Anda di halaman 1dari 4

Tugas.

Butir Soal

1.

Krisno bersahabat dengan Diding. Krisno merupakan pengusaha meubel di daerah Bandung,
namun Diding adalah seorang bandar narkoba. Pada suatu hari, Diding memberikan uang hasil
bisnis narkoba kepada Krisno sebesar Rp.100.000.000,- sebagai tambahan modal usaha meuble.
Krisno mengetahui bahwa uang tersebut merupakan hasil dari bisnis narkoba Diding. Dari uang
tersebut, Krisno menjadikannya modal usaha dan memberikan keuntungannya kepada Diding.

Soal:

Pada kasus tersebut apakah Krisno telah melakukan tindak pidana? Berikan penjelasan Saudara!

2. Hukum acara pidana yang digunakan dalam perkara pelanggaran HAM yang berat adalah
ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Namun, jika membaca UU Pengadilan HAM,
terdapat pengecualian dari ketentuan Hukum Acara Pidana yang kita pahami dalam tindak
pidana umum. Setelah membaca UU Pengadilan HAM, klasifikasikanlah pengecualian seperti
apa UU Pengadilan HAM terhadap KUHAP! (minimal 7 klasifikasi)

3. 

CONTOH KASUS

Bu Lela memiliki anak berusia 20 tahun yang bernama Ujang Codet. Mereka tinggal satu rumah.
Ujang Codet merupakan pecandu narkotika. Setiap harinya ia pasti menggunakan narkotika jenis
shabu-shabu. Bu Lela mengetahui hal tersebut, namun ia enggan melaporkannya kepada pihak
berwajib.

Melihat contoh kasus di atas, apakah Bu Lela dapat dipidana? Berikan analisis kasus tersebut
disertai dasar hukumnya!

Melihat contoh kasus di atas, apakah Bu Lela dapat dipidana? Berikan analisis kasus tersebut
disertai dasar hukumnya!

JAWABAN:

1. Krisno telah melakukan tindak pidana Pencucian uang

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundering merupakan kegiatan pengolahan


uang yang terorganisir dimana uang hasil kejahatan atau bisnis yang illegal ditempatkan ke
dalam sistem keuangan penyedia jasa dan kemudian melapisi uang tersebut dengan beberapa
transaksi, seperti melakukan investasi pada bisnis legal untuk menutupi atau mengaburkan asal
usul uang yang didapatkan. 

Tindak pidana pencucian uang telah diatur dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang perubahan atas undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kegiatan money laundering dilakukan untuk menutupi, menyembunyikan, dan menghilangkan


jejak proses penghasilan uang melalui kasus illegal (pencurian, perampokan, memproduksi dan
menjual narkoba, menipu, hingga melakukan tindak pidana korupsi). Kasus pencucian uang yang
berasal dari transaksi perdagangan narkotika turut diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 101 ayat (3) dan pasal 136. Dimana pada pasa tersebut
dijelaskan bahwa seluruh hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika akan dirampas
untuk negara dan digunakan untuk kepentingan;
1. Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
2. Upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Dalam penelitian milik Pardede (2019) yang berjudul “Pembuktian Tindak Pidana Pencucian
Uang yang Berasal dari Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan No. 154/Pid. Sus/2018/Pn.
Bdg)” menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana narkotika, yaitu tindak pidana narkotika yang bersifat economic gain (keuntungan
ekonomi) yang hasilnya sangat menjanjikan dan menguntungkan bagi orang-orang yang
memperdagangkannya. Dari hasil yang menguntungkan ini tidak langsung digunakan untuk
bertransaksi secara langsung, melainkan pelaku memiliki ketakutan akan terindikasi kasus
pencucian uang. Pada akhirnya pelaku malakukan upaya-upaya menyembunyikan asal-usul
hartanya dengan berbagai cara untuk menghindari terlacak oleh aparat penegak hukum sebagai
tindakan pencucian uang.
Kemudian terdapat ketentuan pidana bagi para pelaku pidana transaksi narkotika sesuai dengan
kasus atau golongannya akan dikenai jeratan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pasal
111 – pasal 148. 

2. Salah satu masalah yang paling jelas terlihat dalam penerapan UU Pengadilan HAM ialah
minimnya political will dari Pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
secara yudisial. Hal ini terlihat dari keengganan Jaksa Agung dalam memulai proses penyidikan
terhadap 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, serta gencarnya
upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial seperti wacana
pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) di tahun 2017 dan Deklarasi Damai Talangsari
di tahun 2019.

Selain itu, kami juga menemukan adanya ruang intervensi politik dalam proses penegakan
hukum terhadap pelanggaran HAM berat. Berdasarkan hukum acara yang diatur dalam UU
Pengadilan HAM, proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Hal ini
menyebabkan proses penyidikan dan penuntutan tersebut bergantung pada kebijakan politik
negara terkait pelanggaran HAM berat. Meskipun secara teoritis Jaksa Agung merupakan
penegak hukum yang tidak seharusnya dapat diintervensi oleh kepentingan politik, namun pada
praktiknya arah kebijakan Kejaksaan turut dipengaruhi oleh kebijakan politik negara, misalnya
saat Presiden RI menggalakan narasi perang terhadap narkotika, Jaksa Agung langsung
menyambut hal tersebut dengan melakukan eksekusi kepada para terpidana mati narkotika. Hal
ini kemudian diperparah dengan ditempatkannya beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM
berat pada posisi-posisi strategis negara yang baik secara langsung maupun tidak langsung
memiliki akses untuk turut menentukan kebijakan politik negara, termasuk soal penyelesaian
pelanggaran HAM berat.

dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM ad hoc.

Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu
pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini
dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana  (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945

1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

2. sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review  Abilio Osario Soares


terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No.
065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.
3. Ketentuan ini tertera dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2009. Bahkan, seseorang yang
dengan sengaja tak melaporkan keluarganya yang dicurigai mengkonsumsi narkoba dapat
dikenai pidana

Dalam Pasal 54 jo Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU nomor 35 tahun 2009. Dalam pasal 54 disebutkan
bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 55 disebutkan bahwa:

(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh
keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 128 ayat 1 jo 134 ayat 2 UU Narkotika disebutkan hukuman yang dapat diterima
orang tua jika anaknya positif mengkonsumsi narkoba. Dalam Pasal 128 ayat 1 disebutkan
bahwa orangtua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat 1 yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai