DOSEN
DISUSUN OLEH
UNIVERSITAS
ESA UNGGUL
2021
BAB l
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu unsur penting
dalam negara hukum. Hal ini terlihat pendapat F.J. Sthall bahwa negara hukum formal
harus memenuhi empat unsur, yaitu :
1. adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia
2. adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan
3. pemerintah berdasarkan undang-undang
4. adanya peradilan tata usaha negara. 1
Sebagai Negara hukum, negara Indonesia telah membentuk Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selajutnya disingkat UU Peratun).
Pembentukan PTUN ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
warga atas tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum,
merugikan dan memberikan perlindungan hukum bagi badan/pejabat tata usaha
negara sendiri yang bertindak benar sesuai dengan hukum serta melakukan
pengawasan (control) terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara,
baik secara preventif maupun represif. Dengan demikian akan terjaga dan terwujud
keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi
Pemerintahan yang diundangkan pada Tanggal 17 Oktober 2014 membawa perubahan
yang signifikan terhadap kewenangan PTUN. Dari ketentuan yang tersebar dalam
pasal pasalnya, kewenangan PTUN diperluas. Perluasan kewenangan tersebut terkait
dengan diperluasnya makna keputusan yang menjadi objek sengketa di PTUN serta
penambahan kewenangan baru berupa kewenangan mengadili tindakan pemerintahan,
kewenangan pengujian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang, kewenangan
memutus permohonan
atas keputusan fiktif positif, serta adanya pengalihan kewenangan memutus perkara
pasca upaya administratif yang sebelumnya merupakan kewenangan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Tingkat Pertama. Hal ini tentunya membuka ruang yang lebih besar bagi pencari
keadilan untuk mengajukan perkara-perkara yang dihadapi sehubungan dengan
adanya tindakan pemerintahan yang dianggap merugikan, sekaligus dapat
meningkatkan eksistensi PTUN sesuai dengan tujuan pembentukannya yaitu
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap sikap tindak pejabat
pemerintahan sekaligus pengawasan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintahan
yang merugikan. Setelah beberapa tahun UU Nomor 30 Tahun 2014 ini diundangkan,
semestinya perluasan kewenangan tersebut telah dapat dilihat implementasinya
Setelah menjelaskan latar belakang di atas, maka ada beberapa masalah utama:
Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode normatif dengan menganalisis
undang-undang. Sedangkan pendekatan-pendekatan yang digunakan ini adalah
pendekatan perundang undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan
masalah hukum yang terjadi.
BAB ll
1.4 PEMBAHASAN
Pasal 21. ayat (2), (3) UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam
Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan
permohonan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari
kerja sejak permohonan diajukan. Pasal 21. ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor
30/2014 menetapkan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bakal
diputus hakim banding paling lama 21 hari kerja sejak permohonan banding
diajukan. Putusan banding bersifat mengikat.
Pasal 62. ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 30/2014 memungkinkan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan menyampaikan Keputusan (K.TUN) melalui
sarana elektronis. Penjelasan Pasal 62. ayat (1) UU Nomor 30/2014 memaksudkan
sarana elektronis, antara lain faksimile, surat elektronik, dan sebagainya. Dalam
proses beracara, suatu Keputusan (K.TUN) yang disampaikan kepada Warga
Masyarakat melalui sarana elektronik, berkekuatan sebagai bukti surat. Keputusan
(K.TUN) yang diumumkan melalui media elektronik mulai berlaku paling lama
10 hari sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam kaitannya
pengirimannya, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus
memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.
Pasal 53. ayat (1), (2), (3) UU Nomor 30/2014 menentukan batas waktu kewajiban
bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna menetapkan Keputusan (K.TUN)
serta batas waktu kewajiban bagi Pejabat Pemerintahan untuk melakukan suatu
Tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Jika ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban daripadanya maka
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan. Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan (K.TUN) dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual, maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Tidak salah kiranya
manakala hal dimaksud dinamakan Keputusan Fiktif Positif.
Pasal 53. ayat (4), (5), (6) UU Nomor 30/2014 meluangkan Warga Masyarakat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
memperoleh Keputusan Fiktif Positif. Pengadilan wajib memutuskan permohonan
sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara
prosesuil, putusan pengadilan dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) namun
tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksud.
Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan ditentukan
cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau daerah berlakunya
Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu.
Pasal 66. ayat (1) UU Nomor 30/2014, menetapkan Keputusan hanya dapat
dibatalkan apabila terdapat cacat:
1.5 SIMPULAN
Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan Keputusan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan
Konkret/Faktual, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk
Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
Dan/Atau Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan. Diadopsinya konsep Keputusan
Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan
pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara
dipandang telah menolak mengeluarkan suatu K. Lagipula, Pasal 3 UU Nomor 5/1986
berkenaan dengan Keputusan Fiktif Negatif tidak dapat diterapkan bagi pengajuan
pemohonan dilakukannya Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan.
Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memiliki Wewenang, yang dapat
mengeluarkan Keputusan , dan hanya Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat
melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual. Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau
Jabatan Pemerintahan ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau
daerah berlakunya Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu. UU
Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang.
A. Peraturan Perundang-Undangan