PERSAINGAN USAHA
DISUSUN OLEH :
MAGISTER AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI YAI
JAKARTA
2016
Pembahasan :
A. Persaingan Usaha
Saat ini dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, banyak terjadi persaingan usaha. Persaingan
usaha yang kita ketahui ada dua macam, yaitu : persaingan sempurna dan persaingan usaha
tidak sehat. Persaingan sempurna adalah struktur pasar atau industri dimana terdapat
banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual ataupun pembeli tidak dapat
mempengaruhi keadaan di pasar. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Dalam persaingan usaha terdapat para pelaku persaingan usaha tersebut yang dapat
dikatakan sebagai subjek dan objek dalam persaingan usaha. Yang dikatakan subjek dalam
persaingan adalah para penjual atau para produsen yangd alah hal ini memproduksi atau
mengedarkan suatu barang. Sedangkan yang dimaksud objek dalam persaingan usaha
adalah konsumen dalam hal ni orang menggunakan atau membeli suatu barang. Persaingan
usaha akan tercipta apabila terdapat penjual dan pembeli yang jumlahnya hampir
berimbang.
Persaingan usaha memiliki ciri-ciri tersendiri, tentu saja berbeda antara persaingan
sempurna dengan persaingan tidak sehat. Ciri persaingan sempurna antara lain, jumlah
pembeli banyak, jumlah penjual banyak, barang yang diperjualbelikan homogeny dalam
anggapan konsumen, ada kebebasan untuk mendirikan dan membubarkan perusahaan,
sumber produksi bebas bergerak kemanapun, pembeli dan penjual mengetahui satu sama
lain dan mengetahui barang-barang yang diperjual belikan . sedangkan persaingan tidak
sehat memiliki cirri antara lain, jumlah pembeli sedikit, jumlah penjual sedikit, barang yang
diperjualbelikan heterogen dalam anggapan konsumen, tidak ada kebebasan untuk
mendirikan dan membubarkan perusahaan, sumber produksi tidak bebas bergerak
kemanapun, pembeli dan penjual tidak mengetahui satu sama lin dan tidak mengetahui
barang-barang yang diperjual belikan.
Terdapat macam-macam persaingan usaha, yaitu persaingn usaha sempurna dan persaingn
usaha tidak sehat. Persaingan usaha sempurna ini merupakan struktur pasar atau industri
dimana terdapat banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual atau pun pembeli tidak
dapat mempengaruhi keadaan di pasar, sedangkan persaingan usaha seperti ini banyak
sekali terjadi di Indonesia pada masa sekarang, sedangkan persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
1. Monopoli
Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/ atau pemasaran barang atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum.
2. Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan yang terjadi di suatu pasar dimana hanya ada satu pembeli
(yang memiliki posisi dominan) bagi suatu produk tertentu. Dengan posisi dominan yang
dimiliki pembeli ini dapat memaksa para penjual untuk menyetujui harga dan persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh pembeli tunggall tersebut.
3. Penguasaan Pasar
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baiksendiri-sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan, dan melakukan praktik diskrimnasi terhadap pelaku usaha tertentu. Ukuran
penguasaan pasar tidak harus 100%, penguasaan 50% atau 75% saja sudah tidak dapat
dikatakan mempunyai market power.
4. Persekongkolan
persekongkolan atau conspiracy dapat dilakukan oleh sesama pihak intern suatu
perusahaan, atau dapat puladilakukan oleh suatu perusahaan dengan pihak perusahaan
lainnya. persekongkolan terbagi menajdi dua macam, yaitu: persekongkolan intra
perusahaan dan persekongkolan pararel yang disengaja. Persekongkolan intra perusahaan
adalah bila dua atau lebih pihak dari suatu perusaan yang sama mengadakan persetujuan
untuk melakukan tindakan yang dapat menghambat persaingan persekongkolan pararel yang
disengaja dapat terjadi bila beberapa perusahaan mengikuti tindakan dilakukan oleh
perusahaan besar yang sebenarnya bagi mereka merupakan pesaing.
5. Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-
sama lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan taua pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-
sama melakukan penguasaan produksi dan atau jasa, pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jenis tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
3. Perbedaan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan atau jasa yang sama. Larangan membuat perjanjian untuk tidak menjual/
memasok kembali dengan harga yang lebih rendah dari yang diperjanjikan (pasal 8 UU arti
Monopoli)
7. pembagian pasar
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjain dengan pelaku usaha persaingan yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
8. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha persaingannya, yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha persaingannya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku
usaha lain sehingga pembuatan tersebut:
3. Karter
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perssaingaan, yaang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelau usaha lain untuk melakukan kerja
sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar , dengan
tetap menjaga dan mempertahankan keangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi daan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya prakter monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
10. Oligopsoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bertujuan untuk
secara bersama-sama menguasai pemebeliaan atau penerimaan pemasokan agar dapat
mengendalikan harga atau barang dan atau jasa dalam pasar berdangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan ussaha tidak sehat. Pelaku
usaha patut disuga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pemebeliaan atau
penerimaan pasokan. Pelaku usahaa atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 %
(Tujuh puluh lima persen) penguasaan pasar suatu jenis barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan
tau jada tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidka langsung, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau mmerugikan masyarakat.
Pelaku usaha dilarang membuata perjanjian dengan pelaku lain yang membuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan jasa hanya akan memasok atau tidak memosok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tepat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang membuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barag atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan
atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atau barabg dan atau jasa, yang membuat
persyaratan bahwa peelaku udaha yang menerima persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang atau jasa dari pelaku usaha pemasok harus bersedia membeli barang atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok, atau tidak akan membeli barang atau jasa yang dama
atau sejenis dari pelaku lain yang menjadi persaingan dari pelaku usaha pemasok.
Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum
persaingan usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan
oleh pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar UU Antimonopoli. Kedua
pendekatan in pertama kali tercantum dalam beberapa suplemen terhadap Sherman Act
1980, yang merupakan UU Antimonopoli AS, dan pertama kali diimplementasikan oleh
Demikian halnya dengan Indonesia, dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pendekatan rule of reason dapat
diidentifikasikan melalui penggunaan redaksi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut
diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah
suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat
persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam
pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat
mengakibatkan…”. Berdasarkan hal-hal tersebut maka KPPU juga menerapkan kedua
pendekatan ini dalam pengambilan keputusan atas perkara-perkara persaingan usaha.
1. Rule of reason
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas
persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan.
2. Per se illegal
Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai
ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi
penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan
kembali. Jenis Perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku-perilaku
dalam dunia usaha yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak
pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses
administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan
untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama
dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan.
KPPU adalah lembaga public, penegak dan pengawas pelaksanaan undang-undang No. 5
tahun 1999, serta wasit independen dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu ditekankan
bahwa melalui wewenang pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapata menjaga
dan mendorong agar sistem ekonomi pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi dan alokasi,
sehingga pada akhrnya meningkatatkan kesejahteraan rakyat.
Terkait dengan itu, maka tugas dan wewenang dari KPPU sebagaimana ditentukan dengan
jelas dan tegas baik dalam undang-undang No. 5 tahun 1999 maupun dalam keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun 1999 adalah instrument hukum yang mempunyai
peranan penting dalam rangka mewujudkan sistem ekonomi pasar yang mendorong efisiensi
produksi, konsumsi dan alokasi.
Selengkapnya mengenai tugas KPPU yang diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No.5 Tahun
1999, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Tidak jauh berbeda dan berdasarkan tugas KPPU sebagaiaman yang ditentukan oleh psal 35
diatas, maka tugas KPPU yang ditentukan dalam pasal 4 Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 75 tahun 1999 adalah sebagai berikut ini:
7. memberikan laporan berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden da dewan
perwakilan rakyat
1. Meneri laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2. Melakukan peneltian tentang adanya kegiatan usaha dan tau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadainya praktik monopoli dan atau persaingan tidak
sehat.
4. Menyimpulkan dari hasil penelitian dan atau pemeriksaan tentang da atau tidaknya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undnag-undang ini
7. Memninta bantuan peyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau
setiap orang ssebagaimana simaksud huruf e dan f yang tidak bersedia memenuhi
panggilan komisi.
9. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai usaha, dokumen atau bukti lain guna
penyelidika dan atau pemeriksaan.
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugaan di pihak pelaku usaha
atau masyarakat
11. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang di duga melakukan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Selain tugas dan wewenang yang telah diuraikan di atas, KPPU juga mempunyai fungsi
sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 Keputusan Presiden Indonesia No.75 tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Ketentuan pasal 5 Keputusan Presiden itu
selengkapnya masyarakat
3. Pelaksanaan administratif.
Tugas
6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha
lain atau masyarakat;
11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli,
predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian
dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekadar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain
mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang
lazim ditemui pada pasar monopoli
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
Tinggal menghitung hari, kita akan memasuki era pasar bebas tingkat Asia (Asian Free Trade
Market) atau dalam istilah lain disebut MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) yang akan dimulai
pada bulan Desember tahun 2015, sehingga dalam rangka memasuki AFTA, setiap pelaku
bisnis harus mengerti tentang seluk beluk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Di negara lain keberadaan Undang-Undang Anti Monopoli sebenarnya sudah sangat tua. Di
Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut sudah berumur lebih dari 100 tahun
yang dikenal dengan nama Shermant Act. Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang
semacam itu sudah dikenal, di Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar
60 tahun dan terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Dan di Eropa
sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk menyelesaikan perkara-
perkara atau kasus-kasus monopoli yang terjadi yang dilakukan secara cross border atau
dilakukan secara lintas batas di berbagai negara Eropa.
Berbeda dengan Indonesia nanti setelah dilanda berbagai krisis, mulai dari krisis keuangan,
ekonomi kemudian krisis multi-dimensi barulah pada tahun 1999, tepatnya bulan Maret
Undang-Undang tentang monopoli diterbitkan, padahal diskusi-diskusi tentang pentingnya
Undang-Undang Anti Monopoli sudah lama dibicarakan, hal ini sudah menunjukkan begitu
Ditinjau lebih lanjut sebenarnya terjadinya suatu peningkatan konsentrasi dalam suatu
struktur pasar dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya
monopolistik di antaranya adalah pembangunan industri besar dengan teknologi produksi
massal (mass production) sehingga dengan mudah dapat membentuk struktur pasar yang
monopolistik dan oligopolistik, kemudian faktor yang lain adalah pada umumnya industri
atau usaha yang besar memperoleh proteksi efektif yang tinggi, bahkan melebihi rata-rata
industri yang ada kemudian faktor yang lain adalah industri tersebut memperoleh
kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang lebih baik, dan dengan adanya berbagai usaha yang menghambat usaha baru.
Sebagai akibatnya pelaku usaha yang memiliki industri tersebut membentuk kelompok dan
dengan mudah memasuki pasar baru serta pada tahap selanjutnya akan melakukan
diversifikasi usaha dengan mengambil keuntungan dari kelebihan sumber daya manusia dan
alam serta keuangan yang berhasil dikumpulkan dari pasar yang ada.
Sehingga, pada tahap selanjutnya struktur pasar oligopolistik dan monopolistik tidak dapat
dihindarkan, akan tetapi bukan pula bahwa lahirnya direncanakan. Oleh sebab itu pada
negara-negara berkembang dan beberapa negara yang sedang berkembang struktur pasar
yang demikian perlu ditata atau diatur dengan baik, yang pada dasarnya akan
mengembalikan struktur pasar menjadi pasar yang lebih kompetitif. Salah satu cara dengan
menciptakan Undang-Undang Anti Monopoli sebagaimana dalam Undang-Undang Anti
Monopoli yang saat ini berlaku di Indonesaia, yang dimaksudkan untuk membubarkan grup
pelaku usaha yang telah menjadi oligopoli atau trust akan tetapi hanya ditekankan untuk
menjadi salah satu alat hukum untuk mengendalikan perilaku grup pelaku usaha yang
marugikan masyarakat konsumen.
Secara garis besar jenis persaingan usaha yang tidak sehat yang terdapat dalam suatu
perekonomian pada dasarnya adalah : (1) Kartel (hambatan horizontal), (2) Perjanjian
tertutup (hambatan vertikal), (3) Merger, dan (4) Monopoli.
Jenis persaingan usaha yang ketiga adalah merger. Secara umum merger dapat didefinisikan
sebagai penggabungan dua atau lebih pelaku usaha menjadi satu pelaku usaha. Suatu
kegiatan merger dapat menjadi suatu pengambilalihan (acquisition) apabila penggabungan
tersebut tidak diinginkan oleh pelaku usaha yang digabung. Dua atau beberapa pelaku usaha
sejenis yang bergabung akan menciptakan integrasi horizontal sedangkan apabila dua pelaku
usaha yang menjadi pemasok pelaku usaha lain maka akan membentuk integrasi vertikal.
Meskipun merger atau pengambilalihan dapat meningkatkan produktivitas pelaku usaha
baru, namun suatu merger atau pengambilalihan perlu mendapat pengawasan dan
pengendalian, karena pengambilalihan dan merger dapat menciptakan konsentrasi kekuatan
yang dapat mempengaruhi struktur pasar sehingga dapat mengarah ke pasar monopolistik.
Persaingan usaha yang tidak sehat akan melahirkan monopoli. Bagi para ekonom defenisi
monopoli adalah suatu struktur pasar dimana hanya terdapat satu produsen atau penjual.
Sedangkan pengertian monopoli bagi masyarakat adalah adanya satu produsen atau penjual
yang mempunyai kekuatan monopoli apabila produsen atau penjual tersebut mempunyai
kemampuan untuk menguasai pasar bagi barang atau jasa yang diperdagangkannya, jadi
pada dasarnya yang dimaksud dengan monopoli adalah suatu keadaan yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) hanya ada satu produsen atau penjual, (2) tidak ada produsen lain
menghasilkan produk yang dapat mengganti secara baik produk yang dihasilkan pelaku
usaha monopoli, (3) adanya suatu hambatan baik secara alamiah, teknis atau hukum.
Kalau kita melihat hal tersebut di atas maka ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat di antaranya adalah (1) kebijaksanaan perdagangan, (2)
pemberian hak monopoli oleh pemerintah, (3) kebijaksanaan investasi, (4) kebijaksanaan
pajak, (5) dan pengaturan harga oleh pemerintah.
Rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik bisnisnya pelaku usaha (baik
dalam melakukan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan) tidak secara otomatis dilarang.
Akan tetapi pelanggaran terhadap pasal yang mengandung aturan rule of reason masih
membutuhkan suatu pembuktian, dan pembuktian ini harus dilakukan oleh suatu majelis
yang menangani kasus ini yang dibentuk oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) ,
kelompok pasal ini dapat dengan mudah dilihat dari teks pasalnya yang dalam kalimatnya
selalu dikatakan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan yang dimaksud dengan perse illegal (atau violation atau offense) adalah suatu
praktik bisnis pelaku usaha yang secara tegas dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia
ruang untuk melakukan pembenaran atas praktik bisnis tersebut.
