Anda di halaman 1dari 19

BAB III

PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM NASIONAL

INDONESIA

A. Kronologis Kasus Pencemaran Limbah Farmasi

Pencemaran lingkungan laut di Teluk Jakarta, yang dilakukan oleh

pabrik farmasi MEP akibat membuang limbah dan kandungan obat paracetamol

ke Teluk Jakarta. Pembuangan limbah paracetamol tersebut terjadi pada tanggal

8 November 2021, tepatnya di laut Angke dan laut Ancol. Penelitian yang

dimuat dalam jurnal Science Direct pada Agustus 2021 yang dilakukanoleh

sejumlah peneliti dari Pusat Penelitian Oceanografi, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan

Universitas Brighton, Inggris, serta para ahli lainnya telah menganalisis sampel

air yang telah diambil di Jakarta, tepatnya ada empat lokasi dan satu di pantai

utara Jawa Tengah. Diketahui dari empat titik yang diteliti di Teluk Jakarta, ada

dua dari temuan tersebut yang terdeteksi terdapat kandungan paracetamol

sebesar 610 nanogram per liter dan di Ancol sebesar 420 nanogram per liter

yaitu di Angke. Ini adalah studi pertama yang melaporkan adanya keberadaan

paracetamol (acetaminophen) di perairan pesisir di sekitar Indonesia.

Akibatnya air laut tercemar dan dikhawatirkan biota-biota laut seperti ikan
dapat punah.1 Pesisir adalah wilayah yang sangat penting bagi kehidupan

manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan antara darat dan laut yang

memiliki keunikan dari ekosistemnya, dunia memiliki kepedulian terhadap

wilayah ini.2

Temuan yang diungkap para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi

Nasional (BRIN) dan Universitas Brighton, Inggris, tersebut telah mendorong

pemerintah untuk menanyai perusahaan-perusahaan farmasi di Jakarta tentang

pengelolaan limbah serta membentuk tim untuk mengidentifikasi hal yang

disebut sebagai emerging pollutant. Para peneliti menyebut kadar paracetamol

yang ditemukan di Muara Angke, 610 ng/L, merupakan konsentrasi tertinggi

yang pernah ditemukan dalam air laut. Temuan paracetamol ini menambah

daftar panjang polutan di Teluk Jakarta. Sebelumnya perairan ini juga

dilaporkan telah terkontaminasi logam berat, yang terakumulasi dalam kerang

hijau. Salah satu peneliti dalam studi ini, Dr. Wulan Koagouw, menjelaskan

bahwa kadar paracetamol yang ditemukan di Teluk Jakarta terlalu kecil untuk

berdampak pada manusia. Namun, beberapa penelitian sebelumnya

mengindikasikan potensi bahaya obat sakit kepala ini bagi biota laut. Penelitian

yang dilakukan Wulan sendiri di laboratorium menemukan bahwa paparan

paracetamol sekecil 40 ng/L dalam jangka panjang dapat berdampak pada

1
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5802929/akhirnya-terungkap-ini-sumberpencemaran-
paracetamol-di-teluk-jakarta. Selasa 09 November 2021
2
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58990747
sistem reproduksi kerang biru (Mytilus edulis), pemaparan paracetamol pada

kerang biru itu mengakibatkan terjadinya perubahan pada jaringan gonad atau

reproduksi pada kerang biru, dan juga modulasi dari beberapa transkripsi gen

yang terkait dalam proses reproduksi dan apoptosis.3

Tim Dinas LH DKI melaporkan PT MEP sebagai sumber pencemaran.

Kini, pabrik farmasi itu dijatuhi sanksi administratif. Karena ketidaktaatan

dalam pengelolaan air limbah, perusahaan tersebut kini dikenakan sanksi

administratif yang mewajibkan PT MEP untuk menutup saluran outlet IPAL air

limbah dan melakukan perbaikan kinerja IPAL serta mengurus persetujuan

teknis pembuangan air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air,

jelasnya.Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta akan melakukan Monitoring

Pengawasan Penaatan Sanksi Administratif terhadap pabrik farmasi ini. Jika tak

ada tindak lanjut dari perusahaan, tim akan turun tangan menutup saluran outlet

IPAL di PT MEP.Adapun tindakan hukum yang diambil sesuai dengan UU

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3
https://news.detik.com/berita/d-5806585/pabrik-sumber-pencemaran-paracetamol-di-teluk-jakarta-
bertambah
B. Upaya Hukum Perlindungan Lingkungan Laut Dalam Hukum Nasional

Indonesia

Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus

dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan

unsur-unsur kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum

menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana

pahitnya (fiat justitia et pereat mundus: meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat.

Misalnya: "Barang siapa mencemarkan lingkungan maka ia harus dihukum,"

ketentuan ini menghendaki agar siapa pun (tidak peduli jabatannya) apabila

melakukan perbuatan pencemaran lingkungan maka ia harus dihukum. Ingat:

bahwa dihukumnya pencemar di sini bukan karena ia mencemarkan (jadi bukan

berdasar sebab-akibat), tetapi karena adanya suatu peraturan yang ada terlebih

dahulu yang melarang perbuatan pencemaran tersebut. Itulah yang dikehendaki

dalam kepastian hukum, apa bunyi hukum itulah yang dilaksanakan. 4

Sebaliknya masyarakat menghendaki adanya manfaat dalam

pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum lingkungan tersebut.Hukum

lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi

manfaat kepada masyarakat.Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk

4
R. M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M, 2004, Hukum Lingkungan Indonesia,Sinar Grafika, hal
65-71
kepentingan masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena

dilaksanakannya peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah.

Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum yang

diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan.

Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian

hukum dan keadilan dikorbankan, demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam

penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut, yaitu kepastian,

kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan.Artinya ketiganya harus

mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya,

meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.

Upaya hukum perlindungan lingkungan laut dalam hukum nasional

Indonesia telah diatur dalam UU No 32 tahun 1014 tentang Kelautan. Dalam

undang-undang dimaksud dijelaskan bahwa Pelindungan Lingkungan Laut

adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber

Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan di Laut yang meliputi konservasi Laut, pengendalian pencemaran

Laut, penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan penanggulangan

pencemaran, serta kerusakan dan bencana. sedangkan Pencemaran Laut adalah

masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

lain ke dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui

baku mutu lingkungan Laut yang telah ditetapkan.


Pasal 54 (1) menentukan bahwa dalam mengantisipasi Pencemaran Laut

dan bencana Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53,

Pemerintah menetapkan kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran Laut

dan bencana Kelautan. (2) Kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran

Laut dan bencana Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan melalui: a. pengembangan sistem mitigasi bencana; b.

pengembangan sistem peringatan dini (early warning system); c.

pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di

Laut; d. pengembangan sistem pengendalian pencemaran Laut dan kerusakan

ekosistem Laut; dan e. pengendalian dampak sisa-sisa bangunan di Laut dan

aktivitas di Laut.

Khusus dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. telah diatur tentang

pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan

beracun yang dapat mencemari lingkungan hidup termasuk laut, sebagaimana

diatur dalam BAB VII. Bagian Kesatu tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya

dan Beracun.

Pasal 59 (1) menentukan bahwa Setiap orang yang menghasilkan

limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.

Sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan sesuai Pasal 106 UUPPLH yaitu

kepada Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)


huruf d, paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling

banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pengenaan sanksi berdasarkan pada Prinsip Tanggung Jawab Mutlak,

Pasal 88 yaitu bahwa Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau

kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian

unsur kesalahan.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum lingkungan merupakan bidang

hukum yang tidak semua orang memahaminya dengan baik. Para pencari

keadilan (masyarakat) dan aparat penegak hukumnya masih sering mengalami

kebingungan. Misalnya, kepada siapa korban harus melapor, atau siapakah

yang berhak menjadi penyidik dalam kasus lingkungan?bagaimana proses

beracaranya sejak kasus tersebut terjadi sampai diajukan dan diproses di

pengadilan?

Untuk mengatasi kebingungan masyarakat tersebut, UU No 32 Tahun

2009 pada BAB XIV Tentang Penyidikan Dan Pembuktian, Bagian Kesatu,

Pasal 94 disebutkan bahwa Penyidikan Selain penyidik pejabat polisi Negara

Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi

pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik


sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan

penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang :

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak

pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan

peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup;

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup;

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,

pembukuan, catatan, dan dokumen lain;

f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat

dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup;

g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h.

menghentikan penyidikan;
h. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;

i. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat

lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau

j. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Pasal 95 menyebutkan bahwa: (1) Dalam rangka penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan

hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di

bawah koordinasi Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan

penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundangundangan.

Dalam penegakan hukum, ada suatu pendapat yang keliru yang

mengatakan bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Di

samping itu, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab

dari aparat penegak hukum. Padahal, sesungguhnya, penegakan hukum adalah

kewajiban dari seluruh anggota masyarakat sehingga untuk itu, pemahaman

tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Salah satu upaya untuk

mengatasi hal tersebut, antara lain, dengan meningkatkan kualitas sumber daya

manusia melalui pendidikan, pelatihan singkat bagi aparat penegak hukum dan

aparatur pemerintah yang akan melaksanakan undang-undang. Dalam hal

penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan di lapangan, ditentukan pula

kasus-kasus prioritas yang dapat diselesaikan secara hukum, dan pengembangan

sistem penegakan hukumnya.


Menurut hemat penulis dalam penegakan hukum, khususnya yang

berhubungan dengan lingkungan hidup, diperlukan pendekatan interdisipliner

dan multidisipliner sehingga untuk itu diperlukan pemahaman berbagai disiplin

ilmu lain yang terkait Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur

dengan berbagai sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan

sanksi pidana. Dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan, jalur pertama

penegakan hukum, seharusnya, adalah jalur administratif dengan sanksi

administratif, yang dapat meliputi: (1) pemberian teguran keras; (2)

pembayaran uang paksaan (dwangsom); (3) penangguhan berlakunya ijin; (4)

pencabutan ijin.

Dalam berbagai kasus pencemaran, pada umumnya Pemerintah

cenderung untuk tidak menjatuhkan sanksi administratif karena adanya

kekhawatiran bahwa hal itu dapat menimbulkan gejolak sosial akibat

ditutupnya perusahaan dan di-PHK-nya para pekerja. Untuk itu, seharusnya

pencabutan ijin adalah tindakan terakhir setelah bentuk bentuk sanksi

administratif lainnya diterapkan.Kemungkinan lainnya adalah sanksi perdata,

yang berupa ganti kerugian kepada penderita dan biaya pemulihan kepada

negara. Indonesia adalah negara yang menganut prinsip pencemar membayar

(polluter pays principle). Prinsip tersebut merupakan asas yang dianut dan

diterapkan secara konsekwen sebagai salah satu kebijaksanaan lingkungan dan

jalan keluar bagi kasus-kasus pencemaran di negara negara maju yang menjadi

anggota OECD.
Tentang penerapan sanksi perdata tersebut, pertama-tama yang perlu

diatur adalah mengenai tata cara pengaduan oleh penderita. Hal ini penting

sekali diatur, karena dalam banyak hal penderita adalah rakyat biasa yang

kurang mengetahui bagaimana mempergunakan haknya untuk minta ganti

kerugian. Dalam tata cara pengaduan ini perlu diatur kepada siapa penderita

dapat melapor, disertai kemungkinan pula untuk minta pihak lain guna melapor

dan mengadu atas namanya.

Dalam kaitannya dengan prosedur penanggulangan kasus perusakan

dan pencemaran lingkungan hidup, telah dikeluarkan Surat Edaran Menteri

Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) No.

03/SE/MENKLH/6/1987 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri,

Menteri kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian. Kesepakatan yang

diperoleh di antara para pejabat tersebut meliputi sistem pelaporan oleh

penderita dan anggota masyarakat

Selanjutnya adalah mengenai tata cara penelitian tentang telah

terjadinya pencemaran. Dalam tata cara penelitian ini perlu diatur mengenai tim

yang harus dibentuk untuk tiap-tiap kasus, yang terdiri dari pihak penderita atau

