Anda di halaman 1dari 14

Riffaterre mengemukakan bahwa untuk menganalisis sebuah puisi berdasarkan

semiotik, dipergunakan beberapa metode. Metode-metode itu adalah sebagai berikut:

1. Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi

Riffaterre mengatakan bahwa “Puisi merupakan sebuah ekspresi tidak langsung.


Ketidaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh tiga hal: (1) penggantian arti,
(2) penyimpangan arti, (3) penciptaan arti (Dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995:
147).

1. Penggantian arti (displacing of meaning)

Penggantian arti terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke
arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab
terjadinya Penggantian arti adalah penggunaan gaya bahasa retori seperti:

1. Aliterasi, semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang


sama (Gorys Keraf, 2004: 130).
2. Anastrof, semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan
kata yang bisa dalam kalimat (Gorys Keraf, 2004: 130).
3. Hiperbola, semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2004: 135).

Dan juga penggunaan gaya bahasa kiasan seperti:

1. Persamaan atau simile, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu


sama dengan hal yang lain (Gorys Keraf, 2004: 138).
2. Metafora, semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat (Gorys Keraf, 2004: 139).
3. Personifikasi, semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-
benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah mempunyai
sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2004: 140).
4. Penyimpangan arti (distorsing of meaning)

2. Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi,


dan non-sense.
Ambiguitas adalah keragu-raguan atau tidak pastian dalam menafsirkan
makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa
kemungkinan (Dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 148-149).

Kontradiksi adalah salah satu cara untuk menyampaikan sesuatu dengan cara
berlawanan. Kontradiksi mengandung pertentangan, hal ini disebabkan oleh
paradoks dan ironi (Dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 150-151).
Non-sense adalah kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi kata-kata
itu bisa mempunyai makna dalam puisi karena adanya suatu konvensi sastra (Dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 152-153).

3. Penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam karya sastra,
seperti pembaitan, enjambemen (pemenggalan larik), persajakan, tipografi, dan lain-
lain (Dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 153).

2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya, di


mana struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa
normatif) (Dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 135). Pembacaan heuristik
biasanya disebut pembacaan tingkat pertama.

Menurut Riffatere pembacaan hermeneutik atau bisa disebut retroaktif adalah


pembacaan dengan tingkat kedua atau pembacaan berdasarkan konvensi sastra atau
kemampuan kesustraan atau literary competence (Dalam Rachmat Djoko Pradopo,
1995: 136)

3. Matriks

Matriks adalah satu konsep abstrak yang pada hakikatnya tidak pernah teraktualisasi
(Dhesy Eka Nurcahyanti 2012: 17). Matriks ditransformasikan dengan model. Secara
sederhana, matriks adalah makna/gagasan yang tidak tertera dalam teks, sementara
model adalah kata/kalimat/diksi yang lahir karena matriks.

4. Hipogram

Hipogram merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah pernyataan
yang bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya berupa potensi sehingga terlihat dalam
tataran kebahasaan, atau bisa juga aktual sehingga terlihat dalam teks sebelumnya
(Dalam Ractmat Djoko Pradopo, 2001: 78). Hipogram sangat terkait erat dengan
intertekstualitas sebuah karya sastra sebelum atau sesudahnya. Intertekstual dapat
diartikan sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi
budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks (Dalam Burhan
Nurgiyantoro, 1995:50).
Analisis Semiotik Puisi “Padamu Jua”

Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi

1. Penggantian arti (displacing of meaning)

Dalam puisi “Padamu Jua”, Amir Hamzah menggunakan beberapa gaya bahasa
retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris yang terdapat dalam puisi
tersebut adalah aliterasi. Ini tampak pada bait pertama, larik ke-1, yaitu Habis kikis.
Di sini terdapat pengulangan konsonan yang sama yaitu s. Selain itu, pada bait
pertama, larik ke-2, terdapat Segala cintaku hilang terbang, terdapat pengulangan
konsonan yaitu ng. Juga, baik kedua, larik ke-1, Kaulah kandil kemerlap, terdapat
pengulangan konsonan yaitu k.

Selain itu, terdapat gaya bahasa anastrof. Gaya bahasa ini tampak pada bait pertama,
larik ke-3 yaitu Pulang kembali aku padamu. Dalam larik ini, terdapat pembalikan
susunan kata yang seharusnya menjadi aku pulang kembali padamu.

Gaya bahasa retoris yang lain adalah hiperbola. Ini tampak pada bait pertama, larik 1,
yaitu Kaulah kandil kemerlap. Selain terdapat ungkapan yang berlebihan di sini, di
mana “kau” seperti kandil yang bersinar terang.