Demikian tulisan singkat ini yang sedikit membahas mengenai persaingan usaha tidak sehat
dan praktek monopoli yang terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, semoga menjadi pencerahan bagi kita
dalam menjalankan usaha dan dalam rangka menyambut dan menghadapi era pasar bebas
kawasan Asia yang tinggal menghitung hari.
Kerja sama ini menyangkut pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
serta pencegahan dan penanganan perkara dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, kerja sama ini penting bagi KPPU mengingat
wewenangnya terbatas dalam menangani perkara.
"Bagi KPPU penting, kenapa karena UU Persaingan Usaha di sana-sini terlalu banyak
kelemahannya. Khususnya dalam konteks penanganan perkara," kata dia di Kantor Pusat
BPK, Jakarta.
Dalam kerja sama ini sendiri mengatur beberapa hal. Di antaranya, pertukaran informasi,
tenaga ahli, pendidikan dan pelatihan, dan pengembangan informasi.
Dalam implementasi, Syarkawi mengatakan pernah menggunakan data BPK sebagai acuan
untuk mengungkap persaingan usaha tidak sehat.
"Misal di Kalimantan Selatan kita sudah menangani pembangunan gedung atas hasil audit
Syarkawi mengatakan, BPK berperan dalam membantu kinerja KPPU karena melengkapi alat
bukti yakni berupa hasil audit BPK.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, kesepakatan inti meningkatkan sinergi ke dua belah
pihak untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya masing-masing secara efektif.
"Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan sinergi dan keterpaduan antara BPK dan KPPU
agar dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya masing-masing secara efektif," ujar
Harry.
"Minol (minuman beralkohol) mudaratnya besar, tapi juga berguna untuk mengembangkan
ekonomi," kata Anggota Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah, Rabu 18 Mei 2016.
Politisi PKB yang akrab disapa Erma ini berharap, rancangan undang-undang itu nantinya
akan bisa memaksimalkan peran alkohol dalam menunjang perekonomian masyarakat."Itu
tidak bisa diabaikan karena itu untuk kemaslahatan masyarakat," ucapnya. Ke depan, kata
Erma, pemerintah berusaha membuat pengayaan minuman keras menjadi produk ekspor
tapi tidak untuk dikonsumsi masyarakat. Cara mencegah agar tidak dikonsumsi masyarakat,
adalah dengan memperkuat Undang-Undang Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Di rancangan undang-undang itu nantinya juga harus memuat pasal yang mengatur siapa
saja yang boleh mengkonsumsi minuman beralkohol. Peraturan ini diperlukan karena
memunculkan efek jera saja tak cukup untuk memberantas penyalahgunaan alkohol.
Apalagi, kata Erma, Indonesia tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sehingga
keseimbangan antara ekonomi dan sosial harus dimunculkan. "Ketika bebas, harus ada
aturannya." Erma mengatakan pembahasan RUU ini akan dilaksanakan pada tahun ini.
"Mudah-mudahan tidak mundur," ujarnya.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai perjuangan untuk menghadirkan iklim
persaingan usaha yang kondusif di Tanah Air masih harus menempuh perjuangan yang cukup
panjang. “Ini disebabkan belum diketahui secara luas Undang-Undang nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat baik di kalangan
pemerintah maupun masyarakat,” kata Komisioner KPPU Bidang Hubungan Antar Lembaga
KPPU, Kamser Lumbanradja di Padang.
Ia menyampaikan hal itu usai tampil sebagai pembicara pada diskusi tentang penilaian
kebijakan persaingan usaha diikuti pemangku kepentingan dari kabupaten dan kota di
Undang-undang ini harus direvisi agar semakin sempurna dan saat ini tinggal menunggu
persetujuan legislatif. Inti dari UU nomor 5 tahun 1999 adalah persaingan usaha yang sehat
bukan persaingan bebas. Kamser melihat salah satu persoalan yang mengemuka terkait
persaingan usaha adalah adanya pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan sehingga
mendapatkan kemudahan yang berlebihan.
Oleh sebab itu dalam UU tersebut diatur agar tercipta kesempatan berusaha yang sama bagi
semua pelaku usaha, mencegah praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Ia
menyebutkan dengan adanya revisi Undang-Undang tersebut akan ada perbaikan pada
sejumlah usaha seperti industri komunikasi khususnya operator telepon seluler.
Sementara salah seorang peserta diskusi, Edi mengatakan pengawasan persaingan usaha
dan penegakan hukum tidak bisa diserahkan pada KPPU tetapi juga harus melibatkan
pemerintah. “Saya harap KPPU tetap menjalankan fungsi memberikan rekomendasi
mengenai kebijakan untuk mengembangkan usaha tanpa harus takut dengan penegakan
hukum,” kata dia.
Anggota DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, optimis UU ini menjadi jalan terang bagi pelaku
UMKM yang sebelumnya banyak terkendala dengan peraturan-peraturan dan pembiayaan.
“Sebagai tim panitia yang sempat membahas undang-undang ini, mudah-mudahkan UMKM
bisa segera mendapat akses dalam pembiayaannya. Selama ini banyak sekali bentuk usaha
yang sudah layak, namun belum layak secara perbankan (bankable),” katanya, saat ditemui
MVoice, di sela-sela Sosialisasi UU No 1 Tahun 2016 di Hotel Harris, beberapa menit lalu.
Ia juga mengatakan, saat kehadirannya di acara Pameran ICCC Kota Malang beberapa
minggu lalu, ia melihat potensi UMKM yang cukup besar. Sangat sayang bila UMKM itu tidak
mendapat akses pembiayaan, padahal mereka berpotensi mewujudkan kemandirian
Ekonomi.
Ditanya soal UU turunan dari UU no 1 Tahun 2016, Andreas mengatakan, hal itu masih perlu
menunggu peraturan pelaksanaan dari OJK. “Kalau ada, ya harus tunggu peraturan
pelaksanaan dari OJK, seperti apa,” tandasnya.
Sadono sulirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005,
halaman. 231-232.
http:/Indonesia.go.id/produkhukum/uu.no.5tahun1999.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-
dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha. Dunggah pada tanggal 23 Mei 2012 jam 14.22
KASUS 1
Bagi ekonom, suatu perusahaan dikatakan berpangsa pasar dominan dan secara
yuridis terlarang bila memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen. Rasionalisasi di balik
larangan itu karena perusahaan dengan pangsa pasar lebih dari 50 persen memiliki market
power mendikte pasar dan cenderung mempraktikkan perilaku bisnis yang antikompetisi
dan persaingan usaha tidak sehat. Kecenderungan ini lazim dipraktikkan di negara-negara
Dalam kasus ini, KPPU telah mengeluarkan keputusannya di tahun 2007 melalui
putusan perkara bernomer 07/KPPU-L/2007 yang mengharuskan Temasek melepaskan
sahamnya di Telkomsel atau Indosat. Keputusan ini merupakan keputusan yang paling
rasional dan acceptable baik secara ekonomi dan yuridis.
Keputusan itu merupakan wujud nyata sanksi administrasi KPPU atas Temasek untuk
menghentikan posisi dominannya (Pasal 25 UU No. 5/1999) yang tidak hanya dapat
menciptakan persaingan usaha sehat, tetapi juga berpotensi mendorong terjadinya
Keputusan itu tidak hanya berdampak menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
persaingan usaha yang sehat antaroperator. Tetapi juga memicu penurunan tarif dan
peningkatan kualitas layanan dalam bertelekomunikasi
Dalam menganalisa kasus yang telah diputuskan oleh KPPU ini, kami memakai
pendekatan Joskow melalui Transaction Cost Economy. Kenapa pendekatan joskow yang
dipakai untuk menganalisa kasus ini? Sebagaimana kita ketahui, kasus Temasek ini terbilang
berjalan sampai cukup lama, karena adanya tuntutan atau lebih tepatnya ancaman dari
Temasek untuk melakukan gugatan balik kepada KPPU dan memperkarakan. Ini semakin
menguatkan hipotesa Joskow bahwa sebuah kebijakan anti trust tidak ditujukan untuk
“memperbaiki” ketidaksempurnaan dalam pasar2. Sebagai deterrence system, kebijakan
antitrust perlu disosialisasikan dengan baik, sehingga pasar dapat membuat batasan perilaku
dan struktur pasar yang legal dan illegal. Menurut Joskow kemampuan pengadilan untuk
mengevaluasi analisa ekonomi yang kompleks sangat terbatas. Dalam kasus temasek ini
memang sangat kompleks permasalahan yang dihadapi. Maka diperlukan tidak hanya
pendekatan hukum semata tapi juga harus mencakup analisa ekonomi industry secara lebih
akurat.
Jangan sampai kebijakan yang telah dikeluarkan KPPU kontra produktif terhadap
pasar dan konsumen seluler di Indonesia. Karena seperti kita ketahui telkomsel dan Indosat
adalah dua pemimpin pasar seluler di negeri ini, yang setiap keputusan akan berdampak
pada proses bisnis di dalam internal mereka.
sebuah kasus anti trust. Ada beberapa tahapan yang dipakai Joskow dalam pendekatannya :
3. Jika kondisi poin 1 (satu) dan 2(dua) terjadi maka disimpulkan ada market
power atau monopoly power.
4. Kemudian dilakukan test apakah ada perilaku eksklusif (exclusionary behavior)
yang membatasi persaingan.
5. Jika perilaku eksklusif adalah predatory pricing maka kemudian diuji apakah
perusahaan dominan tersebut dapat mengambil keuntungan di masa depan
dari menaikan harga saat kompetisi tereduksi (recoupment test).
Analisa tahap pertama ini tidak selesai cukup sampai disitu, karena asumsi
penggabungkan pangsa pasar ini harus berdasar pada dugaan awal bahwa kepemilkan
keduanya adalah pada pihak yang sama. Maka ditelusurilah dari data-data kepemilikan
didapatkan kenyataan bahwa PT Indosat sahamnya dikuasai oleh STT Telemedia melalui
ICL dan IC sejumlah 38% dan 0,9%. Sedangkan Telkomsel sahamnya sebanyak 35%
dikuasai oleh SingTel. Kedua perusahaan tersebut STT Telemedai dan SingTel sahamnya
dikuasai 100% oleh Temasek Holding Inc. Dalam konteks analisa tahap pertama maka
terbukti bahwa kedua operator tersebut menguasai pasar secara dominan. Temasek
Holdings Pte. Ltd (selanjutnya disebut Temasek) memiliki saham mayoritas pada dua
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar
bersangkutan yang sama, sehingga melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999. 3
Maka struktur pasar mayoritas dikuasai dua kelompok yang notabene sahamnya
dipegang oleh satu pihak dalam hal ini pihak yang diduga melakukan monopoli, Temasek.
Dengan pangsa pasar sebesar itu, dapat dipastikan Temasek memiliki market power dan
market dominance untuk mengendalikan pasar. Hasil studi Bank Dunia (InfoDev, 2000)
menyimpulkan operator dengan karakteristik seperti itu berkemampuan mengendalikan
pasar (para operator), khususnya dalam penentuan tarif secara eksesif.
Tahap kedua analisa adalah menguji apakah terjadi barriers entry dalam industry
seluler di Indonesia. Dugaan awal adalah PT. Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut
Telkomsel) mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal 17
ayat(1) UU No 5 Tahun 1999. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya untuk
membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1)
huruf b UU No 5 Tahun 1999. Analisa dilakukan dengan menggunakan model-model grafis
pasar oligopoly dengan penerapan teori cournot dll.
Untuk menggambarkan kasus ini kita akan menggunakan salah satu model ekonomi
dalam teori oligopoly. Model Oligopoli Stackelberg menggambarkan perilaku pelaku
usaha menentukan nilai output yang diproduksi tidak dalam waktu yang bersamaan
namun berurutan. Dengan model ini, dapat digambarkan bahwa terdapat leader dan
terdapat follower; Pada model Cournot, perusahaan bereaksi secara pesimis atas
perubahan output pesaingnya. Dengan kata lain, ketika pesaing menurunkan output,
perusahaan akan menaikkan outputnya, namun lebih kecil dibandingkan penurunan
output pesaingnya. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, akan tercipta Cournot
Gambar.1
Dari data yang ada didapti kenyataan bahwa Telkomsel selalu unggul dalam
penguasaan investasi BTS. Inilah factor yang bisa diduga sebagai perilaku barriers entry
dalam pasar seluler Indonesia.
Perlunya investasi yang cukup besar serta waktu yang lama untuk dapat menyaingi
first mover, menjadi entry barier yang cukup signifikan dalam industri seluler. Strategi
pemerintah untuk menciptakan persaingan dengan meminimalisir entry barier dengan
memberikan kemudahan izin bagi new entrant tidak akan terlalu berarti. Karena new
entrant tidak dapat mengejar first mover dalam waktu terlalu lama. Banyaknya kompetitor
dalam industri tersebut justru tidak dapat diartikan adanya kompetisi. Karena faktor waktu
menjadi sangat krusial. Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan
membuat first mover memiliki posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan
untuk mengakumulasi monopolis profit.
Sehingga dari langkah 1(satu) dan 2 (dua) diatas bisa diambil kesimpulan sebagai langkah
ketiga yaitu telah terjadi monopoly power dalam pasar seluler di Indonesia. Namun
pertanyaan selanjutnya adalah apakah terjadi perilaku eksklusif dan kecenderungan
merugikan konsumen.
Langkah keempat dalam metodologi Joskow membuktikan bahwa dalam kasus ini
Telkomsel berusaha mempertahankan tarif seluler yang tinggi teruatama dalam biaya
interkoneksi dan sms. Sehingga dengan penguasaan jaringan dan pangsa pasar yang
dimilikinya mereka bisa semaunya mengatur tarif seluler di Indonesia yang membuat para
followers mau tidak mau berusaha mengikuti tarif tersebut. Hasil akhir adalah kesejahteraan
konsumen yang dirugikan.
Tarif yang masih tinggi ini jika kita merujuk pada data besaran tarif seluler dalam
kurun waktu lima tahun terakhir, tidak banyak penurunan yang dinikmati oleh konsumen
telekomunikasi. Kisaran tarif biaya sambungan antaroperator seluler masih berada di Rp
1.400-1.600 per menitnya. Hal ini sungguh sulit untuk dapat diterima akal sehat. Seharusnya,
dengan ketatnya persaingan usaha, para operator seluler dapat menurunkan biaya tarif
Ditambah lagi, dengan adanya kondisi permintaan pasar yang tidak elastis atas
layanan telekomunikasi. Mau tidak mau, konsumen akan selalu membayar biaya yang
dibebankan operator, tidak ada sarana telekomunikasi (modern) alternatif yang secara
ekonomis dapat dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat secara meluas di Indonesia pada
saat ini.
Bukan tidak mungkin kartel tarif yang diatur oleh jaringan pemegang saham Indosat
dan Telkomsel ini akan membentuk suatu jenis monopoli baru. Sebuah monopoli yang
bersumber bukan dari penguasaan pasar oleh satu pelaku usaha, namun dari penguasaan
saham pada para pelaku usaha dominan dalam satu industri.
D. Recoupment Test
Dalam uji ini terlihat bahwa tingkat pengembalian modal atau return on equity (ROE)
Telkomsel yang 35 persen sahamnya dimiliki Singtel mencapai 55 persen. Ini membuat
operator seluler dengan jaringan terluas di Indonesia ini meraup laba bersih Rp 11,182
triliun.
Selain itu, kalkulasi KPPU atas kerugian yang diderita konsumen akibat penerapan
tarif mahal oleh Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo selama periode 2003-2007 mencapai
Rp 14,7 triliun hingga Rp 30,8 triliun. Keputusan KPPU yang turut menghukum Singapore
Technologies Telemedia (STT), STT Communications, AMH Company, Indonesia
Communication, Singapore Telecommunication, dan Singapore Telecom Mobile dengan
alasan perusahaan-perusahaan itu berstruktur kepemilikan silang juga tampaknya cukup
beralasan.
Memang jika merujuk pendapat Prof.Hikmahanto Juwana, sebagai saksi ahli yang
diahdirkan dalam kasus ini menyatakan bahwa asal 27 huruf adari UU Anti Monopoli harus
dibaca berdasarkan Rule of ReasonPasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan
Bagian Posisi Dominan dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU AntiMonopoli tersebut
harus dibaca secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan
yang dilarang oleh Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari Pasal27
huruf a dari UU Anti Monopoli, bahwa keberadaan suatu posisi dominan semata-mata
adalah melawan hukum akan membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU Anti Monopoli
karena Pasal 25dari UU Anti Monopoli hanya diterapkan jika Posisi Dominan disalahgunakan.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan secara tidak
langsung Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat selaku pelaku usaha dalam bidang
telekomunikasi di Indonesia mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan
Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang
dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi
berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar undang-undang’.
Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah
penetapan pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain itu,
pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana tambahan
sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana denda minimal Rp. 25
milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6
bulan dan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi
direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan
atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas
saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar UU No.
5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. UU
No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari pelaku ekonomi yang
memiliki posisi yang dominan karena mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk
berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu
maksud dari diadakannya privatisasi adalah untuk mendorong persaingan yang sehat
bukannya untuk memonopoli usaha dibidang telekomunikasi di Indonesia.
“Temasek Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu
persen saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel” Berdasarkan
data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik
kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan
telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah
perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama
dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip
pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham.
Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan
minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya
barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar.
Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual
interdepedence) antar pelaku usaha[1]. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah
bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence.
Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-
perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal
di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process)
sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek
oligopoli menjadi tidak ada[2]. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan
kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel.
Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi
persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian
atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi
Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas
jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek
oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka
harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan
akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian
eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang
menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan
beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku
usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka
telibat dalam KOLUSI.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan
di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT
Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan
tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya
memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat,
Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka
menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini
dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk.,
dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal
di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa
yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan
usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan
sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang
tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya
praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas
adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme
Gaya Baru. Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas
adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah
MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL
SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita
tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT
Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat
(baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa
batas waktu..
1. Pendahuluan
Pergulatan untuk mempertahankan posisi dominan di pasar, sampai pada kondisi
tertentu seringkali membutuhkan tidak hanya keunggulan teknologi, kehandalan jajaran
manajemen, namun juga kepiawaian merancang dan melaksanakan strategi bisnis serta
kemahiran dalam berperkara di pengadilan. Suasana seperti ini tergambar dalam
persaingan antara Advanced Micro Devices (AMD) dan Intel, keduanya merupakan
produsen chip microprocessor, suatu perangkat utama dalam komputer. Bagi Intel yang
lebih dahulu eksis dan menguasai hampir 60% pangsa pasar, persaingan dengan AMD
merupakan upaya agar selalu waspada bahwa ada “orang lain” yang dapat
menggerogoti kue bisnisnya. Sementara itu, bagi AMD, pertarungannya dengan Intel
merupakan pertaruhan untuk merebut kehormatan dan kelangsungan hidup.
Akhir 60-an hingga awal 70-an merupakan kurun waktu yang menandai diawalinya
produk Teknologi Informasi, beberapa di antaranya adalah mini-computer, modulator-
demodulator (Modem), integrated circuits (IC), hingga teknologi yang memungkinkan
pesawat ruang angkasa Apollo mendarat di Bulan. Semua inovasi dan karya besar ini
dimungkinkan setelah ditemukannya bahan Silicon yang selanjutnya digunakan sebagai
komponen utama bahan semi penghantar listrik (semiconductor).
Awal 80-an ditandai dengan mulai menanjaknya penggunaan PC, tidak saja di kantor
namun juga mulai dipakai di rumah, dan mengubah tata cara berkomunikasi, bekerja,
dan pemrosesan informasi. Tahun 1986 terjadi penurunan tajam permintaan terhadap
PC yang berdampak pada pengurangan permintaan terhadap chip microprocessor. Intel
dan AMD di satu sisi dan dan pelanggan mereka, yang notabene adalah perusahaan –
perusahaan produsen PC berjuang untuk menemukan keunggulan kompetitif baru
terutama didorong oleh makin sulitnya lingkungan bisnis. Pada pertengahan hingga
akhir dekade 80-an, dengan microprocessor i386 dan i486 Intel berhasil mendominasi
pasar microprocessor untuk PC, sehingga produsen PC hanya memiliki satu sumber.
Di pihak lain, awal 90-an komunikasi selular mulai tumbuh, demikian pula Internet
mulai memasuki tahap komersial setelah beberapa tahun sebelumnya dilepas oleh
Pemerintah Amerika Serikat dari penggunaan khusus untuk militer agar dapat
digunakan oleh masyarakat awam. Komunikasi data dan mobile computing mulai
merebak, integrasi antara telekomunikasi dan teknologi informasi tidak terelakkan.
Pertengahan hingga akhir dekade 90-an produsen dan masyarakat pengguna PC mulai
menikmati buah kompetisi baru di industri microprocessor. Di sisi lain, fenomena ini
menunjukkan bahwa sementara kemajuan teknologi bergerak sangat cepat, menjadi
jelas bahwa perusahaan penghasil teknologi perlu bekerja sama untuk memberikan
teknologi yang dibutuhkan pelanggan, dari pada melakukan inovasi hanya untuk
memenuhi kepentingannya sendiri.
Memasuki abad milenium yang ditandai dengan hiruk pikuk produk teknologi
Meski dihadapkan pada tuntutan untuk membangun perusahaan agar lebih ramping,
namun pada awal 2001 permintaan terhadap TI, khususnya kompuer yang Internet-
ready masih tetap kuat. Namun demikian peristiwa penghancuran gedung World Trade
Center di New York pada tanggal 11 September 2001 mengubah segalanya. Kinerja
industri semikonduktor mengalami penurunan paling tajam dalam sejarah, sementara
perusahaan dituntut untuk selalu kompetitif. Awal tahun 2002 menunjukkan gejala
Intel muncul di masa komputer digital baru diperkenalkan. Pembuat IC terbesar pada
masa itu adalah Fairchild yang mengoperasikan pabrik di banyak negara termasuk
Indonesia. Pendiri Intel – Bob Noyce dan Gordon Moore – meninggalkan Fairchild
setelah keduanya melihat peluang yang sangat besar apabila mereka membangun bisnis
sendiri. Intel semula menekuni bisnis pembuatan chip IC yang digunakan sebagai
Tidak lama setelah Intel berdiri, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1969 Jerry Sander –
mantan pegawai Fairchild – mendirikan Adanced Micro Devices (AMD) yang produknya
sebagian besar sama dengan yang dibuat oleh Intel. Berdirinya AMD menambah
pemasok IC dan tentu saja mengubah situasi industri IC yang semula dikuasai oleh
Fairchild, Motorola, Texas Instrument, Zilog, dan Intel. Dalam perjalanan waktu Fairchild
perlahan – lahan mengurangi perhatian pada produksi IC, sementara Motorola mulai
fokus pada perangkat telekomunikasi, sehingga praktis pada industri microprocessor
pemain utamanya tinggal Intel dan AMD.
Persaingan Intel versus AMD diawali pada tahun 1975 ketika Intel memberi lisensi
kepada AMD untuk membangun microprocessor-nya sendiri menggunakan rancangan
microprocessor 8080A karya Intel. Berangkat dari lisensi Intel inilah, AMD membangun
kompetensi barunya di industri microprocessor. Perjalanan waktu membuktikan,
pertarungan dua perusahaan ini dalam memengaruhi standar komputer, agar produsen
komputer menggunakan processor hasil produksinya, tidak saja merupakan pergulatan
membangun teknologi baru, tetapi juga melibatkan kegiatan mata – mata (industrial
spionage), perjuangan di pengadilan, serta melibatkan politisi dan pejabat pemerintah
di berbagai negara di mana kedua perusahaan ini eksis.
Bisnis ritel atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting
dalam kegiatan bisnis di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun
produsen. Dari sudut produsen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung tombak
perusahaan yang akan sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan.
Melalui pengecer pula para produsen memperoleh informasi berharga tentang
komentar konsumen terhadap barangnya seperti bentuk, rasa, daya tahan, harga dan
segala sesuatu mengenai produknya. Sementara jika dipandang dari sudut
konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting karena
bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan pihak konsumen.
III. Pembahasan
Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan
kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau
take over . pengertian acquisition atau take over adalah pengambilalihan suatu
kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over
sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over
(akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara
membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi
akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas
sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan
dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari
RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan
lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat
rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan
kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan
tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Kesimpulan
Pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar
internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecenderungan makin
banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian
etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi
juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak
memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Saran
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
antara lain:
4. Pelaku bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang,
tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang
5. Pelaku bisnis harus konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah
disepakati bersama