Anda di halaman 1dari 6

NAMA : SRI SULTAN TYAS LANI

NIM : 041335208

Di era pandemi covid-19 saat ini masyarakat mulai beralih kepada transaksi jual beli secara online.
Sehingga terjadi peningkatan transaksi melalui e-commerce. Sejumlah layanan e-commerce menerapkan
promo-promo yang mampu menarik pihak konsumen. Pemberian diskon besar-besaran hingga promo
gratis ongkos kirim dengan minimal pembelian Rp. 0 menjadi daya tarik yang mampu mengalihkan
perhatian pihak konsumen untuk bertransaksi pada e-commerce yang memberlakukan promo tersebut.

Pertanyaan:

1. Berdasarkan artikel diatas, silakan saudara telaah dari sudut pandang persaingan usaha, apakah
terjadi dugaan praktik monopoli atau tidak. Jelaskan disertai dasar hukum!
2. Berikan pendapat saudara, Bagaimana iklim persaingan usaha dalam konteks hukum ekonomi di
masa pandemi covid-19?
3. Jika terjadi dugaan praktik monopoli pada kasus di atas, lalu pendekatan apa yang dapat
digunakan untuk membuktikannya. Analisislah oleh saudara dengan disertai dasar hukum yang
berlaku.

Jawaban :

1. Menurut pendapat saya dari contoh kasus diatas merupakan praktik monopoli karena Pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa apabila: 2. 1. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Monopolisasi adalah upaya perusahaan atau kelompok perusahaan yang relatif besar dan
memiliki posisi dominan untuk mengatur atau meningkatkan kontrol terhadap pasar dengan cara
berbagai praktik anti kompetitif seperti penetapan harga yang mematikan (predatory pricing), Pre-
emptive of facilities, dan persaingan yang tertutup.
Jika merujuk pada undang-undang, pengertian monopoli adalah suatu penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha. Dengan demikian, jenis pasar yang bersifat monopoli ini hanya terdapat
satu penjual, sehingga penjual tersebut bisa menentukan sendiri berapa jumlah barang atau jasa
yang akan dijual, atau berapa jumlah barang yang akan dijual tergantung kepada keuntungan yang
ingin diraih sehingga penjual akan menerapkan harga yang akan memberikan keuntungan
tertinggi.
Sementara itu praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum.
Pasal 17 UU No 5 Tahun 1999:

1) “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat"
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
a) Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan/atau jasa yang sama; atau
c) Suatu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengasai lebih dari 50%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu."

Untuk melihat kegiatan monopoli maka perlu melihat unsur-unsur yang terdapat dalam monopoli,
yaitu:
1) Perusahaan melakukan penguasaan atas produksi suatu produk; dan/atau melakukan
penguasaan atas pemasaran suatu produk
2) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
3) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat

Berdasarkan unsur di atas, jelas bahwa monopoli dianalisis berdasarkan pendekatan Rule of
Reason. Adapun penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran yang dapat mengakibatkan
monopoli dan persaingan tidak sehat tersebut dapat terjadi antara lain dengan cara "presumsi
monopoli".² Yang dimaksud dengan presumsi monopoli adalah hukum dianggap telah terjadi
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, dalam hal
terpenuhinya salah satu dari kriteria berikut:
1) Produk yang bersangkutan belum ada substitusinya (penggantinya)
2) Pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha dalam produk yang
sama, padahal pelaku usaha tersebut mempunyai kemampuan bersaing baik secara modal
maupun manajerial dalam pasar yang bersangkutan. (Hal ini lihat memori penjelasan atas
Pasal 17 ayat (2)
3) Satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
dalam satu jenis produk tertentu³

Faktanya, dalam pasar monopoli terjadinya perusahaan tidak memiliki pesaing karena
kemampuannya yang tidak mampu disaingi oleh perusahaan

Perlu diketahui bahwa cara Preasumsi Monopoli bukanlah satu-satunya cara yang digunakan
dalam monopoli. Dan berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
Pasal 4 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3
(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pasal 5 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu
perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali
barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

2. Menurut pendapat saya Indonesia merupakan salah satu negara yang dihantam keras oleh
terjangan Covid-19. Hampir seluruh sektor kehidupan nyaris tumbang termasuk sektor ekonomi.
Apalagi sejak diterapkanannya kebijakan pemerintah, PSBB yang mematikan sendi-sendi
ekonomi kelas menengah kebawah. Ya, UMKM yang semula dapat bertahan di tengah krisis
moneter 1998 maupun krisis 2008, mulai goyah dengan adanya Covid-19. Hidup terasa susah,
mati pun tak akan. Mencoba tetap bertahan dan berpendar walau badai menghadang. Begitulah
perasaan para Pengusaha UMKM saat ini.

Indeks Persaingan Usaha pada tahun 2021 mengalami peningkatan dibanding tahun 2020 lalu.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Tim Peneliti dari CEDS-Universitas Padjadjaran Maman
Setiawan dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) nilai indeks persaingan usaha tahun 2021 di Indonesia meningkat dari 4,65 menjadi 4,81
dari skala maksimal 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan usaha di Indonesia
membaik, meskipun di tengah masa pandemi Covid-19. Indeks persaingan usaha merupakan
suatu indikator tingkat persaingan usaha di perekonomian dan telah masuk dalam RPJMN Tahun
2020-2024 dimana target Nasional Indeks Persepsi Persaingan Usaha adalah 5. Indeks yang
dikembangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan CEDS-Universitas Padjadjaran
setiap tahun sejak tahun 2018 ini merupakan survei persepsi kepada pemerintah, pelaku bisnis,
dan publik yang dilakukan di 34 (tiga puluh empat) provinsi.

Sampel di masing-masing provinsi terdiri dari dinas perindustrian dan perdagangan, Bank
Indonesia, Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan akademisi. Kuesioner dibuat sebagai dasar
untuk melakukan in-depth interview terhadap responden. Responden akan memberikan nilai 1-7
menggunakan skala semantik. Kemudian responden diberikan panduan pengisian agar memiliki
persepsi yang sama terkait penilaian persaingan di seluruh provinsi.

“Survei ini ditujukan untuk memperhatikan persepsi publik atas tingkat persaingan usaha dan
menentukan berbagai hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan KPPU dalam
menyikapi persoalan persaingan usaha di masa mendatang

3. menurut pedapat saya pendekatan untuk membuktikanya Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang


Nomor 5 tahun 1999 KPPU menggunakan pendekatan rule of reason dalam menyelesaikan
sengketa kartel yang mensyaratkan adanya pembuktian telah terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat, Kelebihan melakukan pendekatanRules of reason adalah
menggunakananalisis ekonomi utk mencapaiefisisensi guna mengetahui dgn pastiapakah suatu
tindakan pelaku usahamemiliki implikasi kpd persaingan. Sehingga dgn akurat menetapkansuatu
tindakan pelaku usaha efisienatau tidak, Ketentuan rule of reason dalam UU 5/1999 biasanya
ditandai dengan adanya klausula “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga” dalam
bunyi pasal tersebut. Misalnya Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999 menyebutkan klausula pelaku
usaha patut diduga atau dianggap, sehingga termasuk ketentuan rule of reason.

Meskipun perusahaan terbukti memiliki posisi monopoli, perusahaan tersebut belum dapat


dipersalahkan telah melakukan pelanggaran Pasal 17. Tahapan yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
Pendefinisian pasar bersangkutan;

1) Pembuktian adanya posisi monopoli di pasar bersangkutan;


2) Identifikasi praktik monopoli yang dilakukan pelaku usaha yang memiliki posisi
monopoli; dan
3) Identifikasi dan pembuktian dampak negatif dan pihak yang terdampak dari
praktik monopoli tersebut.

Bentuk Bukti Tidak Langsung

Bukti tidak langsung biasanya digunakan dalam pembuktian praktik kartel walaupun sangat mungkin
juga digunakan dalam pembuktian praktik monopoli. Organisation for Economic Cooperation dan
Development (OECD) dalam Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement menyatakan
selain bukti langsung, pembuktian kartel dapat menggunakan bukti tidak langsung. Terdapat 2 bentuk
bukti tidak langsung, yaitu bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

Bukti komunikasi antara lain terdiri dari rekaman pembicaraan telepon (namun tidak menggambarkan isi
pembicaraan) antar pelaku usaha pesaing, catatan perjalanan ke tempat tujuan yang sama, keikutsertaan
dalam pertemuan tertentu seperti konferensi dagang, berita acara atau catatan pertemuan yang
menunjukkan pembahasan tentang harga, permintaan, atau penggunaan kapasitas, dokumen internal
perusahaan yang menunjukan pengetahuan atau pemahaman tentang strategi penetapan harga oleh pelaku
usaha pesaing seperti pengetahuan tentang peningkatan harga oleh pelaku usaha pesaing di kemudian
hari.

Bukti ekonomi terdiri dari 2 bentuk, yaitu structural evidence (bukti struktural) dan conduct


evidence (bukti perilaku). Bukti structural adalah seperti konsentrasi pasar yang tinggi, rendahnya
konsentrasi pasar sebaliknya, tingginya hambatan masuk pasar, homogenitas produk menunjukan apakah
struktur pasar memungkinkan untuk pembentukan suatu kartel. Sementara bukti perilaku adalah seperti
peningkatan harga yang paralel, dan pola penawaran yang mencurigakan yang menunjukan apakah
pesaing di pasar berperilaku tidak bersaing.[8]

Adapun Pasal 42 UU 5/1999 mengatur tentang alat bukti, yaitu:

1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat dan/atau dokumen;
4. petunjuk; dan
5. keterangan pelaku usaha.

Namun karena kartel biasanya dibentuk dan dilakukan secara rahasia, pembuktiannya menimbulkan
permasalahan karena sulit untuk menemukan adanya perjanjian tertulis maupun dokumen lain yang
secara eksplisit berisi kesepakatan mengenai harga, wilayah pemasaran, maupun produksi atas barang
dan/atau jasa di antara pelaku usaha.

Oleh karena itu, dalam praktiknya KPPU untuk membuktikan terjadinya kartel menggunakan bukti tidak
langsung (indirect evidence). Syarat penggunaan indirect evidence adalah terdapat kesesuaian
antara bukti-bukti yang disebut sehingga kesesuaian antara bukti-bukti tersebut membentuk hanya satu
alat bukti yaitu menjadi bukti petunjuk.[9]

Sebagai contoh, dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2014 Tahun


2014, KPPU menggunakan bukti ekonomi yaitu menggunakan metode deteksi kartel
Harrington yang merupakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari
hasil estimasi data panel untuk mendeteksi kartel.[10] 

Putusan KPPU yang menggunakan indirect evidence ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung
ketika banding dan kasisi di peradilan umum berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 221
K/PDT.SUS-KPPU/2016, dengan pertimbangan dalam praktik di dunia bisnis kesepakatan mengenai
harga, produksi, wilayah (kartel) maupun kesepakatan anti persaingan sehat lainnya sering
dilakukan secara tidak terang (tacit) sehingga dalam hukum persaingan usaha bukti-bukti yang bersifat
tidak langsung (indirect/circumstantial evidence), diterima sebagai bukti yang sah sepanjang
bukti itu cukup dan logis, serta tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti
yang bersifat tidak langsung tersebut.

Sumber :
- BMP HKUM4307/3SKS/MODUL 1-9, DAN https://umsida.ac.id/pandemi-memunculkan-
persaingan-usaha/

Anda mungkin juga menyukai