Anda di halaman 1dari 12

Nama : Aditia Darmawangsa Putra

NPM : 212042004
Mata Kuliah : PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN WILAYAH
KEMARITIMAN
Dosen Pengampu : DRS. WESLY P., SM.HK.,MSI

TUGAS V RESUME
PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN WILAYAH KEMARITIMAN
V. KONSERVASI LAUT
1. Rezim Perlindungan Lingkungan Laut.
Pembahasan dalam tatap muka ke lima ini mencakup lingkungan dan konservasi laut
yang berkaitan dengan pencemaran perairan laut dan upaya-upaya pencegahan dan
rehabilitasi lingkungan perairan laut.
 Pencemaran perairan laut telah diatur dalam berbagai rezim lingkungan laut baik
yang berskala internasional maupun nasional. Beberapa rezim perlindungan
perairan laut telah diratifikasi oleh pemerintah, sementara beberapa konvensi
lainnya masih belum diratifikasi.
 Konvensi-Konvensi internasional yang mengatur tentang perlindungan perairan
laut, misalnya:
a. Dasar Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Pencemaran Laut.
1) Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes
and Other Matter (Konvensi tentang Perlindungan Pencemaran Laut
sebagai akibat dari pembuangan limbah yang berbahaya).
 Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of
Wastes and Other Matter atau yang lebih dikenal dengan London
Dumping, pada garis besarnya membahas tentang larangan
dilakukannya pembuangan limbah di lingkungan laut secara
sengaja.
 Tujuan dari konvensi ini adalah melindungi dan melestarikan
lingkungan laut dari segala bentuk pencemaran yang menimbulkan
kewajiban bagi peserta protokol (yang menandatangani konvensi)
untuk mengambil langkah-langkah yang efektif, baik secara sendiri
atau bersama-sama, sesuai dengan kemampuan keilmuan, teknik
dan ekonomi guna mencegah, menekan dan apabila mungkin
menghentikan pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan
atau pembakaran limbah atau bahan berbahaya lainnya di laut.
Peserta protokol juga berkewajiban untuk menyelaraskan kebijakan
mereka satu sama lain.
2) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships
1973/1978 (Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pencemaran
Laut dari Kapal 1973- 1978).
 Konvensi ini adalah sebuah peraturan internasional yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pencemaran di laut. Setiap sistem dan
peralatan yang ada di kapal yang bersifat menunjang peraturan ini
harus mendapat sertifikasi. Isi dalam konvensi bukan melarang
pembuangan zat-zat tercemar ke laut, tetapi mengatur cara
pembuangannya agar laut tidak tercemar (rusak), dan ekosistem
laut tetap terjaga.
3) The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response and
Cooperation (Konvensi Internasional tentang Tanggungjawab Bersama
Mengatasi Pencemaran Tumpahan Minyak di laut).
 Konvensi internasional ini ditujukan untuk meningkatkan kerjasama
dalam menanggulangi pencemaran yang terjadi di laut sebagai
akibat tumpahan minyak dan barang beracun yang berbahaya
lainnya. Konvensi ini telah disetujui oleh delegasi negara anggota
International Maritime Organization (IMO) dan telah diterima oleh
15 negara anggota.
4) United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982;
Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982.
 UNCLOS, 1982, merupakan salah satu ketentuan yang mengatur
masalah laut terlengkap dan berhasil disepakati negara-negara
anggota PBB, hal in terbukti sejak tahun 1994.
 Kewajiban negara-negara untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan loutnya dinyatakan dalam Seksi I yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum. Pasal 192 menyatakan bahwa: "States
have the obligation to protect and preserve the marine
environment" (Negara berkewajiban melindungi dan memelihara
lingkungan laut).
 Selanjutnya dalam Pasal 193 yang mengatur hak berdaulat negara-
negara untuk menggali sumber kekayaan alamnya. Pasal ini
menetapkan bahwa "States have the sovereign right to exploit their
natural resources pursuant to their environmental policies and in
accordance with their duty to protect and preserve the marine
environment" (Negara memiliki kedaulatan mengeksploitasi sumber
daya alam laut yang mereka miliki dengan memperhatikan
kebijakan lingkungan dan sesuai dengan kewajiban dan
tanggungjawab mereka melindungi dan memelihara keslestarian
lingkungan laut).
 Tindakan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut dari sumber apapun dapat dilakukan
oleh negara-negara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Mereka
harus berusaha untuk menyerasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan
mereka dengan menggunakan "the best practical means at their
disposal and in accordance with their capability or jointly
appropriate" (langkah-langkah yang terbaik untuk penyelesaian
sejalan dengan kemampuan bersama mereka), Pasal 194 paragraf
1.
 Kegiatan-kegiatan atas hal-hal yang melintasi batas nasional diatur
dalam Pasal 194 paragraf 2 yang menetapkan "States take all
measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction
or control are so cunducted as not to cause damage by pollution to
other States and their environment, and that pollution arising from
incidents or activities under their jurisdiction or control does not
spread beyond the areas where the exercise sovereign right in
accordance with this convention" (Negara mengambil langkah
untuk memastikan bahwa kegiatan di bawah yurisdiksi atau kontrol
mereka telah diatur dengan baik sehingga tidak mengakibatkan
kerusakan polusi bagi negara lain serta lingkungannya, dan polusi
yang muncul dari insiden atau aktivitas di bawah yurisdiksi atau
kontrol tidak menyebar ke area hak kedaulatan sesuai dengan
konvensi ini).
b. Dasar Hukum Nasional Terhadap Pencemaran Di Laut.
 Aturan hukum nasional mengenai pencemaran di laut antara lain:
1) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
3) Praturan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
2. Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan.
 Perlindungan lingkungan laut dari bahaya pencemaran baik oleh limbah
industri, limbah domestik, aktivitas pembanguan di pesisir dan laut,
maupun bencana akibat aktivitas pelayaran (tumpahan minyak atau
pencemaran oleh limbah berbahaya), diperlukan upaya pencegahan,
salah satunya melalui upaya konservasi perairan laut. Pencemaran
lingkungan laut selalu memiliki dampak lingkungan bahkan dampak
ekonomi yang sangat besar, di antaranya kerusakan terhadap lingkungan
laut yang menyebabkan menurunnya daya dukung perairan laut terhadap
keberlanjutan ekologi bagi berbagai jenis ikan yang secara langsung akan
mengancam ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya ikan.
 Oleh karena itu konservasi perairan laut sangat berkaitan dengan
konservasi sumber daya perikanan. Dalam kaitan ini, pemerintah telah
menetapkan dua rezim Undang- Undang yang mengatur tentang
perlindungan perairan laut serta konservasi sumber daya hayati laut ( UU
No. 31 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Perairan Laut); serta konservasi sumber daya hayati laut
(UU No. 27 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014
tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Laut). Kedua UU di atas telah
secara tegas mengatur tentang konservasi kawasan perairan serta
konservasi sumber daya ikan.
 Dalam konteks global, upaya konservasi sumber daya perikanan telah
diatur dalam berbagai konvensi internasional. Menurut para pengamat
kelautan, pembicaraan mengenai pemanfaatan berlebih (over exploitation)
sumber daya perikanan tidak hanya dibicarakan pada forum-forum
internasional yang berkaitan dengan perikanan tapi juga forum World
Trade Organization (WTO) sebagai forum perdagangan dunia.
 Hal ini mendorong kesadaran akan perlunya pengaturan mengenai
pengelolaan dan konservasi perikanan yang kemudian diatur dalam
UNCLOS, 1982, yang selanjutnya diikuti dengan diadopsinya beberapa
ketentuan hukum internasional, antara lain:
a. Agreement to Promote Compliance with International Conservation
and Management Measures By Fishing Vessels on the High Seas
(Perjanjian/kesepakatan untuk mempromosikan pemenuhan
pengelolaan dan konservasi internasional dengan kapal penangkap
ikan di laut lepas); (FAO Complience Agreement, 1993);
b. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United
Nation Convention on The Law of The Sea of December, 10th, 1982
Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish
Socks and Highly Migratory Fish Stocks (Perjanjian untuk pelaksanaan
ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982 dalam
hubungannya dengan Konservasi dan Pengelolaan dari pengurangan
migrasi ikan yang tinggi); (United Nations Implementing
Agreement/UNIA, 1995);
c. FAO Code Conduct for Responsible Fisheries (Peraturan FAO untuk
Pertanggungjawaban pengelolaan dan konservasi perikanan); (CCRF,
1995);
d. International Plan of Action dari FAO (Rencana Aksi Internasional
FAO), yaitu:
1) International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity
(Rencana Aksi Internasional untuk Kapasitas Menejemen
Perikanan);
2) International Plan of Action for the Conservation and Management
of Sharks (Rencana Aksi Internasional untuk Menejemen
Konservasi Ikan Hiu);
3) International Plan of Action for Reducing Incidental Catch of
Seabird in Long-Line Fishieries (Rencana Aksi Internasional untuk
mengurangi gangguan burung laut disepanjang penangkapan
ikan);
4) International Plan of Action for Illegal, Unreported, and
Unregulated, Fishing (Rencana Aksi Internasional untuk
penangkapan ikan secara ilegal, tidak ada laporan dan belum ada
pengaturannya);
 Perjanjian/konvensi internasional tersebut di atas memberikan amanat kepada
negara- negara untuk melakukan kerjasama di tingkat sub regional dan regional
dalam bidang pengelolaan konservasi perikanan. Sebagai tindak lanjut ketentuan
tersebut dibentuklah beberapa organisasi regional dan sub regional dalam
bidang pengelolaan dan konservasi perikanan (Regional Fisheries Management
Organizations/RFMOs). Saat ini terdapat kurang lebih 18 RFMOS yang ada di
dunia dan mempunyai pendekatan yang berbeda- beda dalam melaksanakan
pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan.
 Pengelolaan dan konservasi tersebut ada yang dilakukan melalui pendekatan
kawasan (region) di mana pengelolaan dan konservasi dilakukan dalam suatu
kawasan tertentu, antara lain:
a. Commission on the Conservation of Antartic Marine Living Resources
(CCAMLR); "Komisi Konservasi Kehidupan Sumber Daya dari Laut
Antartika".
b. North East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC); "Komisi Pengelolaan dan
Konservasi Perikanan Timur Laut Atlantik".
c. South Pacific Regional Fisheries Management Organization (SPRFMO);
"Organisasi Pengelolaan dan Konservasi Perikanan Regional Pasifik
Selatan".
d. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC); "Komisi
Pengelolaan dan Konservasi Perikanan di Bagian Barat dan Tengah Pacifik".
e. General Fisheries Commission for the Mediterranian; "Komisi Umum
Pengelolaan dan Konservasi Perikanan Untuk Mediterania".
f. Lake Victoria Fisheries Organization (LVFO); "Organisasi Pengelolaan dan
Konservasi perikanan Danau Victoria".
g. Regional Commission for Fisheries (RECOFI); "Komisi Regional Pengelolaan
dan Konservasi Perikanan".
h. Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO); "Organisasi Pengelolaan
dan Konservasi Perikanan Barat Laut Atlantik".
i. South East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO); "Organisasi
Pengelolaan dan Konservasi Perikanan Timur Tenggara Atlantik".
j. The South Indian Ocean Fisheries Agreement (SIOFA); "Perjanjian
Pengelolaan dan Konservasi Perikanan Laut Hindia Selatan".
 Selain pendekatan Region, terdapat juga RFMOs yang melakukan pengelolaan
dan konservasi tersebut melalui pendekatan spesies yang dikelola, antara lain:
a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC); Komisi Ikan Tuna Lautan Hindia".
b. The Convention on the Conservation and Management of the Pallock
Resources in the Central Bearing Sea; "Konvensi Konservasi dan Menejemen
Sumber Daya Pallok di Pusat Laut Bering".
c. North Pacific Anadromous Fish Commission (NPAFC); "Komisi Ikan
Anadromous Pacific Utara".
d. Commission for the Conservation of The Southern Bluefin Tuna (CCSBT); "
Komisi Konservasi Sirip Ikan Tuna di Laut Selatan".
e. International Whaling Commission (IWC); "Komisi Internasional Penangkapan
Ikan Paus".
f. Pacific Salmon Commission (PSC); "Komisi Ikan Salmon Pasifik".
g. Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC); "Komisi Inter Amerika
Tentang Ikan Tuna Tropis".
h. International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT); "
Komisi Internasional tentang Konservasi Ikan Tuna Atlantik".
i. North Atlantic Salmon Consevation Organization (NASCO); "Organisasi
Konservasi Ikan Salmon Atlantik Utara".
 Di Indonesia, pengaturan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya
perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di laut lepas diatur dalam UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang merupakan UU pengganti UU No. 9 Tahun
1985. Salah satu alasan strategis diadakannya perubahan UU No. 9/1985
tersebut, adalah adanya perkembangan obyektif mengenai IPTEK, Tata Ruang,
perkembangan sosial ekonomi regional dan lokal serta tuntutan internasional
yang memerlukan pengaturan yang jelas di bidang perikanan.
 Tahun 2009 terjadi perubahan pada UU No. 31Tahun 2004 dengan UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan. Perubahan materi dalam undang-undang ini meliputi:
a. pengawsan dan penegakan hukum menyangkut masalah penerapan sanksi,
hokum acara;
b. masalah pengelolaan perikanan antara lain: kepelabuhanan perikanan,
konservasi, perizinan dan kesyahbandaran;
c. diperlukan perluassan yurisdiksi pengadilan perikanan, sehingga mencakup
seluruh wilayah pengelolaan perikanan negara RI;
 Adanya UU No. 31 Tahun 2004 dan UU No. 45 Tahun 2009 ini, merupakan
cerminan politik hukum Indonesia untuk menjadi anggota dari Regional Fisheries
Management Organizations (RFMOs) dan ikut serta dalam pengelolaan dan
konservasi sumber daya perikanan di laut lepas. Dalam Pasal 10 ayat 2 UU ini,
secara tegas menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia ikut serta secara aktif
dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam
rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional.
 Keanggotan dalam kerjasama regional dan internasional dilakukan oleh
pemerintah secara selektif, hal ini terlihat dari keputusan pemerintah Indonesia
yang memutuskan menjadi anggota RFMOS yang secara geografis, terkait
langsung posisi Indonesia yaitu pada: Indian Ocean Tuna Commission (Komisi
Tuna Laut Hindia), (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission
(Komisi Pengelolaan dan Konservasi Perikanan di Pasifik Tengah); (WCPFC);
dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (Komisi
Konservasi Sirip ikan Tuna Laut Selatan); (CCSBT).
 UU ini juga memberikan pengertian yang lebih rinci mengenai penangkapan
ikan, di mana dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa penangkapan ikan
adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam kegiatan
dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan atau mengawetkannya. Undang-Undang ini juga
memberikan kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan dan
memfasilitasi kegiatan pemasaran usaha perikanan baik di dalam maupun di luar
negeri.
 Undang-Undang lain yang mengatur tentang pengelolaan konservasi sumber
daya perikanan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif. Dalam Undang-Undang ini diatur pengertian tentang
Konservasi Sumber Daya Alam yaitu: segala upaya yang bertujuan untuk
melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Pengaturan tentang sumber daya hayati di dalam undang-undang ini
bersifat umum sehingga tidak merujuk pada jenis tertentu. Undang-Undang ini
juga mengatur tentang hak berdaulat Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati
dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya tanpa memerinci lebih
jauh bagaimana eksplorasi dan eksploitasi tersebut dilakukan.
 Tahun 2009 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan Di
Laut Lepas. Permen ini disusun dalam rangka telah masuknya Indonesia ke
dalam beberapa RFMOs yang ada di sekitar Indonesia. Hal-hal pokok yang
diatur dalam Permen ini antara lain mengenai: perizinan penangkapan ikan di
laut lepas dan juga hak dan kewajiban bagi setiap orang atau badan hukum
Indonesia, kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan di laut lepas dan/atau pengangkutan ikan di laut
lepas. Seluruh hak dan kewajiban yang diatur dalam Peraturan Menteri ini telah
sesuai dengan pengaturan internasional tentang pengelolaan dan konservasi
sumber daya perikanan yang ada.
3. Laut dan Perubahan Iklim.
 Perubahan Iklim (climate change) telah menjadi focus perhatian dunia dan
menjadi salah satu agenda penting global saat ini. Berbagai pertemuan tingkat
tinggi, baik yang berlangsung secara bilateral, multilateral bahkan yang bersifat
global telah dilakukan untuk mengatasi perubahan iklimglobal.
 Perubahan iklim telah berdampak pada berbagai bencana global, seperti: gagal
panen, bencana alam, maupun pertumbuhan ekonomi di negara-negara di dunia.
Dampak ekstrim dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan
temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan
gletser di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan
terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini
akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan
masyarakat pesisir pantai.
 Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional;
berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun
regional untuk menghadapi ancaman tersebut. Pertemuan Konferensi
Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali dan Pertemuan World Ocean
Conference (WOC) 11-15 Mei 2009 di Menado juga mengagendakannya.
 Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak serius terhadap
kehidupan nelayan tradisional di Indonesia. Setidaknya ada dua fenomena
ekstrim terhadap lautan akibat perubahan ikim global yakni: kenaikan suhu air
laut dan kenaikan permukaan laut.
 Kenaikan suhu air laut, pertama, mempengaruhi ekosistem terumbu karang
yang menjadi fishing ground (tempat memancing ikan) dan nursery ground
(taman) ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikannang hidup di daerah karang
akan mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian yang dipublikasikan di
Jurnal Science edisi Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan
global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98% terumbu karang dan 50% biota
laut. Bahkan memprediksi apabila suhu air laut naik 1,5 derajat Celsius setiap
tahunnya sampai tahun 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang di
Semenanjung Australia; dan nantinya Indonesia tidak akan lagi menikmati
lobster, cumi-cumi dan rajungan;
 kedua, peningkatan suhu dan keasaman laut (pemanasan global) berdampak
pada hilangnnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni
organisme pteropoda yang akan mempengaruhi populasi ikan salmon, mackerel,
heering, dan cod karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara
itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi
daya di wilayah pesisir. Naiknya permukaan air laut akan menggenangi wilayah
pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa,
Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP; 2007). Akibatnya nelayan pembudidaya
akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber
kehidupannya. Gejala ini sebenarnya telah terjadi dikawasan Delta Mahakam
Kalimantan Timur, meskipun masih memerlukan penelitian yang lebih
mendalam. Menurunnya produktivitas udang di wilayah ini ditengarai salah satu
penyebabnya adalah perubahan iklim global. Tidak hanya itu, naiknya
permukaan air laut akan menghancurkan kawasan pemukiman nelayan yang
berlokasi di desa-desa pesisir pantai (Terjadinya fenomena rob yang
menggenangi pesisir Teluk Jakarta beberapa waktu yang lalu adalah merupakan
fakta empiris).
 ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu
dan gelombang laut yang tinggi disertai badai/angin topan. Di Maluku misalnya,
nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk
menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Infrastruktur pedesaan pesisir
akan mengalami kehancuran akibat hantaman gelombang maupun badai topan.
Para ahli meramalkan pulau-pulau kecil di Pasifik maupun Karibia akan
tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut yang terus meningkat dalam
kurun waktu lama. Hal ini tidak hanya menimbulkan problem demografi akibat
kehilangan pemukiman, melainkan juga memusnahkan spesies endemi di
perairan sekitar pulau maupun yang hidup dalam pulau itu. Bahkan infrastruktur
ekonomi maupun sosial yang mendukung kehidupan nelayan akan mengalami
hal yang sama, seperti misalnya pelabuhan perikanan, cold storage dan kapal
ikan, akibatnya nelayan penangkap maupun pembudidaya ikan di wilayah pesisir
akan miskin selamanya.
a. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Lingkungan Pesisir dan Laut.
1) Pengasaman.
 Saat ini lautan mengalami pengasaman 10 kali lebih cepat daripada 55 juta
tahun yang lalu ketika kepunahan massal spesies laut terjadi (University of
Bristol Researchers, in Nature Geoscience, 2010). Jika emisi-emisi tidak
dihentikan, kepunahan masal mungkin akan terjadi pada akhir abad ini diikuti
dengan penurunan permukaan air daerah pantai dan wabah ganggang
beracun dan ubur- ubur.
2) Zona-Zona Mati.
 Zona-zona mati tanpa oksigen yang disebabkan oleh pemanasan global
dapat tetap seperti itu sampai ribuan tahun (Shaffer et al in Nature
Geoscience, 2009). Perubahan iklim, dan juga limbah pertanian
menyebabkan timbulnya zona-zona mati rendah oksigen yang baru dan lebih
luas. Saat ini sudah terdapat lebih dari 400 zona mati dan umumnya terletak
di sepanjang pantai, jumlah zona-zona mati telah berlipat ganda setiap
dekade sejak tahun 1960-an.
 Pertumbuhan ganggang beracun dapat menjadi sebuah titik kritis. Di laut
Baltic, rekor suhu yang tinggi pada musim panas 2010 menyebabkan
munculnya "tambahan" ganggang yang sangat banyak sampai seukuran
negara Jerman, dan menyebar. Serangan ganggang beracun sedang terjadi
dengan frekuensi yang bahkan lebih besar baik di sungai maupun di lautan di
seluruh dunia.
3) Pemutihan Terumbu karang.
 Di Asia Tenggara dan Samudera Hindia para ahli melaporkan pemutihan
terumbu karang pada tahun 2010 sebagai yang terburuk sejak tahun 1998,
ketika sebuah peristiwa yang serupa menyebabkan 16% dari terumbu karang
tersebut rusak (Australian Research Council Centre of Excellence for Coral
Reef Studies).
4) Sirkulasi Lautan.
 Pada akhir abad mendatang Sirkulasi Samudera Atlantik mungkin akan
melambat sampai berhenti atau berbalik arah karena sangat banyaknya
volume pencairan air tawar, yang menyebabkan perubahan konsentrasi
garam lautan. Peristiwa seperti ini dapat memicu timbulnya zaman Es di
Eropa dan Amerika Utara (Woods Hole Oceanographicinstitution, 2003).
5) Pemanasan Lautan.
 Diperkirakan 90% panas dari gas-gas rumah kaca selama 50 tahun terakhir
telah terserap oleh lautan, dengan semua cara sampai pada dasar lautan
yang dalam. Jika panas yang saat ini terserap ke dalam lautan yang dalam
tersebut, kemudian berada di atmosfer, suhu lingkungan kita akan naik
sebesar 3 derajat Celsius per dekade. Samudera Antartika mengalami
pemanasan yang sangat kuat, dan menambah peningkatan permukaan air
laut, kedua hal tersebut terjadi melalui perluasan dan mencairnya es ke
dalam lautan (Sarah Purkey, An Oceanographer at The University of
Washington, USA).
 Metana beku di dasar laut dapat terlepas dalam jumlah yang sangat besar
jika lautan cukup panas, ya g kemudian akan membawa pada bencana besar
pemanasan lainnya. Ledakan mendadak dari metana yang terlepas juga
dapat memicu terjadinya tsunami setinggi 15 meter. Pada tingkatan suhu saat
ini, suhu laut diperkirakan dapat meningkat sebesar 5,8 derajat Celsius pada
tahun 2100 (The Royal Geographical Society, Dr. Mark Maslin, Senior Leader
in Geography at University Collage London and A Senior researcher for The
London Enviromental Change Research Centre, 2005). Suhu lautan sedang
meningkat 50% lebih cepat daripada perkiraan tahun 2007.
6) Hilangnya Fitoplankton.
 Lautan yang memanas menyebabkan penurunan populasi fitoplankton
sebesar 40% sejak tahun 1950, yang akan menimbulkan dampak yang
serius. Fitoplankton (semacam organisme baik tumbuhan maupun hewan
berukuran realtif kecil yang hidup di perairan atau laut) tidak hanya
menyediakan dukungan yang penting untuk ekosistem laut, ia menghasilkan
setengah oksigen dunia dan menghilangkan CO2 (Boyce et al Nature, July
2010).
7) Kenaikan Permukaan Laut.
 Dr. John Holdren Ketua American Association for the Advancement of
Science (Asosiasi Amerika untuk Ilmu Pengetahuan Tingkat Tinggi),
memperkirakan kemungkinan kenaikan permukaan air laut setinggi 4 meter
pada akhir abad ini, dan Dr. James Hansen, Ketua Goddard Institute for
Space Studies NASA, telah menyatakan kemungkingan kenaikan permukaan
air laut setinggi 5 meter akhir abad ini.
 Kenaikan permukaan air laut meskipun hanya 1 meter, akan menyebabkan
munculnya lebih dari 100 juta pengungsi iklim dan membahayakan kota-kota
besar seperti London, Kairo, Bangkok, Venesia, New York, dan Shanghai.
 Contoh Negara-negara yang terkena kenaikan permukaan air laut.
a) Au Lac (Vietnam). Di daerah pertanian beras negara Vietnam, Delta
Mekong air asin lautan telah melampaui batas yang belum pernah terjadi
sebelumnya yaitu 60 km dari sungai pada tahun 2010, mengancam
100.000 hektar tanaman padi.
b) Thailand. Air laut diperkirakan akan mencapai permukaan tanah Bangkok
dalam 25 tahun (Geodetic Earth Observation Technologies fro Tahiland:
Environmental Change Detection and Investigation, 2010).
c) Mesir. Lebih dari 58 meter garis pantai telah musnah setiap tahun sejak
tahun 1989 di Rasheed (Omran Frihy of the Coastal Research Institute,
2010).
d) Kenaikan permukaan air laut menyebabkan sedikitnya 18 negara pulau
hilang total sementara makin banyak daerah pantai terus terancam. Lebih
dari 40 negara pulau lainnya terancam oleh resiko kenaikan permukaan
air laut. (e) Kenaikan permukaan air laut mengancam setengah dari
populasi dunia yang bertempat tinggal dalam jarak 200 kilometer dari
garis pantai. Saat ini daerah dan deita rendah mengalami akibatnya: 17
juta penduduk Bangladesh telah meninggalkan rumah mereka, terutama
karena terjadinya erosi daerah pantai. Sumber air tanah tercemar oleh air
asin di Israel dan Thailand, negara Pulau Kecil di Samudera Pasifik dan
India serta Laut Karibia dan di beberapa delta utama dunia seperti Delta
Yangtze dan Mekong.
b. Adaptasi Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Kelautan.
 Menghadapi ancaman perubahan iklim, diperlukan strategi-strategi adaptif dalam
mengelola, mengendalikan serta mencegah dampak-dampak destruktif dari
perubahan iklim. Misalnya, dengan memperhatikan kawasan-kawasan yang
rentan terhadap ancaman perubahan iklim.
 Pusat keanekaragaman hayati laut di dunia terletak di wilayah Segi Tiga
Terumbu Karang (istilah geografis untuk perairan Indonesia, Malaysia, Papua
nugini dan Filippina, Kepulauan Salomon dan Timor Leeste). Wilayah ini terdiri
dari sebagian besar Indonesia, Malaysia (Tengah), Filippina, Papua Nugini,
Kepulauan Salomon dan Timor Leeste.
 Keaneka ragaman hayati laut di wilayah Segitiga Terumbu Karang telah menjadi
sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Ancaman
utama dari keanekaragaman hayati laut tersebut adalah penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan (destructivefishing) dan penangkapan ikan berlebih (over
fishing). Saat ini sumberdaya tersebut sangat potensial mengalami ancaman dari
sumber baru, yaitu perubahan iklim global yang diduga dampaknya akan lebih
luas.
 Mengingat besarnya kerugian dari kehilangan keanekaragaman sumberdaya
hayati laut sebagai dampak dari perubahan iklim global, Presiden RI mengajak
ke lima negara lainnya (Malaysia, Filippina, Papua Nugini, Kepulauan Salomon,
dan Timor Leeste) untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam
melindungi sumber daya tersebut. Prakarsa ini terkenal dengan sebutan Coral
Triangle Initiative (CTI) yang disambut oleh kelima negara lainnya di wilayah
Segitiga Terumbu Karang dan didukung oleh Australia, Amerika Serikat. Ke
enam negara di wilayah Segitiga Terumbu karang saat ini sedang
mempersiapkan rencana kerja dengan tema Perlindungan Terumbu Karang,
Perikanan dan Ketersediaan Pangan. Rencana Kerja (National Plan Of Action)
dari masing-masing negara saat ini sedang dibahas pada tingkat Senior Oficial
dan rencananya telah dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada
bulan Mei 2009 di Menado.
 Rencana adaptasi perkembangan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak
perubahan iklim global terdiri dari komponen pengelolaan bentang laut (sea
scope management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan,
penerapan resilent principles dalam pembangunan jaringan kawasan konservasi
laut, mitigasi bencana, rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang
terancam punah. Semua komponen dalam rencana kerja ditujukan untuk
melindungi ketersediaan sumber daya hayati laut dan mengurangi dampak
kerusakann dari pengaruh-pengaruh iklim global.

Anda mungkin juga menyukai