Anda di halaman 1dari 32

SAP

HUKUM PERSAINGAN USAHA

1. KONSEPSI PERSAINGAN
2. ASPEK EKONOMI DALAM PERSAINGAN
3. KONSEP PEMBUKTIAN DAN PENDEKATAN DALAM HPU
4. PERJANJIAN YANG DILARANG
5. PERJANJIAN YANG DILARANG
6. KEGIATAN YANG DILARANG
7. UTS
8. KEGIATAN YANG DILARANG
9. PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN
10. PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN
11. MERGER DAN AKUISISI DALAM HPU
12. HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DAN KPPU
13. KAPSEL PERKARA PERSAINGAN USAHA
14. UAS

1
HPU 1

Gessica Fresahana Marsauli

Hukum persaingan usaha membahas:

- uang perusahaan besar


- memastikan orang taat pada hukum
- jika ada pelanggaran → ada penegakannya

Jika perusahaan melanggar persaingan usaha berupa mengambil keuntungan secara illegal → dampaknya tidak boleh
melakukan usaha atau dikenakan denda.

Subyek yang melakukan pelanggaran persaingan usaha → perusahaan besar

- Perusahaan kecil atau perusahaan tidak pintar tidak ada yang melanggar persaingan
- Perusahaan besar memberikan dampak → perusahaan yang mana membuat konsumen bergantung.

Akar dari persaingan usaha adalah ekonomi industry.

SMS digantikan dengan layanan chatting media sosial → production cost untuk satu sms tidak lebih dari 170 atau 180 rupiah.
Semuanya menjual dengan harga yang sama. Akhirnya SMS tidak digunakan lagi dan provider memberikan layanan gratis
untuk layanan chatting karena adanya BIG DATA sebagai hal paling mahal sekarang → dapat menciptakan pola.

Dalam persaingan usaha, issue advertising menjadi penting agar perusahaannya bisa di notice.

2
HPU 2

Gessica Fresahana Marsauli

A. Pasar Persaingan Sempurna


Pasar persainagn sempurna adalah suatu pasar dimana jumlah penjual dan pembeli sangat banyak dan produk yang
ditawarkan sejenis atau serupa.

Penjual dan pembeli tidak dapat memengaruhi harga karena harga dipengaruhi dari kesepakatan interaksi antara
penawaran dan permintaan.

Adanya kebebasan untuk membuka atau menutup pasar artinya tidak dapat suatu hambatan dimana perusahaan
bisa membuka usaha jika dianggap menguntungkan dan menutup usaha jika dianggap merugikan.

Dalam pasar persaingan sempurna, barang diperjualbelikan bersifat homogen.


Penjual dan pembeli memiliki pengetahuan yang sempurna tentang pasar atau mengetahui keadaan pasar dalam
hal tingkat harga yang berlaku di pasar dan meliputi setiap perusahaannya

Akibat pengetahuan tentang keadaan pasar:


o Semua sumber daya digunakan sepenuhnya untuk menghasilkan keuntungan maksimal
o Tidak ada produsen yang menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar
o Tidak ada konsumen yang membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.

Mobilitas atau perpindahan sumber ekonomi cukup sempurna dimana tidak ada kesulitan juka sumber daya ingin
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena semua tempat produksi memiliki kesamaan metode
pembuatan hingga penjualannya.

Hukum Permintaan

Harga Turun, Jumlah Barang Yang Diminta Naik

Hukum Penawaran

Jumlah Barang Tersedia Turun, Harga Naik

B. Monopoli → Menaikkan Demand ketika ketika Jumlah Barang Yang Tersedia Sama.

Market Place → approachable. Ketika tidakkerugian.

Selain harga dan penawaran ada orang dulu.

3
Zaman Adam Schimt → harga dan barang berbanding lurus (ada uang bisa beli barang). Tidak ada delay pembeli
mendapat barang dan penjual mendapatkan uang.

Ini membuktikan bahwa monopolis tidak hanya berkutat pada mekanisme pasar yang sederhana dimana indikatornya
hanya harga. Kemampuan monopoli tidak hanya menjadi price maker (menaikkan harga) dan membatasi produksi
tetapi bisa menahan (mengendapkan) uang.

Production Cost = Fixed Cost + Variable Cost

Fixed cost → harga pas.

Variable cost → besarnya biaya yang tergantung pada banyaknya produk dan jasa yang dihasilkan

Jika mau membangun pendidikan, maka fixed cost adalah membangun gedung atau menyediakan sarana prasarana.

Jika membangun gedung → 800 Miliyar,

Variable cost → biaya maintenance, gaji dosen (fluktuatif harganya).→ 50 Miliyar

Maka dari itu, satu tahun cost production untuk bisa memulai pendidikan satu tahun adalah 850 Miliyar. Maka, kalau
dalam setahun ingin dihitung pemasukan agar equal maka dihitung jumlah mahasiswa yang menjadi target (dikali)
SPP-nya untuk menutupi 850 M. Ada indikator lain dimana penghitungannya harus dibagi waktu perkiraan untuk balik
modal → production cost.

Production cost itu belum untung. Kalau mau untung maka berikan harga diatas production cost.

Perusahaan abusive atau punya kekuatan di pasar jika mengambil keuntungan (lebih dari 30%) dari production cost.

Louis Vuitton itu abusive karena mengambil banyak keuntungan dari production cost. Kekuatan pasar muncul bisa
karena prestige.

Monopolis adalah penjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga produksi.

Louis Vuitton memberikan harga tinggi bukan praktik monopoli karena bukan barang yang sangat penting (bukan
kebutuhan primer).

Barang penting adalah barang tidak ada substitusinya. Bisa jadi penjual barang ini akan menjadi penjual monopolis.

Beda monopoli dengan kesepakatan antara pembeli dan penjual.

Cara menentukan seseorang melanggar persaingan usaha → market shares (pangsa pasar) → karena tidak ada
pelanggaran persaingan usaha jika tidak ada yang dominan.

Cara menghitung pangsa pasar

KONSUMSI YANG DISERAP KONSUMEN / TOTAL PRODUKSI

4
Contoh:

Pelaku Usaha 1 : 100 Unit – Dibeli Konsumen 100

Pelaku Usaha 2 : 100 Unit – Dibeli Konsumen 40

Pelaku Usaha 3 : 100 Unit – Dibeli Konsumen 10

Pangsa Pasar P1 : 1/3

Pangsa Pasar P2 : 2/15

Pangsa Pasar P3 : 1/30

C. Pasar Bersangkutan Yang Sama


Pengertian (pasal 1 huruf j) - pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku
usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

Jika kita membicarakan praktik monopoli, maka kita akan membicarakan dimana barang atau jasa yang dijual bersifat
homogen.
Sebelum berbicara tentang persaingan usaha, kita harus tentukan pasar bersangkutannya itu apa dengan riset pasar.
(Jika coca cola menurunkan harganya, maka harus ada penurunan penjualan di pepsi).

Dalam UU Persaingan Usaha, hampir semua pasarnya meminta pembuktian untuk pasar bersangkutan. KPPU harus
membuktikan pasarnya – apakah dia kolusi dan apakah ada dalam pasar yang sama.

Pasal 17 UU PU
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa
yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Jika Monopolis melakukan monopoli itu baru praktik monopoli.

5
HPU 3

Gessica Fresahana Marsauli

Penetapan harga adalah hal penting dalam persaingan usaha.

Faktor dalam pasar dibagi menjadi dua:

- Harga
- Non Harga

Harga menjadi penting karena ketika orang harus membeli tapi tidak sesuai dengan harganya atau nilai – sudah menjadi
pelanggaran persaingan usaha.

Pasal 5 – Price Fixing

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Price fixing berbicara tentang larangan pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lainnya yang mana diantara mereka
menetapkan harga yang sama untuk menjual barang yang sama.

Hal ini salah karena menurut capitalism atau liberalism seseorang dibuat tidak berdaya karena praktik persaingan.

Pasal 5 ayat (2) membicarakan pengecualian:

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku

Poin a

A- (Subyek Hukum) Perusahaan Sepatu


B- (Subyek Hukum) Perusahaan Sepatu

Harga yag ditetapkan dari perusahaan patungan bukan penetapan harga karena Perusahaan patungan merupakan
pengecualian karena masuk kepada konsep korporasi. Secara entitas, A+B=C sehingga C adalah perusahaan baru.

Poin B

Harga minyak dunia adalah kesepakatan antar pemerintah. Secara filosofi salah tetapi kesalahan itu menjadi pengecualian
apabila ada kepentingan negara.

Price Discrimination - Bentuk penetapan harga berupa kemampuan pelaku usaha.

Pelaku usaha menerapkan price discrimination yang membuat pelaku usaha lain tidak lagi mau menunjukkan kemampuannya.
Pemberian harga yang berbeda kepada setiap orang.

6
Price discrimination digunakan oleh pelaku usaha dengan melihat:

- Penampilan
- Representasi tempat (valid dengan jumlah uang dikantongnya)
- Tidak ada kesempatan bagi orang lain untuk berpindah tempat membeli barang yang lebih murah
Contoh jual barang X di PI, harga satu juta. Barang yang sama dijual di margo seharga gope. Kalau pembeli di PI gak
bisa membeli di margo, maka akan ada pelanggaran persaingan usaha.

Berkaitan dengan jual beli online → price discrimination jadi tidak penting karena tidak terikat wilayah.

Predatory Pricing – harga mematikan pelaku usaha lain

Pasal 7

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar,
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

(kalau dibawah pasar masih rasional – anda masih untung dan pelaku usaha lain masih untung juga). Seharusnya adalah
penjualan dibawah harga produksi.

Predatory pricing sangan berbahaya karena sangat kontras dimana membuat konsumen akan meninggalkan pelaku usaha lain
yang juga melakukan praktik jual beli, karena konsumen sangat untung.

Pelaku usaha melakukan predatory pricing karena:

- Cuci gudang
- Jual rugi karena mau tutup toko

Ketika pelaku usaha yang melakukan predatory pricing sudah menarik semua konsumen dan mematikan pelaku usaha lain, dia
sedikit-sedikit menaikan harga untuk memulihkan keadaan (monopolis).

Jika seseorang melakukan predatory pricing pelaku usaha competitor belum mati, dia tidak bisa dihukum karena sangat
menguntungkan konsumen, maka PP menghendaki pelaku usaha PP ini menetapi kekuatan modal dari pesaingnya. Jangan
sampe dia jual rugi, competitor belum mati, pelaku usaha PP mati duluan.

Predatory pricing efektif pada saat matinya pelaku usaha lain dan dia menaikkan harganya (monopolis). Ketika pelaku
usaha lain, dia menjadi satu-satunya sehingga konsumen jadi tidak punya pilihan lagi.

Diskon bukan predatory pricing karena bersifat sementara dan dilakukan dalam momentum tertentu.

Kartel merupakan predatory pricing.

Resale Price Maintenance mengontrol harga ditingkat distributor. Tujuannya agar diantara distributor akur atau kondusif
untuk bisnis.

Masalahnya konsumen dirugikan dan tidak punya pilihan.


7
Masalahnya distributor itu tidak ada persaingan.

8
HPU 4

Gessica Fresahana Marsauli

Dampak positif > Dampak negative pelanggaran persaingan usaha

Suatu pelanggaran persaingan tidak selalu menimbulkan dampak negative tetapi tetap saja menimbulkan kematian pelaku
usaha lainnya.

Hakim dapat menentukan apakah dia menjadi bersalah karena membuat pesaingnya mati atau tidak bersalah karena
membawa dampak positif kemajuan teknologi yang lebih besar.

Intinya, suau pelanggaran perlu dilihat besar dampaknya kecuali penetapan harga yang FIX NEGATIF.

Rule Of Reason

- Diterapkan di Indonesia dalam peraturan dengan 'akibat'


- Harus dicantumkan dalam bentuk redaksional pasal.
- Padahal, rule of reason akibat ini tidak tepat karena tidak hanya berbicara dengan akibat
- (Ini kayak delik materiil)

Per se Illegal

- Menitikberatkan pada pebuatan yang dilarang


- (Ini kayak delik formil)

Pembagian wilayah dilarang

(Pasal 9) - Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pembagian wilayah dapat membuat monopoli kecil.

Pembagian wilayah agar efektif harus diimbangi dengan penetapan harga dimana wilayah satu dengan wilayah lain harus
sama harganya. Jika tidak ditetapkan harga dan harga menjadi irasional atau mahal maka konsumen bisa pindah ke tempat
lain.

Syarat pembagian wilayah:


- Bagaimana memastikan konsumen tidak berpindah
- Harus diikuti pelaku usaha lain

KARTEL – Pelaku usaha yang melakukan predatory price

9
Pasal 11 - Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kartel digunakan untuk menggambarkan kelompok yang berisi banyak pelaku usaha yang sama yang mengambil
keuntungan berlebih dengan berkomplot / bersengkongkol.

Kartel melakukan praktek anti persaingan membuat pelaku usaha yang tidak bergabung dengan kartel mati.
Akibat persaingan usaha - tidak hanya kepada pelaku usaha lain BISA SAJA ke konsumen akhir, hal ini bukan berarti
masuk ke Perlindungan Konsumen.

10
HPU 5

Gessica Fresahana Marsauli

Ketentuan pasal 15 yang berisi tiga perjanjian yang dianggap melanggar persaingan usaha.

EKSKLUSIF DEALING

Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan atau jasa (bisa saja distributor) hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

Pasal 15 ayat 1 membahas mengenai tindakan yang mana pelaku usaha ditingkat hulu (produsen pokok)
mempersyaratkan pada pihak dibawahnya (distributor) bahwa hanya dapat menjual barang dari produsen pokok.

Yang membuat perjanjian adalah produsen dan distributor dimana prosuden mempersyaratkan pada distributor bahwa akan
memasok atau tidak memasok kembali. (tindakan ekslusif dealing) akan mematian tindakan distributor, tidak ada ruang untuk
bernegosiasi dan konsumen untuk memilih serta tidak ada kesempatan pada sesama distributor untuk memberikan harga yang
lebih baik.

Ekslusif dealing harus dalam pasar yang berbeda. Negara memberikan hak eksklusif pada bandara angkasa pura (eklusif right).
Istilah eksklusif adalah the only one (tidak ada yang lain). Namanya eklusif dealing karena merupakan perjanjian.

Contoh ttg pasal 15 ayat (1) dalam kasus semen gresik yang bilang pada distributornya bahwa semen gresik merasa indosemen
(semen Madura) adalah divestasi pertama Indonesia (tahun 70-an). Mereka yang pertama kali mendapatkan hak eksklusif
memproduksi semen. Dulu ada pembagian untuk menjual semen perwilayah.

Dibuat konsorsium dimana hanya boleh menjual semen gresik atas dasar pembagian wilayah penjualan semen). Karena
konsorsium itu, PT SemenGresik bisa dihukum karena melanggar 15 ayat (1)

Selain semen ada PTPN, serta perusahaan perikanan.

TYING AGREEMENT

Pasal 15 ayat (2)

Tying agreement – produk yang mengikatkan adalah produk yang menguasai pasar. Produk yang diikatkan adalah produk
yang tidak diinginkan. Konsep tying agreement – orang tidak punya pilihan karena mau gamau beli sunslik yang ada luxnya.

Indicator lainnya adalah harga. Misalnya sampo 15ribu diikatkan pada sabun tapi samponya tetap 15 rb itu bukan tying.

Tying product sunslik – 15rb (produk bagus)

Tied product lux. – 5 rb (produk cemen)

Keduanya jadi 16 rb (tying agreement).


11
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Jika dibilang pihak lain artinya mau memperluas pemaknaan karena tying bisa saja dilakukan sesama pelaku usaha dan
produknya sendiri. KPPU digiring untuk perjanjian sesame usaha tidak ada perjanjian pada diri sendiri dan diarahkan kepada
kerugian konsumen. Yang dirugikan adalah pelaku usahha persaing.

Pengecualian Tying Agreement adalah apabila

1. Tying dan tied product adalah barang yang secara karakteristik punya satu kesatuan. Cth. Tambat labuh sama dengan
bongkar muat atau beli bedak dapat spongenya.
2. Maksimalisasi produk
3. Kalau bisa dibeli terpisah jadi ga tying

POTONGAN HARGA

Pasal 15 ayat (3) – barangnya sama dengan pesaing atau lebih buruk. Jadi yang dilakukan bahwa si penjual tidak menjual
barang selain yang dipasok.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:

- harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
- tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemasok.

ABC menjanjikan ada pembagian keuntungan, ketika orang menjual dengan kuota tertentu misalnya beli 2 batre dapat 1 senter
(agar Panasonic dihilangkan dari display). ABC pernah membuat program penyikiran competitor.

Penjual lupa bahwa ada syarat perjanjian suatu sebab yang halal.

12
HPU 6

Gessica Fresahana Marsauli

Kegiatan yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.

Perbedaan antara kegiatan yang dilarang dengan perjanjian yang dilarang adalah:

Kegiatan Perjanjian
Bisa pelakunya hanya satu Pelakunya lebih dari 1 pihak
orang saja. karena sifat dari perjanjian itu
sendiri
Contoh : Monopoli (pasal 17)
Monopsoni (pasal 18)
Pangsa Pasar Yang dimiliki Pangsa Pasar Yang dimiliki
pelaku usaha lebih besar pelaku usaha lebih kecil

Pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999

Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 17 ayat (2) UU No 5 Tahun 1999 (Indikator Monopoli)

Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
tidak ada penggantinya

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

ada hambatan masuk. Monopoli – hambatan masuk yang dilakukan oleh pelaku usaha yang sangat kuat dalam pasar
karena tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang tetapi harus yang powerful.
Tanpa pelaku usaha yang kuat dalam pasar, tidak akan ada hambatan untuk masuk. Kalau anda mau membuat usaha
warung kopi, kalau sampai hanya satu orang yang punya coffee shop maka dia adalah monopolis. Setidaknya anda
bisa membuat pemilik ruko untuk tidak menyewakan atau menjual rukonya untuk kegiatan usaha coffee shop. Artinya
pelaku usaha ini adalah orang yang kuat modal.

Starbucks walaupun besar tetapi bukan monopolis karena merupakan pasar persaingan sempurna (coffee shop
menjamur). Kalau hanya satu-satunya, kemungkinan ada hambatan masuk.

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
Teori ekonomi industry mengatakan bahwa monopolis artinya satu-satunya penjual. Tapi kalau sekarang, ketika
seseorang tahu bahwa usaha X untung maka tidak bisa bertahan menjadi satu-satunya, karena orang lain ingin seperti
anda (mendapat keuntungan). Tidak ada yang clean and clear jenis usaha yang menguntungkan. Ini adalah prinsip
manusia.

Pangsa pasar lawfirm sudah sangat bersaing. Teori ekonomi mengakui bahwa salah satu indicator monopoli adalah
bukan 100% lagi penguasaan tetapi lebih dari 50%. UU 5/99 mengakomodir perkembangan zaman karena sudah
tidak ada usaha yang bebas dari pesaing. Sekarang bukan pesaing yang harus di stop tetapi bagaimana usaha tersebut
masih tetap yang terbaik atau Berjaya dan membuat usaha lain menjadi tidak berarti.

13
Google mendapat monopoly power dengan memenangkan persaingan.

Cara memenangkan monopoli:


- memenangkan persaingan (secara fair)
orang yang akan memenangkan monopoli adalah monopolis.
- By Regulation (peraturan).
Kekayaan intelektual, pemberian konvensi, pemberian hak eksklusif
- Natural Monopoly (efisiensi)
Berbicara tentang dengan satu pelaku usaha maka usaha menjadi lebih efisien. Kealamiahan monopoli memang
membuat dia hanya satu bukan karena bersaing karena pasar menghendaki hanya ada satu.

Kalau ada infrastruktur yang tidak terpakai maka diurus.


Cth. Jalan tol, pelabuhan, PLN.

Hal yang ditakutkan dari kedudukan monopoli:


o Abuse-nya (penyalah gunaan kekuatan) atau monopolisation atau praktik monopolinya.
Pelaku usaha yang besar diyakini bisa lebih efisien daripada pelaku usaha yang lebih kecil (sudah pasti). Hal
yang ditakutkan adalah apabila pelaku usaha yang besar menyalahgunakan kekuatannya karena pelaku usaha
yang besar jika dia abusive dapat membentuk harga atau price maker sehingga skala ekonomi menjadi lebih
besar dan dia juga memegang segala sumber daya.
- Menguasai sumber daya strategis
Biasanya di daerah Kalimantan yang mana pelaku usaha menguasai tambang batu bara.

Monopoli berbicara tentang faktor kepentingan harga, ketiadaan pesaing dan ketiadaan barang substitusi membuat dia bisa
mengeksploitasi konsumen tanpa batas → letak baik buruk.
Contoh Kasus :
- PT Telkomsel dianggap bersalah melanggar pasal 17.
- Angkasa Pura 1mengelola bandara Makassar melanggar pasal 17
- Surveyor sucofindo secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal 17.

Pasal 18 Monopsoni
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Banyak dilaporkan tetapi ketika pembuktian sering tidak terbukti.

Pasal 19 Penguasaan Pasar


Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Dibawah monopoli tetapi signifikan terhadap pasar. Ini berbeda dengan monopsony tetapi bisa melakukan perbuatan atau
perilaku seperti monopoli dan seperti orang yang melakukan monopoli.
Apabila monopoli menguasai 50%, dalam penguasaan pasar tidak dipersyaratkan, karena penguasa pasar bisa jadi hanya
menguasai 20% dan 80% terbagi dari 1000 pasar.
14
Penguasa itu bisa jadi kalah jumlah tetapi yang jumlahnya besar bisa jadi tidak bisa melakukan apa-apa.

Cara menguasai pasar


1. menolak pelaku usaha lain (pesaing) dengan cara membuat regulasi → dari sisi pesaing
Menolak itu aktif dan frontal untuk tidak boleh melakukan usaha atau dibolekan masuk tapi untuk dimatikan. Dalam
pasar itu berbeda.

Menghalangi itu penguasa masih masuk. Contohnya diperbolehkan berusaha asalkan penguasa bisa memasukkan
saham kedalamnya.

2. menghalangi konsumen atau pelanggan untuk berhubungan dengan pesaingnya → dari sisi konsumen
dia punya fasilitas yang diikatkan dengan jasa lain yang fasilitasnya esensial (essential facilities).
Contohnya adalah parkiran kampus karena banyak yang bawa mobil dan motor. Jika misalnya Mas agus
mengatakan “kalau gak beli ayam kremes mas agus gabakal dikasih parkir”

3. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang atau jasa pada pasar bersangkutan
tujuan membatasi peredaran adalah menaikan harga karena prinsip penawaran permintaan, kalau supply berkurang
maka harga akan naik.

4. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu


Ini merupakan pasal karet dimana dalam kasus besar yang tidak yakin. Jika anda mau membeli barang dari produsen
yang sama, jika ada yang jual 9,900 bisa dibawa ke kppu.

Dalam perkara tender (pasal 22) biasanya dikumulatifkan dengan pasal 19. Kalau tendernya tidak terbukti salah
tetap dikenakan kppu kedua orang (pemenang tender dan pencari tender) karena dari awal ketika minta konsultasi
diberi kesempatan tetapi pelaku usaha lain yang kalah tidak diberikesempatan.

15
TAMBAHAN HPU 6

Gessica Fresahana Marsauli

MONOPOLI

Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan
usaha. Monopoli itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu monos polein yang artinya penjual
sendiri. Namun istilah tersebut dalam kenyataannya sudah tidak relevan lagi, berdasarkan perkembangannya meskipun di
dalam suatu pasar atau industry terdapat beberapa pelaku usaha, tetapi jika ada satu pelaku usaha yang memiliki perilaku
seperti monopoli maka dapat dikatakan perusahaan tersebut monopoli.

Berdasarkan teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu: monopoli yang alamiah (natural monopoly) dan monopoli
yang diperoleh melalui peraturan perundangundangan.

Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan teknis tertentu
seperti:
(1) pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan
berproduksi sangat efesien;
(2) skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi maka biaya marjinal semakin menurun, sehingga biaya
produksi perunit (average cost) makin rendah;
(3) pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi, baik berupa sumber daya alam, sumber daya
manusia maupun lokasi produksi.

Sedangkan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan adalah:


(1) hak atas kekayaan intelektual, yaitu dimana negara memberikan hak monopoli kepada pelaku usaha untuk
memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya tersebut;
(2) (2) hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan
oleh pelaku usaha yang lain, misalkan agen tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal, dan lain sebagainya.

Dimasukannya monopoli ke dalam katagori salah satu kegiatan yang dilarang oleh undang-undang persaingan usaha, bukan
berarti bahwa sama sekali kegiatan monopoli tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan, seperti yang monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
masih diperbolehkan, asalkan diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang No.5/1999.

Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli, membuat monopoli menjadi suatu kegiatan yang perlu
diatur oleh undang-undang. Menurut Machlup terdapat beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari suatu kegiatan
monopoli, antara lain:
(1) mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak ekonomis;
(2) melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan tingkat harga, melalui produksi yang lebih rendah;
(3) membuka kesempatan untuk memberikan upah yang rendah pada tenaga kerja,dalam kondisi kerja yang buruk;
(4) menekan persaingan dan menyebabkan pengelolaan tidak efesien;
(5) mengurangi arus investasi, dapat pula meniadakan rangsangan inovasi;
(6) dalam berproduksi menghindari kapasitas penuh;
(7) memperlambat penyesuaian dalam perubahan ekonomi, misalnya ada ketegaran harga dan merangsang adanya
ketidak stabilan;
(8) memperlambat perbaikan tingkat kehidupan;
(9) memperburuk distribusi pendapatan melalui penentuan laba yang tinggi, dan konsentrasi kekayaan.

16
Pelaku usaha tidak dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan munculnya permasalahan-permasalahan di atas, tanpa
pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan monopoli (monopoly power). Tanpa monopoly power pelaku usaha tidak akan
mempunyai kemampuan untuk menaikan harga semaunya, mengurangi produksi ataupun kualitas produk seenaknya saja.
Tanpa monopoly power juga pelaku usaha tidak dapat bisa keliru dalam mengalokasikan sumber daya, menyerap surplus
konsumen ke produsen, menolak adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha, atau sentralisasi dan
menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya.

Lebih lanjut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 mendefenisikan Monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Monopoli oleh Undang-undang No.5/1999 dikatagorikan sebagai salah satu kegiatan yang dilarang untuk dilakukan, Pasal 17
ayat (1) Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan barang dan/atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Sedangkan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 lebih lanjut menyebutkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau
dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) apabila:
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.

Parameter yang digunakan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk mengetahui pelaku usaha melakukan monopoli atau tidak,
yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No.5/1999, dalam implementasinya akan menimbulkan ketidak pastian,
terutama dalam hal pencatuman kata “atau” sebagai kata penghubung pada setiap kondisi yang dianggap sebagai ukuran dari
monopoli, sehingga membawa konsekwensi dengan digunakannya salah satu ukuran yang ada (seperti mengakibatkan pelaku
usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama) pelaku usaha dapat dianggap
melakukan monopoli, padahal pelaku usaha tersebut mungkin tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.

Pengaturan mengenai monopoli pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 yang dirumuskan secara Rule of Reason, juga dapat
ditafsirkan bahwa pelaku usaha (baik itu satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha) sebenarnya tidak dilarang untuk
melakukan penguasaan barang dan/atau jasa hingga lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar, asalkan terdapat
substitusi terhadap barang atau jasa yang bersangkutan, tidak mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama dan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.

Pemberian judul Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 dengan judul monopoli, ditafsirkan oleh masyarakat luas bahwa
monopoli merupakan suatu yang dilarang. Padahal sesungguhnya apabila dibaca isi dari pasal 17 Undang-undang No.5/1999
sama sekali tidak melarang monopoli, tetapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi monopoli yang dimiliki oleh pelaku
usaha untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan tersebut.

Apabila merujuk kepada Model Law on Competition UNCTAD, Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak
memiliki padanannya secara langsung, namun ketentuan
yang ada pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 memiliki kemiripan substansi dengan Pasal 4 Model Law on Competition
UNCTAD mengatur mengenai perilaku yang dianggap sebagai penyalah gunaan posisi dominan.

MONOPSONI

Secara teori ekonomi, monopsoni adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli. Biasanya pembeli tunggal ini
akan menjual dengan cara monopoli. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul dan juga ada potensi yang

17
tidak sehat, karenanya Undang-Undang no 5 tahun 1999 mengatur secara khusus dalam pasal 18. Secara hukum, pasal ini
melarang pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan /atau jasa dalam pasar
yang bersangkutan. Dan pada ayat dua, pasal ini menyatakan seseorang atau sekelompok pelaku usaha dianggap melakukan
monopsoni manakala menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pada satu jenis barang atau jasa tertentu.

Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi.
Contoh klasik pada literatur ekonomi adalah kasus penguasaan pasar tenaga kerja oleh pihak produsen pada daerah
pertambangan, dimana pemuda atau angkatan kerja tidak punya banyak pilihan untuk bekerja. Misalkan pada suatu daerah
yang kaya minyak tertentu hanya terdapat sebuah perusahaan/industri pertambangan dan perusahaan tersebut sangat besar.
Maka, meskipun pemerintah daerah setempat menyediakan alternatif tempat bekerja yang lain pada retail dan jasa, akan tetapi
hampir bisa dipastikan industri yang sendiri tadi akan sangat bisa menguasai pasar tenaga kerja di kota tersebut. Dan industri
tersebut bisa dipastikan akan menyedot tenaga kerja, yang konsekuensinya adalah pengaturan harga dari tenaga kerja tersebut.
Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salahsatu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan
tegas kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.

Kasus penguasaan tenaga kerja juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang mereka sangat solid sehingga mereka memiliki
nilai tawar yang sangat tinggi. Solid disini terukur dengan kemampuan organisasi serikat tenaga kerja yang dapat meliputi dan
mewakili sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri. Dalam kondisi tertentu mereka bahkan bisa
merugikan perusahaan dengan :
1. Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja.
Dengan ancaman mogok yang sangt merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan
untuk merubah.

2. Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan tenaga kerja. Pembatasan penawaran
juga akan berimplikasi pada tuntutan peninggian upah.

Untuk kasus Indonesia, kita juga melihat beberapa kasus yang terjadi pada tenaga kerja. Akan tetapi pada beberapa tahun
belakangan ini, kita juga melihhat ada kasus monopsoni yang terjadi pada beberap pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh,
dimana BPPC dibawah koordinasi Tomy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada Badan tersebut
dengan berbagai alasan yang dipaksakan.

Monopsoni juga terjadi pada kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi di Singapura. Tentunya Singapura
dalam hal ini menjadi pembeli tunggal yang kita sebut dengan monopsoni juga. .Keadaan ini membuat Singapura memiliki
kemampuan untuk mendikte harga pasir di pasar. Otomatis harga dapat bergerak turun-naik menurut kehendak pembeli, dan
Singapura telah mampu menekan harga pasir secara drastis di kurun waktu tahun 1999-2002. Lepas dari Singapura kemudian
punya kemampuan memaksakan harga atau tidak, pada kondisi tertentu pasar dengan struktur seperti ini sangat rentan
menimbulkan pasar gelap (black market), semisal penyelundupan dan lain-lain. Dalam kasus ini Singapura bisa menempuh
jalan kasar kalau pemerintah tidak mau menuruti kemauan harga yang diinginkan mereka, yakni dengan penyelundupan, dan
sudah terjadi. Tentunya, dalam jangka pendek dan panjang , hal ini sangat merugikan bangsa ini.

Kasus lain yang cukup mengusik kita adalah kasus penguasaan beras di beberapa daerah yang mesti dijual kepada KUD
(Koperasi Unit Desa), DOLOG dan lain-lain. Juga peternak sapi perah di Pengalengan dan Cikajang yang dengan banyak
alasan harus menjual susunya pada Koperasi (KPBS), dengan harga yang tentunya sudah diatur sedemikian rupa.

Penegakkan Pasal 18 Undang-undang No.5/1999 dalam prakteknya bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena berdasarkan
pengalaman praktek ini merupakan praktek yang
jarang terjadi dan konsekwensi hukum yang akan timbul dari ketentuan ini tetap tidak jelas. Dan apabila melihat kepada Model
Law on Competition Law UNCTAD padanan untuk pasal 18 ini sulit untuk ditemukan.

Pemberian judul monopsoni pada pasal 18 undang-undang No.5/1999, dapat ditafsirkan dan dibaca oleh masyarakat bahwa
monoposoni itu merupkan suatu hal yang dilarang padahal dalam kenyataannya monopsoni bukan sesuatu yang terlarang,
maka lebih baik judul monopsoni dalam pasal 18 dihilangkan saja atau ketentuan ini tidak perlu diberikan judul.

18
PENGUASAAN PASAR

Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha,
karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa
diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara dilakukan -dari yang halal sampai yang haram- oleh pelaku usaha agar mereka dapat
menjadi penguasa di pasar. Penguasaan pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala
tindakan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan
usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha
tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan yang tujuannya agar dia dapat tetap
menjadi penguasa pasar. Bagian ketiga dari Bab IV (mengenai Kegiatan yang Dilarang) Undang-undang No.5/1999
memasukan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha ketika memiliki penguasaan yang cukup besar di
dalam pasar, yaitu :
(1) menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan;
(2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaing;
(3) membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan;
(4) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu;
(5) melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat
rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan;
(6) melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen
harga barang dan/atau jasa.

Kegiatan nomor satu sampai nomor empat di atas diatur di dalam Pasal 19 Undangundang No.5/1999, dimana Pasal 19
Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”

Sebenarnya Pasal 19 Undang-undang No.5/1999, ini lebih baik pengaturannya disinergikan saja dengan pengaturan mengenai
monopoli yang diatur di dalam Pasal 17 Undang-undang No.5/1999, pengaturan mengenai oligopoli yang diatur di dalam
Pasal 4 Undang-undang No.5/1999 dan pengaturan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25 Undang-undang No.5/1999
karena ketentuan Pasal 19 tersebut memiliki kesamaan satu sama lain dengan Pasal-pasal yang telah disebutkan tersebut.

Sedangkan Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, apabila membaca Model Law on Competition UNCTAD memiliki
padanannya yaitu pada Pasal 4 Romawi II huruf (a).

Sedangkan dalam hal pembuktian mengenai masalah seperti yang diatur oleh Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999,
hukum persaingan Jerman menerapkan pembuktian terbalik, sehingga pelaku usaha yang dituduhkan melakukan praktek yang
dilarang tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pelaku uhsa tersebut tidak melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya.

19
HPU 7

Gessica Fresahana Marsauli

Posisi Dominan
Contoh Posisi Dominan
Pasal 25 ayat (2)
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
b. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen)atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
c. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Kalau dilihat ada hal-hal yang harus dia lakukan


Pasal 25 ayat (1)
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

Carrefour
Tahun 2005 dan 2009. Sebelum menjadi anak usaha tetapi dia punya syarat untuk menjual (di etalasenya),
semakin lemah popularitasnya pasti akan semakin tertekan.

5 Pasar:
 Supermarket (superindo, tip top)
 Pasar retail (hypermart, Carrefour, lotte)
 Minimarket (alfamart indomart)
 Pasar tradisional
 Pasar tengkulak

Hypermart dan Carrefour kecil kemungkinan konsumen ketika tidak ada barangnya di hypermart dia akan
berpindah ke Carrefour walaupun letaknya sebelahan atau hadap-hadapan. Ini alasan Carrefour di hukum
KPPU. Tahun 2009 dibebaskan karena tidak bisa membuktikan bahwa ada harga dan kualitas yang lebih
bagus dari Carrefour. Di kasasi dibebaskan.

Ketika menerapkan syarat perdagangan, pelaku usaha bisa menunjukan hasil survey kepuasan konsumen.
Unsur yang mau dibuktikan kppu dibatalkan karena tidak memenuhi syarat.

a. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

ada suatu pasar yang berinovasi pasti pasar lain juga berinovasi. Pasar TELKO bukan sekedar memberikan
sarana berkomunikasi dengan orang tetapi sudah bisa melakukan pembayaran lewat telekomunikasi seperti
T-Cash. Ada juga paket data atau internet.

Ketika semua pasar melewati teknologi menjadi make sense sekarang ini. mungkin tahun 1999 tidak masuk
akal.

b. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Pasal 25 menyerahkan pada kppu bentuk kegiatan dan kategori subyek yang melakukan. Tetapi menurut doktrin ada bentuk
kegiatan yang dominan:
1. Direct

20
2. Indirect

Pelaku usaha lain yang berpotensi dilihat dari usahanya.


1. Kalau skala besar harus sudah ada di luar negeri.
Sogo kalau dia lihat uniqlo dan HnM, dia tahu kalau mereka adalah pelaku usaha lain yang potensial.
2. Siapa yang dibelakangnya
Hypermart pemegang sahamnya oke yaitu james riady.

Persamaan posisi dominan dan kegiatan yang dilarang

Posisi dominan itu hampir sama dengan kegiatan yang dilarang. Ini bisa dilakukan sendirian dan bisa juga berkolusi.

RANGKAP JABATAN
Sudah pasti kolusi dimana ada dua perusahaan yang mana dia switch aja jabatannya. Di PT A jadi dirut tapi di PT B jadi
Komisaris dan sebaliknya.

Hal yang dilarang dari Rangkap Jabatan adalah Hilangnya Independensi.


Persaingan itu ada kalau pelaku usaha itu independen.

Pasal 26

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang
merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan–perusahaan tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau (HORIZONTAL)
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau (VERTIKAL) atau (VERTIKAL dan
HORIZONTAL)
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kasus reservasi tiket dengan garuda yang harus lewat albatus. Dulu dia mempersyaratkan agen untuk memakai
aplikasi yang dia sediakan sehingga agen tidak punya pilihan.

Rangkap jabatan itu signifikan.


Waktu itu ada yang jadi direksi di PT A tetapi jadi Manajer di PT B, itu juga dikenakan.

Yang ditakutkan dari rangkap jabatan adalah cross informasi.

Contoh Posisi Dominan yang lain adalah diatur dalam pasal 27

Pasal 27 – Pemilikan Silang


Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam
bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Contoh perusahaan A dan perusahaan B. si Z punya saham di A 55% dan di B 60%. Ini adalah pemilikan silang (dua duanya
punya). Ini kejadian waktu indosat dan telkomsel oleh temasek holding company. Ini terjadi karena identik.

21
UU kita ini teritorial dan tidak berlaku ke luar negeri. Menurut KPPU hasil pembuktiannya perintah semua ada disini. Jadi
tidak ada independensi karena otaknya hanya satu. Temasek complain ketika disuruh KPPU untuk melepas salah satu.

Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan


Menurut rezim undang-undang, penggabungan notifikasi itu dilakukan setelah akuisisi dan lainnya tidak lazim.

Pasal 29 ayat (1)


(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi,
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.

Selain notifikasi ada konsultasi dalam KPPU. Baya untuk merger itu tidak kecil. Jadi KPPU harus konsultasi baru notifikasi.
Dalam notifikasi ada denda.

22
Tambahan HPU 7

Gessica Fresahana Marsauli

Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.

Bila dibandingkan dengan monopoli, secara konseptual posisi dominan itu seperti jembatan di antara struktur pasar monopoli
dan struktur pasar oligopolistik (pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan sejenis yang mempunyai kemampuan yang
sama). Pada pasar yang berstruktur monopoli, pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar akan mendapatkan rintangan
yang cukup besar dari si pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli, tetapi untuk pasar yang terdapat pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan di dalamnya,
hambatan yang dibuat untuk mencegah pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar oleh pelaku usaha yang memiliki
kedudukan posisi dominan tidak sebesar yang dibuat oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, atau dengan kata
lain rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha dominan untuk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang
sama tidak sebesar rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, sehingga dapat
dikatakan bahwa si posisi dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di dalam
pasar.

Sedangkan hal lainnya yang membedakan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan dengan pelaku usaha yang
memiki kedudukan monopoli adalah Kemampuan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan (si posisi dominan)
dalam mengontrol (menaikan atau menurunkan) harga tidak sekuat yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan
monopoli. Dimana dalam menentukan harga si posisi dominan harus memperhatikan reaksi konsumen atas tindakan yang
diambilnya, karena mungkin atas tindakannya tersebut dapat memicu konsumen si posisi dominan berpindah kepada pelaku
usaha lain yang lebih kecil yang berusaha menjadi pesaing dari si posisi dominan. Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli (si monopoli) tidak perlu memperhatikan reaksi konsumen ketika si monopoli harus menaikan harga,
karena si monopoli mempunyai keyakinan bahwa konsumen tidak akan berpindah ke pelaku usaha lain meskipun si monopoli
nantinya menaikan harga, karena sebelumnya si monopoli telah membuat rintangan-rintangan yang mencegah pelaku usaha
lain masuk ke dalam pasar si monopoli, sehingga membuat yang ada di dalam pasar tersebut hanya si monopoli saja yang
menjalankan usahanya.

Mencapai posisi dominan di dalam pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha
diharuskan meningkatkan kemampuan keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha bisa
mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar.

Oleh karena mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar perlu usaha yang tidak ringan, hal tersebut mendorong si
pelaku usaha melakukan segala cara untuk mempertahankan posisi dominannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain,
bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan-tindakan yang terlarang (anti persaingan) dalam mempertahankan
posisi dominannya.

Hukum persaingan usaha memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi
dominan, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan
mempunyai kecendrungan untuk menghalalkan melakukan segala cara dalam mempertahankan posisi dominanya di dalam
pasar. Si posisi dominan sangat tidak tentram bila ada pelaku
usaha yang yang coba-coba untuk menggoyahkan kedudukannya di dalam pasar, sehingga terkadang si posisi dominan
menerapkan strategi-strategi bisnis yang membuat pelaku usaha lain tidak dapat menyainginya, bila si posisi dominan dalam
mempertahankan posisi dominannya tidak melalui cara-cara yang anti persaingan, seperti mengembangakan teknologi ataupun
peningkatan permodalannya sudah barang tentu bagi hukum persaingan usaha tidak menjadi masalah, tetapi ketika si posisi
dominan dalam mempertahankan kedudukannya melalui cara-cara yang anti persaingan maka sudah barang tentu pula hukum
persaingan usaha sudah menyiapkan jerat-jerat hukum untuk si posisi dominan.

23
Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II Perusahaan Alumunium America (Alcoa), merupakan satu-satunya
perusahaan nasional Amerika Serikat yang memproduksi batangan alumunium dari biji alumunium. Alcoa dalam pasar
Amerika menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan alumunium yang melakukan daur ulang alumunium.
Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan
teknologi tersebut Alcoa dapat memproduksi alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa memegang hak paten dan
dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah
kadaluwarsa dan Alcoa harus mempertahankan posisi tersebut.

Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh,
melakukan pembelian bauxit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannnya sehingga menyebabkan perusahaan
lain yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan
alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN
Amerika) yang mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai produsen
batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa mendapatkan listrik dengan harga yang murah (perlu diketahui
bahwa untuk memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar). Dalam pandangan pengadilan, pemerintah
dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan
monopoli di bidang produksi alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat menemukan bahwa
Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari
Sherman Act. Faktor yang mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh Alcoa.
Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan:

“It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and be prepared to supply them. Nothing
compelled it to keep doubling and redoubling its capacity before others entered the field. It insist thet it never excluded
competitors; but we can think of no more effective exclusion than progressively to embrace each new opportunity as it opened,
and to face every newcomer with new capacity already geared into a great organization, having the advantage of experience,
trade connections and the elite of personel.”

Pada Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 25 mengemukakan beberapa tindakan terlarang yang umumnya dilakukan
oleh si posisi dominan dalam mempertahankan kedudukannya di dalam pasar, antara lain:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik darisegi harga maupun dari segi kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No.5/1999 secara khusus sebenarnya tidak mengharamkan
bagi pelaku usaha memiliki kedudukan posisi
dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk melakukan hal-hal yang telah di
sebutkan di atas, Seperti yang dikemukakan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang
menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.”

Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan oleh Undang-undang No.5/1999 apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau,
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu, dimana hal ini di atur di dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999.

Tetapi dengan pemberian judul posisi dominan pada Bab tersebut, seolah-olah posisi dominan dibaca oleh masyarakat sebagi
suatu yang dilarang oleh Undang-Undang No.5/1999. Padahal sebenarnya tidak demikian. Undang-undang ini tidak bertujuan
untuk melarang pelaku usaha untuk menjadi besar atau dominan dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan sebaliknya, UU No.
5/1999 justru bertujuan untuk menggairahkan dunia usaha di Indonesia. Pada dasarnya tidak ada larangan bagi pelaku usaha
untuk memiliki posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan sepanjang posisi dominan
tersebut diperolehnya dengan cara-cara yang jujur dan mengedepankan persaingan yang sehat dalam berbisnis. Dengan
demikian penjudulan “Posisi Dominan” sangat tidak
tepat sebagai sesuatu yang dilarang, dan lebih tepat apabila judul bab tersebut diganti dengan judul “Penyalahgunaan Posisi
Dominan”, karena dianggap penyalahgunaan posisi dominan memiliki konotasi yang negatif sehingga harus menjadi sesuatu
hal yang dilarang oleh undang-undang nantinya. Dan apabila melihat substansi yang ada dalam bab tersebut memang nampak
lebih tepat bahwa hal-hal yang dilarang di dalam bab tersebut merupakan penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga
24
kesimpulannya adalah bahwa pencapaian penguasaan pangsa pasar (posisi dominan) pada dasarnya tidaklah dilarang, yang
dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan tersebut.

Kemudian isi dari Pasal 25 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No.5/1999 mempunyai kesamaan dengan pasal 19 huruf b
Undang-undang No.5/1999, walaupun tidak sepenuhnya sama. Persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa pelaku
usaha bersangkutan menentukan syarat perdagangan. Rumusan ini bermakna sangat luas dan sepertinya meliputi hampir
seluruh perilaku persaingan usaha. Untuk itu perlu semacam pengaturan yang lebih jelas dan bukan merupakan pengulangan
dari suatu pasal yang lain. Begitupula dengan pasal 25 ayat 1 huruf (b) di mana hal ini memiliki tujuan mirip dengan tujuan
pasal 19 huruf c. Pada pasal 25 ayat 1 huruf (b) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya
untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi. Mengenai tujuan membatasi pasar, hal ini bermakna
sangat luas, sehingga memerlukan interpretasi. Dan istilah “membatasi” dan “pasar” tidak dijabarkan lebih lanjut. Apabila
dilakukan interpretasi secara ekstensif, yang sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan ini, maka semua
hambatan persaingan sekaligus merupakan pembatasan pasar.

Selanjutnya, di dalam pasal tersebut diatas disebutkan juga bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pengembangan teknologi. Tentu saja hak atas kekayaan intelektual sebagai monopoli pribadi
cocok sekali untuk membatasi pengembangan teknologi. Namun dari sistematik undang-undang ini nyata bahwa pasal 25 ayat
1 huruf (a) memerlukan reduksi teleologis.63 Menurut pasal 50 huruf b, perjanjian hak atas kekayaan intelektual dikecualikan
dari jangkauan undang-undang ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hambatan persaingan yang diakibatkan adanya
hak atas kekayaan intelektual selalu harus dapat diterima. Karenanya, pasal 25 ayat 1 huruf (b) hanya ditujukan bagi
pembatasan yang “melampaui” batas, yang telah ditetapkan oleh hak milik kekayaan industri dan hak cipta.

Sedangkan Pasal 25 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 menekankan tujuan penyalahgunakan posisi dominan untuk
menciptakan hambatan masuk kepada pelaku
usaha lain untuk ikut terjun dalam bidang usaha yang sama, sebenarnya pengaturan ini telah diakomodir di dalam pasal 10 ayat
(1) Undang-undang No. 5/1999 yang berbunyi sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk itu maka perlu kedua pengaturan tersebut diakomodir di dalam satu bagian atau
pasal tertentu sehingga tidak terjadi pengulangan pengaturan.
Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbunyi: Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)
apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Materi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf a identik dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 dan
Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No.5/1999, sedangkan Pasal 25 ayat (2) huruf (b) sama dengan isi pasal 4 ayat (2) Undang-
undang No.5/1999 dan pasal 13 ayat 2 Undang-undang No.5/1999.

Kata-kata yang dipergunakan dalam ketentuan dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbeda dengan istilah
hukum “pasar bersangkutan” yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999, dan dapat mengarah pada
interpretasi yang lebih sempit, namun kesamaan bahasa dan konsep UNCTAD mengindikasikan bahwa sesuai dengan standar
internasional, dibutuhkan posisi dominan dalam pasar
bersangkutan. Karena itu, istilah hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999 juga relevan
dalam penerapan pasal 25 ayat (2). Dari materinya, ketentuan ini berkaitan dengan definisi posisi dominan sebagaimana
dimaksud pasal 1 angka (4) Undang-undang No.5/1999 dan memodifikasi definisi tersebut. Namun dalam menerapkan
ketentuan tersebut, pangsa pasar bukan merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi dominan. Perlu
dipertanyakan apakah parameter-parameter lainnya yang berperan penting untuk menentukan posisi dominan patut atau dapat
diabaikan dalam menerapkan Pasal 25 ayat 2 Undangundang No.5/1999. apabila demikian, maka definisi hukum di satu-
satunya ketentuan hukum dalam undang-undang ini yang menggunakan istilah hukum “posisi dominan”, termodifikasi secara
menyeluruh. Namun hal ini perlu dihindari demi penerapan istilahistilah hukum secara seragam, paling sedikit di dalam satu
undang-undang Lebih lanjut pada Bab Posisi Dominan Undang-undang No.5/1999 juga memasukan beberapa hal yang
memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi dominan di dalam pasar, yaitu antara lain:
25
a. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam
pasar yang sama (Pasal 26 Undang-undang No.5/1999);
b. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 27
Undang-undang No.5/1999);
c. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha (Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang
No.5/1999).

Bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan,
kemudian menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga,
kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi
pejabat direksi atau komisarisnya, yang
mungkin jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama perusahaan-perusahaan
tersebut dapat saling bersaing satu sama lain, namun karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau
komisaris yang sama sangat kecil kemungkinannya di antara perusahaan tersebut akan saling bersaing.

Memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama, sudah
barang tentu akan membuat perilaku dari perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar,
sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama tersebut terlihat seperti
satu perusahaan saja.

Dengan terjadinya praktek jabatan rangkap dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara. Misalnya dapat
menimbulkan pengawasan administratif di mana keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan
pembentukan strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan kegiatan bersama lainnya.
Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak diawasi dengan cara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk
menghindarkan perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di daerah praktek usaha yang
restriktif.

Meskipun jabatan rangkap terlihat dari penjelasan di atas memberikan dampak yang kurang baik bagi persaingan usaha, bukan
berarti seseorang dilarang sama sekali untuk menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada di dalam pasar
bersangkutan yang sama, karena berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999, yang berbunyi :“seseorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap
menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut:
(1) berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
(2) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau
(3) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,”

sehingga dapat dikatakan jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan
rangkap yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan mungkin yang dimaksud dengan jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat atau yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan adanya
perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian
menyebabkan beberapa perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat keberadaan
mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan tersebut saling berkolusi untuk melakukan tindakan-
tindakan yang anti persaingan.

Namun untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup pengaturan mengenai jabatan rangkap
terhadap direksi atau komisaris saja sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999. Direksi dan
Komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas, di mana direksi dan komisaris merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan
pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999 tetap dipertahankan demikian, di mana larangan jabatan rangkap tersebut hanya

26
diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris maka pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma,
CV, Koperasi dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun badan usaha tersebut
memenuhi kriteria huruf (a), (b), dan (c) yang justru sebenarnya dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak
sehat.

Untuk itu agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada badan usaha yang berbentuk Perseroan
Terbatas saja maka penggunaan istilah Direktur dan Komisaris ini diganti menjadi Pengurus dan Pengawas dengan harapan
agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain Perseroan Terbatas.

Kedudukan posisi dominan pelaku usaha juga bisa dilakukan dengan cara memiliki saham secara mayoritas di beberapa
perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, dimana
kemudian pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi lebih besar.

Dengan memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sejenis yang bergerak di dalam pasar yang sama,
pelaku usaha melalui perusahaan-perusahaanya yang telah berhasil dikuasai dapat juga melakukan tindakan seperti yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang menduduki jabatan rangkap dibeberapa perusahaan yang berada dalam pasar yang sama,
sehingga seharusnya pengaturan mengenai kepemilikan
saham secara mayoritas di beberapa perusuhaan yang sama disesuaikan dengan pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi
dominan dan jabatan rangkap.

Namun Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai pemilikan saham secara mayoritas pada perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama - (dimana Pasal 27 secara lengkap berbunyi:
“pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam
bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
(1) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu:
(2) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”)

- sepertinya dirumuskan secara keliru, karena Pasal 27 yang merupakan salah satu pasal yang juga menjadi bagian dari Bab V
Posisi Dominan, seharusnya perumusannya juga disesuaikan dengan kaidah yang lain, seperti pada pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap, yang dikatakan sebelumnya bahwa sesungguhnya posisi dominan itu
sendiri tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-undang
No.5/1999, dan begitu pula jabatan rangkap yang sebenarnya juga tidak dilarang asalkan tidak mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sesungguhnya dampak yang muncul dengan dimilikinya
saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sama tidak jauh berbeda dengan dampak yang ditimbulkan oleh jabatan
rangkap pada perusahaan yang bergerak pada pasar yang sama.
Kemudian pmberian judul Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 dengan judul Pemilikan Saham. Pemberian titel ini tidak tepat
karena terminologi pemilikan saham itu bersifat umum. Dan kembali lagi bahwa apabila Pemilikan Saham menjadi judul salah
satu pasal di dalam bab mengenai penyalahgunaan posisi dominan, maka kesan awal yang dapat
ditangkap adalah bahwa pemilikan saham khususnya pemilikan saham mayoritas adalah suatu penyalahgunaan posisi
dominan. Padahal seharusnya tidak demikian, karena undang-undang ini pada dasarnya tidak melarang sesorang untuk
memiliki saham mayoritas dari suatu perusahaan.

Pengaturan di dalam pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang berkaitan dengan masalah kepemilikan saham mayoritas di
beberapa perusahaan sangat terkait dengan masalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan karena perbuatan hukum
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan biasanya akan berpengaruh terhadap perubahan komposisi kepemilikan saham
perusahaan. Sehingga ada baiknya apabila pasal 27 Undang-undang No.5/1999 mengenai pemilikan saham ini digabungkan
atau
dimasukan saja ke dalam Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.

27
Persyaratan lebih lanjut, yang berhubungan dengan kepemilikan saham mayoritas, dapat menimbulkan kekhawatiran dalam
kasus-kasus tertentu apabila teks ketentuan ini hanya digunakan sebagai standar orientasi. Hal tersebut terjadi apabila bahaya
yang diakibatkan oleh kepemilikan saham tersebut secara de facto tidak dapat terjadi,
misalnya kalau pemegang saham mayoritas tidak berhak untuk melaksanakan hak memilih yang sesuai. Oleh karena itu
rumusan undang-undang tersebut tidak memuat acuan untuk penilaian terperinci, khususnya karena pasal 27 Undang-undang
No.5/1999 kelihatannya tidak mempunyai elemen-elemen pembatas atau modifikasi apabila hambatan hukum untuk memulai
penyelidikan sudah tercapai.

Hal lain yang menyebabkan pelaku usaha memiliki kedudukan sebagai posisi dominan di dalam pasar adalah dengan cara
pelaku usaha tersebut melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akusisi) perusahaan
lain.

Penggabungan (merger) menurut Black’s Law Dictionary adalah “(T)he absorption of one company by another, latter
retaining its own name and identity and acquiring assets, liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company
ceasing to exist as separate business entity.” sementara merger menurut Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas adalah “perbuatan hukum yang dilakukan satu perseroan
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan
diri menjadi bubar.”

Peleburan (konsolidasi) menurut Black’s Law Dictionary adalah “...when two or more corporations are extinguished, and by
the same process a new one is created, taking over the assets and assuming the liabilities of those passing out of existence. A
unifying of two or more corporations into a single new corporation having the combined capital, francises, and powers of all
its constituents.” Sedangkan menurut PP No.27/1998, Peleburan diartikan sebagai: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masingmasing perseroan yang
meleburkan diri menjadi bubar.”
Pranata konsolidasi ini kurang populer dalam praktek dan kurang banyak diminati orang. Konsolidasi perusahaan terjadi jika
sebuah perusahaan baru dibentuk untuk mengambil alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi. Dengan
perkataan lain, konsolidasi dari suatu perusahaan berarti suatu proses dimana dua atau lebih perusahaan meleburkan diri, dan
dalam proses tersebut juga dibentuk suatu perusahaan baru yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi (mengambil alih)
kewajiban dari kedua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri tersebut. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa konsolidasi
perusahaan terjadi jika yang di dalamnya itu telah dilebur dua maskapai yang seluruhnya baru, dengan tidak adanya maskapai-
maskapai yang semula hidup terus. Istilah ini sering juga sebagai gantinya amalgation.

Sedangkan pengambilalihan (akusisi) menurut Black’s Law Dictionary adalah:“(T)he act of becoming the owner of certain
property.” Sementara menurut PP No.27/1998 pengambilalihan adalah: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum
atau perseorangan untuk mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham perseorangan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.”

Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah suatu pengambilalihan kepentingan
pengontrolan (controlling interest) dalam perusahaan lain. Secara lebih spesifik, akuisisi perusahaan merupakan tindakan
untuk mengambil alih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang biasanya, tetapi tidak selamanya, dicapai dengan membeli
saham biasa dari perusahaan lain. Karena dengan kata akuisisi mengandung kata memiliki atau mengambil alih ( Take Over),
maka untuk dapat dikatakan akuisisi perusahaan dalam arti pengambilalihan saham, pengambilalihan mana mestilah paling
tidak pengambilalihnya dapat menjadi mayoritas biasa (Simple Majority), yaitu minimal 51% dari seluruh saham perusahaan
yang diambil alih.

Berbeda dengan merger, maka pada kasus akuisisi, tidak ada perusahaan yang melebur ke perusahaan lainnya. Jadi setelah
terjadi akuisisi, maka kedua perusahaan masih tetap exist, hanya kepemilikannya yang telah berubah. Sedangkan dalam hal
merger (seperti juga dengan akusisi dan konsolidasi) sangat riskan melahirkan perusahaan yang memiliki kedudukan posisi
dominan yang dilarang peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu Undang-undang Persaingan Usaha sangat cukup
mewaspadai setiap merger yang terjadi, dalam artian merger sesungguhnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai menimbulkan
monopoli. Di Amrika Serikat misalnya, pasal 7 dari Clayton Act kurang lebih menyebutkan bahwa perusahaan yang terlibat

28
dalam bisnis tidak boleh memperoleh seluruh atau sebagian dari saham atau asset dari perusahaan lain yang terlibat dalam
Usaha yang sama sehingga dapat mengakibatkan secara substansial dapat memperkecil kompetisi atau cenderung menciptakan
monopoli.

Efek negative dari merger terhadap suatu Persaingan adalah sebagai berikut:
a. terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga produk menjadi lebih tinggi;
b. kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat mengancam pelaku Usaha kecil.

Suatu konsentrasi pasar dapat dilihat dari dua faktor sebagai berikut :
a. berapa banyak pelaku usaha untuk produk yang bersangkutan;
b. berapa besar pangsa pasar yang dikuasainya.

Dalam mengkaji efek anti persaingan dari suatu merger, konsolidasi, dan akusisi oleh hukum persaingan usaha biasanya di
lihat dari:
a. Harga yang berkolusi
b. Skala ekonomi yang tereksploitasi
c. kekuasaan untuk monopoli (monopoly power)
d. Interdependensi yang oligopolistik.

Disamping itu, beberapa faktor tambahan yang seharusnya ikut dipertimbangkan untuk menentukan seberapa jauh suatu
merger, konsolidasi dan akusisi dapat dikategorikan sebagai yang dilarang hukum persaingan usaha. Beberapa Faktor-faktor
tambahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Arah kecenderungan perubahan kondisi pasar
b. Kondisi finansial dari pelaku pasar
c. Kemudahan untuk dapat masuk ke pasar.
Ini kemudian berkembang dalam teori “jalan masuk” (Entrenchment theory)
d. Ketersediaan produk substitusi
e. Sifat dari produk
f. Syarat-syarat penjualan produk
g. Market Performance
h. Dampak efisiensinya

Dalam teori ilmu ekonomi industri, dikenal pula suatu cara menghitung konsentrasi pasar yang terkonsentrasi dengan
menghitung semua pelaku pasar bersama pangsa pasar yang dikuasainya. Teori ini dikenal dengan sebutan The Herfindahl-
Hirschman Indeks
(“HHI”). Misalnya di pasar ada empat pelaku pasar dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing sebagai berikut:
- pelaku A = 30%
- pelaku B = 30%
- pelaku C = 30%
- pelaku D = 10%
Maka rumusannya adalah sebagai berikut:
C = A² + B² + C² + D²
= 30² +30² + 30² + 10²
= 2800
Keterangan :
C = Konsentrasi Pasar

Konsentrasi pasar ini bergerak dari nol (tidak ada konsentrasi) sampai 10000 (monopoli penuh/ 100²)
Besarnya tingkat graduasi konsentrasi pasar dikategorikan sebagai berikut:
(1) HHI < 1000 = pasar tidak terkonsentrasi HHI < 1800 = pasar agak terkonsentrasi (moderately consentrated) HHI >
1800 = pasar sangat terkonsentrasi (highly concentrated) Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa dengan
merger, konsolidasi atau akusisi konsentrasi pasar menjadi semakin tinggi. Misalkan jika sebelum merger antara A

29
dan B, HHI-nya adalah (A)² + (B)², maka setelah merger, HHI-nya menjadi (A+B)² yang berarti menjadi (A) ² +
2(AB) + (B) ². Jadi dengan demikian terlihat bahwa dampak dari merger yang membawa nilai HHI semakin tinggi.

Menganai merger itu sendiri apabila dilihat dari bentuknya secara umum dapat dikatagorikan menjadi:
1. Merger Horizontal;
2. Merger Vertikal
3. Merger Konglomerat

Masing-masing merger tersebut memberi warna tersendiri terhadap monopoli, yaitu sebagai berikut:

1. Merger Horizontal
Dalam merger horizontal ini, perusahaan-perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang sama. Sehingga apabila
merger dilakukan, Persaingan antara perusahaanperusahan tersebut menjadi di tiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu
akan menjadi lebih besar.
Untuk mengetahui apakah suatu merger horizontal dianggap melanggar prinsip anti monopoli atau Persaingan sehat, hokum
harus benar-benar mempertimbangkan factorfaktor sebagai berikut:
- Post merger consentration. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana konsentarasi pasar setelah dilakukan merger
tersebut.
- Peningkatan konsentarasi pasar karena merger

2. Merger Vertikal
Merger vertical (dari hulu ke hilir) ini ada yang upstream atau downstream. Vertical merger tidak membawa pengaruh secara
langsung kepada Persaingan pasar. Tidak seperti dalam horizontal merger dimana kemungkinan akan hilangnya kompetisi
karena malakukan merger ke dalam perusahaan lain tersebut. Akan tetapi sungguhpun demikian, merger vertical pun dapat
membawa akibat tidak baik, karena dapat membuat
perusahaan menguasai produksi dari hulu sampai hilir, itu dapat menjadi halangan bagi pendatang baru yang ingin masuk ke
dalam bisnis yang sama. Sungguhpun harus diakui pula bahwa merger vertical ini bukannya tidak memiliki segi positif. Antara
lain yang paling penting adalah peningkatan efesiensi, baik efesiensi dalam hal penggunaan teknologi ataupun efesiensi dalam
hal pendistribusian suatu produk.

Jadi salah satu yang ditakutkan dengan adanya merger vertical ini adalah adanya pengekangan terhadap masuknya pesaing ke
pasar (entry barrier). Dalum hokum Persaingan Usaha agar dapat divonis bahwa telah terjadinya entry barrier sebagai akibat
adanaya merger vertikal, haruslah terdapat faktor-faktor sebagai berikut:
- Derajat integrasi vertical diantara dua pasar tersebut haruslah sedemikian ekstensif sehingga dengan memasuki ke
dalam satu pasar (primary market) berarti juga harus memasuki juga pasar yang lainnya (secondary market);
- Memasuki ke dalam secondary market mensyaratkan harus dimasukinya primary market, dan memasuki primary
market jauh lebih sulit dari memasuki secondary market;
- Struktur dan sifat lain dari primary market haruslah sangat kondusif kepada terjadinya hal-hal yang non competitive.

Dengan dimikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertical ini akan mengurangi kompetisi pasar secara substansial
atau kecendrungan menimbulkan monopoli di pasar.

3. Merger Konglomerat
Merger konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger tersebut sebelumnya tidak memiliki
hubungan bisnis, jadi bukan supplier atau konsumen. Contoh merger konglomerat yang dapat menimbulkan masalah terhadap
persainga pasar adalahmerger untuk memperluas pasar. Merger konglomerat juga dapat berpengaruh negative terhadap
Persaingan pasar karena itu juga diwanti-wanti oleh hukum persaingan usaha

Bagi hukum Persaingan Usaha, maka akibat negative bagi pesaingan pasar yang sangat diwanti-wanti bahwa adalah dengan
merger konglomerat tersebut mengakibatkan hilangnya pesaing potensial. Sebab, pihak yang bergabung dengan cara
merger konglomerat tersebut, sewaktu merger dilakukan tidak dalam keadaan bersaing secara langsung yang dapat
menyebabkan perubahan struktur, konsentarsi atau penguasaan pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing “potensial”.

30
Karena itu sering disebutkan bahwa merger konglomerat hanya menimbulkan secondary effect terhadap Persaingan pasar.
Tetapi oleh hukum, inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar.

Sehingga munculah dalam hukum Persaingan Usaha teori “potential competitor”. Dimana menurut teori ini, agar dapat
dikatakan bertentangan dengan hokum Persaingan Usaha, maka merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak
yang merupakan “potential competitor”, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan Persaingan
pasar.

Oleh karena ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi merupakan bagian dari Bab V Posisi Dominan, maka dalam
menerapkan pasal 28 ini juga harus mengacu kepada pasal-pasal sebelumnya yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi
Dominan, karena pasal-pasal yang terdapat di dalam bab tersebut sesungguhnya memiliki karakteriktik permasalahan yang
sama yaitu dimana atas perbuatan yang dilakukannya menjadikan pelaku usaha tersebut menjadi dominan di dalam pasar, yang
kemudian dengan posisi dominannya sangat rentan sekali terhadap penyalahgunaan untuk tindakan-tindakan yang anti
persaingan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa merger, konsolidasi dan akusisi dapat mengakibatkan
perusahaan menjadi dominan di dalam pasar.

Namun karena ketentuan lebih lanjut mengenai merger, konsolidasi dan akusisi berdasarkan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang
No.5/1999 akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah maksa sudah barang tentunya ketentuan yang lebih
jelasnya dapat di lihat pada Peraturan Pemerintah tersebut. Berdasarkan 29 ayat (1) undang-undang No.5/1999 yang
menyatakan bahwa: “penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28 yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.” dapat diartikan
Undang-undang No.5/1999 menganut aftermerger notification yaitu pelaku usaha baru memberitahukan kepada KPPU
mengenai merger atau konsolidasi ataupun akusisi yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualan melebihi jumlah tertentu
setelah mereka melakukan merger, konsolidasi atau akusisi.

Namun mengenai penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta cara pemberitahuan berdasarkan Pasal 29 ayat (2)
Undang-undang No.5/1999 akan diatur lebih lanjut juga di dalam Peraturan Pemerintah. Dilihat dari judul yang diberikan
untuk pasal 28 dan 29 Undang-undang No.5/1999 yakni penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, di sini bukan berarti
bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan sesuatu yang dilarang oleh undangundang. Karena sebagaimana halnya
yang telah kita ketahui bahwa salah satu yang mendorong perusahaan untuk melakukan penggabungan, peleburan dan
pengembilalihan adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Maka ada baiknya apabila penjudulan penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan diganti menjadi penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang dilarang. Karena hanya
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang menciptakan persaingan tidak sehat saja yang seharusnya dilarang.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 sebagai ketentuan yang secara umum mengatur
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan usaha, telah mencakup isi peraturan pasal 27 Undang-undang No.5/1999.
Dengan demikian maka pasal 27 Undang-undang No.5/1999 merupakan lex spesialis terhadap pasal 28 Undang-undang
No.5/1999, sehingga persyaratan restriktif ketentuan tersebut (mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat) juga harus berlaku dalam hal terdapatnya peraturan khusus. Akhirnya hanya dengan cara demikian dapat dicapai
kesimpulan yang dapat dimengerti dan konsisten dengan sistem.

Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999 membahas pengawasan terhadap konsentrasi yang mencakup penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan. Kedua pasal tersebut tersebut merupakan lex imperfecta. Pasal-pasal tersebut baru dapat
diimplementasikan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang disyaratkan di pasal 28 ayat 3 dan pasal
29 ayat 2. Pasal 28 ayat 1 dan 2 maupun pasal 29 ayat 1, kalau berdiri sendiri tanpa disertai peraturan pelaksanaannya, terlalu
kabur untuk dapat diimplementasi. Kedua pasal tersebut secara jelas dimasukkan berdasarkan hasil keputusan untuk
melaksanakan pengawasan terhadap konsentrasi dan sebagai alat pengingat dalam undang-undang.
Menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan yang nilai modal atau
penjualannya melebihi batasan tertentu harus dilaporkan kepada Komisi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
dilaksanakannya proses konsentrasi.

31
Kenyataan bahwa pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 mensyaratkan kewajiban melapor suatu penggabungan yang
sudah terlaksana, namun perlu juga diberikan tambahan aturan bahwa hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi
pemeriksaan preventif yang dilakukan secara inisiatif oleh lembaga pengawas (pre-merger control). Kriteria kewajiban
pemberitahuan menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 adalah nilai modal atau penjualan dari perusahaan yang
baru terbentuk. Ketentuan ini sangat sulit dipraktekkan. Nilai modal dan penjualan dapat disembunyikan. Dengan cara
demikian, perusahaan dapat menghindari kewajiban pelaporan. Selain itu, nilai penjualan suatu perusahaan publik berubah
terus-menerus sesuai nilai sahamnya di bursa. Di dalam undang-undang nasional negara-negara industri besar maupun di
dalam ketentuan persaingan Uni Eropa, kriteria yang menentukan adalah nilai penjualan dalam tahun pembukuan sebelumnya.
Nilai penjualan adalah kriteria yang umum digunakan untuk mengetahui besarnya perusahaan. Nilai penjualan dilaporkan
dalam laporan tahunan perusahaan dan sangat sulit dimanipulasi. Nilai penjualan juga merupakan data terpenting untuk
menentukan nilai jual suatu 4perusahaan.

32

Anda mungkin juga menyukai