Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 3 TINDAK PIDANA KHUSUS

NAMA : YUSTINUS DAGA

NIM : 041333014

SOAL

1. Setelah mempelajari Undang-Undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, tentukanlah siapa saja yang menjadi subjek hukum dalam UUPLH tersebut,
kemudian bandingkanlah tuntutan dari sanksi pidana di antara kedua subyek hukum tersebut
dengan menyebutkan dasar hukumnya?

Jawab:
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan
dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
bagaimana pertanggungjawaban dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif,
disimpulkan:

1. Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun yang tidak

disengaja. Pasal 97 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, disebutkan bahwa, “Tindak

pidana dalam Undang-Undang ini merupakan kejahatan”. Subjek hukum dalam

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009disebutkan pada Pasal 1 angka 32 yaitu “Setiap

orang adalah orang perseorangan atau badan USAha, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek

hukum dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 ini

adalah orang, badan hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak

berbadan hukum maksudnya adalah korporasi.

2. Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, di dalam penjelasannya

dipertegas dengan maksud dikatakan bertanggung jawab itu. Bahwa yang dimaksud

dengan bertanggung jawab di sini adalah peratnggungjawaban mutlak atau lebih

dikenal dengan asas strict liability. Pertanggungjawaban demikian dalam pasal ini
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar

pembayaran ganti rugi. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 di atas, jelaslah bahwa dalam lingkungan hidup dibebankan peratnggungjawaban

dengan asas baru ini yaitu strict liability. Dimana Pencemaran dan Perusakan terhadap

lingkungan, adalah tanggung jawab (liability) terhadap Perusak/pelaku kerusakan atas

lingkungan hidup itu sudah semestinya dibebankan, apa dan siapapun subjek

hukumnya, baik jumlah dalam skala kecil maupun besar, baik rakyat, pemerintah

maupun Perusahaan, dan lain-lain.

Dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang

dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu: 1. badan usaha itu sendiri; 2. orang

yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; 3.

pengurus.

Dasar hukumya:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia


Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup

2. Jelaskan pemahaman saudara, apa perbuatan menangkap ikan dengan racun adalah perbuatan
yang legal? Jelasakan dengan argumentasi hukum serta ancamannya!

Jawab:
Terkait dengan penangkapan ikan dengan menggunakan racun bukan merupakan perbuatan
yang legal, namun kegiatan penangkapan ikan tersebut merupakan perbuatan penangkapan
ikan secara illegal yang dapat mengakibatkan kerusakan pada ekosistem dilaut.

Kegiatan penangkapan ikan secara tidak bertanggungjawab bukan hanya


terbatas pada kegiatan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fising), tetapi juga
terdapat kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak (deitructive
fising). Kegiatan ini juga dapat menyebabkan kerugian yang besar terutama
terhadap kelestarian ekosistem perairan yang ada. Untuk itu, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, lewat Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (PSDKP) berupaya terus untuk menjaga laut dari ancaman deitructive
fising.
Kegiatan deitructive fising yang dilakukan oleh oknum masyarakat umumnya
menggunakan bahan peledak (bom ikan), dan penggunaan bahan beracun untuk
menangkap ikan. Penggunaan bahan-bahan tersebut mengakibatkan kerusakan
terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan kematian
berbagai jenis dan ukuran yang ada di perairan tersebut. Setidaknya, hasil
penelitian World Bank tahun 1996 menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat
250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30
m2.
Dalam hal pengawasan kegiatan deitructive fising, Direktorat Jenderal
PSDKP melalui para Pengawas Perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia telah
berhasil menggagalkan kegiatan pengggunaan bom ikan. Keberhasilan terbaru
dilakukan oleh Pangkalan PSDKP Tual yang menggagalkan penangkapan dengan
bom ikan di perairan Tual Maluku pada bulan Maret 2017. Selanjutanya pada
tanggal 10 April 2017 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
bersama TNI Angkatan Laut juga berhasil menggagalkan penangkapan ikan
menggunakan bom ikan di perairan Lombok Timur. Sementara pada tanggal 30 Mei
2017, Polair Polda Sulawesi Selatan juga menangkap pelaku penangkapan ikan
menggunakan bom di perairan Barang Lompo, Sulawesi Selatan.

Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasasi, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan
ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal
penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Apabila
diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milyar.

Perlu Peran Serta Masyarakat Atasi Destructive Fishing


Dengan luasnya wilayah laut Indonesia, memang terdapat keterbatasan
Pemerintah untuk mengawasi kegiatan deitructive fising. Mulai dari keterbatasan
personil pengawasan, kapal pengawas, dan jangkauan wilayah yang sangat luas.
Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk bersama-sama
memerangi pelaku deitructive fising.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan mengamati atau memantau
kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya, kemudian
melaporkan adanya dugaan kegiatan deitructive fising kepada Pengawas
Perikanan atau aparat penegak hukum.
Cara penangkapan semacam ini sebenarnya sangat membahayakan. Selain
menimbulkan kehancuran dan kematian terumbu karang banyak ikan atau jenis
lainnya seperti kepiting, kuda laut dll yang bukan merupakan target penangkapan
menjadi ikut terkena sehingga sumberdaya terbuang secara sia-sia.
(COREMAP:1998)

3. Melihat contoh kasus di atas, apakah para pelaku PETI tersebut dapat dipidana? Jelaskan dasar
hukumnya menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia!

Jawab:
Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) adalah usaha pertambangan yang dilakukan
oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum
yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan kasus tersebut diatas para pelaku Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI)
tetap dapat dipdana, sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu:
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 TentangPertambangan Mineral dan Batu
Bara, Pasal 55 Ayat (1) ke1 KUHP.

Anda mungkin juga menyukai