Gaya bahasa kiasan dalam puisi “Padamu Jua” adalah persamaan atau simile. Ini
tampak pada, baik keenam, larik ke-4, Serupa dara di balik tirai. Terdapat kata
serupa yang merujuk ke perbandingan, dimana kata “Engkau”, jika dikaitkan dengan
larik sebelumnya, seperti dara (semacam burung merpati—perlambangan cinta) di
balik tirai.

Gaya bahasa kiasan lainnya adalah metafora. Ini tampak pada bait kedua, larik ke-2
yaitu Pelita jendela di malam gelap. Kata “kau” pada larik sebelumnya, dianalogikan
seperti pelita jendela.

Selanjutnya, gaya kiasan yang lain adalah personifikasi. Ini tampak pada bait
pertama, larik ke-2, yaitu Segala cintaku hilang terbang, di mana ada gambaran
benda mati, dalam hal ini cinta, dapat melakukan sifat-sifat kemanusiaan seperti
terbang. Selain itu, ada larik Hanya kata merangkai hati, di mana “kata” dapat
melakukan sifat kemanusiaan yaitu merangkai. Dan ada larik Matahari – bukan
kawanku, di mana “matahari” dapat melakukan sifat kemanusiaan seperti menjadi
kawan “si aku”.

2. Penyimpangan arti (distorsing of meaning)

Dalam puisi “Padamu Jua” terdapat ambiguitas secara keseluruhan, yaitu pemaknaan
kata “kau atau engkau atau –mu” dalam puisi. Dalam hal ini, kata-kata tersebut dapat
diartikan sebagai manusia biasa karena Amir Hamzah tidak mengkapitalkan huruf
depannya, sesuai dengan EYD. Selain itu, Amir Hamzah juga menganggap kata-kata
tersebut sebagai kekasihnya seperti pada bait keempat. Akan tetapi, ada beberapa
refen yang menginterpretasikan kami untuk memaknai kata “kau atau engkau atau –
mu” dengan Tuhan. Ini terdapat pada bait terakhir, di mana Amir Hamzah tidak bisa
menemui sosok “kau atau engkau atau –mu” karena belum waktunya, dalam hal ini
mati.

Lalu, terdapat juga kontradiksi dalam puisi.

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Secara implisit, bait di atas menerangkan sosok engkau yang tidak ada dan hanya ada
suara yang sayup, dan hanya ditemukan kata-kata yang indah. Ini berkebalikan
dengan bait-bait sebelumnya, yang menyatakan bahwa sosok engkau itu ada,
walaupun tidak disebutkan sosok engkau itu memiliki rupa sebelum bait di atas. Ini
membuat sebuah pemaknaan bahwa sosok engkau dalam puisi ini adalah Tuhan.

Non-sense dalam puisi ini adalah terdapat kata “kemerlap”. Dalam KBBI, tidak
ditemukan kata-kata kemerlap, hanya ada kata gemerlap, yang berarti berkilap-kilap.
Amir Hamzah mungkin mencoba mengubah konsonan untuk kepentingan rima puisi.

3. Penciptaan arti (creating of meaning)

Puisi “Padamu Jua” terdiri dari 7 bait yang masing-masih terdiri dari 4 larik. Tipa
baris mempunyai rima persajakan yang berbeda. Berikut ini adalah pola rima
persajakan dalam puisi “Padamu Jua”:

Habis kikis a

Segala cintaku hilang terbang b

Pulang kembali aku padamu c

Seperti dahulu c

Kaulah kandil berkilap-kilap d

Pelita jendela di malam gelap d


Melambai pulang perlahan e

Sabar, setia selalu c

Satu kekasihku c

Aku manusia f

Rindu rasa f

Rindu rupa f

Dimana engkau c

Rupa tiada f

Suara sayup g

Hanya kata merangkai hati h

Engkau cemburu c

Engkau ganas i

Mangsa aku dalam cakarmu c

Bertukar tangkap dengan lepas i

Nanar aku, gila sasar j

Sayang berulang padamu jua f

Engkau pelik menarik ingin k

Serupa dara dibalik tirai h


Kasihmu sunyi h

Menunggu seorang diri h

Lalu waktu – bukan giliranku c

Matahari – bukan kawanku c

Bait pertama mempunyai rima persajakan yang tidak beraturan yaitu:a-b-c-c. Bait
kedua juga yaitu: d-d-e-c. Bait ketiga: c-f-f-f. Bait keempat: c-f-g-h. Bait kelima
mempunyai pola: c-i-c-i. Bait keenam: j-f-k-h. Bait ketujuh: h-h-c-c.

Enjambemen dalam puisi ini terdapat pada bait pertama, yaitu larik ke-2 merupakan
lanjutan dari larik ke-1. Bait kedua, yaitu larik ke-4 merupakan lanjutan dari larik ke-
3. Bait keenam, yaitu larik ke-4 merupakan lanjutan larik ke-4

Dalam hal tipografi, terdapat keunikan yaitu pada dua larik terakhir, di mana terdapat
tanda “—“, di mana ini digunakan untuk memberi penjelasan di luar bangunan
kalimat (dalam hal ini larik). Menurut kami penggunaan tanda “—“, dimaksudkan
untuk jeda yang cukup panjang sebelum mengucapkan frase larik selanjutnya.

2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacaan Heuristik

Judul

(ke)Padamu jua

Bait ke-1

(telah) Habis (ter-) kikis. Segala cintaku hilang (dan atau lalu) terbang. Pulang
kembali aku padamu. Seperti (yang) dahulu.

Bait ke-2

Kaulah kandil (dalam) kemerlap. Pelita jendela di malam (yang) gelap. (kau)
Melambai pulang (secara) perlahan. Sabar, setia (dan) selalu.
Bait ke-3

(hanya) Satu kekasihku. Aku manusia (yang) Rindu rasa (dan) Rindu rupa.

Bait ke-4

Dimana engkau (?) Rupa(mu) tiada. Suara(mu) sayup. Hanya kata (yang) merangkai
hati.

Bait ke-5

Engkau cemburu. Engkau ganas. Mangsa aku dalam cakarmu. Bertukar (lalu atau
dan) tangkap (aku) dengan lepas

Bait ke-6

Nanar aku, (aku) gila sasar. Sayang berulang padamu jua. Engkau pelik (yang)
menarik ingin. Serupa dara (yang berada) di balik tirai

Bait ke-7

Kasihmu (adalah) sunyi. Menunggu (kedatanganku) seorang diri. Lalu waktu –


bukan giliranku (dan) Matahari – bukan kawanku

Pembacaan Hermeneutik

Judul

Pulang hanya kepadamu

Bait ke-1

Segala cinta si aku kepada kekasihnya baru saja habis terkikis, hilang tak tersisa, dan
terbang bagaikan burung. Oleh karena itu si aku, kembali ke kekasihnya yang
dahulu.

Baik ke-2

Kekasihnya yang lama itu menarik bagai lentera yang terang di malam yang gelap
lewat jendela. Si kekasih selalu menyapa/memanggil si aku dengan sabar dan setia
ketika si aku pulang.
Baik ke-3

Si aku menyatakan dia hanya mempunyai satu kekasih, dan si aku adalah manusia
biasa yang rindu meraba dan melihat kekasihnya.

Baik ke-4

Si aku mencari kekasihnya entah di mana karena kekasihnya tidak ada rupanya dan
suaranya sedikit terdengar oleh si aku. Yang didapat oleh si aku hanya kata-kata
yang menyenangkan dan mengharukan hati.

Baik ke-5

Kekasihnya itu orangnya cemburuan dan buas. Si aku


dimanfaatkan/dimarahi/dipukul. Si aku selalu dipermainkan dengan ditangkap dan
dilepas lagi secara berulang-ulang.

Baik ke-6

Si aku menjadi bingung dan penasaran. Namun kekasihnya mempunyai sifat sayang
dan selalu menarik perhatian si aku. Kekasihnya itu mempunyai daya tarik meski
berada di lain tempat.

Baik ke-7

Kisah percintaannya diam-diam saja. Si kekasih menunggu si aku seorang diri.


Namun, bukan giliran si aku menemui si kekasihnya, meski juga hari sudah habis
tidak dapat menemui si kekasihnya.

Kesimpulannya, bait 1, menandakan bahwa si aku kembali kepada kekasih yang


lama karena kekasihnya yang baru telah meninggalkan. Bait 2, menandakan kekasih
itu orang yang sabar, setia dan penerang. Bait 3, menandakan si aku tidak bisa
berjumpa kekasihnya karena si aku sebagai manusia. Bait 4, si aku mencari-cari
kekasihnya dan hanya menemukan kata-katanya yang indah karena engkau (kekasih)
kami interpretasikan sebagai zat abstak (Tuhan). Bait 5, menandakan si engkau
(kekasih) marah karena si aku telah lama meninggalkannya. Bait 6, si aku bingung
dan ingin bertemu dengan si kekasihnya. Bait 7, si aku tidak dapat bertemu
kekasihnya karena dia masih hidup.

