BAB I
Pendahuluan
Persaingan usaha sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas dari setiap pelaku usaha,
karena dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan semakin meningkatkan kualitas
usahanya supaya tidak kalah saing dengan pelaku usaha lainnya. Sebuah persaingan
membutuhkan adanya aturan main, karena terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat
bekerja dengan baik. Dalam pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk
menghindari atau menghilangkan terjadinya persaingan di antara para pelaku usaha.
Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk
menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian
hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umum serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar
1945.
Posisi dominan adalah suatu keadaan dimana dalam suatu pasar terdapat pelaku usaha yang
memiliki presentase pasar yang kuat dalam pangsa pasar tertentu. Penyalahgunaan posisi
dominan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan dimana pelaku usaha tersebut menyalahgunakan dengan melakukan perilaku-perilaku
yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Posisi dominan tidaklah dilarang namun perilaku posisi dominan dapat menjadi awal terjadi
perilaku yang dilarang oleh undang-undang, mengingat akibat yang diakibatkan dari
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menjadi awal perilaku lain cukup luas akibatnya,
karena tidak hanya konsumen namun juga pelaku usaha lainnya yang dirugikan. Tindakan ini
2
dilakukan oleh korporasi, oleh karena itu perbuatan penyalahgunaan posisi dominan dapat
dikualifikasikan sebagai kejahatan korporasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Pangsa pasar adalah
salah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi
dominan atau tidak. Di dalam hukum persaingan usaha Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga
dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku usaha
mempunyai pangsa pasar lebih dari 33,3%; dan untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha
diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, apabila menguasai
pangsa pasar lebih dari 66,6%. Menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan
Spanyol diduga memilik posisi dominan jika menguasai pangsa pasar 40%.
ketentuan Pasal, 4, Pasal 13, Pasal 17, dan Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar.
Jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku
usaha (monopoli), tetapi dalam prakteknya dapat melakukan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar
suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa
pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai
pangsa pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku
usaha dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing 10%, yaitu pelaku usaha B menguasai
10%, C10%, D 10%, E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai 10%. Jadi, jika struktur pasar
yang demikian, maka Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40% dapat dikatakan
sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dibandingkan dengan penguasaan pangsa
pasar pesaingnya masing-masing menguasai 10%. Dengan demikian ketentuan penetapan
penguasaan pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan
penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak,
karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli dan dibawah 75% untuk
pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha
tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.
Hubungan terafiliasi ini diatur didalam Pasal 26 tentang jabatan rangkap dan Pasal 27
tentang kepemilikan saham silang UU No. 5/1999.
satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu; dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Contoh kasus yang paling tepat yang diputuskan oleh KPPU dalam kasus kepemilikan saham
silang adalah dalam Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2002 tentang Kasus Cineplex 21, di mana
induk perusahaan, yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya mempunyai hubungan terafiliasi dengan
anak perusahaannya, karena mempunyai saham lebih dari 50%, yaitu 98% di PT Intra Mandiri
dan 70% di PT Wedu Mitra.
Ketentuan Pasal 27 UU No. 5/1999 walaupun menurut ketentuan UU No. 5/1999 bersifat per se
illegal, maka sebaiknya dalam penerapannya digunakan pendekatan rule of reason. Hal ini untuk
memberikan konsistensi diantara ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18 dengan Pasal 25
dan Pasal 27 UU No. 5/1999.
2.3 Penyelesaian Kasus Penyelesaian Kasus Bioskop 21 Cineplex
Maraknya perfilman nasional agaknya tak berdampak pada peningkatan jumlah bioskop.
Ada dugaan, bisnis film layar lebar itu dimonopoli oleh perusahaan yang selama ini eksis
dibidang itu yakni, Group 21 Cineplex. Indikasi ini mulai terasa ketika makin banyak bioskop
selain 21 Cineplex tumbang, tak kuat menahan arus persaingan. Gara-gara dugaan itu, pengelola
21 Cineplex kembali dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelumnya,
pada 2002 lalu, PT Nusantara Sejahtera Raya selaku pemilik beberapa bioskop 21 Cineplex
pernah dihukum bersalah oleh KPPU.
Direktur Komunikasi KPPU, A. Junaidi menyatakan, untuk kasus kali ini, KPPU telah
memanggil salah satu terlapor perusahaan distributor film. Komisi meminta klarifikasi terkait
laporan dugaan monopoli atas distribusi film nasional. Terlapor, kata Junaidi, memiliki kekuatan
pasar yang kuat sehingga supply film tak bebas didistribusikan ke biskop lain. Masuk ke
satu network, kata Junaidi, Rabu (15/7) kemarin. Klarifikasi diperlukan untuk menilai laporan
apakah sudah lengkap dan jelas. Dalam tahap klarifikasi ini, baik terlapor maupun pelapor sama-
sama dipanggil untuk memberikan keterangan. Junaidi mengatakan pelapor sudah dipanggil
beberapa waktu lalu. KPPU mematok waktu klarifikasi hingga 31 Agustus mendatang. Jika lolos
klairifkasi, laporan akan masuk tahap pemberkasan.
Menurut Junaidi, pelapor menyasar satu perusahaan bioskop, empat distributor film dan
enam orang produsen film. Para terlapor diduga melakukan pelanggaran delapan pasal UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal yang
diduga dilanggar adalah Pasal 25, 19, 17, 18, 24, 15, 26 dan 27. Pasal 25, 26 dan 27 tentang
posisi dominan. Sedangkan Pasal 17, 18 dan 19 tentang monopoli, monopsoni dan penguasaan
pasar. Sementara Pasal 15 mengatur tentang perjanjian tertutup. Berdasarkan informasi yang
dihimpun, laporan dugaan kecurangan itu dilayangkan oleh PT Graha Layar Prima, pengelola
Blitzmegaplex ke KPPU pada 5 Juni 2009. Blitz sendiri sudah dipanggil KPPU untuk klarifikasi
pada 15 Juni 2009. Kuasa hukum Blitz sendiri telah memasukan bukti-bukti tambahan ke KPPU
untuk memperkuat laporannya.
8
Produsen film enggan menyalurkan filmnya ke Blitz lantaran takut tak bisa tayang di
bioskop lain. Padahal Blitz menawarkan tawaran menarik terkait pembagian keuntungan
pemutaran film. Yakni dengan bagi hasil 70 persen untuk produsen film, dan 30 persen film dari
hasil penjualan tiket. Selain itu, Blitz juga menawarkan pembelian copy film terlebih dahulu
namun tawaran ini tetap tak laku. Perbandingan jumlah produsen film dan bioskop yang tak
seimbang makin memicu dugaan kecurangan bisnis penayangan film. Saat ini diperkirakan
jumlah produsen film di Indonesia lebih dari seratus. Sementara, jumlah bioskop yang tersebar di
Indonesia terbatas. Ditambah lagi, 70 persen jumlah layar bioskop maupun bioskop dikuasai oleh
21 Cineplex.
Bagi produsen film yang memiliki kedekatan dengan 21 Cineplex, bisa mendapat
keistimewaan dengan mendapatkan pemutaran film saat kondisi ramai (peak season), seperti hari
libur sekolah, malam minggu dan libur hari kejepit. Sementara bioskop yang ‘main mata' dengan
Blitz, bisa-bisa filmnya tak diputar. Bisa pula diputar tapi hanya sebentar. Padahal penayangan
perdana (first run) akan menentukan laris tidaknya sebuah film. Tak semua produsen film takut
dengan ‘kekuatan' 21 Cineplex. Produsen yang memiliki posisi kuat di masyarakat tak larut
dalam aturan main 21 Cineplex, seperti Riri Riza, Nia Dinata dan Mira Lesmana. Posisi dominan
21 Cineplex bisa berakibat film alternatif (tidak mainstream) tak punya tempat. Padahal
masyarakat juga memerlukan film yang berkualitas tak sekedar menghibur dan sesuai selera
pasar.
Laporan Blitz ini juga dilakukan untuk mendorong Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata segera membuat aturan tentang distribusi film, sehingga bisnis permilman bisa lebih
berwarna dan lebih kompetitif. Distribusi film yang merata akan menguntungkan bagi produsen
film dan bioskop sendiri. Imbas lainnya, masyarakat bisa mendapatkan tiket bioskop murah.
Sejak Blitz muncul, 21 Cinpelex sendiri terhitung beberapa kali menurunkan harga tiket bioskop.
Dalam penanganan kasus grup Cineplex 21, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
sebagai pemutus perkara telah mengkategorikan pelanggaran ini sebagai pelanggaran rule of
reason, dimana suatu larangan baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan
suatu praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Menurut Pasal 25 ayat
2 UU No. 5/1999 menetapkan bahwa Satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan,
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa
pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu; dan Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila menguasai 75% atau lebih pangsa
pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah
posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Penguasaan posisi
dominan di dalam hukum persaingan usaha (HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha
tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul
(market leader) pada pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair.
Hubungan terafiliasi ini diatur didalam Pasal 26 tentang jabatan rangkap dan Pasal 27
tentang kepemilikan saham silang UU No. 5/1999. Jabatan Rangkap (Pasal 26) Seseorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila
perusahaan-perusahaan tersebut: