Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan Tentang Pencemaran Lingkungan Laut Menurut Hukum

Internasional Dan Hukum Nasional

Laut terutama lautan samudra, mempunyai sifat istimewa bagi manusia.

Begitu pula hukum laut, karna hukum pada umumnya adalah rangkaian

peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota

masyarakat dan betujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota

masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara berbagai

benua dan pulau-pulau di dunia.1 Melalui laut masyarakat internasional dan

subjek-subjek hukum internasional lainya yang memiliki kepentingan dapat

melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai

penelitian ilmu pengetahuan. Dengan demikian pada hakekatnya, segala peraturan

hukum yang berlaku dalam tiap-tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila

melewati batas menginjak pada laut. Tetapi bagi manusia yang berdiam di tepi

laut, sejak dahulu kala dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari

laut yang terbatas pada pesisir itu. Ini justru didasarkan tidak ada orang lain yang

berhak atas laut selaku suatu keluasan air. Maka ada kecenderungan untuk

memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir itu

sampai meliputi sebagian dari laut yang berada disekitarnya. Adalah hal yang

mungkin menjadi soal terutama apabila tidak jauh dari tanah pesisir itu, ada tanah

24
Wiryono Projodikoro. Hukum Laut bagi Indonesia. Sumur Bandung. Bandung. 1984. hal 8
pesisir dibawa kekuasaan negara lain. Pentingnya laut dalam hubungan antar

bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum internasional.2

Kemudian terkait hukum dan lingkungan, merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan, bahkan dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum lingkungan

telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi ketika pembangunan

mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dibarengi dengan kesadaran

masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan tersebut. Hukum

Lingkungan Internasional adalah salah satu ilmu yang mulai berkembang sejak

tahun 1960-an, United Nation Conference on The Human Environment yang lebih

dikenal dengan konferensi Stockholm yang diadakan di Stockholm pada tahun

1972 yang merupakan konferensi dengan isu lingkungan hidup internasional yang

pertama kali dilaksanakan. Konferensi Stockholm merupakan titik balik dalam

perkembangan politik lingkungan hidup internasional. Yang pada akhirnya

konferensi Stockholm melahirkan konsep “Hanya Ada Satu Bumi”( Only One

Earth)

“While the United Nation Charterset out to improve conditions of living


for all people, promoting peace, stability and economic development, this
1945 document was silent on environmental issues. As evidence of an
environmental crisis became apperent in the the 1960s, voice were raised
for expanding UN activities into the environmental field as crusial means
for fulfiling the goals of the UN charter. Beginning with the 1972
Stockholm Converence on the Human Environment (UNCHE) Continuing
trough the 1992 United Nations Converence on Environment Development
(UNCED) and culminating most recently with the 2002 World Summit on
Sustainable the conections between environmental protection and social

25
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam ra dinamika
Global. Bandung Alumni. Bandung. 2011. Hal 307
and economic development under UN auspices through global
converence” 3

Dasar rintisan hukum lingkungan internasional dimulai pada zaman abad

pertengahan dimana pada masyarakat eropa mulai ada ketentuan yang mempunyai

tujuan khusus untuk melindungi lingkungan semisal peraturan hukum tentang

pengawasan terhadap pembakaran arang batu, yang disertai dengan adanya

hukuman yang berat. Pada saat yang sama, perkembangan prinsip-prinsip hukum

lingkungan internasional dan konsepnya dapat mempengaruhi perkembangan

prinsip-prinsip di bidang hukum internasional.

Hukum lingkungan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan

kaidah, azas-azas yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian internasional

maupun hukum kebiasaan internasional yang ber objek lingkungan hidup yaitu

masyarakat, negara-negara, termasuk subjek-subjek hukum Internasional bukan

negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga

dan proses kemasyarakatan Internasional 4.

Pencemaran laut sudah terjadi sejak tahun 1960-an yaitu masalah

pengotoran laut karena minyak atau karna bahan -bahan berbahaya lainya

misalnya bahan-bahan seperti toxic, radio aktif, dan lain-lain. Masalah ini mulai

lebih terasa sejak semakin banyak dibuatnya kapal-kapal yang digerakan oleh

tenaga nuklir atau kapal-kapal yang membawa bahan-bahan atau senjata nuklir.

Menurut M.Daud Silalahi pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk

26
Panda S Chasek. Global Inveronmental Politics Cambridge Westview Press. 2007. 368 et.
al
27
Mochtar Kusumaatmaja. Pengantar Hukum Internasional Buku I. Bima Cpta. Bandung.
1982. Hal 7
Environment impaiment, yakni adanya gangguan, perubahan atau perusakan.

Sejalan dengan itu maka pencemaran laut intinya adalah menurunya kualitas air

laut karna aktivitas manusia baik disengaja maupun tidak sengaja memasukan zat-

zat pencemar dalam jumlah tertentu kedalam lingkungan laut (termasuk muara

sungai) sehingga menimbulkan akibat yang negatif bagi sumber daya hayati dan

nabati dilaut, kesehatan manusia, aktivitas dilaut, dan bagi kelangsungan hidup

dari sumber daya hidup di laut 5.

A.1 Pengaturan Pencemaran Lingkungan Menurut Hukum Internasional

Pengaturan didalam Hukum Internasional terhadap pencemaran

lingkungan dikawasan laut suatu negara tidak terlepas dari prinsip-prinsip

Hukum Internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas

negara-negara. Adapun pengaturan pencemaran lingkungan menurut hukum

internasional sebagai berikut:

1) Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958

Pasal 24 Konvensi Laut Lepas 1958 menyatakan sebagai berikut:

“Every State shall up regulation to prevent pollution of the seas by the


discharge of oil from ships or pipelines or resulting from the
explotation and exploration of the seabed and its subsoil, taking
account of existing treaty on the subject”

Ketentuan diatas menyatakan bahwa setiap negara wajib membuat

peraturan-peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran laut yang

disebabkan tumpahan minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau

yang disebabkan oleh eksploitasi dan eksplorasi dasar laut dan tanah di

28
Juarir Sumardi. Hukum Pencemaran Trans Nasional . Citra Aditia Bakti. Bandung. 1991.
Hal 4
bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait yang ada

didalam perjanjian internasional tersebut.

2) Pengaturan menurut International Convention on Civil Liability for Oil

Pollution Damage (Civil Liability Convention)1969

Konvensi Internasional mengenai pertanggungjawaban perdata

terhadap pencemaran minyak di laut merupakan konvensi yang mengatur

tentang ganti rugi pencemaran laut oleh tumpaha minyak karena kecelakaan

kapal tenker, tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan minyak

dari kapal tenker. Konvensi ini juga berlaku untuk pencemaran lingkungan

laut di laut teritorial negara peserta. Dalam hal pertanggungjawaban ganti

rugi pencemaran lingkungan laut, maka prinsip yang dipakai adalah prinsip

tanggungjawab mutlak

3) Pengaturan menurut Declaration of the United Nations converence on

the Human Environment (Stockholm Declaration) 1972

Konfrensi Stockholm pada tahun 1972 menyepakati beberapa dasar

prinsip terkait keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan

mengatasi pencemaran lingkungan laut seperti yang tertera dalam prinsip ke

7 yang berbunyi sebagai berikut:

“State Shall take all posible step to prevent pollution on the sea by
subtances that that are liable to create hazards to human health, to harm
living resources and marine life, to damage amneties or to interfere with
other legitimate uses on the sea”

Prinsip tersebut mewajibkan kepada semua negara yang meratifikasi

konferensi tersebut untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah

pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia,


sumber kekayaan hayati terhadap penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke

13 juga menyebutkan :

“In order to achieve a more rational management of resources and thus


to improve he environment, states should adopt an integrated and
coordinated approach to their development planing so as to ensure that
developmentt is compatible with the need to protect and improve
environment for the benevit of the their population”

Prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk mencapai pengelolaan yang

lebih rasional dan dengan demikian dapat memperbaiki lingkungan, negara

harus mengadopsi pendekatan terpadu dan terkoordinasi untuk penyusunan

perencanaan pembangunan nasional yang kompatibel dengan kebutuhan

untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan demi kepentingaan

nasional. Terkait tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh

pencemaran laut dapat dilihat di dalam prinsip ke 22 konferensi Stockholm

yang berbunyi sebagai berikut :

“State shall cooperate todevelop further the international law regarding


liability and compensation for the victims of pollution and other
environment damage caused by activities within the juridiction or control
of such state to areas beyond their juridiction”

Prinsip tersebut jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan

secara efektif maka, haruslah ada kerjasama antar negara-negara untuk

mengembangkan hukum Internasional yang mengatur ganti rugi yang

disebabkan oleh pencemaran yang terjadi di laut.

4) Pengaturan menurut United Convention on The Law of the Sea 1982

Konverensi Perserikataaan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut

atau UNCLOS 1982, merupakan puncak karya dari PBB yang disetujui di
Montego Bay Jamaica tanggal 10 Desember 1982. Konvensi ini secara

lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection

and preservation of the marine environment). United Convention on the

Law of the Sea merupakan suatu perjanjian atau konvensi yang melatar

belakangi hak dan obligasi dari suatu negara dan organisasi internasional

lainya pada bidang kemaritiman. Pencemaran laut dijelaskan pada pasal 1

ayat (4) United Convention on the Law Sea sebagai berikut :

“Pollution of the marine environment the introduction by man, directly or


inderectly, of subtance or energi into the marine environment including
estuaries, which result or is likely to result in such delecterius effect as
harm to living resources and marine life, hazard to human health
hindrance to marine activities including fishing and other legitimate uses
of the sea, impaiment of quality or use of sea water and of amneties”

Dapat disimpulkan bahwa pencemaran laut adalah dimasukanya

secara langsung atau tidak langsung oleh manusia kedalam lingkungan laut

yang akhirnya menyebabkan kualitas lingkungan laut menurun, sehingga

membahayakan sumber hayati yang ada di laut, kesehatan manusia, serta

mengganggu dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan

laut.

Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dibagian XII

United Converence on Law of the Sea 1982 secara singkat menyatakan

negara peserta berkewajiban untuk melindungi dan memelihara lingkungan

laut.

Definisi pencemaran laut menurut The United States National Oceanic

Administration (NOOA) dalam laporannya pada kongres mengenai

pembuangan limbah di samudra (ocean dumping), menyimpulkan


pencemaran samudra sebagai berikut : “the unfavoufurable alteration of the

marine environment… thought direct or indercht effect of changes in energy

pattern, tradition and distribution, abundance, and qualityof organism”

yang bila diterjemahkan menyangkut kondisi yang tidak baik atau tidak

menguntungkan bagi lingkungan laut termasuk bagi kesatuan pola,

distribusi, dan kualitas organisme baik secara langsung atau tidak langsung.

5) Pengaturan menuurut International Convention on Oil Pollution

Preparednes Response And Coorperation 1990(OPRC)

OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama Internasional

menanggulangi pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan

beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada maka dapat kita

simpulkan bahwa konvensi ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun

pertolongan bagi korban pencemaran laut tersebut. Pertolongan tersebut

dengan cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya pemulihan dari

evakuasi korban dapat ditanggulangi dengan segera.

6) Pengaturan menurut International Convention for the prevention of

Pollution from the Ships 1973/78( Marine Pollution)

Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan

pencemaran dari kapal 1973 sebagaiman diubah oleh protocol 1978. Marpol

73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran laut dan

melestarikan lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap

oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-

zat tersebut tanpa disengaja.


Marpol 73/78 secara garis besar mengatur:

“Mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk


pembuangan limbah berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semu
aspek teknis pencemaran dari kapal, kecuali pembuangan limbah ke laut
oleh dumping,dan berlaku untuk kapal-kapal dari semua jenis meskipun
tidak berlaku untuk pencemaran yang timbul dari eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya mineral laut”

Marpol 73/78 memuat enam Annexes yang berisi regulasi-regulasi

mengenai pencegahan polusi dari kapal. Adapun regulasi tersebut sebagai

berikut :

a. Annex I : Prevention of Pollution by oil (2 october 1983)


b. Annex II : Control of Pollution by noxius liquidq subtances (6 april
1987)
c. Annex III: Prevention of pollution by hamful subtances in packaged
from ships (1 july 1992)
d. Annex IV: Prevention of Pollution by sewage from ships ( 27september
2003)
e. Annex V :Prevention of pollution by gerbage from ships (31 desember
1988)
f. Annex VI : Prevention pollution by air from the ships

A.2 Pengaturan Pencemaran Lingkungan Menurut Hukum Nasional

Dengan diberlakukanya Konvensi Hukum Laut Perserikatan

Bangsa-Bangsa (United Convension on the Law of The Sea) tahun 1982

yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No 17 Tahun

1982 Tentang pengesahan UNCLOS, maka Indonesia mendapatkan

wewenang untuk memanfaatkan, melindungi dan memelihara sumber-

sunber kekeyaan yang berada dilaut6.

29
Melda Ariadno. Hukum Internasional Hukum Yang Hidup. Diadit Media. Bandung. 2007.
Hal 24-25
Didalam Pasal 207 sampai 212 Undang-Undang No17 tahun 1982,

mewajibkan negara-negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau

undang-undang nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan

pencemaran lingkungan laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam

beberapa undang-undang yang terkait dengan peraturan tersebut yang diatur

dalam Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,

Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Undang-Undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,

Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang No

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Peraturan Presiden

Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat

Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Maka terkait dengan pencemaran

lingkungan yang terjadi di laut Indonesia, perundang-undangan nasional

mengidentifikasi beberapa pasal yang mengatur tentang pencemaran laut

yang terjadi yakni sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia

Undang-Undang ini Merupakan umbrella act bagi ketentuan-

ketentuan Nasional Indonesia tentang hukum laut yang sudah

disesuiakan dengan konvensi hukum laut 1982. Khusus dalam hal

perlindungan terhadap lingkungan laut hal ini juga berhubungan dengan

Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup. Undang-undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,

menyebutkan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut

tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian


lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum internasional.
(2) Administrasi dan yuridiksi, perlindungan, dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan,
pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk
suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan keputusan
presiden.

2) Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Pada tanggal 19 Desember 1997 mulai diberlakukan Undang-

undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang

selanjutnya disebut (UUPLH). Merupakan penyempurnaan dari

Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) 1982. Undang-undang ini

mengartikan pencemaran sebagai berikut:

“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukanya


makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan
hidup dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia
atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai
ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau
tidak berfungsi lagi sesuai peruntukanya”

Definisi Dumping tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23

tahun1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, akan tetapi dalam

Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan lingkungan hidup dirumuskan definisi Dumping dalam


pasal 1 butir 24 dan ketentuan mengenai larangan Dumping (

pembuangan) terdapat dalam pasal 69 ayat (1).

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan tentang asas yang

digunakan dalam pengaturan tentang pencemaran lingkungan hidup

yang tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi :

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan


berdasarkan asas:
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.

Pasal 53 Undang-undang lingkungan hidup ini menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan atau perusakan


lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup
(2) Penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat.
b. pengisolasian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
c. penghentian sumber pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
3) Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hak-hak

berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya yang

tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia memiliki

hak-hak berdaluat dan hak-hak lain diwilayah yuridiksi yang

pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

dan hukum Internasional”

Pengaturan pasal 8 juga mengatur mengenai perbatasan wilayah

Indonesia dengan wilayah yuridiksi negara lain yang secara lengkap

menyatakan sebagai berikut :

(1) Wilayah Yuridiksi Indonesia berbatasan dengan wilayah yuridiksi


Australia, Filipna, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau,
Thailand,Timor Leste, dan Vietnam.
(2) Batas wilayah yuridiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk titik kordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian
bilateral/dan atau triteral
(3) Dalam hal yuridiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia
menetapkan batas wilayah yuridiksinya secara unilateral
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum
internasional.

4) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Dalam Undang-Undang ini pengaturan perlindungan pencemaran

lingkungan laut diatur pada bagian Bab XII tentang Perlindungan

Lingkungan Maritim yang termuat dalam pasal 227 – 241 yang

berbunyi sebagai berikut:

“setiap awak kapal wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya


pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal”. Pasal 229
menyebutkan:
(1) Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas,
kotoran, sampah, serta bahan kimia berbahaya dan beracun ke
perairan.
(2) Dalam hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan kualitas
buangan telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan,ketentuan pada ayat (1)
dapat dikecualikan
(3) Setiap kapal dilarang mengeluarkan gas buang melebihi ambang
batas sesuai denagan ketantuan perundang-undangan.

5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang

telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober

2014 dan Lembaran Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294.

Dalam pasal 52 Undang-undang ini menyebutkan bahwa :

(1) Pencemaan laut meliputi:


a. pencemaran yang berasal dari daratan;
b. pencemaran yang berasal dari kegiatan laut;
c. pencemaran yang berasal dari kegitan dari udara
(2) Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi :
a. diwilayah perairan atau yuridiksi;
b. dari luar wilayah perairan atau luar wilayah yuridiksi;atau
c. dari dalam wilayah perairan atau wilayah yuridiksi ke luar
wilayah yurudiksi Indonesia
(3) Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran
laut sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dliaksanaka
berdasarkan prinsip membayar dan prinsip kehati hatian
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan transaksi
terhadap pencemaran laut, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999

tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut

Peraturan pemerintah ini terdapat pengaturan yang berhubungan

mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau perusakan

laut seperti yang terdapat dalam pasal (9) yang menyatakan bahwa
“setiap orang atau penanggungjawab usaha dan atau kegiatan dilarang

melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran laut.” Mengenai

pencegahan perusakan lingkungan laut dinyatakan dalam pasal 14

sebagai berikut: “Setiap penaggung jawab usaha dan atau kegiatan yang

dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan

perusakan laut. Pasal 10 ayat (1) dan (2) menjelaskan kewajiban apa

yang harus dipenuhi penanggung jawab kegiatan agar tidak terjadi

pencemaran lingkungan. Ketentuan ini secara lengkap dinyatakan

sebagai berikut:

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang dapat
menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan
terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang
limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku
mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi, dan
ketentuan-ketentuan lainya sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku.

7) Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2006 tentang penanggulangan

Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut

Ketentuan berikut yang dikemukakan adalah pasal-pasal yang

mengacu pada hal-hal yang terkait dengan adanya kasus pencemaran

minyak yang terjadi di lingkungan laut Indonesia, menurut undang-

undang ini pada pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan bahwa,

pimpinan atau penanggung jawab kegiatan yang bisa menyebabkan

pencemaran minyak dilaut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

(3) Setiap pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau
penanggungjawab unit kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai
wajib menanggulangi terjadinya keaadaan darurat tumpahan
minyak di laut yang bersumber dari usaha dan atau keagiatan serta
melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana
dimaksud dalam pasal (8).
(4) Setiap pimpinan atau penanggung jawab kegiatan lain wajib
menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di
laut yang bersumber dari usahadan atau kegiatanya serta
melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaiman dimaksud
dalam pasal (8).

B. Konsep Negara Kepulauan Dan Negara Maritim

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang mana 2/3

wilayahnya merupakan wilayah lautan. Sebagai wilayah kepulauan yang utuh

sesuai dengan BAB IV United Convention on the Law of the Sea1982 atau

ketetapan Konvensi Hukum Laut PBB, dengan luas laut yang begitu besar terdiri

dari perairan nusantara 3,1 juta km2, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang

jumlahnya kurang lebih 17.504 (Depdagri 2004) pulau, ditambah dengan luas

kawasan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 sehingga luas total

perairanya menjadi sekitar 5,8 km2 ini belum termasuk landas kontinen

(Continental shelf). Panjang garis pantai Indonesia adalah 95.161 km, terpanjang

kedua setelah negara Kanada.

Melalui Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, Indonesia

menyatakan kepada dunia bahwa (laut sekitar, diantara dan di dalam kepulauan

Indonesia) menjadi satu kesatuan NKRI. Dan Indonesia sebagai negara

kepulauan, telah diakui dunia internasional melalui UNCLOS 1982, kemudian

diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pasal

25A Undang-Undang Dasr 1945 (hasil amandemen kedua UUD1945),

menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara


kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-

haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Ini yang menjadi dasar bagi

perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial,

budaya, pertahanan, dan juga keamanan. Dengan adanya wawasan nusantara, ini

memberikan suatu definisi bahwa perairan atau lautan yang ada diantara pulau-

pulau merupakan suatu penghubung bukan suatu pemisah. Pandangan ini adalah

sutu konsepsi geopolitik dan geostrategi yang menyatakan bahwa kepulauan

Nusantara yang meliputi seluruh wilayah daratan, lautan, dan ruang angkasa

diatasnya beserta seluruh penduduknya adalah satu kesatuan politik, ekonomi,

sosial budaya dan pertahanan keamanan.

Dengan posisi silang yang sangat strategis yakni diapit oleh dua benua, Asia

dan Australia dan juga samudra Hindia dan samudra Pasifik tentunya menjadikan

wilayah Indonesia sebagai jalur pelayaran Internasional yang sangat penting bagi

Negara-negara maritim dan negara lainya yang memiliki kepentingan baik

dibidang ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan.7

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi

besar menjadi poros maritim dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan

strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau,

pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut

serta fokus pada keamana maritim. Penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI,

revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan

konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi

30
Andi Ikbal Burhanuddin. The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan. Brilian
Internasional. Surabaya. 2011. Hal 7
biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan, merupakan

program-progran utama dalam pemerintahan Presiden Jokowi guna mewujudkan

Indonesia sebagai poros maritim.

Negara maritim adalah “Negara yang mampu memanfaatkan laut,

walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai

kemampuan tekhnologi, ilmu pengetahuan, peralatan dan lain-lain, untuk

mengelola dan memenfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan

alamnya dan letak yang strategis8. Karena itu, banyak negara kepulauan atau

negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritim karena belum mampu

memanfaatkan laut yang sudah ada berada dalam kekuasaanya ataupun

kewenanganya”. Untuk menjadi sebuah negara maritim, maka infrastruktur antar

pulau dan sepanjang pantai disetiap pulau merupakan hal yang harus dibangun

dan dikembangkan. Jalan antar pulau harus benar-benar dapat direalisasikan untuk

mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia. Sistim pelabuhan di Indonesia

harus dimoderenisasi sesuai dengan standar internasional sehingga pelayanan dan

akses di seluruh pelabuhan harus mengikuti prosedur Internasioal. Oleh sebab itu,

maka perlu negara Indonesia meletakan arah pembangunanya sebagai negara

maritim. Karena laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi

pertumbuhan dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdagangan pada

khususnya, dan sudah saatnya Indonesia mengubah mind set dari daratan menjadi

maritim. Bahwa ada lima pilar utama yang harus direalisasikan sebagai suatu

tantangan bila Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia. Yang pertama

31
Hasyim Jalal. Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut. Bina Cipta Bandung. 1979.
Hal 20-25
adalah, Indonesia harus membangun kembali budaya maritim yang sempat hilang.

Kedua, Indonesia harus menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus

membangun kedaulatan pangan laut, melaui pengembangan industri perikanan

dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Ketiga, Indonesia wajib

memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim,

dengan membangun Tol Laut, deepseaport, logistik dan industri perkapalan, serta

pariwisata maritim. Keempat, Indonesia harus berusaha untuk merangkul semua

negara, untuk bekerjasama dalam meminimalisir sumber konflik maritim, seperti

pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan

pencemaran laut. Kelima, Indonesia harus mempunyai kekuatan maritim yang

besar. Hal tersebut diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan

maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjaga

keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Dalam menjadikan Indonesia sebagai negara maritim, tidak hanya

dibutuhkan pengakuan dunia Internasional atas negara kepulauan dengan laut

yang luas atau memiliki pulau-pulau yang banyak akan tetapi bagaimana

pemerintah Indonesia mewujudkan pembangunan yang berbasis kelautan dengan

memanfaatkan potensi sumber daya laut, pemberdayaan masyarakat pesisir dan

pulau-pulau kecil, pengembangan infrastruktur maritim dan pengelolaan wisata

bahari, kesemuanya itu demi tercapainya tujuan pembangunan nasioanal demi

mensejahteraan masyarakat. Kekayaan alam Indonesia mengharuskan negeri ini

menjadi negara kaya dan makmur.


C. Pengaturan Tentang Laut Dalam Perspektif Hukum Internasional Dan

Hukum Nasional

C.1 Pengaturan Laut Dalam Hukum Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut Internasional tidak lepas dari sejarah

pertumbuhan hukum laut internasional pada masa imperium Romawi yang

mengenal pertarungan antara dua konsepsi. Konsepsi yang pertama yaitu

Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu milik bersama masyarakat

dunia dan karna itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing

negara. Konsepsi kedua yaitu Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu

tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh

masing-masing negara9.

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan

perkembangan hukum laut Internasional setelah runtuhnya imperium

Romawi, diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan

atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan

bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas

berbagai klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut

(mare liberum) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation)

yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh

siapapun. Perbedaan 2 prinsip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan

mare liberum dengan penganut mare clausum dengan diakuinya pembagian

laut kedalam laut teritorial yang jatuh dibawah kedaulatan penuh suatu

32
Ibid. Hal 1-18
negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat

manusia.

Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut Internasional semakin

maju hal ini bisa dilihat dalam konfrensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut

Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas

kontinen yang selanjutnya diatur dalam konvensi IV Jenewa 1958, sengketa

perikanan antara Inggris dan Norwegia (keputusan mahkamah Internasional

tahun 1951), klaim-klaim 200 mil, oleh Chile, Ekuador dan Peru hingga

pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya

Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United

Nation Convention on the Law of the Sea) pada tahun1982 di Montego Bay

Jamaica.10 Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi

Majelis Umum PBB Nomor 2750 (XXV) tanggal 17 Deseember 1970.

UCLOS 1982 ini memuat 320 pasal, 9 buah lampiran serta beberapa

resolusi pendukung dalam perkembanganya.

Ditinjau dari aspek geostrategis, Indonesia adalah negara yang sangat

penting bagi dunia internasional, karena Indonesia terletak pada posisi yang

sangat strategis diantara dua benua dan dua samudra yang merupakan jalur

lalu lintas pelayaran internasional sejak dahulu kala sebagai Sea Lanes of

Communication (SLOC) dan Sea Lane of Trade (SLOT) dunia. Indonesia

mempunyai empat Chokepoints dari sembilan Chokepoints strategis sebagai

jalur transportasi dan urat nadi perekonomian dunia.

33
Mochtar Kusumaatmaja. Hukum Laut Internasional Bina Cipta Bandung. 1986. Hal 81-
108
Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada di bawah

yuridiksi nasionalnya (national juridiction), Dalam konvensi Hukum Laut

1982, dibahas beberapa pembagian wilayah-wilayah laut, antara lain sebagai

berikut:

a. Perairan Dalam (Internal Waters)

Internal Waters merupakan perairan bagian sisi dalam dari garis

panngkal, negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut ini,

sehingga kapal asing tidak boleh melintas kecuali dalam keadaan yang

bersifat memaksa (Pasal 8 UNCLOS 1982). Garis pangkal yang

dimaksud adalah garis yang ditarik melingkar sejauh 12 mil pada pantai

saat air surut yang dihitung dari pulau terluar. Ada tiga jenis garis

pangkal, yakni:

1) Garis Pangkal Normal


Garis pangkal normal yang ditarik pada pantai saat air laut surut
mengikutu lekukan pantai
2) Garis Pangkal Lurus
Garis pangkal lurus yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik
atau ujung ujung terluar dari pantai
3) Garis Pangkal Kepulauan
Garis pangkal kepualuan yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik
terluar pulau-pulau atau karang kering terluar dari kepulauan suatu
negara.

b. Laut Teritorial ( Teritorial Sea)

Teritorial Sea diatur dalam pasal 2-23 UNCLOS 1982. Definisi laut

teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak

melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai
memiliki kedaulatan terbatas atas wilayah laut ini yang meliputi ruang

udara diatas laut teritorial, dasar laut dan tanah dibawahnya (right of the
11
coastal state over the teritorial sea) . Kapal-kapal negara lain pun

memiliki hak lintas damai atau the right of innocent passage (pasal 17-32

UNCLOS 1982) untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara

sebatas kapal tersebut dengan syarat :

1) Melalui laut tanpa memasuki perairan dalam atau singgah di


pelabuhan
2) Lintasan tersebut harus cepat dan tidak terputus, kecuali situasi
overmacht
3) Lintasn tersebut harus damai dan tidak melakukan kejahatan, survey,
pencemaran atau mengganggu sistim komunikasi di wilayah teritorial
negara pantai tesebut.
c. Perairan Kepulauan (Archipelago Waters)

Perairan kepulauan berada pada sisi dalam garis pangkal untuk

mengukur laut teritorial, tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya

pada pantai. Kedaulatan negara pantai terbatas pada wilayah laut ini,

sehingga negara lain dapat menikmati hak lintas damai dan hak lintas

transit (pasal 49 UNCLOS 1982)

d. Zona Tambahan (Contigous Zone)

Contigous Zone merupakan zona yang berbatasan dengan laut

teritorial. Negara pantai atau kepulauan dapat melakukan pengawasan di

zona ini untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi dan

34
J. G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Edisi ke 10. Sinar Grafika. Hal 346
kesehatan. Zona tambahan ini tidak boleh melebihi jarak 24 mil dari garis

pangkal. Diatur dalam (pasal 33 UNCLOS 1982).

e. Selat (Straits)

Straits atau selat diatur dalam pasal 34-44 UNCLOS 1982. Wilayah

ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional. Negara-negara

yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan yuridiksi penuh

atasnya. Selat dibagi menjadi 2 (dua) yakni:

1) Selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan yang
termasuk dalam yuridiksi nasional (laut teritorial) suatu negara.
2) Selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional yang
menghubungkan suatu laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau ZEE
lainya

f. Landas Kontinen (Continent Shelf)

Landas kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah dan

dibawahnya dan daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar

laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratanya hingga

pinggiran laut tepi kontinen atau hingga berjarak 200 mil laut dari garis

pangkal. Wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang banyak

sehingga negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya alam di dalamnya. Negara lain pun bisa

mengeksploitasi dan mengekplorasi wilayah terebut setelah mendapat

izin dari negara pantai (pasal 77 UNCLOS 1982)

g. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusif Economic Zone)

Zona ekonomi eksklusif adalah daerah marit diluar tersambung

dengan laut teritorial, yang luasnya tidak boleh melebihi 200 nautica
miles dari garis pangkal yang dipakai untuk mengatur laut teritorial. ZEE

berisi hak-hak negara pantai seperti riset ilmiah kelautan, perlindungan

dan pelestarian laut, serta pembuatan dan pemakaian pulau buatan,

instalasi dan bangunan. ZEE diatur pada pasal (55-57 UNCLOS 1982 )

h. Laut Lepas (High Seas)

Pengaturan laut lepas ada didalam pasal (86-120 UNCLOS 1982).

High Seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan

pedalaman, laut teritorial, zona eksklusif suatu negara dan perairan

kepulauan dalam suatu negara kepulauan. Yuridiksi suatu negara tidak

berlaku pada wilayah ini, karena ini merupakan perairan internaional.

Laut lepas pada pasal 2 Konvensi Jenewa tahun 1958 menyatakan bahwa

laut lepas adalah terbuka untuk semua negara, tidak ada satupun negara

secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya ke bawah

kedaulatanya. Kebebasanya yaitu kebebasan berlayar menangkap ikan,

kebebasan menempatkan kabel dan pipa bawah laut, serta kebebasan

terbang diatas laut lepas. Dikenal juga kebebasan dan aturan-aturan kapal

dilaut bebas ( interference with ships on the high seas) yang meliputi

statelees ships (kapal berbendera negaranya), hot persiut (pengejaran

seketika), the right of approach ( hak untuk mendekat), treaties

(melakukan perjanjian), piracy (perompakan di laut), bellgerent right

(hak untuk negara yang sedang berperang dengan memperbolehkan

melakukan perdagangan dengan kapal dagang musuh), self defense


(pertahanan sendiri) dan action authorized by the united nations (sanksi

atau tindakan dari persatuan bangsa-bangsa) 12.

C.2 Pengaturan Laut Dalam Hukum Nasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional setelah perang dunia ke-II

tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan tindakan-tindakan

Indonesia dibidang ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Indonesia

di bidang ini merupakan suatu konsekuensi yang wajar daripada Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan

merupakan suatu tindakan pelengkap daripadanya di bidang Hukum Laut.

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 (Depdagri

2004) pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Konsekuensi

logis dari diberlakunya Indonesia sebagai negara kepulauan sebagaimana

diatur dalam pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(Ground Norm), maka secara konstitusional hal tersebut melatarbelakangi

setiap pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang berkaitan dengan

kelautan, harus mengacu pada konstitusi tersebut dengan segala resikonya.

sebelum adanya Deklarasi Juanda yang menyatakan laut bahwa laut

Indonesia termasuk laut sekitar dan diantara didalam kepulauan Indonesia

menjadi satu kesatuan wilayah NKRI, Indonesia yang merupakan bekas

jajahan belanda tersebut, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonasi Hindia

Belanda 1939 (Territoriale Zeen Maritime Kringen Ordonantie 1939) atau

35
Mirza Satria Buana. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Nusa Media. Bandung.2007.
Hal 74
(TZMKO 1939) tercantum dalam Staatsblad 1939 No 442 dan mulai berlaku

pada tanggal 25 september 1939.

Mengenai laut wilayah, pasal 1 Ordonasi tersebut antara lain

menyatakan bahwa13:

Lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah
dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia.

Ketentuan dari jaman penjajahan ini masih tetap di pakai sampai tahun

1957, walaupun lama sebelumnya sudah terasa bahwa ketentuan tersebut

tidak sesuai lagi dengan kepentingan-kepentingan pokok Indonesia, baik

dibidang ekonomi, politik maupun dibidang pertahanan keamanan.

Penentuan batas laut yang demikian sudah terasa tidak cocok dengan

kepentingan rakyat banyak, karena sifat khusus Indonesia yang merupakan

negara kepulauan serta letaknya yang strategis.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, Deklarasi juanda diterima

dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB. Diterimanya dan

berlakunya konsepsi laut teritorial 12 mil adalah pada konsepsi hukum laut

Internasional I (UNCLOS I) pada tahun 1958, bahwa laut teritorial

ditetapkan sampai mil dari garis air surut pantai. Di Indonesia sendiri

ketentuan laut teritorial 12 mil berlaku sejak adanya Deklarasi Juanda yang

menyebutkan sebagai berikut:

“Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menhubungkan pulau-


pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Kesatuan Republik
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia

36
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Fungsi dan Peranan dala Era dinamika
Global. Bandung Alumni. Bandung. 2003. Hal 338
dan dengan demikian merupakan bagian perairan nasional yang berada
dibawah kedaulatan mutlak dari negara Republik Indonesia”.

Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang
diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar dari
pulau-pulau negra Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-
Undang

Kemudian lahirlah Undang-Undang No 4 Peraturan Pemerintah Tahun

1960 (UU.No IV/prp Tahun 1960) Tentang Perairan Indonesia menyatakan

“Bahwa laut tertorial lebarnya 12 mil diukur dari garis pangkal lurus

(Straiggt base) dan bahwa semua kepualuan dan laut yang terletak

diantaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat”. Berlakunya

Undang-Undang ini pada tanggal 18 februari 1960 (Lembaran Negara No

22 Tahun 1960) yang mengesahkan pengumuman pemerintah tersebut

diatas dan mencabut pasal 1 ayat (1) angka 1-4 dari Staatsblad 1939 No 442

Territoriale Zeen Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 14.