3. Matriks

Matriks dalam puisi “Padamu Jua” adalah kekecewaan si aku akan cinta barunya,
dan kembali ke cinta lamanya yaitu Tuhan. Dalam perjalanannya, manusia akan
menemukan cinta. Akan tetapi, tidak semua cinta itu dapat membahagiakan. Bahkan
ada yang membuat kecewa. Rasa kecewa akan cinta susah untuk diobati. Namun, ada
beberapa obat agar manusia tidak bersedih lagi, yaitu kembali ke jalan yang benar,
dalam hal ini kembali menjalani ibadah dengan sepenuhnya.

Adapun model dalam puisi ini yang mengungkapkan matriks di atas adalah sebagai
berikut:

Bait I, larik 1, 2, 3, dan 4

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Bait 4, larik 1, 2, 3, dan 4

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

4. Hipogram

Terdapat intertekstual antara “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan “Doa” Chairil
Anwar. Dalam “Padamu Jua”, si aku kecewa dengan dunia dan pasti kembali ke
Tuhan, meskipun pada awalnya si aku juga kecewa karena ia merasa dipermainkan
oleh Engkau. Akan tetapi, akhirnya ia tak mau pergi lagi karena ‘engkau’ sangat
menariknya, menanti si aku seorang diri dengan setia. Kemudian dalam “Doa”
(Chairil Anwar), si aku terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya
termangu, lagi juga, akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena ia penuh seluruh.
Karena itu tak ada tempat lain untuk mengadu. Maka, ketika si aku telah mengetuk
pintu kerahmanan dan kerahiman-Nya, si aku tak bisa berpaling lagi.

Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kandil (lilin) kemerlap. Ini
ditransformasikan Chairil anwar dalam “Doa”, sifat Tuhan sebagai “kerlip lilin di
kelam sunyi”. Si aku dalam puisi (Amir Hamzah) ragu-ragu karena tak dapat
menangkap wujud Engkau: dimana Engkau/ Rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata
merangkai hati//. Bahkan, si aku merasa dipermainkan: engkau cemburu/ Engkau
ganas/ mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas//. Hal ini
diransformasikan Chairil Anwar dengan : /Tuhanku/ dalam termangu/ aku masih
menyebut nama-Mu// Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh//.

Penderitaan si aku dalam puisi Amir Hamzah (bait 4 dan 5) ditransformasikan


Chairil Anwar : Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ remuk/ dan / aku mengembara di
negeri asing//. Meskipun demikian, si aku (Amir Hamzah) kembali juga kepada
Engkau, kekasihnya: nanar, gila sasar/ sayang berulang padamu jua/ engkau pelik
menarik ingin/serupa dara di balik tirai// kasihmu sunyi/ Menunggun seorang diri/.
Ini ditransformasikan (Chairil Anwar) dalam “Doa”: Tuhanku/ Aku mengembara di
negeri asing // Tuhanku/ Di pintu-Mu aku mengetuk/ Aku tidak bisa berpaling.

Demikian juga, ditemukan kesamaan ide kedua puisi itu yaitu tentang ketuhanan,
kepasrahan, penderitaan duniawi, dan kerinduan akan Tuhan—namun dengan cara
pengekspresiannya yang berbeda. Amir Hamzah misalnya, menanggapi wujud tuhan
sebagai kekasih, sedangkan bagi Chairil Anwar antara ia dengan Tuhannya tercipta
jarak. Tuhan, dalam puisi Chairil Anwar digambarkan sebagai Tuhan sebenarnya
yang mempunyai kekuatan mutlak.

Makna dari puisi “Padamu Jua” adalah tentang kekecewaan seseorang akan cinta
dunia. Orang itu kemudian kembali ke Tuhan yang dahulu dia cintai. Orang itu
sangat mencintai Tuhannya dan sangat ingin bertemu dengannya. Akan tetapi, bukan
waktunya dia bertemu karena orang itu masih hidup.

Saran

Puisi “Padamu Jua” merupakan sebuah ekspresif manusia akan kekecewaan duniawi.
Ini memberikan kita pelajaran bahwa tidak selamanya dunia memberikan
kebahagiaan. Hanya kepada Tuhannya kita dapat merasakan cinta sebenarnya, dan
hanya Dialah yang setia, menunggu dengan sabar. Tuhanlah yang dapat memberikan
cahaya pada jalan yang gelap dan hanya Dialah yang dapat mencerahi hati orang-
orang. Jadi, ketika kita mengalami kekecewaan, cobalah mendekat kepada Tuhan.
Mungkin kekecewaan itu akan berkurang.
Lampiran

Padamu Jua

Karya : Amir Hamzah

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati


Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Matahari – bukan kawanku

Doa

Karya : Chairil Anwar

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu


Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya-Mu panas cuci

Tinggal kerdil lilin

Di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu-Mu mengetuk

Aku tidak bisa berpaling


1.

Anda mungkin juga menyukai