Pada tahun 2009, terjadi insiden polusi laut di Indonesia yang kemudian memicu
perselisihan dengan perusahaan swasta terkait masalah tersebut. Pada tanggal 20
Agustus 2009, terjadi kejadian ledakan di Montara oil field yang terletak di wilayah
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Australia. Akibat ledakan tersebut, terjadi tumpahan
minyak mentah yang menyebar hingga ke wilayah ZEE Indonesia.
1
Ni Putu Suci Meinarni. "Hambatan Dalam Penyelesaian Sengketa Kasus Minyak Montara". Jurnal
Komunikasi Hukum Volume 3, Nomor 2, Agustus 2017 Hlm 85
2
Penyebab tumpahan minyak ini adalah ledakan di mana sekitar 400 barel minyak
mentah keluar setiap hari dan baru berhasil dihentikan 74 hari kemudian.
Administrasi Keselamatan Maritim Australia memperkirakan area yang tertutup oleh
tumpahan minyak adalah 6.000 km2. (AMSA), 28.000 km2 menurut citra satelit,
hingga 90.000 km2 menurut World Wildlife Fund atau WWF Kehilangan mata
pencaharian sedikitnya 18.000 nelayan.2
Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
adalah sebagai berikut:
Pembahasan
Dalam melihat tujuan umum mengenai laut, wilayah territorial laut dikenal
sebagai daerah yang dapat diukur dari wilayah paling dekat dengan pantai. Daerah ini
tunduk pada negara yang paling dekat dengan pantai dan dianggap mengikuti hukum
yang berlaku dalam negara tersebut.3 Penetapan wilayah territorial laut diatur dalam
Konvensi Jenewa tahun 1985 tentang Wilayah Laut. Konvensi ini menyatakan bahwa
negara dapat menetapkan batas kekuasaannya hingga 12 mil dari pantai. Lebar
2
Suleiman, M. Ajisatria. “Pengalaman Diplomasi Indonesia Dalam Sengketa Tumpahan
Minyak Montara DanKebutuhan Instrumen Hukum Regional Asean”. Opinio Juris, Mei-
September 2015.
3
Marya Maya Lestari, 2009, Hukum Laut Internasional, Pekanbaru, Witra Irzani, hlm. 34.
3
wilayah tersebut tidak boleh memotong wilayah territorial negara lain, dan batas
yang telah ditetapkan diatur dalam konvensi hukum internasional.4
(1) Prinsip-prinsip yang terkait dengan Pencemaran Lintas Batas dan Kerusakan
Lingkungan didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2). Agreement on Air Quality, USA-
Canada tanggal 13 Maret 1991 sebagai berikut:6 Transboundary pollution, defined as
“pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under
the jurisdiction of one state and which has adverse effects, other than effects of a
global nature, in the area under the jurisdiction of another state" . Diterjemahkan
sebagai berikut: Polusi lintas batas, didefinisikan sebagai “polusi yang asal fisiknya
terletak seluruhnya atau sebagian di dalam wilayah di bawah yurisdiksi satu negara
dan yang memiliki efek buruk, selain efek yang bersifat global, di area di bawah
yurisdiksi negara lain”.
(2) Prinsip Tanggung Jawab Absolut (Strict Liability) yang diatur dalam Pasal 235
Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, ketentuan Pasal 235 ayat 1 menegaskan
tanggung jawab terhadap negara untuk memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dan mereka wajib membayar ganti rugi
sesuai dengan hukum internasional. Sistem ganti rugi ini merujuk pada prinsip
tanggung jawab ketat yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1 dari Konvensi Brussel 1969.
Ketentuan ayat 2 mengharuskan negara-negara untuk mengatur ganti rugi yang
secepat mungkin dan memadai dalam sistem hukum nasional mereka terhadap
4
Ibid.,
5
Erik Nathaniel Tangel, 2019, “Kajian Yuridis tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
Menurut Hukum Internasional”, Lex Et Societatis, Vol.7, No.12, hlm. 82.
6
Suparto Wijoyo, A’an Efendi., 2017, Hukum Lingkungan Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 123.
4
kerugian yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan oleh
seseorang atau badan hukum yang berada di bawah yurisdiksinya.7
1. Convention on the High Seas tahun 1958. Pada Pasal 24 Konvensi Laut Lepas
tahun 1958 mengatakan “Every State shall darw up regulations to prevent pollution
of the seas by the discharge exploration of the seabed and its subsoil, taking account
of exiting treaty provisions on the subject”.Aturan ini membahas mengenai tanggung
jawab pemerintah dalam melaksanakan upaya pencegahan terhadap polusi laut yang
disebabkan oleh minyak yang berasal dari pipa laut, kapal, atau akibat eksploitasi
sumber daya laut dan bawah tanah, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam perjanjian internasional yang relevan.
5
mengaplikasikan pendekatan seksama dan terkoordinir dengan perencanaan
pembangunan yang setara dengan kebutuhan nasional untuk melindungi serta
memperbaiki lingkungan. Dalam prinsip ke-22 konferensi Stockholm mengatur atas
tanggung jawab dan kerugian yang disebabkan oleh pencemaran tersebut, prinsip
tersebut berbunyi. “State shall cooperate to develop further the international law
regrading liability and compensation for the victim of pollution and other
environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such
state to areas beyond their jurisdiction.”
Inti dari prinsip tersebut adalah bahwa tujuan dari setiap negara di dunia adalah
untuk bersinergi dalam membangkitkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum
internasional terkait dengan kelautan atau laut, dengan tujuan memperkuat peraturan-
peraturan hukum internasional yang bertujuan untuk melindungi lingkungan,
khususnya di sektor perairan, dengan cara yang efektif.
Tanggung jawab di dalam suatu negara memiliki hubungan yang erat dengan
aspek fundamental dari hukum internasional itu sendiri. Secara prinsip, apabila suatu
negara mengalami kerugian akibat tindakan negara lain, maka negara tersebut berhak
untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang telah dideritanya.
6
untuk memberikan kekuatan hukum pada negara-negara terhadap laut atau rezim laut
yang mereka miliki. Beberapa aturan tersebut antara lain:9
4. Konfrensi PBB Hukum Laut III (The Third UN Conference on the Law of the Sea
1982) kemudian berbuah produk hukum internasional yang dikenal denga United
Nations Convention on the Law of the Sea yang disingkat UNCLOS 1982.
Dalam menangani situasi yang terjadi, Indonesia dan Australia melakukan langkah
awal dengan melakukan negosiasi tentang ganti rugi. Terdapat beberapa variasi
jumlah ganti rugi yang diajukan, seperti Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang
mengajukan klaim ganti rugi senilai 140 triliun. Hal ini berdasarkan pada hasil
pengambilan sampel air yang telah diteliti. Freddy Numberi juga mengajukan klaim
ganti rugi sekitar 1 triliun, sementara pemerintah mengklaim ganti rugi hingga 22
triliun. Akan tetapi, klaim-klaim tersebut ditolak oleh Australia yang menolak data
ilmiah tersebut. Oleh karena itu, Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan
MOU. Namun, tahap penyelesaian sengketa secara damai tidak berjalan lancar
karena adanya kendala dari kedua negara.
9
Ni Putu Suci, Op.Cit.,
7
Penanganan kasus tumpahan minyak di Australia dikelola oleh Maritime Safety
Agency (AMSA). AMSA menggunakan dispersan untuk mengurangi penguapan dan
pelapukan alami minyak, dan juga mengandalkan oil boom dan kapal skimmer untuk
membantu menghilangkan tumpahan minyak. Pendekatan ini terbukti efektif dalam
mengatasi tumpahan minyak dan meminimalkan dampaknya. Selain itu, program
pengawasan yang komprehensif telah dirancang untuk meningkatkan kemungkinan
penemuan dan penyembuhan makhluk hidup yang terdampak. Pemerintah Australia,
melalui Geoscience Australia, menyediakan saran teknis independen terkait
pengeboran, jenis dan ketersediaan rig, serta kajian potensial untuk mengatasi
blowout dan dampak lainnya dari sumur.
Kesimpulan
10
Maryanto, Try. 2013. Penyelesaian Atas Pencemaran Laut Akibat Meledaknya sumur Minyak
Montara Milik PTT Exploration and Production Australasia (PTTEP AA) di Blok Atlas Barat Laut Timor
Berdasarkan Hukum Internasional.Skripsi. Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Tanjungpura.
8
kesepakatan-kesepakatan tersebut diterapkan prinsip-prinsip hukum lingkungan
internasional seperti kerja sama, kehati-hatian, siapa yang mencemari ia yang
membayar, dan lain-lain.
Dalam konflik ini, diatur dalam UNCLOS 1982 bahwa pemerintah Australia
bertanggung jawab secara mutlak sebagai pemilik wilayah kedaulatan di rig tersebut
dan juga didukung oleh izin yang diberikan kepada PTTEP. Ini sejalan dengan Pasal
139 UNCLOS 1982 yang menuntut negara yang menyebabkan kerugian pada negara
lain karena aktivitasnya harus membayar ganti rugi atas dampak yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Marya Maya Lestari. (2009). Hukum Laut Internasional. Pekanbaru : Witra Irzani
Maryanto, Try. 2013. Penyelesaian Atas Pencemaran Laut Akibat Meledaknya sumur
Minyak Montara Milik PTT Exploration and Production Australasia (PTTEP AA) di
Blok Atlas Barat Laut Timor Berdasarkan Hukum Internasional. Skripsi. Jurusan
Ilmu Hukum, Universitas Tanjungpura.
9
Suleiman, M. Ajisatria. “Pengalaman Diplomasi Indonesia Dalam Sengketa
Tumpahan Minyak Montara DanKebutuhan Instrumen Hukum Regional Asean”.
Opinio Juris, Mei-September 2015.
10