Undang-Undang No 4 Tahun 1960 Tentang Periaran Indonesia

menyebutkan dalam pasal 1 sebagai berikut:

(1) Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan


pedalaman Indonesia
(2) Laut wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar 12 mil laut yang garis
luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar
yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar pada garis rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau terluar dalam bagian Indonesia dengan ketentuan bahwa jika
ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut dan
negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka
garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

37
Wiryono Projodikoro. Hukum Laut Bagi Indonesia. Sumur Bandung. Bandung. 1970. Hal
16
(3) Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis dasar sebagai yang dimaksud pada ayat (2)
(4) Mil laut ialah seperenam puluh derajat lintang

Pasca penetapan status Indonesia sebagai negara kepulauan, kewajiban

Pemerintah Indonesia terhadap status tersebut telah diatur dalam pasal 46-53

UNCLOS 1982. Indonesia dapat menentukan alur laut untuk lintas kapal

dan pesawat udara bagi negara asing yang akan melewati secara terus

menerus dan langsung, serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan

kepulauanya dan teritorial yang berdampingan dengannya15. UNCLOS

Pasal 47 menyatakan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal

lurus kepulauan (archipilagic baseline), dimana aturan ini sudah

ditransformaikan kedalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang

perairan Indonesia dan disusul Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

juga menyempurnakan aturan tentang daftar koordinat geografis titik-titik

garis pangkal kepulauan Indonesia. Pembentukan ALKI juga berlandaskan

pada Undang-Undang No 17 Tahun 1982.

Definisi ALKI dan negara kepulauan yang tertuang dalam dasar

perumusan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional berdasarkan Undang-

Undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, Negara Kepulauan

Indonesia dan Alur Laut Kepulauan. Pertama, Negara kepulauan adalah

negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat

mencakup pulau-pulau lain. Kedua, kepulauan adalah gugusan pulau,

termasuk gugusan pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan

38
Budiman A (Kolonel CTP). Pembinaan Wilayah Negara Untuk kepentingan Pertahanan.
(Departemen Pertahanan) http ://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp
lain-lain wujud alamiah yang hubunganya satu sama lain demikian eratnya

sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainya itu merupakan

satu kesatuan geografi, ekonomi, politik, pertahanan keamanan yang hakiki,

atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Ketiga, perairan

Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan

perairan pedalamanya. Keempat, Alur Laut Kepulauan adalah alur laut

kepulauan yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing diatas alur laut

tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara

normal semata-mata untuk transit dan terus menerus, langsung dan secepat

mungkin serta tidak terhalang melalui atau diatas perairan kepulauan dan

teritorial yang berdampingan antara satu bagian lepas atau Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau ZEE Indonesia lainya

Definisi tersebut menegaskan bahwa status Indonesia sebagai sebuah

negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang lebih besar dari

pada daratan dengan hak penuh untuk memanfaatkan segala potensi yang

terkandung didalamnya. Mengingat persebaran pulau-pulau baik yang

berada di wilayah perairan dalam maupun perbatasan Indonesia yang berada

pada jalur ALKI-I, ALKI-II, dan ALKI-III, maka prospek penjagaan

keamanan laut wajib ditingkatkan dengan menyesuaikan luas wilayah yang

dimiliki. Setiap tahunya, ketiga jalur pelayaran resmi tersebut semakin


ramai dilalui oleh kapal-kapal besar dari benua Asia ke benua Amerika

melalui pasifik maupun sebaliknya16.

Sampai saat ini Indonesia telah membuka dan menetapkan jalur ALKI

yang terdiri atas, ALKI I (yang melintasi Selat Sunda-Laut Jawa-Selat

Karimata yang di bagian utara bercabang menuju Singapura) dan menuju

Laut Cina Selatan. ALKI II yang melintasi (Laut Sulawesi-Selat Makkasar-

Laut Flores-dan Selat Lombok Sedangkan ALKI III yang dibagian selatan

bercabang tiga menjadi ALKI III- A (melintasi perairan Laut Sawu-Selat

Ombai-Laut Wetar-Laut Banda (Sebelah Barat Laut Buru)-Laut Seram-

(Sebelah Timur Pulau Mangole)-Laut Maluku dan Samudra Pasifik. ALKI

III- B melintasi Laut Timor- Selat Leti-Laut Banda-(Barat Laut Buru)

Selanjutnya kembali ke ALKI III-A. ALKI III- C ( melintasi Laut Arafuru-

Laut Banda selanjutnya kembali ke ALKI III-A. Keberadaan tiga jalur

ALKI tersebut selain merupakan jalur pelayaran Internasional juga

berfungsi sebagai “pintu gerbang memanjang” yang seolah membelah

lautan Indonesia. Fenomena ini dapat menjadi suatu hal yang

menguntungkan, tetapi disisi lain dapat membawa potensi ancaman terhadap

pertahanan keamanan dan pencemaran lingkungan laut Indonesia.

Alur Laut Kepulauan Indonesia, dan ketiga alur laut tersebut dilalui

oleh 45 persen perdagangan dunia. ALKI akan meningkatkan volume

perdagangan dunia yang melalui laut. Sebagaimana pada tahun 1999,

volume perdagangan melalui ALKI mencapai 21.480 miliar ton, dan

39
Karim M. Eksistensi Pulau-pulau Kecil di Kawasan Perbatasan Negara.
http://buletinpenataanruang.net/index
meningkat menjadi 35 ribu miliar ton 2010 dan 41 ribu milyar ton tahun

2014. Sebesar seperempat perdagangan dunia dibawa oleh sekitar 50-60

ribu kapal dagang yang melintasi jalur lalulintas perairan Indonesia setiap

tahunya.

Anda mungkin juga menyukai