Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

UU PASAL 30 TAHUN 2014

DOSEN

ADE HARI SISWANTO, SH, MH

DISUSUN OLEH

Andre Dharmanusa 20210401191

UNIVERSITAS

ESA UNGGUL

2021
BAB l

1.1 LATAR BELAKANG

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu unsur penting
dalam negara hukum. Hal ini terlihat pendapat F.J. Sthall bahwa negara hukum formal
harus memenuhi empat unsur, yaitu :
1. adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia
2. adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan
3. pemerintah berdasarkan undang-undang
4. adanya peradilan tata usaha negara. 1
Sebagai Negara hukum, negara Indonesia telah membentuk Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selajutnya disingkat UU Peratun).
Pembentukan PTUN ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
warga atas tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum,
merugikan dan memberikan perlindungan hukum bagi badan/pejabat tata usaha
negara sendiri yang bertindak benar sesuai dengan hukum serta melakukan
pengawasan (control) terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara,
baik secara preventif maupun represif. Dengan demikian akan terjaga dan terwujud
keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi
Pemerintahan yang diundangkan pada Tanggal 17 Oktober 2014 membawa perubahan
yang signifikan terhadap kewenangan PTUN. Dari ketentuan yang tersebar dalam
pasal pasalnya, kewenangan PTUN diperluas. Perluasan kewenangan tersebut terkait
dengan diperluasnya makna keputusan yang menjadi objek sengketa di PTUN serta
penambahan kewenangan baru berupa kewenangan mengadili tindakan pemerintahan,
kewenangan pengujian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang, kewenangan
memutus permohonan
atas keputusan fiktif positif, serta adanya pengalihan kewenangan memutus perkara
pasca upaya administratif yang sebelumnya merupakan kewenangan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Tingkat Pertama. Hal ini tentunya membuka ruang yang lebih besar bagi pencari
keadilan untuk mengajukan perkara-perkara yang dihadapi sehubungan dengan
adanya tindakan pemerintahan yang dianggap merugikan, sekaligus dapat
meningkatkan eksistensi PTUN sesuai dengan tujuan pembentukannya yaitu
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap sikap tindak pejabat
pemerintahan sekaligus pengawasan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintahan
yang merugikan. Setelah beberapa tahun UU Nomor 30 Tahun 2014 ini diundangkan,
semestinya perluasan kewenangan tersebut telah dapat dilihat implementasinya

1.2 Rumusan Masalah

Setelah menjelaskan latar belakang di atas, maka ada beberapa masalah utama:

1. Mengapa dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahandiatur


tentang keputusan fiktif positif?
2. Bagaimana implikasi dari pengaturan terhadap Hakikat Keputusan Tata
Usaha Negara dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan ?

1.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode normatif dengan menganalisis
undang-undang. Sedangkan pendekatan-pendekatan yang digunakan ini adalah
pendekatan perundang undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan
masalah hukum yang terjadi.
BAB ll

1.4 PEMBAHASAN

UU Nomor 30/2014 memperluas cakupan peran subjek Penggugat/Pemohon serta


subyek Tergugat/Termohon. Subyek Penggugat/Pemohon meliputi Warga
Masyarakat, lebih luas cakupannya atas pemaknaan orang dan badan hukum
perdata yang selama ini hanya terkait perannya sebagai pihak yang mengajukan
gugatan. Pasal 1. Angka 15 UU Nomor 30/2014 merumuskan Warga Masyarakat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan
dan/atau Tindakan. Pasal 7. Ayat (2), huruf f dan g UU Nomor 30/2014
mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga
Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau
Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan
dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 hari kerja
terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal
7. ayat (2), huruf i UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan
membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Pasal 21. ayat (2), (3) UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam
Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan
permohonan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari
kerja sejak permohonan diajukan. Pasal 21. ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor
30/2014 menetapkan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bakal
diputus hakim banding paling lama 21 hari kerja sejak permohonan banding
diajukan. Putusan banding bersifat mengikat.

Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah


Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian
Unsur Penyalahgunaan Wewenang.

UU Nomor 30/2014 memperluas subyek Tergugat/Termohon, meliputi pihak


penyelenggara negara lainnya, disamping Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan,
kesemuanya selaku unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan.

Pasal 62. ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 30/2014 memungkinkan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan menyampaikan Keputusan (K.TUN) melalui
sarana elektronis. Penjelasan Pasal 62. ayat (1) UU Nomor 30/2014 memaksudkan
sarana elektronis, antara lain faksimile, surat elektronik, dan sebagainya. Dalam
proses beracara, suatu Keputusan (K.TUN) yang disampaikan kepada Warga
Masyarakat melalui sarana elektronik, berkekuatan sebagai bukti surat. Keputusan
(K.TUN) yang diumumkan melalui media elektronik mulai berlaku paling lama
10 hari sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam kaitannya
pengirimannya, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus
memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.

Pasal 53. ayat (1), (2), (3) UU Nomor 30/2014 menentukan batas waktu kewajiban
bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna menetapkan Keputusan (K.TUN)
serta batas waktu kewajiban bagi Pejabat Pemerintahan untuk melakukan suatu
Tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Jika ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban daripadanya maka
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan. Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan (K.TUN) dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual, maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Tidak salah kiranya
manakala hal dimaksud dinamakan Keputusan Fiktif Positif.

Pasal 53. ayat (4), (5), (6) UU Nomor 30/2014 meluangkan Warga Masyarakat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
memperoleh Keputusan Fiktif Positif. Pengadilan wajib memutuskan permohonan
sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara
prosesuil, putusan pengadilan dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) namun
tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksud.

Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah


Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh
Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau
Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan.

Diadopsinya konsep Keputusan Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak


dengan seketika menyampingkan pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif,
menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dipandang telah menolak
mengeluarkan suatu K.TUN manakala dalam batas waktu tertentu tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohonkan. UU Nomor 30/2014 tidak
menyampingkan atau membatalkan Pasal 3 UU Nomor 5/1986. Hal dimaksud
tepergantung sejauhmana Pasal 3 UU Nomor 5/1986 masih merupakan kebutuhan
hukum bagi pencari keadilan (justiciabel) dalam praktek upaya hukum
administrasi. Lagipula, Pasal 3 UU Nomor 5/1986 berkenaan dengan Keputusan
Fiktif Negatif tidak dapat diterapkan bagi pengajuan pemohonan dilakukannya (=
atau tidak dilakukannya) Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan.

UU NOMOR 30/2014: FOKUS PADA KEWENANGAN PEMERINTAHAN

Pembuat UU Nomor 30/2014 memfokus pengaturan normatifnya pada


Kewenangan Pemerintahan, diatur pada Bab V, Pasal 8 s/d Pasal 39 UU
Nomor 30/2014.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta penyelenggara negara lainnya dalam
mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan (K.TUN) dan dalam hal
Pejabat Pemerintahan melakukan (atau tidak melakukan) Tindakan Administrasi
Pemerintahan didasarkan pada wewenang (= Bevoegdheden) yang dimilikinya.

Pasal 1. angka 5 UU Nomor 30/2014 merumuskan wewenang adalah hak yang


dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan.
Pasal 1. angka 6 UU Nomor 30/2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan
(selanjutnya disebut Kewenangan) adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah
hukum publik.

Kewenangan (= bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt). Tanpa Jabatan


tidak bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah badan (= orgaan) hukum
publik, merupakan sumber keberadaan Kewenangan. Dalam menfungsikan
Kewenangan yang melekat padanya, Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia
pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat
Pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (=
bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian,
instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh
Pejabat (ambtsdrager).

Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (atau penyelenggara negara) yang


memiliki Wewenang, yang dapat mengeluarkan Keputusan (K.TUN), dan hanya
Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat melakukan (atau tidak melakukan)
suatu Tindakan Konkret/Faktual.

Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan ditentukan
cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau daerah berlakunya
Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu.

UU Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang.


Pasal 17, 18 UU Nomor 30/2014, menetapkan, Larangan Penyalahgunaan
Wewenang berupa:

Larangan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;

melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Larangan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang


dilakukan:

di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;

bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

Larangan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang


dilakukan:

tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Keputusan dan/atau


Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang serta
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara
sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat
dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib
berdasarkan a. peraturan perundang-perundangan. b. AUPB (ABBB) (Pasal 8.
ayat (2) UU Nomor 30/2014).

Pasal 11 UU Nomor 30/2014 menetapkan Kewenangan diperoleh melalui


Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui


Atribusi, tanggung jawab berada pada Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 30/2014, Atribusi
adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-
Undang.

Delegasi (Delegation of Authority) adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan


dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
kepada penerima delegasi. Tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui
delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu.

Pelimpahan Kewenangan yang diperoleh melalui mandatum, Mandataris


bertindak untuk dan atas nama mandator. Tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada mandator. Dalam melaksanakan wewenangnya, mandataris
wajib mencantumkan dirinya selaku pelaksana on behalf of mandator.

Pasal 66. ayat (1) UU Nomor 30/2014, menetapkan Keputusan hanya dapat
dibatalkan apabila terdapat cacat:

wewenang;prosedur; dan/atau substansi.


BAB lll

1.5 SIMPULAN

Ayat , huruf f dan g UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan


kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat
Keputusan dan/atau Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang
berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 hari kerja terhitung
sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan. ayat , huruf i UU Nomor
30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan membuka akses dokumen Administrasi
Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang. ayat , UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara guna menilai
ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau
Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan permohonan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan.

Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan Keputusan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan
Konkret/Faktual, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk
Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
Dan/Atau Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan. Diadopsinya konsep Keputusan
Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan
pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara
dipandang telah menolak mengeluarkan suatu K. Lagipula, Pasal 3 UU Nomor 5/1986
berkenaan dengan Keputusan Fiktif Negatif tidak dapat diterapkan bagi pengajuan
pemohonan dilakukannya Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan.

UU NOMOR 30/2014: FOKUS PADA KEWENANGAN PEMERINTAHAN

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta penyelenggara negara lainnya dalam


mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan dan dalam hal Pejabat Pemerintahan
melakukan Tindakan Administrasi Pemerintahan didasarkan pada wewenang yang
dimilikinya. Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan. Dalam
menfungsikan Kewenangan yang melekat padanya, Jabatan diwakili oleh manusia
pribadi , lazim disebut Pejabat atau Pejabat Pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah
wujud badan pemerintahan dalam format kelembagaan, semacam
kementerian, instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh
Pejabat .

Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memiliki Wewenang, yang dapat
mengeluarkan Keputusan , dan hanya Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat
melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual. Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau
Jabatan Pemerintahan ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau
daerah berlakunya Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu. UU
Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang.

1.6 DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986

Anda mungkin juga menyukai