Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ARISANDY DJUNAIDI

NIM : 041332607
KODE MK : HKUM4307
NAMA MK : HUKUM PERSAINGAN USAHA

TUGAS 3

SOAL :
1. Apa yang anda ketahui tentang kegiatan jual rugi di Indonesia saat ini ? Jelaskan pemahaman
Anda !
2. Apakah yang dimaksud dengan kegiatan predatory pricing ? Jelaskan Jawaban Anda !
3. Apa yang dimaksud dengan persekongkolan / konspirasi ? Jelaskan Jawaban Anda !
4. Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha.
Mengapa ?
5. Bagaimana cara membuktikan salah satu pelaku usaha mempunyai posisidominan pada pasar
yang bersangkutan ?
6. Kalau pelaku usaha (pelapor) tidak mempunyai posisi dominan, bagaimana terlapor dapat
melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan ?
7. Bagaimana pelaku usaha melakukan penyalahgunaan posisi dominannya sehingga pasar
dapat terdistrosi ? Jelaskan pemahaman Anda !
8. Bagaimana bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan ?
9. Apa yang dimaksud dengan Penyalahgunaan Posisi Dominan ? Jelaskan Jawaban saudara !

JAWABAN :
1. Secara sederhana, menjual rugi dapat digambarkan ketika perusahaan yang memiliki posisi
dominan atau kemampuan keuangan yang kuat (deep pocket) menjual produknya dibawah
harga produksi dengan tujuan untuk memaksa pesaingnya keluar dari pasar. Setelah
memenangkan persaingan, perusahaan tersebut akan menaikkan harga kembali di atas harga
pasar dan berupaya mengembalikan kerugiannya dengan mendapatkan keuntungan dari
harga monopoli (karena pesaingnya telah keluar dari pasar). Produsen yang melakukan jual
rugi dalam hal ini memasokkan produksinya ke beberapa industri retail dengan harga di bawah
produksi. Bisnis retail tersebut misalnya seperti supermarket, department store dan pasar
grosir lainnya. Industri retail merupakan industri yang strategis dalam kontribusinya terhadap
perekonomian Indonesia. Perkembangan bisnis ritel di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat
akhir-akhir ini, terutama ritel modern dalam semua variasi jenisnya.
-2-

Di Indonesia, dalam menjalankan bisnis dalam dunia ritel, pelaku usaha cenderung melakukan
sistem praktik jual rugi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Pasal 20 Tentang Jual
Rugi dalam bentuk diskon ataupun potongan harga untuk memancing konsumen agar membeli
produk atau barang dan/atau jasa di jual dalam perusahaan mereka sehingga, konsumen akan
merasa bahwa perusahaan tersebut sering melakukan pemberian diskon ataupun potongan
yang dapat mengakibatkan konsumen akan menetap dan selalu tertarik untuk membeli barang
dari satu perusahaan tersebut dan mengakibatkan perusahaan lain tidak dapat bersaing
dengan perusahaan yang sering melakukan praktik monopoli tersebut.

2. Predatory pricing (atau yang dikenal juga dengan istilah jual rugi: seperti yang telah disinggung
pada jawaban nomor 1) adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha
dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk
menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Secara sederhana,
Predatory pricing atau menjual rugi dapat digambarkan ketika perusahaan yang memiliki posisi
dominan atau kemampuan keuangan yang kuat (deep pocket) menjual produknya dibawah
harga produksi dengan tujuan untuk memaksa pesaingnya keluar dari pasar. Setelah
memenangkan persaingan, perusahaan tersebut akan menaikkan harga kembali di atas harga
pasar dan berupaya mengembalikan kerugiannya dengan mendapatkan keuntungan dari
harga monopoli (karena pesaingnya telah keluar dari pasar).
Dalam jangka pendek, jual rugi dapat menguntungkan konsumen karena konsumen menikmati
harga barang atau jasa yang rendah. Namun dalam jangka panjang, setelah para pesaing
tersingkir dari pasar, pelaku usaha predator akan kembali menaikkan harga barang atau jasa.
Dengan demikian praktek jual rugi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Menurut Kamus Besar Bahasa Inddonesia (KBBI) sekongkol adalah orang yang turut serta
berkomplot melakukan kejahatan (kecurangan dan sebagainya), dan persekongkolan adalah
hal bersekongkol. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksudkan dengan
persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
-3-

Persekongkolan adalah bentuk kerja sama dagang di antara pelaku usaha dengan maksud
untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
tersebut. Persekongkolan sering disama artikan dengan kolusi, dalam politik biasa disebut
konspirasi (conspiracy). Ditinjau dari segi hukum ataupun agama, kolusi adalah bentuk
pelanggaran norma atau etika. Secara umum kolusi mirip dengan korupsi, walau dalam
praktiknya terjadi perbedaan. Kolusi lebih pada tawar-menawar sebuah kepentingan (interest)
demi mendapatkan keuntungan dan kedudukan tertentu.