kuasanya, pihak pencemar atau kuasanya dan unsur pemerintah. Pembentukan

tim yang merupakan tripartite ini dimaksudkan agar sejauh mungkin

diusahakan tercapainya kesepakatan atas besarnya ganti kerugian yang harus

diberikan kepada penderita setelah diteliti tentang bentuk, jenis, dan besarnya

kerugian.
Pembayaran ganti kerugian kepada penderita tidak membebaskan

pencemar dari kewajibannya untuk membayar biaya pemulihan lingkungan

yang telah rusak atau tercemar kepada negara. dibayar kepada Negara karena

Negaralah yang mempunyai kemampuan dengan fasilitas yang ada padanya

untuk melakuk upaya pemulihan yang telah rusak atau tercemar. Sanksi terakhir

adalah pidana, yang dapat meliputi pidana penjara, kurungan, dan atau denda

Siti Sundari Rangkuti mengemukakan bahwa sanksi pidana bukan merupakan

pemecahan utama dalam penanggulang masalah pencemaran lingkungan, tetapi

hanya merupakan "ultimum remidium." Sanksi hukum terhadap penguasaha

dalam fungsinya sebagai pengelola lingkungan adalah sanksi administratif

sedangkan sanksi pidana dapat dikenakan kepada penguasaha yang bertindak

sebagai pribadi terlepas dari tugas dan kewenangannya.

Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Rasyid Ariman yang

menekankan bahwa, pertanggungjawaban pidana terhadap perusakan atau

pencemaran lingkungan hidup dibebankan kepada orang yang melakukan delik

tersebut, apabila perusahaan-perusahaan industri yang menyebabkan rusak atau

tercemarnya lingkungan hidup, yang bertanggung jawab adalah direksi atau

pengurus-pengurus lainnya.

Penjatuhan sanksi pidana ini dibedakan atas kesengajaaan dan kelalaian.

Artinya, apabila perbuatan yang menimbulkan perusakan atau pencemaran

lingkungan tersebut dilakukan dengan sengaja maka ancamannya adalah pidana

penjara maksimal 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.


100.000.000,-. Tetapi apabila perusakan atau pencemaran tersebut dilakukan

karena kelalaian maka ancamannya adalah pidana kurungan selama-lamanya 1

tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.1.000.000,- (Pasal 22 UULH).

Dari uraian di atas, yang perlu mendapat perhatian adalah, dalam

penegakan hukum lingkungan ketiga sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi

perdata, dan sanksi pidana dapat dijatuhkan secara bersama sama (kumulatif).

Beratnya sanksi yang diterima oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam

perusakan atau pencemaran lingkungan tersebut diharapkan dapat menekan

terjadinya kasus pencemaran lingkungan baik yang disebabkan karena

kelalaian maupun yang dilakukan dengan sengaja.

Masalah lain tentang pencemaran lingkungan di Indonesia adalah

pengertian tentang pencemaran itu sendiri. Pencemaran lingkungan yang

pengertiannya berdasarkan Pasal 4 butir 7 UULH sejauh ini telah menjadi

perdebatan. Karena dalam pengertian pasal tersebut, peristiwa pencemaran baru

dinilai terjadi apabila kualitas lingkungan telah turun sampai tingkat tertentu

sehingga tidak sesuai lagi dengan peruntukannya.

Dengan demikian ukuran telah terjadinya pencemaran di Indonesia

adalah baku mutu ambien, yaitu kriteria pencemaran lingkungan yang dikaitkan

dengan kondisi lingkungan hidup itu sendiri; dan bukan pada buangan

limbahnya. Dalam kaitan ini, siapa pun dapat membuang limbah dengan

semaunya dan sebanyak-banyaknya dengan syarat kualitas lingkungan,

misalnya sungai, masih dapat digunakan sesuai dengan peruntukkannya


(fungsinya). Kriteria tersebut tentu sangat membahayakan karena upaya

penanggulangannya, apabila telah terjadi pencemaran, adalah sangat sulit dan

berisiko tinggi.

Faktor lain yang sangat penting dalam penegakan hukum adalah

masalah pembuktian. Dengan kriteria baku mutu ambien tersebut, hal ini akan

menimbulkan kesukaran untuk menelusuri siapa yang telah mencemarkan

lingkungan karena, misalnya, sumber pencemaran "air sungai" dapat berupa

limbah industri, limbah pertanian, limbah rumah tangga, dan lain-lain, sehingga

sulit untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab apabila sungainya

telah tercemar.

Di negara maju, pencemaran dikaitkan dengan baku mutu efluen atau

emisi (limbah yang dikeluarkan), sehingga siapa pun yang membuang limbah

melampaui ambang batas emisi, dialah yang mencemarkan. Jadi misalnya

untuk kegiatan industri ditentukan batas maksimal mereka boleh membuang

limbahnya, dengan pengertian apabila ia membuang limbah melampaui

ambang batas maka ia dianggap telah mencemarkan dan dapat diadili,

meskipun sumber dayanya (misalnya sungai) belum tercemar. Hal ini tentu

memudahkan dalam masalah pembuktian karena dapat diketahui secara

langsung siapa yang telah melanggar ambang batas; di samping itu dapat

mempertahankan agar sumberdaya lingkungan tetap bersih dan sehat yaitu

tanpa menunggu sumberdaya lingkungan tersebut sampai tercemar. Oleh


karena itu, dalam upaya penyempurnaan UULH perlu dipertimbangkan

penggunaan baku mutu efluen ini.

Penegakan hukum lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran

lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek: (i) penegakan hukum lingkungan

administratif oleh aparatur pemerintah, (ii) penegakan hukum lingkungan

kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan, dan (iii)

penegakan hukum lingkungan keperdataan serta “environmental disputes

resolution ” yang ditempuh secara litigasi maupun nonlitigasi.

Pembidangan penegakan hukum lingkungan dalam tiga rumpun disiplin

hukum merupakan konsekuensi logis dari kedudukan hukum lingkungan

sebagai matakuliah hukum fungsional (“functionele rechtsvakken”).Penegakan

hukum lingkungan dalam konteks pengendalian pencemaran lingkungan berarti

mendayagunakan sarana hukum (“legal means”) yang tersedia di bidang

penegakan hukum lingkungan administratif, kepidanaan dan keperdataan

(penyelesaian sengketa lingkungan) untuk melakukan perlindungan hukum

dalam rangka menjamin kualitas lingkungan bersih dan sehat berkelanjutan.

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan

aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan perundang-

undangan. Kemampuan aparatur penegak hukum lingkungan disinyalir belum


banyak mengalami kemajuan, bahkan terdapat pihak yang tidak mengerti

“siapakah yang dimaksud dengan aparatur penegak hukum lingkungan ”?5

Aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim,

polisi, jaksa dan pengacara, tetapi juga pejabat/instansi yang berwenang

memberi izin. Bahkan dikonsepkan bahwa organ pemerintah yang berwenang

memberi izin merupakan aparatur penegak hukum lingkungan yang utama

sedasar prinsip: “pejabat yang berwenang memberi izin (lingkungan)

bertanggung jawab terhadap penegakan hukum lingkungan administratif”.6

Penegakan hukum lingkungan dalam konstalasi pengendalian

pencemaran (dan/atau perusakan) lingkungan bersentuhan pula dengan segmen

“penyelesaian sengketa lingkungan” melalui prosedur: “the litigation process

and other tools for resolving environmental disputes (proses litigasi dan alat-

alat kelengkapan lain untuk menyelesaikan perselisihan lingkungan).

Penyelesaian sengketa lingkungan tentang pengendalian pencemaran

lingkungan dengan proses litigasi dipandang sebagai langkah terakhir;

sedangkan jalur berperkara di luar pengadilan lebih diprioritaskan.

Penegakan hukum lingkungan administratif bertujuan untuk

menghentikan pencemaran lingkungan langsung pada sumbernya sesuai

5
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Kedua,
Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 208-210. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor
yangMempengaruhi Penegakan Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1986, h. 5-51.
6
Siti Sundari Rangkuti, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di Indonesia”, Pro Justitia,
Tahun XVII, No, 1 Januari 1999, h. 3-4
dengan prinsip pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.Pengawasan

secara periodik dilakukan terhadap kegiatan yang memiliki izin lingkungan

sebagai upaya pemantauan penaatan persyaratan perizinan oleh instansi yang

berwenang memberi izin lingkungan.Dasar hukum umum pengawasan sebagai

sarana penegakan hukum lingkungan administratif dalam pengendalian

pencemaran (lingkungan) di Indonesia adalah Pasal 71-75 UU PPLH. Pasal 74

(1) UUPPLH menetapkan beberapa kewenangan pengawas, yaitu: melakukan

pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau

membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret,

membuat rekaman audio visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan,

memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, dan menghentikan pelanggaran

tertentu.

Sarana pengawasan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan

ternyata belum diatur secara komprehensif. Kenyataan ini meneguhkan

pandangan bahwa penegakan hukum lingkungan administratif dalam rangka

pengendalian pencemaran lingkungan melalui sarana yuridis yang bersifat

preventif belum berjalan optimal.Penguasaan metode dan teknik pengendalian

pencemaran lingkungan di kalangan aparatur penegak hukum lingkungan

administratif masih terbatas. Terdapat perbedaan (bahkan kekeliruan)

pemahaman tentang substansi dan mekanisme pengawasan penaatan

persyaratan perizinan lingkungan.


Penerapan sanksi administrasi merupakan konsekuensi lanjutan dari

tindakan pengawasan Sanksi administrasi mempunyai "fungsi instrumental":

pengendalian perbuatan terlarang dan terdiri atas:

a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (“bestuursdwang” atau

“executive coercion ”);

b. Uang paksa (“publiekrechtelijke dwangsom” atau “coercive sum”);

c. Penutupan tempat usaha (“sluiting van een inrichting”);

d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (“buitengebruikstelling van een

toestel”);

e. Pencabutan izin (“intrekking van een vergunning”) melalui proses: teguran,

paksaan pemerintahan, penutupan dan uang paksa.7

Dasar hukum utama penerapan sanksi administrasi di bidang pengendalian

pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 76-83 UU PPLH yang mengatur

empat jenis sanksi administrasi: teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan

izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. terhadap badan usaha yang

melanggar baku mutu emisi maupun persyaratan lingkungan lainnya. Penetapan

sanksi ini tidak boleh kurang dari nilai ekonomik yang telah dinikmati pelanggar

selama tidak mentaati persyaratan perizinan lingkungan.8

7
Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan: Dari Ius Constitutum Ke Ius Constituendum,
Airlangga University Press, Surabaya, 1991, h. 8
8
Takdir Rahmadi, Pengaturan Hukum Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun di Indonesia,
Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, h. 282-283
Diketemukan beberapa varian sanksi administrasi yang diterapkan oleh

instansi yang berwenang menerbitkan izin lingkungan, yaitu: teguran, peringatan,

penyegelan, pemanggilan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa instansi

yang berwenang menerbitkan “izin lingkungan” kurang menguasai peraturan

perundang-undangan yang mengatur jenis sanksi administrasi.Penerapan sanksi

administrasi juga belum dikaitkan dengan pelanggaran persyaratan perizinan

lingkungan dan ada pula yang lebih menekankan kepada pelaksanaan Amdal.9

Pengkajian ini memaparkan realita betapa terbatasnya penuangan sarana

penegakan hukum lingkungan administratif, bahkan ada yang keliru rumusannya

dan rancu penerapannya. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa penegakan

hukum lingkungan administratif belum efektif dan berdaya guna sebagai instrumen

hukum pengendalian pencemaran lingkungan.untuk menjamin penaatan terhadap

peraturan perundang-undangan (pengendalian pencemaran lingkungan). Namun,

penerapan sanksi paksaan pemerintahan dikaitkan dengan sanksi pidana dan

perdata sebagaimana halnya dengan setiap penyelesaian yuridis permasalahan

lingkungan pada umumnya.Sanksi pencabutan izin dijadikan alternatif terakhir

guna mendorong penaatan terhadap persyaratan perizinan ataupun peraturan

perundang-undangan setelah melalui tahapan pengenaan denda dan sanksi pidana.

9
Siti Sundari Rangkuti et al., Penyusunan Pedoman ... op.cit., h. 110-111. Siti Sundari Rangkuti et al.,
Implementasi UUPLH Tentang Pengawasan dan Sanksi Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan
di Daerah, Proyek Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Jakarta-Surabaya, 2000, h.
50-69.

Anda mungkin juga menyukai