO
sebagai biosensor O2 intraseluler. Karya ini adalah laporan pertama dari sensor oksigen intraseluler
berbasis NMOF dan harus menginspirasi desain sensor NMOF ratiometrik untuk analit penting lainnya
dalam sistem biologis (Xu dkk.,2016).

Gambar 12. Sintesis ligand campuran UiO tipe NMOF dan modifikasi pascasintesisnya untuk
menghasilkan R-UiO NMOF
Gambar 13. (a) Spektrum emisi (λex = 514 nm) dan (c) peluruhan fosforesen (λex = 405 nm) dari
R-UiO-1 dalam buffer HBSS di berbagai tekanan parsial oksigen.

g. Sensor untuk Komponen Senyawa Organik yang Eksplosif dan Energetik


Pendeteksian bahan peledak melalui sensor berbasis MOF biasanya dilakukan dengan cara
memadamkan fluoresensi, dimana dapat dipadamkan oleh analit melalui elektron yang transfer energi.
Efisiensi pendeteksian MOF terhadap bahan peledak dapat secara kuantitatif dikarakterisasi
menggunakan Quenching Constant Ksv dan batas deteksi. Berikut adalah TABD-MOF yang tersusun
atas tiga logam ditunjukkan gambar 12.

Gambar 12. Struktur TABD-MOF-1, TABD-MOF-2, dan TABD-MOF-3


MOF dibagi tiga yaitu, TABD-MOF-1, TABD-MOF-2, dan TABD-MOF-3, yang tersusun dari tiga
logam yaitu, Mg2+, Ni2+, dan Co2+ yang dideprotonasi 4,4′-((Z,Z)-1,4-diphenylbuta-1,3-diene-1,4-
diyl)dibenzoic acid (TABD-COOH). Fluoresensi dari ketiga MOF ini disetel dari emissive terdaya
tinggi ke nonemissive melalui transfer muatan dari ligan ke logam oleh adanya perubahan dari ion
logam, perubahan tersebut melalui subtitusi koordinasi kompetitif, dimana terdapat pengubung organic
dalam TABD-MOF yang terbentuk dan selanjutnya akan berkumpul kembali untuk membentuk agregat
yang diakibatkan emisi agregat yang diinduksi. Hal ini kemungkinan sangat sensitif dan selektif
terhadap bahan peledak seperti senyawa heterosiklik dalam beberapa detik dengan batas deteksi rendah
melalui pergeseran emisi. MOF berbasis kobalt dapat menyeleksi ledakan yang kuat dari 5-nitro-2,4-
dihydro-3H-1,2,4-triazole-3-one dengan sensitivitas tinggi yang dapat dilihat langsung dengan mata
(batas deteksi = 6,5 ng pada pengujian setiap 1 cm2 strip) dan bagian per miliar skala sensitivitas
dengan spektroskopi melalui emisi fluoresensi (Guo dkk., 2014).
h. Sensor Antibiotik dan Biomolekul
Banyak LMOF yang telah dirancang dengan berbagai struktur dan berpori linker yang disesuaikan
dapat mendeteksi antibiotik, misalnya adalah aflatoksin B1(AFB1). Aflatoksin B1(AFB1) adalah salah
satu kontaminan utama dalam bidang pertanian, dengan mempertimbangkan bahaya akibat AFB1
terhadap tanaman seperti jagung dan kacang, sehingga dibutuhkan sensor yang dapat mendeteksi
antibiotik tersebut pada level rendah. MOF-241, [Zn2(BPDC)2(TPPE)](pelarut) (TPPE = 1,1,2,2-
tetrakis(4-(pyridin-4-yl)phenyl)ethane), dapat mendeteksi AFB1 secara efektif dengan efisiensi
pendinginan tinggi 54117 M-1 dan batas deteksi hingaa 46 ppb. MOF-241 tersususn atas ligan
campuran TPPE dan H2BPDC yang dapat berkoordinasi dengan ion Zn2+ dan dapat membentuk saluran
1D heksagonal yang terdistorsi sepanjang sumbu-c dengan diagonal 16,6 Å. Saluran tersebut
memungkinkan MOF-241 untuk menyerap AFB1 dan kemudian berinteraksi dengan analit secara
efisien, sehingga pendeteksian dapat bekerja dengan sangat baik. MOF berbasis ZR stabil yang tidak
hanya dapat mendeteksi antibiotik dan bahan peledak pada tingkat bagia per miliar (ppb), tetapi juga
dapat membersihkan polutan dari air. BUT-12 dan BUT-13 (BUT = Beijing University of Technology)
disusun dari Zr6 cluster dan dua ligan tritopik yang sebelumnya telah dirancang dengan geometri D3h,
H3CTTA dan H3TTNA (H3CTTA = 50-(4-carboxyphenyl)-20,40,60-trimethyl-[1,10:30,100-terphenyl]-
4,400 dicarboxylic acid; H3TTNA = 6,60,600-(2,4,6-trimethylbenzene-1,3,5-triyl) tris (2-naphthoic
acid)), kemudian membentuk struktur MOF BUT-12 dan BUT-13 sebagai berikut (Nagarkar dkk.,
2015).

Gambar 13. Struktur MOF BUT-12 dan BUT-13


Struktur MOF tersebut tetap utuh dalam air, asam dan keadaan basa, hal tersebut dikarenakan Zr4+
bervalensi tinggi dan memiliki sifat hidrofobik. Sifat hidrofobik dan ukuran pori yang besar dapat
meningkatkan pendeteksian dan adsorpsi MOF.
Biomolekul yang berhasil terdeteksi oleh sensor berbasis MOF adalah DNA dan RNA.
Pemanfaatan UiO- 66-NH2 dalam pendeteksian DNA. DNA untai tunggal (ssDNA) dengan 5-
carboxyfluorescein (5-FAM) fluorophore pada 5’ dapat menempel pada MOF struts yang bertindak
sebagai probe-DNA melalui ikatan π-π dan ikatan hidrogen dalam kondisi fluoresensi mati. Ketika
tertambat pada DNA target (tDNA), ssDNA akan terlepas dari kerangka dan membentuk double-
emissive untai DNA dengan urutan sebagai berikut (Hu dkk., 2015).

Gambar 14. Skema Double-Emissive Untai DNA


Komposit tersebut dapat membedakan urutan yang tidak cocok dari komplementer dengan
menunjukkan presentase neon dengan peningkatan yang berbeda.
i. Sensor Suhu
Baru-baru ini, MOF berbasis Ln dengan logam campuran yang telah banyak dieksplorasi sebagai
thermometer yang secara ratiometrik dapat menyelidiki variasi suhu sesuai yang diinginkan. Secara
teoritis, perubahan suhu cenderung dapat mengganggu transisi energi antara ion lantanida campuran,
dan menyebabkan perubahan sifat photoluminescence.

Gambar 15. Spektrum emisi ZJU-88 pada interval 20˚C-80˚C setelah eksitasi 388 nm
Termometer berbasis MOF yang baru diciptakan oleh (Cui dkk., 2015) yaitu ZJU-88 berhasil
mendeteksi suhu dalam kisaran fisiologis. ZJU-88 dengan saluran 1D yang besar berfungsi sebagai
platform yang digunakan untuk menangkap perylene. ZJU-88 merupakan hasil komposit antara emisi
perylene dan ion Eu3+ pada panjang gelombang 388 nm. Intensitas luminesensi bergantung pada jumlah
perylene yang terperangkap di dalam pori-pori ZJU-88. Luminesensi tergantung suhu karena sebanding
dengan intesitas emisi Eu3+ pada 615 nm dan perylene yang terperangkap pada 473 nm. Ketika suhu
meningkat secara bertahap, intensitas emisi perylene pada 473 nm berkurang yang disebabkan karena
peningkatan rotasi atau getaran nonradiatif, sedangkan karakteristik emisi Eu3+ pada 615 nm meningkat
yang disebakan oleh transfer energi dari perylene ke ion logam. Variasi suhu yang digunakan 20˚C-
80˚C, hal tersebut memenuhi syarat menjadi termometer luminensensi yang efektif dalam kondisi
fisiologis. Penentuan sensitivitas dengan memperhatikan penyimpangan suhu yang relative kecil,
sensitivitas yang digunakan maksimum 1,28% dan resolusi pendeteksian yang dihitung lebih baik dari
suhu 0,016 ˚C, sehingga ZJU-88 disintesis dengan sensitivitas tinggi yang dapat digunakan dalam
diagnosis biomedis.

B. Kesimpulan
Pemanfaatan LMOF sebagai sensor telah berkembang pesat. LMOFs berbasis sensor dirancang
untuk mendteksi berbagai spesies seperti ion, bahan peledak, gas, dan biomaterial. Selain itu,
dimanfaatkan untuk termometer fluorescein yang memberikan informasi suhu yang akurat di
lingkungan yang berbeda. LMOF memiliki keunggulan dalam pemanfaatan sebagai sensor diantaranya
kristalinitas, keragaman struktural dan fungsional. Berbagai sensor berbasis MOF mempunyai
mekanisme pendeteksian yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Chen, Y. Q., Li, G. R., Chang, Z., Qu, Y. K., Zhang, Y. H., dan Bu, X. H. 2013. A Cu (I) metal–organic
framework with 4-fold helical channels for sensing anions. Chemical Science, 4(9): 3678-3682.
Cui, Y., Song, R., Yu, J., Liu, M., Wang, Z., Wu, C., Yang, Y., Wang, Z., Chen, B., dan Qian, G. 2015.
Dual-emitting MOF Ɔ Dye Composite for ratiometric Temperature Sensing. Advanced
materials, 27(8): 1420-1425.
Gomez, G. E., dos Santos Afonso, M., Baldoni, H. A., Roncaroli, F., dan Soler-Illia, G. J. 2019.
Luminescent Lanthanide Metal Organic Frameworks as Chemosensing Platforms towards
Agrochemicals and Cations. Sensors, 19(5): 1260.
Guo, Y., Feng, X., Han, T., Wang, S., Lin, Z., Dong, Y., dan Wang, B. 2014. Tuning the Luminescence
of Metal−Organic Frameworks for Detection of Energetic Heterocyclic Compounds. Journal of
The American Chemical Society, 136(44): 15485-15488.
Hu, Z., Lustig, W.P., Zhang, J., Zheng, C., Wang, H., Teat, S.J., Gong, Q., Rudd, N.D., dan Li, J. 2015.
Effective Detection Of Mycotoxins By A Highly Luminesensi Metal-Organic Framework.
Journal of The American Chemical Society, 137(51): 16209-16215.
Horcajada, P., Chalati, T., Serre, C., Gillet, B., Sebrie, C., Baati, T., Eubank, J.F., Heurtaux, D.,
Clayette, P.,Kreuz, C., Chang, J.S., Hwang, Y.K., Marsaud, V., Bories, P.N., Cynober, L., Gil,
S., Ferey, G., Couvreur, P., dan Gref, R. 2010. Porous Metal-Organic-Framework Nanoscale
Carries as a Potential Platform for Drug Delivery and Imaging. Nature Materials, 9(2): 172-178.
Li, Y., Wang, X., Xing, C., Zhang, X., Liang, Z., Wang, X dan Dai, F. 2019. Two alkynyl
functionalized Co (II)-MOFs as fluorescent sensors exhibiting selectivity and sensitivity for Fe3+
and nitroaromatic compounds. Chinese Chemical Letters, 30: 1440-1444
Lu, Y., dan Yan, B. 2014. A ratiometric fluorescent pH sensor based on nanoscale metal–organic
frameworks (MOFs) modified by europium (III) complexes. Chemical Communications, 50(87):
13323-13326.
Mandal, T. N., Karmakar, A., Sharma, S., & Ghosh, S. K. 2018. Metal‐Organic Frameworks (MOFs) as
Functional Supramolecular Architectures for Anion Recognition and Sensing. The Chemical
Record, 18(2): 154-164.
Nagarkar, S.S., Desal, A.V., Samanta, P., dan Ghosh, S.K. 2015. Aqueous Phase Selective Detection Of
2,4,6- Trinitrophenol Using A Fluorescent Metal–Organic Framework With A Pendant
Recognition Site. Royal Society of Chemistry, 44(34): 15175-15180.
Xu, R., Wang, Y., Duan, X., Lu, K., Micheroni, D., Hu, A., & Lin, W. 2016. Nanoscale metal–organic
frameworks for ratiometric oxygen sensing in live cells. Journal of the American Chemical
Society, 138(7): 2158-2161.
Yang, J., Wang, Z., Li, Y., Zhuang, Q., Zhao, W., dan Gu, J. 2016. Porphyrinic MOFs for reversible
fluorescent and colorimetric sensing of mercury (II) ions in aqueous phase. RSC Advances,
6(74): 69807-69814.
Zhang, M., Feng, G., Song, Z., Zhou, Y.P., Chao, H.Y., Yuan, D., Tan, T.T., Guo, Z., Hu, Z., Tang,
B.Z. and Liu, B., 2014. Two-dimensional metal–organic framework with wide channels and
responsive turn-on fluorescence for the chemical sensing of volatile organic
compounds. Journal of the American Chemical Society, 136(20): 7241-7244.

Anda mungkin juga menyukai