4. Posisi Dominan adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha dalam memasarkan produknya
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan dan penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang dan jasa tertentu. Dengan posisi dominan tersebut, suatu
perusahaan dapat melakukan strategi yang bersifat independen terhadap perilaku pelaku
usaha pesaing. Perusahaan dominan dapat bertindak atau melakukan strategi tanpa dapat
dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaing ataupun konsumennya karena memiliki market power
yang tinggi. Market power adalah kemampuan perusahaan mempengaruhi harga dari barang
dan jasa yang dijualnya. Dengan demikian market power merefleksikan dominansi yang dimiliki
oleh sebuah perusahaan di pasar.
Dengan market power yang dimilikinya tersebut perusahaan dominan dapat mengendalikan
harga. Namun karena perusahaan dominan masih tetap memiliki pesaing maka kenaikan
harga yang dilakukan oleh perusahaan dominan dapat membuat konsumen beralih kepada
fringe firm. Oleh karena itu dalam bersaing perusahaan dominan tetap harus memperhatikan
reaksi dari fringe firm. Interaksi penentuan harga dan kuantitas di dalam pasar yang memiliki
perusahaan dominan dan fringe firm dapat dilihat pada gambar berikut.
Dalam situasi yang menguntungkan seperti itulah maka Posisi dominan dapat dikatakan salah
satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha. Namun, jika disalahgunakan posisi dominan
dapat menyebabkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Praktik
monopoli dapat terjadi dikarenakan tidak adanya pesaing sehingga konsumen atau pelaku
usaha dengan skala yang lebih kecil ketika ingin membeli barang/jasa, hanya dapat membeli
melalui pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut.
-4-

Persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi dikarenakan posisi dominan seorang pelaku usaha
yang memiliki barang/jasa tertentu sehingga si pelaku usaha dapat melakukan penetapan
harga, diskriminasi harga, perjanjian dengan persyaratan, pembagian wilayah dan sebagainya
yang termasuk ke dalam kegiatan yang dilarang.

5. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pelaku usaha memiliki posisi dominan
sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila :
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh
lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka cara untuk membuktikan salah satu pelaku usaha
memiliki poisi dominan adalah dengan mencari tahu kekuasaan para pelaku usaha terhadap
pangsa pasar. Jika satu pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, maka dapat
dikatakan bahwa dia berada pada posisi dominan. Selain itu, jika dua atau tiga, atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar atau lebih, maka dapat dikatakan bahwa mereka
berada pada posisi dominan.
Dan bagaimana kita dapat menetapkan posisi dominan para pelaku usaha seperti yang
dimaksudkan di atas adalah dengan metode pembatasan pasar: Di dalam UU No. 5 Tahun
1999 metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan dalam Pasal 1 No. 10 yang
berbunyi: "Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat disimpulkan pembatasan pasar yang bersangkutan
(relevant market) untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan :
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market): apakah dalam
satu jenis produk satu pelaku usaha menguasai pangsa pasar 50%, atau kelompok pelaku
usaha menguasai 75 %. Jika demikian ia terbukti mempunyai posisi dominan terhadap
produksi dan pemasaran produk tersebut.
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan wilayah atau geografis (geographich market)
yang digunakan: apakah dalam satu wilayah tertentu salah satu pelaku usaha menguasai
50%, atau kelompok usaha menguasai 75% pangsa pasar. Jika demikian, ia terbukti
mempunyai posisi dominan di wilayah pasar tersebut.
-5-

6. Untuk menjawab persoalan di atas, contoh kasus di bawah ini dapat menjadi rujukan :
Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003 Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan oleh
PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor
di Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310. PT. JICT telah
melakukan kegiatan yang dapat menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat penegasan yang
ditandatangani oleh PT. JICT kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001,
yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat
petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat
ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT.
Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam
authorization agreement tersebut untuk meminta klarifikasi dan memprotes kebijakan
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro
Fajar Satryo, untuk menggunakan Dermaga 300 yang kemudian melayani jasa bongkar muat
petikemas. Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan
pelabuhan umum sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991,
telah memberikan konsesi pengelolaan terminal petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan
bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal
Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal Petikemas III sebelum tercapainya
throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari kapasitas rancang bangunnya sebesar
3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul
32.4 di dalam authorization agreement tersebut merupakan bentuk hambatan strategis yang
nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan memasuki pasar bersangkutan pelayanan
bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok. Putusan Majelis Komisi KPPU
menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1)
huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.
Dalam cantoh kasus di atas, PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (PT.
JICT), sebagai terlapor telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat yakni menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
-6-

Berkaitan dengan pertanyaan kalau pelapor tidak mempunyai posisi dominan, maka pelapor
adalah pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan atau strategi yang diterapkan oleh pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur
persaingan usaha yang sehat dan menjamin keberadaan dan hak pelaku usaha lain atau
pesaing potensial, sehingga pelapor dapat menggunakan mekanisme hukum yang ada melalui
KPPU. Sedangkan berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terlapor dapat melakukan
persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan? Hal ini berkaitan dengan status terlapor
yang mempunyai posisi dominan. Dalam hal ini, para pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan dianggap “berpotensi” melakukan persaingan usaha tidak sehat. Untuk
mempertahankan eksistensinya, para pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan memiliki
kecenderungan untuk membuat regulasi, atau perjanjian yang memperkuat posisinya, yang
secar langsung maupun tidak langsung menghambat pelaku usaha lainnya. PT. JICT yang
menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement adalah bukti bahwa terlapor
yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan persaingan usaha yang tidak sehat.

7. Usaha yang sehat akan menimbulkan akibat yang positif bagi para pelaku usaha, sebab dapat
menimbulkan efisiensi, produkivitas dan produk yang dihasilkannya, selain menguntungkan
bagi para pelaku usaha tentu saja konsumen memperoleh manfaat dari persaingan usaha
yang sehat itu, yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan dan peningkatan kualitas
produk, sebaliknya apabila terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha
tentu berakibat negatif tidak saja bagi pelaku usaha dan konsumen, tetapi juga memberikan
pengaruh negatif bagi Perekonomian Nasional. Persaingan dalam dunia usaha antara pelaku
usaha akan mendorong pelaku usaha untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau
kegiatan penciptaan produk atau jasa terkait dengan kompetensi usahanya. Dengan adanya
konsentrasi pada pelaku usaha sebagai produsen akan dapat menghasilkan sejumlah produk
dan jasa yang memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran dalam negeri maupun
internasional.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adapun tujuan dari pengaturannya
adalah agar tercapai keadilan dan efisiensi di pasar dengan jalan menghilangkan distorsi
pasar dengan cara mencegah penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau
segelintir pelaku usaha dan mencegah timbulnya hambatan terhadap terhadap entri dari
pelaku pasar pendatang baru serta menghambat atau mencegah perkembangan pelaku pasar
yang merupakan pesaingnya.
-7-

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Penyalahgunaan Posisi Dominan dapat
menyebabkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha menjadi tidak adil terutama terhadap
pihak yang kondisi ekonomi dan sosialnya lebih lemah. Penyalahgunaan posisi dominan akan
berdampak pada penguasaan pasar oleh satu seorang pelaku atau segelintir pelaku usaha,
hal ini menyebabkan tidak adanya persaingan. Ketiadaan persaingan dapat menyebabkan
melemahnya efisiensi dan produktifitas dari para pelaku usaha. Selain itu juga berdampak
pada menurunnya kualitas produk yang dihasilkan. Sedangkan dari sisi konsumen,
dampaknya adalah minimnya pilihan produk yang lebih variatif, dan kemungkinan akan
mahalnya barang produksi karena hanya dikendalikan oleh satu atau segelintir pelaku usaha.
Semuanya ini dapat menyebabkan distorsi pasar, yang mana pasar yang identik dengan
persaingan usaha kini menjadi tidak terlihat dan pincang. Pengaruh lebih luas adalah tidak
adanya geliat perekonomian di masyarakat yang menyebabkan mandeknya pertumbuhan
ekonomi.

8. Pada Pasal 25 Ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dijelaskan tentang bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan para pelaku usaha. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas; atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.

9. Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata “penyalahgunaan” adalah
suatu proses, cara, perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan penyelewengan
(penyimpangan atau pengkhianatan), sedangkan arti kata “posisi” adalah kedudukan (orang
atau barang) sementara arti kata “dominan” adalah bersifat sangat menentukan karena
kekuasaan, pengaruh, tampak menonjol. Oleh karena itu, penyalahgunaan posisi dominan
berarti proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan
karena memiliki kekuasaan atau pengaruh.
-8-

Posisi dominan menurut Pasal 1 angka 4 UU No.5 tahun 1999, adalah Keadaan di mana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan
akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Sedangkan penyalahgunaan posisi dominan dalam tidak diatur atau disebutkan secara tersirat
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun dari rangkaian arti di atas dan berbagai
ketentuan teknis dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
dengan penyalahgunaan posisi dominan adalah ketika dampak dari perilaku pelaku usaha
dominan berpengaruh negatif terhadap proses persaingan (competitive process). Karena itu,
perilaku pelaku usaha dominan tidak dapat dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan jika
perilaku tersebut terkait dengan peningkatan efisiensi, seperti inovasi, skala ekonomi dan
cakupan ekonomi. Karena itu, untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
penyalahgunaan posisi dominan, tidak dapat dipisahkan dari perilaku macam mana yang
dilakukan para pelaku usaha dominan dan apa dampaknya terhadap persaingan pasar. Jika
berdampak negative, maka perilaku atau tindakan tersebut masuk dalam penyalahgunaan
posisi dominan.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai