Anda di halaman 1dari 22

MONOPOLI

 Monopoli adalah keadaan suatu pasar dimana terdapat hanya satu pelaku usaha
yang melakukan penjualan suatu barang atau jasa tertentu.
 Pasal 1 angka 1: Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.
 Pasal 17 ayat 2 menguasai pangsa pasar lebih dari 50%
 Bentuk-bentuk monopoli:
 Monopoli alamiah (natural monopoly) - Monopoli ini muncul secara alami tanpa
ada rekayasa dan tidak ada fasilitas serta perlakuan istimewa dari penguasa
sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing dan menguasai pasar hingga
100%.
 Monopoli berdasarkan Undang-undang (monopoly by law) yang ditetapkan oleh
pemerintah. UU No. 5/1999 memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk
melakukan monopoli melalui UU (Pasal 51)
 Monopoli murni (pure monopoly) - suatu monopoli yang berada di tangan
produsen barang dan jasa dengan merek dagang terkenal, yang dilakukan melalui
cara-cara halal, fair serta mampu menentukan trend di pasar tertentu dan
produsen pesaing lainnya terpaksa mengikuti trend tersebut.



 MONOPSONI
 Pasal 18 ayat 2  menguasai pangsa pasar lebih dari 50%
 Pasal 18 ayat 1  Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.

OLIGOPOLI
 Oligopoli adalah keadaan pasar dimana terdapat dua atau tiga pelaku usaha
sebagai penjual yang mempunyai pangsa pasar yang seimbang.
 Pasal 4 ayat 2  diduga atau dianggap melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai pangasa pasar lebih dari 75%.
 Di dalam pasar oligopoli terjadi keterkaitan reaksi - conscious parallelism (lawyer);
oligopolistic interdependence (economist).
 Hal ini terjadi pada:
 Produk yang homogen tidak terjadi persaingan kualitas
 Kalau satu pelaku usaha (Market leader) menaikkan harga yang lain akan ikut
menaikkan harganya.
 Kalau satu pelaku usaha (market leader) menurunkan harga yang lain ikut
menurunkan harganya.
 Oligopsoni adalah keadaan pasar dimana terdapat dua atau tiga pelaku usaha
sebagai pembeli yang mempunyai pangsa pasar yang seimbang.
 Pasal 13 ayat 2 diduga atau dianggap melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai pangasa pasar lebih dari 75%.

POLI POLI
 Poli-poli adalah keadaan suatu pasar dimana terdapat banyak penjual dan banyak
pembelinya  pasar sempurna (Adam Smith)
 Persaingan adalah suatu tata cara koordinasi perusahaan dahulu yang mana
menjadi sinthesa yang optimal dengan tujuan menjamin kebebasan, kesamaan dan
kemakmuran.
 Pasar berjalan secara otomatis atau dengan sendirinya  invisible hand
 Akan tetapi pada waktu itu para ekonom klasik ini belum membuat pemikiran
syarat-syarat bagaimana persaingan dapat berfungsi, dimana ada hambatan-
hambatan persaingan dapat dihilangkan.

ANALISIS TERHADAP PASAR


 Di dalam melakukan penilaian atas kasus persaingan usaha, apakah pelaku usaha
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar
yang bersangkutan, hal pertama yang menjadi perhatian lembaga pengawas
persaingan usaha adalah bagaimana struktur pasar pada pasar yang bersangkutan,
yaitu apakah monopoli atau oligopoli.
 Untuk melihat apakah persaingan usaha terdistorsi atau tidak, maka perlu
dianalisis pengaruh struktur pasar terhadap perilaku perusahaan dalam pasar
tersebut dan kinerja yang dihasilkan oleh pasar.
 SCP berpendapat bahwa struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan
dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi.
 Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi akan mendorong untuk melakukan kolusi,
yang pada giliriannya akan menentukan kinerja yang dicapai.
 Struktur pasar sebagai pengaruh utama dari keberhasilan fungsi pasar.
 Kinerja= f (struktur, perilaku dan kondisi dasar)
 Sedangkan aliran Chicago School lebih menekankan pada pentingnya analisis
teoritis.
 Chicago School memilih model persaingan sempurna, karena dianggap memiliki
kekuatan penjelasan (explanatory power) yang lebih baik.
 Perbedaan aliran SCP dengan chicago school, SCP menekankan struktur pasar
sebagai pengaruh utama dalam kinerja pasar , sehingga pemilikan kekuatan pasar
yang tidak seimbang, yang berasal dari struktur pasar yang tidak seimbang pula
akan menyebabkan kinerja pasar yang buruk.
 Sedangkan aliran Chicago school berpendapat sebaliknya, bahwa sumber utama
munculnya kekuatan monopoli adalah campur tangan pemerintah di pasar.
 Pemerintah, dengan sengaja atau tidak, dapat mencegah beberapa perusahaan
untuk ikut berkompetisi, yang merupakan keuntungan bagi perusahaan yang lain.
 Posisi yang baik bagi pemerintah supaya pasar berfungsi dengan baik, mundur dan
berada di luar pasar, dan menyerahkan semuanya kepada kekuatan pasar.
 Menurut aliran Chicago, monopoli bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan,
karena bersifat temporal.
 Monopoli timbul karena proses produksi yang lebih efisien.
 Jika tidak ada perusahaan yang lebih efisien, maka perusahaan itu terus menjadi
perusahaan monopoli.
 Jadi aliran Chicago merupakan kebalikan dari aliran SCP.
 Struktur = f (kinerja, perilaku, kondisi pasar)
 Chicago school secara fundamental bersifat teoritis, dengan penekanan pada teori
ekonomi dasar tertentu, studi yang bersifat empirik sangat jarang dilakukan,
kalaupun dilakukan lebih bersifat kritikan terhadap penelitian yang dilakukan
menurut tradisi SCP.
 Dalam pasar monopoli, harga yang terbentuk lebih tinggi daripada biaya
marjinalnya sehingga dalam jangka panjang perusahaan yang tidak efisien tetap
bisa bertahan dalam pasar.
 Menurut pendekatan structure-conduct-performance, perilaku perusahaan dalam
pasar akan sangat dipengaruhi oleh struktur pasar dimana ia berada.
 Bila ia berada dalam struktur pasar monopoli maka perilaku-nya adalah selayaknya
seorang monopolis dimana ia merupakan pelaku produksi atau pemasaran satu-
satunya.
 Apabila perusahaan monopoli tersebut melakukan perbuatan yang menyebabkan
pesaingnya keluar dari pasar atau menghalangi entry perusahaan baru maka
perusahaan monopoli tersebut dinyatakan merusak pasar dan mengurangi
persaingan dalam pasar.
 Dalam pasar oligopoli, masing-masing pelaku pasar akan berusaha untuk dapat
memanfaatkan posisi dominannya.
 Akan tetapi bila tidak ada satu perusahaan yang memiliki posisi dominan maka ada
kemungkinan mereka melakukan kolusi untuk memaksimisasi keuntungan.
 Kolusi dilakukan untuk menghindari perang harga antar produsen, yaitu bila
mereka saling menurunkan harga demi mempertahankan share mereka dalam
pasar.
 Perang harga ini akan berujung pada kerugian karena apabila ada satu perusahaan
yang menurunkan harga maka perusahaan lain juga akan ikut menurunkan harga
dengan tujuan agar pangsa pasar perusahaan tidak turun atau hilang (Kinked
Demand Curve).
 Perusahaan yang berusaha dalam pasar yang berstruktur oligopoli akan berusaha
untuk mendapatkan keuntungan maksimum dengan berusaha sendiri atau dengan
berkolusi.
 Kolusi dapat dilakukan dengan menetapkan harga atau kesepakatan lain yang
sifatnya non harga seperti kesepakatan alokasi pasar.
 Dengan kolusi maka kinerja yang dihasilkan oleh pasar ini juga tidak efisien karena
kolusi menyebabkan pasar tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme penentuan
harga dan akhirnya konsumen harus membayar dengan tingkat harga yang lebih
tinggi daripada biaya untuk menghasilkannya karena alokasi sumber daya yang
tidak efisien.
 Biasanya semakin bertambahnya jumlah penjual persaingan akan semakin
meningkat, sehingga keuntungan akan menurun.
 Sementara itu derajat dari diferensiasi produk, pengetahuan penjual dan pembeli
mengenai produknya serta adanya hambatan untuk masuk pasar juga
mempengaruhi kekuatan penjual di pasar.
 Untuk mengukur derajat konsentrasi pasar, biasanya di dalam literatur sering
digunakan Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI).
 Biasanya nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai konsentrasi moderat,
sedangkan lebih dari 1800 adalah konsentrasi tinggi.
 Aspek hukum
 Dalam menganalisis dari aspek hukum digunakan pendekatan:
 Teori objek
 Teori sebab akibat
 Teori tujuan
 Teori objek  pendekatan berdasarkan fakta perjanjian yang dilakukan oleh para
pihak
 Teori sebab akibat  pendekatan terhadap akibat perjanjian yang dilakukan para
pihak terhadap pasar yang bersangkutan disebut juga effect doctrine.
 Teori tujuan  pendekatan berdasarkan tujuan dari perjanjian yang dibuat para
pihak dimana sejak semula para pihak tujuan perjanjian menguntungkan dan
sekaligus merugikan atau mendistorsi pasar.

PEMBAGIAN WILAYAH PEMASARAN


 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang atau jasa sehingga
mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
 Syarat larangan Pasal 9 para pelaku usaha bergerak dibidang usaha yang sama dan
melalui perjanjian tersebut persaingan diantara mereka menjadi tertutup.
 Akibatnya masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas wilayah pemasarannya.
 Konsumen tidak mempunyai alternatif untuk membeli produk yang lain.
 Akhirnya masing-masing pelaku usaha dapat menentukan sendiri jumlah produk,
kualitas dan harga yang harus dibayar oleh konsumen
 Pelaku usaha tidak berupaya lagi melakukan efisiensi, dan tidak mengupayakan
peningkatkan kualitas produk dan pelayanan yang baik bagi konsumen.
 Contoh kasus yang telah diputus KPPU sehubungan dengan penerapan Pasal 9
adalah dalam kasus Pembagian Wilayah DPP AKLI Pusat dalam Perkara No.
53/KPPU-L/2008.
 Terlapor I (Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia-DPP AKLI) melalui Terlapor II (Dewan Pengurus Daerah Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-DPD AKLI), Terlapor III (Dewan
Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-DPD AKLI,
Palopo), Terlapor IV (Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan
Mekanikal Indonesia-DPD AKLI, Luwu Utara), Terlapor V (Dewan Pengurus Cabang
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-DPD AKLI, Luwu Timur),
Terlapor VI (Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia-DPD AKLI, Tanah Toraja) dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi Selatan
membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT PLN di Sulawesi
Selatan.
 Akan tetapi khusus di wilayah PT PLN Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi
wilayah kerja PJT (Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah
berdasarkan tempat kedudukan DPC yaitu, Terlapor III, Terlapor IV, dan Terlapor
VI.
PEMBOIKOTAN
 Biasanya boikot dilakukan jika suatu pelaku usaha menghentikan memasok barang
atau jasa kepada pelaku usaha ketiga atas permintaan pelaku usaha yang lain.
 Dalam boikot terdapat tiga pihak, pihak yang memboikot/pemboikot, pihak yang
meminta supaya dilakukan boikot (party inducing boycott) dan pihak yang diboikot
(addressee)
 Ketiga pelaku usaha tersebut adalah masing-masing berdiri sendiri baik secara
hukum maupun kegiatan usahanya.
 Boikot dapat diterima (dilakukan) jika pihak yang diboikot kesiapannya untuk
diboikot sudah diberitahukan sebelumnya.
 Larangan terhadap boikot memerlukan syarat subyektif yaitu untuk merugikan
pihak yang diboikot.
 Boikot Ayat 1 Pasal 10 mensyaratkan perjanjian antara pelaku usaha yang
bergerak dibidang usaha
 Akibat perjanjian tersebut dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
 Tujuannya adalah untuk mencegah pelaku usaha baru masuk ke pasar yang
bersangkutan.
PEMBOIKOTAN PASAL 10

 Boikot Ayat 2 Pasal 10 adalah perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha
dengan pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku
usaha lain, akibatnya:
 Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau
 Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa
dari pasar yang bersangkutan.
 Jadi boikot dimaksudkan di dalam Ayat 2 tersebut adalah penjualan atau
pembelian barang atau jasa secara vertikal.
 Pelaku usaha yang saling bersaing menolak setiap barang atau jasa dari pelaku
usaha lain untuk menghambat persaingan pada pasar yang bersangkutan, yang
mengakibatkan pelaku usaha lain tersebut mengalami kerugian.
 Pelaku usaha yang saling bersaing menghambat pelaku usaha lain untuk
mendapatkan atau memasarkan barang atau jasa tertentu.
KARTEL PASAL 11
 Ketentuan Pasal 11 melarang penetapan jumlah produksi dan penetapan atau
pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat
 Unsur-unsur ketentuan Pasal 11 adalah adanya perjanjian diantara pelaku usaha
yang saling bersaing, mengatur jumlah produksi, mengatur pemasaran suatu
barang atau jasa, bermaksud untuk mempengaruhi harga dan dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
UNSUR2 YANG HARUS DIPENUHI
 perjanjian antara pelaku usaha dilarang yang saling bersaing harus ada, baik
berupa tertulis maupun lisan;
 yang bermakskud untuk mempengaruhi harga;
 dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa; dan
 yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
KARTEL
 Dalam kasus kartel garam di Sumatera Utara, KPPU dalam putusannya
menetapkan bahwa PT PT Garam, PT Budiono, PT Garindo secara sah dan
meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Karena G3 dalam memasok garam bahan baku ke Sumatera Utara bersepakat
untuk mengatur jumlah pasokan, untuk menyalurkan garam bahan baku sebagian
terbesar ke G4 dan menetapkan harga kepada G4.
 Memerlukan direct evidence dan indirect evidence
 Apakah hanya bukti tidak langsung dapat digunakan dalam penyelidikan kasus
kartel untuk menetapkan bahwa Terlapor dinyatakan melanggar UU No. 5/1999
atau tidak, tanpa adanya bukti langsung?


 INDIRECT EVIDENCE

 Menurut OECD Policy Brief:
 Circumstantial evidence is evidence that does not specifically describe the terms of
an agreement, or the parties to it. It includes evidence of communications among
suspected cartel operators and economic evidence concerning the market and the
conduct of those participating in it that suggest concerted action.
 Bukti tidak langsung adalah bukti bahwa suatu perjanjian tidak menjelaskan
secara khusus terminologi suatu perjanjian, atau para pihak yang terlibat untuk
perjanjian itu. Termasuk bukti komunikasi diantara pelaku kartel dan bukti
ekonomi mengenai pasar dan perilaku para pelaku usaha yang terlibat di dalamnya
yang mengusulkan tindakan bersama (terjemahan bebas dari penulis).
 Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence atau disebut juga indirect
evidence dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu
 communication evidence (bukti komunikasi),
 facilitating practices (quasi-communication evidence),
 and economic evidence.
BUKTI KOMUNIKASI
 Bukti komunikasi adalah meliputi bukti bahwa para pelaku usaha bertemu atau
bukti-bukti komunikasi yang lain, tapi tidak menjelaskan isi pembicaraannya,
misalnya percakapan via telepon antara peserta yang diduga melakukan kartel,
bukti perjalanan pelaku usaha kepada suatu tujuan yang sama, misalnya pada
pertemuan konferensi perdagangan.
 Bukti komunikasi yang lain adalah bahwa pelaku usaha mengkomunikasikan
tentang subjek, misalnya adanya notulen rapat mengenai harga, pembahasan
mengenai permintaan atau kapasitas, adanya dokumen internal tentang
pengetahuan atau pemahaman tentang strategi harga, seperti kesadaran untuk
menaikkan harga di masa depan.
 Facilitating practices (praktek-praktek kemudahan) adalah price announcement
(pengumuman harga), focal points, freight equalization systems, information
exchange, and most favored customer clauses.
 Sedangkan bukti ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu
structural evidence (bukti struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku).
BUKTI EKONOMI
 Bukti ekonomi struktural adalah seperti konsentrasi pasar yang tinggi dipasar yang
bersangkutan, rendahnya konsentrasi di pasar yang sebaliknya, tingginya
hambatan masuk pasar, homogenitas produk menunjukkan apakah struktur pasar
memungkinkan untuk pembentukan suatu kartel.
 Jadi, Structural economic evidence adalah konsentrasi pasar (concentration in the
market), konsentrasi pasar yang rendah di pasar yang lain (low concentration on
the opposite side of the market), tingginya hambatan untuk masuk (high entry
barriers), dan produknya homogen (homogeneous products).
 Variabel-variabel ekonomi tersebut menunjukkan apakah struktur pasar layak
untuk kartel atau tidak.
PENDEKATAN STRUKTURAL
 Pendekatan struktural pada dasarnya bergantung pada indikator ekonomi seperti
harga, analisis biaya, pemanfaatan kapasitas, jumlah perusahaan, konsentrasi dan
ukuran perusahaan, permintaan variabilitas, rasio biaya-penjualan dan lain-lain.
 Parameter untuk menguji keberlanjutan kartel dalam pasar tertentu antara lain
dengan melakukan analisa terhadap:
 Ukuran perusahaan
 Hambatan masuk pasar
 Tingkat konsentrasi pasar
 Produk homogen
 Pemanfaatan kapasitas
 Rasio biaya penjualan
 Harga inelastis.


 PENDEKATAN PRILAKU
 Sedangkan conduct evidence seperti “parallel price increases” dan “pola
penawaran yang mencurigakan (suspicious bidding patterns)” memperlihatkan
apakah para kompetitor saling bersaing atau tidak.
 Jadi, bukti perilaku adalah seperti peningkatan harga yang parallel, dan pola
penawaran yang mencurigakan menunjukkan apakah para pesaing di pasar
berperilaku tidak bersaing.
 Suatu pendekatan perilaku berfokus pada dampak pasar koordinasi tersebut,
kecurigaan mungkin berasal dari pola harga perusahaan atau kuantitas atau
beberapa aspek lain dari perilaku pasar.
 Bukti perilaku dapat dilihat dari harga jual yang terdapat dipasar yang
bersangkutan, yaitu harga jual yang sama oleh para pelaku usaha.
 Akan tetapi harga yang sama atau harga yang parallel (price parallelism) tidak
selalu menunjukkan bahwa para pelaku usaha telah melakukan kesepakatan
harga, bisa juga terjadi sebaliknya bahwa harga yang parallel justru karena
persaingan diantara para pelaku usaha tersebut.
PENERAPAN CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE
 Hampir semua Negara menerima bukti circumstantial evidence
 Tetapi agak sulit diinterpretasikan, khususnya bukti-bukti ekonomi dapat menjadi
ambigu apakah tindakannya secara bersama/disepakati atau secara bebas.
 Bukti ekonomi untuk dianalisa ekonomi secara hati-hati dan menyeluruh
 Consciously parallel conduct dapat dijadikan sebagai alat bukti yaitu bukti
circumstantial evidence, tetapi secara umum ini tidak cukup, biasanya disertai
dengan direct evidence
 Peranan ahli ekonomi di dalam pembuktian pelanggaran ketentuan kartel sangat
menentukan
 Pendekatan struktur pasar dan perilaku.
 Dalam pendekatan struktur pasar tersebut pangsa pasar para pelaku usaha akan
ditentukan, maka untuk itu pasar bersangkutan (relevant market) harus dibatasi,
yaitu dengan pembatasan pasar secara produk (product market) dan secara
geografis (geographical market).
 Seringkali lembaga persaingan usaha sulit mendekteksi perilaku kartel, maka
dinegara tertentu diberi wewenang lembaga persaingan usaha untuk melakukan
penggeledahan terhadap perusahaan, seperti di Jerman
 Untuk mendapatkan direct evidence, lembaga persaingan usaha menawarkan
leniency program kepada pelaku usaha untuk secara sukarela menginformasikan
bahwa dia terlibat praktek karel dan akan diberi insentif.
TRUST PASAL 12
 Ketentuan Pasal 12 melarang pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang
lain membuat perjanjian untuk membentuk gabungan perusahaan atau
perusahaan yang lebih besar dengan tetap mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan untuk mengontrol produksi atau pemasaran barang
atau jasa sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.
 Gabungan perusahaan tersebut memproduksi barang atau jasa yang sama dengan
barang atau jasa yang diproduksi oleh pendiri gabungan perusahaan tersebut.
 Ketentuan Pasal 12 bersifat rule of reason.
OLIGOPSONI PASAL 13
 Ketentuan Pasal 13 mengandung prinsip yang sama dengan ketentuan Pasal 4.
 Perbedaannya Pasal 4 mengatur monopoli penjual dan Pasal 13 mengatur
monopoli pembelian.
 Dominasi (penguasaan) pangsa pasar yang diatur oleh Pasal 13 sama dengan yang
diatur oleh Pasal 4, yaitu sesuatu yang rebuttable.
 Oleh karena itu, pendekatan rule of reason berlaku juga terhadap ketentuan Pasal
13.
KEGIATAN YANG DILARANG
 Di dalam UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha (UU Antimonopoli) kegiatan yang dilarang diatur mulai pasal 17 – 29.
 Pasal 17 mengatur mengenai monopoli, pasal 18 mengatur mengenai monopsoni,
pasal 19 –21 mengatur mengenai penguasaan pasar, pasal 22-24 mengatur
mengenai persekongkolan, pasal 25 mengatur mengenai posisi dominan, pasal 26
mengenai jabatan rangkap, pasal 27 mengenai pemilikan saham, dan pasal 28 – 29
mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan saham perusahaan.
MONOPOLI PASAL 17
 Dilihat dari struktur pasar, monopoli ada dimana hanya ada satu penjual/pemasok
pada pasar yang bersangkutan.
 Keadaan pasar seperti ini terjadi, jika monopolis tersebut tidak mempunyai
kompetitor sama sekali pada pasar yang bersangkutan.
 Atau dengan kata lain struktur pasar tidak oligopolistik.
 Pada struktur pasar yang demikian, pelaku usaha dapat mengatur jumlah produksi
dan menetapkan harga sesuka hatinya.
 Jadi, dimana hanya ada satu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan, pelaku
usaha tersebut dapat membuat suatu keputusan tanpa memperhatikan
(mempertimbangkan) pesaingnya dan kepentingan konsumen.
 Hal ini sebenarnya diatur di dalam pasal 17 ayat 2 a, yaitu dimana pada pasar
bersangkutan belum ada subsitusinya.
 Sedangkan di dalam pasal 1 No. 1 ditetapkan, bahwa monopoli adalah penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
 Definisi ini sebenarnya merupakan bagian dari pada pengertian posisi dominan,
yaitu penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% oleh satu pelaku usaha (pasal 17
ayat 2 c dan pasal 25 ayat 2 a).
 Artinya, monopoli terdapat pada suatu pasar dimana ada satu pelaku usaha
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pelaku usaha yang lain pada
pasar yang bersangkutan.
 Oleh karena itu pada pasal 17 ayat 1 pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
 Pasal 17 ayat 2 menetapkan, bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :
 a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
 b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
 c.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17:
 Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk
 Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk
 Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
 Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
 Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
(Pasal 1 angka 2)
 Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan secara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha (Pasal 1 angka 6).
 Larangan ketentuan pasal 17 bersifat rule of reason.
 Artinya, satu pelaku usaha menguasai barang atau jasa tertentu jika tidak
mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat tidak
dikenakan larangan pasal 17 tersebut.
 Penguasaan pangsa pasar lebih 50% tidak berlaku mutlak.
 Artinya, jika pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih 50% tidak otomatis
dikenakan larangan pasal 17.
 Penguasaan pangsa pasar tersebut baru pada tahap patut diduga atau dianggap.
 Artinya, dugaan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), bahwa pelaku usaha yang bersangkutan dengan
menguasai pangsa pasar lebih dari 50% terjadi persaingan usaha tidak sehat pada
pasar yang bersangkutan.
 Dan sebaliknya pelaku usaha tersebut juga membuktikan, bahwa dengan
penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 tersebut tidak melakukan praktek
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
 Jadi, pembuktian melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat atau tidak merupakan hak KPPU, demikian juga pelaku usaha mempunyai
hak untuk membuktikan, bahwa pelaku usaha tersebut tidak melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.


 MONOPSONI

 Monopsoni adalah keadaan suatu pasar dimana hanya ada satu pembeli.
 Pasal 18 ayat 1 melarang pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Larangan ayat 1 pasal 18 tersebut juga bersifat rule of reason.
 Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 Kata patut diduga atau dianggap memberi pengertian, bahwa penguasaan lebih
50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu tidak berlaku mutlak.
 Artinya, bahwa pelaku usaha tersebut dengan menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar tertentu harus dibuktikan telah melakukan praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
 Contoh pelaku usaha yang melakukan monopsoni adalah Badan Penyangga
Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang ”memaksa” semua petani harus menjual
cengkehnya kepada BPPC tetapi dengan harga murah.
 Pelaku usaha kecil, mikro dan menengah dapat memanfaatkan Pasal 18 tersebut
untuk membentuk suatu perkumpulan pembelian untuk dapat membeli barang
dari produsen dalam jumlah yang lebih besar.
 Dua atau lebih pelaku usaha kecil dan menengah dapat melakukan kartel
pembelian, jika penguasaan pangsa pasar hasil kartel pembelian tersebut tidak
lebih dari 10%.
 Inilah apa yang disebut de minimis rule.
 Pengecualian melakukan pembelian bagi pelaku usaha kecil menengah, karena
penguasaan pangsa pasar 10% tidak akan dapat melakukan persaingan usaha tidak
sehat.

INTEGRASI VERTIKAL
 Pasal 14 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
tentang kegiatan proses produksi dari hulu sampai ke hilir yaitu kegiatan usaha
yang terintegrasi mulai dari pengolahan bahan baku sampai pada pengolahan
produksi barang sampai barang tersebut sampai ditangan konsumen.
 Integrasi vertikal dapat terjadi pada pengolahan bahan bakunya, atau dari
pengolahan produk sampai produk tersebut selesai diproduksi, dan sampai kepada
tangan konsumen akhir.
 Pada prinsipnya integrasi vertikal tidak dilarang.
 Dilarang, jika mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat pada pasar yang bersangkutan.
 Contoh kasus integrasi vertikal adalah dalam kasus Garuda dalam Putusannya
dalam Perkara No. 1/KPPU-L/2003.
 KPPU menyatakan Garuda Indonesia sebagai Terlapor dinyatakan secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 14 UU No. 5/1999, karena Terlapor melakukan
penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu
sampai ke hilir atau proses lanjutan atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku
usaha tertentu.
 Terlapor menguasai proses lanjutan atas layanan jasa informasi dan jasa distribusi
tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.
PERJANJIAN TERTUTUP PASA; 15 AYAT 1
Ayat 1 Pasal 15 melarang perjanjian eksklusif, yaitu pihak yang menerima barang dan atau
jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut kepada
pihak tertentu atau pada tempat tertentu
 Kasus yang telah diputus KPPU berhubungan dengan Pasal 15 ayat 1 adalah dalam
kasus Distribusi Semen Gresik.
 KPPU menetapkan bahwa Terlapor I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X dan Terlapor XI
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat 1, karena Terlapor I,
II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, dan Terlapor X membentuk konsorsium distributor
semen gresik Area 4.
 Konsorsium menghimbau agar kepada Langganan Tetap (LT) untuk hanya bersedia
menjual semen gresik saja.
 Adanya aturan yang ditetapkan oleh Konsorsium tersebut mengakibatkan salah
satu LT mengundurkan diri sebagai LT kepada Terlapor XI. Karena sebelum adanya
konsorsium LT tersebut dapat menjual merek lain selain semen gersik.
AYAT 2
 Ayat 2 Pasal 15 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak lain
yang memuat persyaratan, bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok.
 Dalam Putusan KPPU Perkara No. 1/KPPU-L/2003. KPPU menetapkan bahwa
Garuda Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2), karena
biro perjalanan yang mau menjual tiket Garuda secara online, harus menggunakan
dual access system dengan menggunakan sistem Abacus.
 Untuk melakukan booking tiket domestik Garuda, biro perjalanan harus
menggunakan sistem ARGA dan untuk dapat menjadi agen pasasi domestik,
Terlapor mensyaratkan adanya Abacus connection.
 Garuda Indoneia mengharuskan biro perjalanan wisata menyediakan terminal
Abacus yang di dalamnya terdapat sistem Abacus terlebih dahulu untuk dapat
memperoleh sistem ARGA, untuk memperoleh terminal Abacus, biro perjalanan
wisata membayar sejumlah uang kepada Saksi I, padahal sistem Abacus tidak
digunakan untuk melakukan booking tiket penerbangan domestik Terlapor
PERJANJIAN TERTUTUP DENGAN POTONGAN HARGA
 Ayat 3 Pasal 15 melarang pelaku usaha membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang atau jasa tertentu yang memuat persyaratan,
bahwa pelaku usaha yang menerima barang atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
 Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau
 Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
 Ketentuan Pasal 15 ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan
tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia dapat memasok barang atau jasa dari
produsen dengan pemberian harga atau potongan harga, yaitu melalui suatu
perjanjian eksklusif.
 Ketentuan ini mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan tertentu yang
dilarang, yang mengikat pembeli supaya dia dapat memasok barang atau jasa dari
produsen dengan pemberian harga atau potongan harga secara eksklusif.
 Adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon
yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok.
Akibat yang ditimbulkannya adalah menghilangkan hak pelaku usaha pembeli
untuk membeli barang secara bebas produk yang harus dibelinya (dipilihnya).
 Sedangkan adanya kewajiban pelaku usaha yang menerima produk dengan harga
diskon untuk tidak membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
 Akibanya adalah pelaku usaha pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual
produknya yang sejenis dengan pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat
perjanjian potongan harga terhadap penerima produknya dipasar.
 Terkait dengan Pasal 15 ayat (3), dalam Putusan Perkara No. 06/KPPU-L/2004, PT
Arta Boga Cemerlang mengadakan program geser kompetitor (PGK) dengan
memberikan diskon kepada Toko-toko dengan kondisi sebagai berikut: toko yang
tidak menjual bateri produk Panasonic diberikan diskon 2%.
 Toko yang sebelumnya menjual bateri Panasonic, sejak bulan Maret tidak menjual
lagi, Toko hanya menjual baterai ABC.
 KPPU menetapkan bahwa PT ABC terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 15 ayat (3) UU No. 5/1999


 PERJANJIAN DENGAN PIHAK LUAR NEGERI
 Pasal 16 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak lain di luar
negeri yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat di Indonesia.
 Perjanjian dilakukan antara pelaku usaha Indonesia dengan pihak asing di luar
negeri, atau antar pelaku usaha asing di luar negeri.
 Walaupun kedudukan perusahaan yang mengadakan perjanjian tidak ada di
Indonesia, akan tetapi akibat perjanjian yang dilakukannya mengakibatkan pasar
domestik Indonesia terganggun, maka UU No. 5/1999 dapat diterapkan.
 KPPU telah menerapkannya dalam kasus Temasek dengan menggunakan
pendekatan extrateritorial jurisdiction

KETENTUAN HARGA
 Perjanjian penetapan harga diatur di dalam Pasal 5-Pasal 8 UU No. 5/1999.
 Pasal 5 perjanjian price fixing,
 Pasal 6 diskriminasi harga
 Pasal 7 Penetapan harga di bawah harga pasar.
 Setiap konsumen berhak mendapatkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik
pada harga terendah.
 Persaingan antar produsen merupakan mekanisme untuk mencapai hal di atas.
 Kondisi persaingan akan tercipta apabila pelaku pasar menetapkan harga
independent atau tidak melalui kolusi.
 Ketika para pelaku pasar melakukan kolusi penetapan harga maka harga akan naik
dan konsumen akan dirugikan.
 Ayat (1):
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
 Price fixing dilakukan dengan tujuan untuk memaksimisasi joint profit dari
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kesepakatan price fixing.
 Dengan kesepakatan harga, produsen dapat mengkontrol harga dan menetapkan
harga yang paling menguntungkan bagi mereka.
PRICE FIXING
 Dengan adanya kesepakatan price fixing maka mekanisme terciptanya harga
melalui tarik menarik antara supply dan demand tidak terjadi karena para
produsen telah menetapkan harga yang dapat memaksimisasi keuntungan
mereka.
 Kesepakatan ini juga akan sangat merugikan industri tersebut karena akan sulit
bagi pelaku baru untuk masuk dalam pasar tersebut.
 Pihak-pihak yang tergabung dalam price fixing agreement akan menghalangi
masuknya pesaing dengan menciptakan barrier to entry.
 Price fixing adalah salah satu bentuk kolusi yang dilakukan melalui penetapan
harga.
 Pembuktian atas pelanggaran price fixing tidak perlu dilakukan apabila perjanjian
tersebut telah dilaksanakan.
 Bukti apapun yang menunjukkan telah terjadi kolusi penetapan harga dapat
digunakan sebagai dasar tuntutan.
 Hambatan persaingan secara horizontal adalah penetapan harga (pasal 5 ayat 1)
 Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah suatu larangan yang bersifat per se.
 Mengapa dilarang per se?
 Biasanya pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar
 Menutup persaingan diantara pelaku usaha yang saling bersaing
 Merugikan konsumen, konsumen tidak mempunyai alternatif, untuk membeli
produk yang sama dengan harga yang berbeda (yang lebih murah).
 Harga yang dibayar oleh konsumen bukan lagi harga akibat persaingan melalui
proses antara permintaan dan penawaran, melainkan ditetapkan oleh pelaku
usaha yang membuat perjanjian.
 Contoh kasus penetapan harga adalah kartel SMS dalam Perkara No. 26/KPPU-
L/2007
 Para operator seluler menetapkan harga per SMS interval antara Rp. 250 – 350.
 Buktinya Tim Pemeriksa menemukan beberapa perjanjian tertulis mengenai harga
SMS off-net yang ditetapkan oleh operator sebagai satu kesatuan PKS
Interkoneksi.
 Oleh karena itu Adam Smith sangat concern dalam memerangi kartel harga.
 Dia mengatakan „people of the same trade seldom meet together, even for
merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the
public, or in some contrivance to raise prices“
 Jadi para pelaku usaha bertemu dimana saja cenderung melakukan konspirasi
untuk merugikan masyarakat atau untuk menaikkan harga suatu barang tertentu.
PASAL 5
 Ayat (2):
 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
 suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
 suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
PASAL 6
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
DISKRIMINASI HARGA
 Ada tiga jenis diskriminasi harga yaitu diskriminasi harga tingkat satu, tingkat dua,
dan tingkat tiga.
 Diskriminasi harga tingkat satu terjadi saat setiap konsumen membayar produk
yang sama dengan harga yang berbeda.
 Sedangkan pada diskriminasi harga tingkat dua, penjual menawarkan berbagai
tingkat harga pada semua konsumennya, dan kemudian konsumennya yang
memilih tingkat harganya.
 Konsumen-konsumen tersebut membayar harga yang berbeda, tetapi setiap
konsumen yang memilih kategori harga yang sama akan mendapatkan produk
tersebut pada harga yang sama.
 Contohnya adalah, harga tiket pesawat pada hari sabtu dan non-hari sabtu adalah
berbeda. Semua konsumen yang memilih membeli tiket untuk hari sabtu
membayar harga yang sama.
 Diskriminasi harga tingkat tiga agak berbeda dengan diskriminasi tingkat satu dan
dua. Diskriminasi harga pada tingkat ini ditentukan oleh kemampuan penjual
untuk memisahkan pembeli secara efektif menjadi beberapa kelompok. Ketika ada
beberapa kelompok yang memiliki elastisitas permintaan yang berbeda maka
penjual dapat menerapkan diskriminasi harga. Misalkan kita menghadapi dua
 kelompok konsumen dengan fungsi permintaan yang berbeda. Permintaan
konsumen kelompok satu lebih inelastis dibandingkan permintaan kelompok dua.
 Dengan asumsi biaya marjinal sama dengan nol maka untuk memaksimumkan
keuntungan perusahaan dapat menjual produk tersebut dengan harga yang
berbeda untuk kedua kelompok yang berbeda dimana harga pada pasar yang
permintaannya inelastis adalah dua kali harga di pasar yang permintaannya lebih
elastis.
 Contoh kasus diskriminasi harga diputus oleh KPPU dalam kasus kartel garam,
Perkara No. No. 10/KPPU-L/2005
 G3 menetapkan harga jual garam bahan baku kepada pelaku usaha selain G3 dan
G4 lebih tinggi (Rp. 490 atau Rp. 510) dibandingkan dengan harga jual garam
bahan bakunya kepada pelaku usaha selain G3 dan G4.


 PENETAPAN HARGA DIBAWAH HARGA P[ASAR
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
PENETAPAN HARGA JUAL KEMBALI
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat
RPM
 Resale Price Maintenance dilarang per se di Uni Eropa dan di AS, karena
 prinsipal tidak boleh menetapkan harga jual kepada konsumen akhir (end user)
 harus terjadi intra-brand competition dalam masalah harga di retailer
 harga dapat berbeda di retailer, karena jumlah volume barang yang dibeli oleh
masing-masing distributor atau agen berbeda, maka harganya juga berbeda-beda.
 Akibatnya harga jual ke retailer juga berbeda, maka masing-masing retailer juga
akan menjual barang dengan harga yang berbeda-beda kepada konsumen akhir.
 Sementara RPM menurut Pasal 8 UU No. 5/1999 menggunakan pendekatan rule of
reason.
 Yang dilarang adalah perjanjian pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Penerima barang tidak menjual barang kembali lebih rendah daripada harga yang
disepakati.
 Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Jadi, kalau penjualan kembali harga dibawah harga yang disepakati tidak
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka penjualan kembali tersebut
tidak dilarang oleh UU No. 5/1999.
PREDATORY PRICING PASAL 20
 Salah satu perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan adalah menjual rugi barang atau
jasanya,dengan maksud untuk menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang
bersangkutan.
 Hukum persaingan melarang pelaku usaha melakukan jual rugi, jika memenuhi dua
hal sebagai berikut, yaitu yang pertama jika pelaku usaha mempunyai superior
market power.
 Syarat penetapan suatu superior market power suatu pelaku usaha adalah
melakukan penilaian terhadap market sharenya.
 Selain itu diperhitungkan juga kemampuan keuangan pelaku usaha tersebut.
 Dan yang kedua jika pelaku usaha tersebut melakukan penjualan dibawah biaya
produksi (jual rugi) dalam jangka waktu yang lama, yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha yang tidak sehat.
 Misalnya akibatnya perlahan-lahan pesaingnya tersingkir dari pasar yang
bersangkutan.
 Perilaku tersebut untuk mempertahankan atau memperkuat posisi dominannya.
Perilaku yang demikian jelas dilarang dalam hukum persaingan, karena melalui
kekuatan pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut akan dapat
menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan.
 Jika pesaingnya sudah tersingkir dari pasar yang bersangkutan, akhirnya pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan tersebut dapat mengusai pasar, yaitu dapat
menetapkan jumlah produksi dan harga yang harus dibayar oleh konsumen.
 Perilaku yang demikian tidak saja merugikan pesaingnya tetapi juga konsumen,
karena konsumen tidak mempunyai alternatif lagi dalam pasar yang bersangkutan.
 Dan sebaliknya, apakah suatu pelaku usaha yang tidak mempunyai posisi dominan
akan melakukan penjualan dibawah biaya produksinya?
 Hal ini kemungkinan dilakukan dalam upaya memperkenalkan (mempromosikan)
produknya untuk mencari pelanggan.
 Tetapi pelaku usaha tersebut tidak mampu melakukannya dalam jangka waktu
yang lama, karena pada akhirnya pelaku usaha tersebut dapat menjadi rugi atau
bangkrut sendiri.
 Jadi, biasanya suatu pelaku usaha menjual barang atau jasanya di bawah biaya
produksi secara insidental (dalam jangka waktu tertentu) untuk mencari pelanggan
tidak dikenakan larangan hukum persaingan, yaitu dalam rangka memperkenalkan
usahanya atau dalam rangka mempromosikan barang atau jasanya.
 Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tidak terpengaruh dalam
melakukan jual rugi, apakah pelaku usaha tersebut dalam menjual rugi barang
atau jasanya dengan memberikan informasi yang tidak jujur mengenai biaya
produksi barang atau jasanya yang menjadi komponen harga barang atau jasanya.
 Oleh karena itu hukum persaingan usaha tidak saja melarang penyalahgunaan
harga (jual rugi), tetapi juga penetapan harga yang sangat tinggi yang harus
dibayar oleh pembeli.
 Dengan demikian hukum persaingan melarang, apakah ada penyalahgunaan harga
atau tidak.
 Dan penyalahgunaan harga tersebut biasanya dilakukan pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan.
 Pertanyaannya adalah apakah penyalahgunaan harga tersebut dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang tidak mempunyai posisi dominan. Jawabannya, ya.
 Tetapi sifatnya hanya sementara, dalam kurun waktu yang pendek.
 Biasanya dilakukan untuk mempromosikan (memperknalkan) produknya untuk
mencari pelanggan.
KECURANGAN DALAM PENETAPAN BIAYA PRODUKSI PASAL 21
 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Penjelasan Pasal 21 menetapkan bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor yang lebih rendah
dari seharusnya.
 Ketentuan Pasal 21 pada prinsipnya menjamin transparansi biaya produksi.
 Dengan demikian maksud kecurangan bertujuan untuk memalsukan dasar
kalkulasi harga penjualan barang dan atau jasa yang harus dibuktikan.
TUJUAN HPU
 Ada banyak daftar tujuan dari HPU yang ditemukan oleh para ahli hukum kartel,
yang dapat kita baca di dalam literatur-literatur.
 Di sini akan disebutkan hanya dua tujuan pokok saja, yaitu.
• Untuk melakukan pencegahan hambatan persaingan usaha, sehingga
ekonomi menjadi lebih efisien, demi kepentingan konsumen dan untuk
kepentingan nasional.
• Secara ekonomi UU No. 5/1999 (HPU) berusaha supaya pendapatan dibagi-
bagi di dalam ekonomi pasar.
 UU No. 5/1999 mempunyai tujuan, yang ditetapkan di dalam Pasal 3, yaitu
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
 Dari keempat tujuan tersebut dapat dirumuskan menjadi dua tujuan pokok yaitu,
 yang pertama tujuan dibidang ekonomi dan
 yang kedua tujuan meta ekonomi atau tujuan diluar ekonomi.
 Tujuan dibidang ekonomi tersebut antara lain adalah untuk memberikan hak dan
kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan kegiatan di
wilayah RI; meningkatkan efisiensi bagi pelaku usaha serta menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan kondusif.
 Sedangkan tujuan diluar ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (consumer welfare).
FUNGSI HPU
 Fungsi Kebebasan:
 Setiap orang mempunyai hak akan kebebasan.
 Kebebasan adalah suatu dasar kehidupan yang manusiawi bagi setiap orang.
 Kebebasan biasanya ditetapkan di dalam setiap undang-undang dasar setiap
negara misalnya Pasal 2 ayat 1 UUD Jerman, pasal 28 A – 28 J UUD 1945.
 Tetapi dia tidak boleh menggunakan kebebasannya atau kekuasaannya untuk
menggangu atau mengurangi hak-hak orang lain.
FUNGSI KEBEBASAN
 Pelaku usaha juga mempunyai kebebasan akan perencanaan usahanya, bagaimana
barang atau jasanya secara efektif masuk ke pasar dan dijual dengan harga berapa.
 Maka dibedakan antara kebebasan secara formal dan secara materiil:
• kebebasan secara formal adalah tidak ada paksaan melakukan kegiatan
usahanya.
• kebebasan secara materiil adalah adanya kemungkinan untuk merealisasi
sendiri tujuan usahanya dalam kaitannya dengan kebebasan secara formal,
jadi kebebasan secara individual melakukan perdagangan/kegiatan.
 Persaingan usaha membuka ruang kebebasan kepada setiap orang, yang dapat
dilakukan untuk kegiatan usahanya.
 Dalam kaitan ini Hoppmann berbicara tentang kebebasan persaingan sebagai
proses tukar menukar dan sebagai proses yang paralel.
 Persaingan memberikan kemungkinan tersedianya bermacam-macam barang-
barang yang ditawarkan.
 Baik pembeli maupun penjual dalam sektor yang sama mempunyai kemungkinan
yang lebih untuk bertindak secara kreativ.
 Ruang gerak kebebasan ini yang dibuka oleh persaingan yang disebut oleh
Hoppmann sebagai kebebasan persaingan
 Persaingan mensyaratkan, bahwa kebebasan tetap ada bagi persaingan dan tetap
dipelihara.
 Jadi, kebebasan persaingan harus dijamin melalui kondisi hukum yang sesuai dan
melalui suatu kebijakan persaingan yang memungkinkan persaingan.
 Di satu pihak persaingan memberikan pelaku ekonomi kebebasan untuk
melaksanakan kegiatan ekonominya dengan dukungan kemampuannya sendiri
dan keuangannya sendiri.
 Dan dipihak lain parameter persaingan dibatasi melalui peraturan perundangan-
undangan dan norma-norma moral dan adat istiadat.
FUNGSI PENGONROL
 Fungsi pengontrol dilihat dalam kaitannya dengan fungsi kebebasan
 Negara harus mengupayakan terhadap pemenuhan lingkungan perundang-
undangannya
 Dan disamping itu institusi yang mempunyai sistem yang immanen dan sarana
harus mengontrol tingkah laku pelaku usaha.
 Proses pengontrolan memperhatikan konflik kepentingan antara penjual dan
pembeli demikian juga persaingan antara penjual atau antara pembeli.
 Pelaku usaha saling mengontrol.
 Di mana mereka saling mengikuti kepentingan mereka sebagai penjual atau
pembeli.
 Penjual ingin menjual barangnya semahal mungkin dan pembeli ingin membeli
suatu barang semurah mungkin.
 Jadi, para pelaku pasar harus bersedia terhadap suatu kompromi, jika suatu
perjanjian ingin terlaksana, kalau tidak, mereka tidak mempunyai kesempatan di
dalam pasar
 Kontrol dalam proses paralel mengupayakan terhadap kontrol pelaku pasar pada
pasar yang sama.
 Kompetitor harus berorientasi dan mengukur kemampuan prestasi dan aksi yang
lain.
 Di dalam ekonomi pasar setiap pelaku pasar sekaligus sebagai pengontrol dan
terkontrol
 Jadi, persaingan usaha mempunyai fungsi kontrol.
 Tanpa persaingan usaha pelaku pasar tidak cukup dikontrol.
FUNGSI KORDINASI PENYESUAIAN
 Fungsi koordinasi, bahwa kebutuhan dikoordinasikan dengan produksi;
 Sehingga hanya barang dan jasa dalam jenis, kualitas dan jumlah tertentu yang
ditawarkan/dijual yang sesuai dengan permintaan.
 Maka fungsi penyesuaian persaingan mengusahakan, bahwa produksi
menyesuaikan dengan kebutuhan yang berubah-ubah dalam perjalanan waktu.
 Permintaan suatu barang melebihi dari pada penawaran, maka harga naik
 Harga yang naik mengendalikan lebih banyak penjual di pasar, dengan
konsekuensi, bahwa Penawaran menjadi meningkat lagi.
 Pada permintaan yang menurun harga juga akan turun, sehingga sebagian penjual
akan meninggalkan pasar.
 Keseimbangannya dipulihkan kembali otomatis melalui persaingan
 Mekanisme harga ini jaminan dari keseimbangan pasar hanya dapat berfungsi, jika
di semua pasar yang bersangkutan menguasai banyak persaingan, harga bergerak
secara bebas dan akses masuk ke dalam pasar tetap terbuka bagi semua pelaku
usaha.
 Jadi fungsi koordinasi dan penyesuaian mengupayakan supaya penjual berusaha
terhadap pembeli, sesuai dengan bayangan mereka, produksinya sedapat mungkin
memenuhi keinginan pembeli dan disesuaikan, bahwa produksi juga
membutuhkan konfirmasi.
 Produk yang tidak menemukan kepentingan pengguna, tidak dapat dikurangi,
selanjutnya persaingan mengusahakan terhadap percepatan proses koordinasi
 Fungsi alokasi adalah terkait dengan fungsi koordinasi dan fungsi penyesuaian,
tetapi mempunyai akibat tersendiri.
 Dengan adanya tekanan persaingan pelaku usaha akan selalu mencari akan
kombinasi biaya minimal dari kemampuan faktor-faktor yang digunakan dan
mensubsitusi kemampuan faktor yang relativ mahal melalui harga yang relativ
murah, jika hal ini secara tehnis memungkinkan.
 Dengan demikian persaingan mengusahakan, bahwa suatu jumlah produksi
tertentu diproduksi dengan biaya minimum.
 Faktor-faktor produksi akan dibuat sesuai dengan jumlah ukuran kemampuan yang
akan dicapai.
FUNGSI ALOKASI
 Persaingan sendiri dapat membawa pelaku usaha kepada suatu usaha ekonomi
untuk melakukan penurunan biaya produksi yang disebut alokasi faktor produksi.
 Persaingan mengusahakan untuk itu, bahwa kegiatan faktor-faktor dikendalikan
dimana mereka lebih dibutuhkan sesuai dengan permintaan barang dan
ditempatkan dimana yang lebih efektif.
FUNGSI PENDORONG DAN PENAMPAIAN
 Fungsi pendorong adalah berkaitan langsung dengan fungsi penampian
persaingan.
 Penampian dalam proses persaingan berdasarkan kriteria efisiensi ekonomi.
 Siapa tidak memenuhi standard efisiensi yang diciptakan dalam proses persaingan
otomatis terpaksa keluar dari pasar.
 Fungsi penampian hanya membiarkan yang paling efisien akan mejadi maju.
 Pelaku usaha yang tidak efisien atau memproduksi tidak sesuai dengan kebutuhan
harus meninggalkan pasar.
FUNGSI PEMBAGIAN PENDAPATAN
 Fungsi pembagian persaingan terkait erat dengan fungsi alokasi.
 Dalam proses produksi ekonomi nasional ditransformasikan kemampuan faktor-
faktor produksi, lingkungan hidup dan modal produksi ke dalam penggunaan
barang-brang yang efektiv.
 Dari segi faktor pasar ditawarkan dari anggaran faktor kegiatan dan permintaan
dari produsen.
 Pendapatan/gaji dibagi berdasarkan cara dan besarnya prestasi/kemampuan
terhadap produksi dari subjek ekonomi yang ikut ambil bagian.
 Ini disebut pembagian pendapatan secara fungsional atau pembagian pendapatan
yang primer.
 Apakah pembagian pendapatan adil, hal ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang
berbeda-beda; yaitu:
 Prinsip keadilan prestasi: pendapatan sebaiknya dibayar sesuai dengan prestasi
nilai pasar.
 Prinsip kesamaan: untuk prestasi yang sama seharusnya juga dibayar dengan
pendapatan yang sama.
 Prinsip keadilan kebutuhan: siapa berdasarkan situasi ekonomi dan sosialnya
memerlukan kebutuhan yang besar secara objektif, maka dia seharusnya
mendapat gaji/atau pendapatan yang tinggi.


 BENTUK PERJANJIAN
 Perjanjian horizontal: pelaku usaha melakukan kegiatan usaha yang sama, contoh,
kartel harga, jumlah produksi, pembagian wilayah pemasaran
 hard core cartels
 Perjanjian vertikal : perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain
yang mempunyai kaitan usaha, yaitu dari pasar hulu ke hilir
 Perjanjian diagonal: perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain
yang tidak mempunyai kaitan usaha sama sekali.
PERJANJKIAN HORIZONTAL
 Pasal 4-Pasal12;
 Pasal 16-Pasal 18;
 Pasal 22-Pasal 24
PERJANJIAN VERTIKAL
 Pasal 14-Pasal 15
 Pasal 14  larangan penguasaan sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
 Pasal15  Perjanjian tertutup
PERJANJIAN DIAGONAL
 Pasal 28 ayat 2  Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham
perusahaan apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
HAMBATAN PU
 Horizontal (horizontal restraint of trade)
 Vertikal (vertical restraint of trade)
 Diagonal (diagonal restraint of trade)

PERJANJIAN MENURUT HPU


 Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa
pun, baik tertulis maupun tidak tertulis (Pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999).
 Bandingkan dengan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 jo Pasal 1320
KUHPer.
 Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan amana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Per.)
 Pasal 1320 untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:
 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
 Kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan;
 Suatu hal tertentu;
 Suatu sebab yang halal.
 Pasal 1338 kebebasan berkontrak  semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
 Perjanjian menurut HPU:
 Suatu ikatan ikatan tersebut tidak harus melibatkan semua pihak yang
berpartisipasi dalam perjanjian bersangkutan.
 Ikatan hukum suatu pihak terikat menurut hukum, apabila perjanjian yang
dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum
 Ikatan ekonomi pihak yang terikat perjanjian beruntung apabila mengikuti
strategi yang disepakati, sedangkan jika menyimpang dari strategi tersebut
mengalami kerugian.
PERJANJIAN BASED ON UU 5 1999
 Pasal 1 angka 7:
 Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis.
 Perjanjian menurut HPU termasuk “gentlemen’s agreements”.
 Termasuk dalam perilaku yang saling menyesuaikan yang perlu dibuktikan
merusak persaingan di pasar yang bersangkutan.
 Perjanjian menurut HPU menjadi jurisdiksi KPPU.

Anda mungkin juga menyukai