Anda di halaman 1dari 13

PEMBERLAKUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014


TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

DALAM KONTEKS

PERKEMBANGAN KOMPETENSI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

Prof. Dr. HM. LAICA MARZUKI, S.H.

PENDAHULUAN

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintahan tidak menyampingkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Secara mutatis mutandis, hanya perlu diadakan penyesuaian


(aanpassing) terhadap UU Nomor 30/2014 dimaksud sepanjang berkaitan
dengan kekhususan prosedural daripadanya. Asas lex posterior derogat
legi priori (= undang-undang yang datang kemudian menyampingkan
undang-undang terdahulu) tidak relevan dengan pemberlakuan UU Nomor
30/2014.

PERLUASAN KOMPETENSI

UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperluas


kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana kami catatkan
berikut ini.

1
1. Menteri Kehakiman RI, ISMAIL SALEH, SH dalam sambutannya,
mewakili Pemerintah, di hadapan Sidang DPR RI, tanggal 30 Desember
1986, atas persetujuan DPR RI terhadap RUU tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, mengemukakan 3 macam perbuatan tata usaha negara
(bestuurshandeling):

1) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan/K.TUN


(= beschikkingsdaad van de administratie);

2) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam membuat dan mengeluarkan


Peraturan (= regelend daad van de administratie);

3) Perbuatan Materil Tata Usaha Negara (= materieele daad van de


administratie);

Dikatakan bahwa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, kelak


dikenal dengan UU Nomor 5/1986 (= LN-RI Tahun 1986 Nomor 77) adalah
berkenaan dengan Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan
Keputusan/K.TUN (= beschikkingsdaad van de administratie).

Kurang lebih 28 tahun kemudian, di kala pemberlakuan UU Nomor


30/2014 (= LN-RI Tahun 2014 Nomor 292), kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara diperluas, mencakupi pula Perbuatan Materil Tata Usaha
Negara (= materieele daad van de administratie) dikenal dengan
penamaan: Tindakan Administrasi Pemerintahan (= Tindakan). Pasal 1
angka 8 UU Nomor 30/2014 merumuskan Tindakan Administrasi
Pemerintahan (juga disebut Tindakan) adalah perbuatan Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara


sehubungan dengan pemberlakuan UU Nomor 30/2014 adalah memeriksa,
mengadili dan memutus:

2
- Perbuatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan
Keputusan Administrasi Pemerintahan/K.TUN (beschikkingsdaad)

- Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya


dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/faktual
(materieele daad).

Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya


berkenaan dengan perbuatan penguasa yang melanggar hukum
(onrechmatige overheidsdaad) menurut Pasal 1365 BW Ind tidak lagi
menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum tetapi telah menjadi
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (= Pasal 85 UU Nomor 30/2014)

2. UU Nomor 30/2014 memperluas cakupan peran subjek


Penggugat/Pemohon serta subyek Tergugat/Termohon. Subyek
Penggugat/Pemohon meliputi Warga Masyarakat, lebih luas cakupannya
atas pemaknaan orang dan badan hukum perdata yang selama ini hanya
terkait perannya sebagai pihak yang mengajukan gugatan. Pasal 1. Angka
15 UU Nomor 30/2014 merumuskan Warga Masyarakat adalah seseorang
atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau
Tindakan. Pasal 7. Ayat (2), huruf f dan g UU Nomor 30/2014 mewajibkan
Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat
untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau
Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang
berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10
hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan
dan/atau dilakukan. Pasal 7. ayat (2), huruf i UU Nomor 30/2014
mewajibkan Pejabat Pemerintahan membuka akses dokumen Administrasi
Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.

3
Pasal 21. ayat (2), (3) UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan permohonan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari kerja sejak
permohonan diajukan. Pasal 21. ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor 30/2014
menetapkan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
yang bakal diputus hakim banding paling lama 21 hari kerja sejak
permohonan banding diajukan. Putusan banding bersifat mengikat.

Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan


Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.

UU Nomor 30/2014 memperluas subyek Tergugat/Termohon,


meliputi pihak penyelenggara negara lainnya, disamping Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan, kesemuanya selaku unsur yang melaksanakan
Fungsi Pemerintahan.

3. Pasal 62. ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 30/2014
memungkinkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyampaikan
Keputusan (K.TUN) melalui sarana elektronis. Penjelasan Pasal 62. ayat (1)
UU Nomor 30/2014 memaksudkan sarana elektronis, antara lain faksimile,
surat elektronik, dan sebagainya. Dalam proses beracara, suatu
Keputusan (K.TUN) yang disampaikan kepada Warga Masyarakat melalui
sarana elektronik, berkekuatan sebagai bukti surat. Keputusan (K.TUN)
yang diumumkan melalui media elektronik mulai berlaku paling lama 10
hari sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam kaitannya

4
pengirimannya, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan
harus memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.

4. Pasal 53. ayat (1), (2), (3) UU Nomor 30/2014 menentukan batas
waktu kewajiban bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna
menetapkan Keputusan (K.TUN) serta batas waktu kewajiban bagi Pejabat
Pemerintahan untuk melakukan suatu Tindakan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan. Jika ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban daripadanya maka
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Apabila dalam batas waktu
dimaksud, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan
Keputusan (K.TUN) dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan
suatu Tindakan Konkret/Faktual, maka permohonan tersebut dianggap
dikabulkan secara hukum. Tidak salah kiranya manakala hal dimaksud
dinamakan Keputusan Fiktif Positif.

Pasal 53. ayat (4), (5), (6) UU Nomor 30/2014 meluangkan Warga
Masyarakat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk memperoleh Keputusan Fiktif Positif. Pengadilan wajib
memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara prosesuil, putusan pengadilan
dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) namun tidak menunda
pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksud.

5
Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara
Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat
Pemerintahan.

Diadopsinya konsep Keputusan Fiktif Positif dalam UU Nomor


30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan pemberlakuan Keputusan
Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha
Negara dipandang telah menolak mengeluarkan suatu K.TUN manakala
dalam batas waktu tertentu tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohonkan. UU Nomor 30/2014 tidak menyampingkan atau membatalkan
Pasal 3 UU Nomor 5/1986. Hal dimaksud tepergantung sejauhmana Pasal 3
UU Nomor 5/1986 masih merupakan kebutuhan hukum bagi pencari
keadilan (justiciabel) dalam praktek upaya hukum administrasi. Lagipula,
Pasal 3 UU Nomor 5/1986 berkenaan dengan Keputusan Fiktif Negatif tidak
dapat diterapkan bagi pengajuan pemohonan dilakukannya (= atau tidak
dilakukannya) Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan.

UU NOMOR 30/2014: FOKUS PADA KEWENANGAN PEMERINTAHAN

Pembuat UU Nomor 30/2014 memfokus pengaturan normatifnya


pada Kewenangan Pemerintahan, diatur pada Bab V, Pasal 8 s/d Pasal 39
UU Nomor 30/2014.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta penyelenggara negara


lainnya dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan
(K.TUN) dan dalam hal Pejabat Pemerintahan melakukan (atau tidak
melakukan) Tindakan Administrasi Pemerintahan didasarkan pada
wewenang (= Bevoegdheden) yang dimilikinya.

6
Pasal 1. angka 5 UU Nomor 30/2014 merumuskan wewenang adalah
hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan dimaksud
merupakan Kewenangan Pemerintahan. Pasal 1. angka 6 UU Nomor
30/2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan (selanjutnya disebut
Kewenangan) adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum
publik.

Kewenangan (= bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt).


Tanpa Jabatan tidak bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah
badan (= orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan
Kewenangan. Dalam menfungsikan Kewenangan yang melekat padanya,
Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon),
lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat Pemerintahan. Badan
Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (= bestuursorgaan)
dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang
dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh Pejabat
(ambtsdrager).

Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (atau penyelenggara


negara) yang memiliki Wewenang, yang dapat mengeluarkan Keputusan
(K.TUN), dan hanya Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat
melakukan (atau tidak melakukan) suatu Tindakan Konkret/Faktual.

Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan


ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau
daerah berlakunya Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu
Wewenang itu.

7
UU Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang.

Pasal 17, 18 UU Nomor 30/2014, menetapkan, Larangan


Penyalahgunaan Wewenang berupa:
a. Larangan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
- melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya
Wewenang;
- melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;
- bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

b. Larangan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan


dan/atau Tindakan yang dilakukan:
- di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;
- bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

c. Larangan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan


dan/atau Tindakan yang dilakukan:
- tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
- bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.

Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Keputusan


dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui
Wewenang serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan secara sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah
diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan
mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan
ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan


Wewenang wajib berdasarkan a. peraturan perundang-perundangan. b.
AUPB (ABBB) (Pasal 8. ayat (2) UU Nomor 30/2014).

8
Pasal 11 UU Nomor 30/2014 menetapkan Kewenangan diperoleh
melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang


melalui Atribusi, tanggung jawab berada pada Pejabat dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor
30/2014, Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

Delegasi (Delegation of Authority) adalah pelimpahan Kewenangan


dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima delegasi. Tatkala
terjadi pelimpahan kewenangan melalui delegasi, pemberi delegasi
kehilangan kewenangan itu.

Pelimpahan Kewenangan yang diperoleh melalui mandatum,


Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Tanggung jawab
dan tanggung gugat tetap berada pada mandator. Dalam melaksanakan
wewenangnya, mandataris wajib mencantumkan dirinya selaku pelaksana
on behalf of mandator.

Pasal 66. ayat (1) UU Nomor 30/2014, menetapkan Keputusan hanya


dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.

9
CATATAN KRITIS

Perlu kiranya membubuhkan catatan kritis pada beberapa ketentuan


prosedural, pasal-pasal UU Nomor 30/2014 berikut ini:

1. Pasal 13. ayat (5) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Badan


dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat
menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui
Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada umunya, tatkala terjadi pelimpahan
kewenangan melalui Delegasi, pemberi Delegasi kehilangan
kewenangan itu. Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
seluruhnya pada penerima delegasi. Pemerintah Pusat tidak
dapat menggunakan lagi Kewenangan atas dasar delegation of
authority kepada daerah-daerah otonom.

2. Pasal 64. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan,


Keputusan pencabutan dapat dilakukan oleh Atasan Pejabat
yang menetapkan keputusan. Tidak lazim, Atasan Pejabat
mencabut Keputusan Pejabat bawahan. Pada umumnya, Atasan
Pejabat yang membatalkan Keputusan Bawahan melalui upaya
banding administratif.

3. Pasal 66. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan,


Keputusan pembatalan dapat dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Tidak lazim, Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan membatalkan
Keputusan-nya sendiri. Pejabat Pemerintahan dimaksud hanya
dapat mencabut Keputusan yang dikeluarkannya melalui
prosedur keberatan (= bezwaarschriften procedure) pada upaya
administrasi.

10
4. Pasal 76. ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 30/2014,
menetapkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang
menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan
yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga
Masyarakat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas
penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan, Warga Masyarakat dapat mengajukan banding
kepada Atasan Pejabat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak
menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.

Prosedur upaya administratif dimaksud berbeda dengan


prosedur administratif menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986
tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Ditetapkan, dalam hal
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara dimaksud jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
UU Nomor 5/1986 mensyaratkan penyelesaian upaya
administratif secara menyeluruh dan tuntas (uitputten).

Pasal 76. ayat (2) dan (3) UU Nomor 30/2014, mensyaratkan


penyelesaian upaya administratif terbatas kepada Atasan Pejabat
melalui banding administratif. Dalam hal Warga Masyarakat tidak
menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,

11
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.

Pasal 51. ayat (3) dan (4) UU Nomor 5/1986, menetapkan


bahwasanya penyelesaian justisil bagi penyelesaian sengketa
tata usaha negara melalui upaya administratif menurut Pasal 48
UU Nomor 5/1986, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, dan selanjutnya dapat diajukan permohonan
kasasi. Pembentuk UU Nomor 5/1986, memandang seluruh
tahapan upaya administratif merupakan bagian penyelesaian
justisil, sehingga tahapan selanjutnya pada acara pemeriksaan
peradilan berada pada kewenangan (kompetensi) Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.

Lebih tepat kiranya hal dimaksud dipertanyakan guna diuji


melalui upaya judicial review atau legislative review.

PENUTUP

UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah


menjadi bagian hukum administrasi, juga berdampak pada perkembangan
kompetensi peradilan tata usaha negara. Bagai pepatah, “De teerling is
geworpen (= dadu telah dibuang)!”, para hakim peradilan administrasi
seyogianya menyambut pemberlakuan UU Nomor 30/2014 dengan
semangat JUDGES MADE LAW.

Jakarta, 26 Januari 2017

12
BIODATA

H.M. LAICA MARZUKI

Lahir di Tekolampe, Sinjai, Sulawesi Selatan, pada tanggal 5 Mei 1941, adalah

Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Hasanuddin (UNHAS),

Makassar.

Mantan Hakim Agung, dan sejak bulan Agustus 2003, menjadi Hakim Konstitusi,

kelak memegang jabatan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi hingga memasuki

masa purna bakhti pada tanggal 1 Juni 2008. Pernah menjadi Ketua Program

Studi Ilmu Hukum ( Magister ) Pascasarjana UNHAS, dan Ketua Biro Konsultasi

dan Bantuan Hukum LPPM, UNHAS.

Lulus Fakultas Hukum UNHAS, Makassar pada bulan Agustus 1979, lalu

menempuh studi lanjutan dalam rangka Sandwich Program di Leiden, Negeri

Belanda ( 1984-1985 ) dan penyusunan buku Hukum Administrasi di Utrecht (

1989-1990 ), Negeri Belanda, kemudian menyelesaikan studi Doktor ( S3 ) pada

Pascasarjana, Universitas Padjadjaran ( UNPAD ), Bandung, di kala tanggal 5 Juli

1995.

13

Anda mungkin juga menyukai