Anda di halaman 1dari 10

LEGAL OPINION

“TUMPAH NYA MINYAK PADA PIPA MILIK PT PERTAMINA DI


TELUK BALIKPAPAN”

Dosen: Adi Purnomo Santoso, S.H, M.H

Mata Kuliah: Hukum Laut, Udara, dan Luar Angkasa

Nama: Fathir Rizaldy Pangestu

NPM: 173112330050065

Kelas: K1

Universitas Nasional

2020
A. Kasus Posisi

“TUMPAH NYA MINYAK PADA PIPA MILIK PT PERTAMINA DI


TELUK BALIKPAPAN”

PT Pertamina mengakui penyebab tumpahan minyak di Teluk Balikpapan


pada Sabtu, 31 Maret 2018, akibat patahnya pipa penyalur minyak mentah dari
Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser Utara ke Kilang Balikpapan. "Pipa baja
diameter 20 inci, tebalnya 12 milimeter, di kedalaman 25 meter," kata General
Manager Pertamina Refinery Unit V Togar M.P. di Balikpapan, Rabu, 4 April
2018.

Pipa itu juga masih dibungkus casing semen agar tidak berkarat karena terendam
air laut dan menambah kekuatannya menahan tekanan air. Pipa penyalur minyak
mentah itu dipasang pada 1998 atau sudah berusia pakai 20 tahun.

Para penyelam melaporkan pipa itu bergeser 120 meter dari posisi awalnya di
dasar Teluk Balikpapan. "Penyebab patahnya pipa itu yang sedang kami selidiki
sekarang," kata Direktur Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Timur
Komisaris Besar Polisi Yustan Alpian dalam kesempatan yang sama.

Terdapat 5 korban jiwa dalam kasus ini, juga berdampak pada kerusakan
Ekosistem Laut :

 10,4 hektare kawasan terumbu karang


 17 ribu hectare tanaman bakau terpapar minyak
 Lima kawasan PADANG LAMUAN di teluk Balikpapan terancam mati
 Empat Jenis Mamalia dilindungi seperti Pesut,Lumba-lumba hidung botol,
Lumba-lumba tanpa sirip dan Dugong

B. Analisis
1. Analisis Undang Undang

UU NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

 Pasal 98 (pidana dengan sengaja)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan


orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan


orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).

• Pasal 99 (pidana karena kelalaian)

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku


mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan


orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah)."

Kasus tumpahnya minyak di Teluk Balikpapan dapat diselesaikan berkat adanya


Undang-Undang ini. Pelaku yakni nahkoda kapal MV Ever Judge sudah diganjar
dengan hukuman 10 Tahun penjara dan denda 15 Milyar oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negreri Balikpapan karena terbukti melakukan tindak pidana dan
kerusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat 1, 2 dan 3 juncto
Pasal 99 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Indonesia, melalui PT
Pertamina pun dapat melayangkan gugatan ganti rugi, denda pemulihan beserta
sanksi administratif kepada pemilik dan operator kapal MV Ever Judge melalui
penyelesaian sengketa di luar maupun di pengadilan internasional berdasarkan
konvensi Internasional CLC Tahun 1969.

2. Yurisprudensi

3. Ketika area suatu


lingkungan
4. telah termasuki oleh
sesuatu zat yang
5. asing atau tidak
orisinil berasal dari
6. tempat tersebut,
dapat dikatakan
7. wilayah lingkungan
tersebut telah
8. tercemar atau
terkontaminasi.
9. Tercemar sendiri
mengundang banyak
10. pengertian di
berbagai kalangan
11. akademisi, Thomas
M. Pankratz
12. salah satunya
mengartikan, Pollution
13. is the presence of
pollutant in the
14. environment.
15. Ketika area suatu
lingkungan
16. telah termasuki oleh
sesuatu zat yang
17. asing atau tidak
orisinil berasal dari
18. tempat tersebut,
dapat dikatakan
19. wilayah lingkungan
tersebut telah
20. tercemar atau
terkontaminasi.
21. Tercemar sendiri
mengundang banyak
22. pengertian di
berbagai kalangan
23. akademisi, Thomas
M. Pankratz
24. salah satunya
mengartikan, Pollution
25. is the presence of
pollutant in the
26. environment.
Berkaitan dengan penyelesaian Kasus Minyak Montara di Laut Timor,
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah menempuh caracara damai,
dengan mengutamakan negosiasi diantara para pihak. Pada dasarnya, Pemerintah
Indonesia dan Australia telah menyadari bahwa kedua negara memiliki
kepentingan dan keterkaitan dalam bidang pengelolaan lingkungan laut. Oleh
karena itu, Pemerintah Indonesia dan Australia sejak tahun 1996 telah memiliki
kerangka hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus di bidang lingkungan laut
yaitu sebuah Memorandum of Understanding (MoU) between the Government of
Australia and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response 1996.
Seperti kita ketahui bersama bahwa kasus pencemaran minyak merupakan suatu
keadaan darurat. Hal ini disebabkan karena penyebab terjadinya yang tidak dapat
diduga dan berlangsung sangat cepat sedangkan dampak yang diakibatkannya
berlangsung secara cepat dan acak. Sehingga tidak dapat dilakukan pencegahan
pertama selain respon terhadap dampak yang telah diakibatkan. Untuk itu, penting
untuk dapat mengimplementasikan MoU 1996 tersebut. Dalam kasus Minyak
Montara metode yang digunakan dalam penyelesaiannya adalah negosiasi dengan
tidak menutup kemungkinan penggunaan cara-cara lain sesuai dengan
kesepakatan para pihak. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling
dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia.Penyelesaian melalui
negosiasi merupakan cara yang paling penting.Banyak sengketa diselesaikan
setiap hari melalui cara ini tanpa adanya publisitas atau perhatian publik. Sisi
positifnya adalah bahwa melalui cara ini para pihak yang bersengketa dapat
mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya
didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang


Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, dalam Pasal 3,
dinyatakan bahwa dalam rangka untuk keterpaduan penyelenggaraan
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 365,
dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di
Laut, yang selanjutnya disebut Tim Nasional. Tim Nasional yang dibentuk terdiri
atas kementrian-kementrian terkait di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah
menyiapkan gugatan kepada Australia dan operator ladang minyak Montara
PTTEP Australasia untuk memberi kompensasi atas kerugian yang dialami
Indonesia akibat pencemaran tersebut. Tuntutan ganti kerugian tersebut
didasarkan atas ketentuan yang terdapat pada International Convention On Civil
Liability For Oil Pollution Damage 1969 (sekarang digantikan oleh CLC 1992),
dimana Indonesia dan Australia telah meratifikasi konvensi tersebut, masing-
masing Indonesia pada 6 Juli 1999 dan Australia pada 9 Oktober
199566.Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi
yang sesuai untuk pihakpihak yang menderita kerugian akibat pencemaran minyak
di laut.

3. Pendapat Ahli

Abdul kadir, ken Hoyle, Geoffrey, Whitehead: Mereka memberikan batasan


lembaga ini yaitu menyerahkan sukarela suatu sengketa kepada seseorang yang
berkualitas untuk menyelesaikan dengan suatu perjanjian bahwa keputusan
arbitrator akan final dan mengikat para pihak yang berperkara.

J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar


negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk
menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para
pihak yang tidak disepakati.

Menurut Starke, Cara-cara penyelesaian sengketa damai, yaitu apabila para pihak
telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat, antara
lain meliputi :

 Negosiasi
 Jasa baik
 Mediasi
 Konsoliasi
 Penyelidikan (Fact Finding/Enquiry)
C. Rekomendasi Advokat
Dalam skala internasional, terdapat beberapa aturan hukum lingkungan internasional
yang mengatur masalah pencemaran lingkungan laut, salah satunya adalah International
Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention), yang membahas ganti rugi terhadap tumpahan minyak bumi di laut.

PT Pertamina dan Pemerintah Indonesia harus terus memperjuangkan tuntutan denda


ganti rugi, pemulihan serta sanksi administratif kepada pemilik dan operator kapal MV
Ever Judge agar bisa mengembalikan kerugian yang dialami oleh semua pihak serta
kerusakan ekosistem laut di Teluk Balikpapan. Dalam mengadopsi ketentuan-ketentuan
internasional, Indonesia harus melengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang dapat
menekan pihak lain agar kepentingan nasional terlindungi. International convention
yang terkait dengan penyelesaian konflik internasional tidak efektif karena tidak
mempunyai sanksi yang tegas dan batas waktu penyelesaiannya. Pemerintah Indonesia
dalam menghadapi kasus-kasus yang penyelesaiannya terkait dengan konflik antar
Negara diharapkan keseriusannya dalam menyelesaikan dengan tuntas walaupun
diperlukan waktu dan biaya yang cukup besar.

Anda mungkin juga menyukai