Anda di halaman 1dari 14

KEMAHIRAN MENANGANI

SENGKETA TATA USAHA


NEGARA

OLEH:
Dr. Liky Faizal, M.H.
PTUN
• Peradilan tata usaha negara dibentuk dalam rangka menjamin dan memberikan perlindungan
hukum bagi warga masyarakat yang merasa dirugikan akibat suatu keputusan dan/atau tindakan
faktual pemerintah. Hal tersebut, sesuai filosofi dibentuknya pengadilan tata usaha negara yang
tercantum dalam konsiderans bagian menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah ada perubahan pertama yaitu UU No.9 Tahun
2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun), yang pada pokoknya menjamin persamaan
kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan serasi,
seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga
masyarakat. Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan yang merubah paradigma hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang
memberikan kewenangan kepada pengadilan tata usaha negara untuk memeriksa dan mengadili
perbuatan melanggar hukum oleh pemegang kekuasaan pemerintah (badan dan/atau pejabat
pemerintah) serta mengatur badan dan/atau pejabat pemerintah yang merasa dirugikan dapat
melakukan permohonan pengujian atas suatu keputusan dan/atau tindakan faktual suatu badan
dan/atau pejabat pemerintahan
KEWENANGAN MENGADILI PTUN
(Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan)

• Perubahan paradigma hukum acara peradilan tata usaha negara


setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), maka
PTUN berwenang:
1. Mengadili sengketa tata usaha negara berupa gugatan dan permohonan.
2. Mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah yaitu
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
pemerintahan (badan dan/atau pejabat pemerintahan) yang biasa
disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad (ood).
3. Menguji keputusan tata usaha negara yang sudah diperiksa dan diputus
melalui upaya banding administrasi menjadi kewenangan ptun
OBJEK HUKUM PERKARA DI PTUN
Objek hukum
1. Keputusan tata usaha negara sesuai UU Peratun yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tun (yang selanjutnya disebut badan atau pejabat pemerintahan) yang berisi tindakan hukum tun
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
2. Bahwa dengan berlakunya uu administrasi pemerintahan, maka keputusan tata usaha negara sebagaimana
dimaksud dalam uu peratun harus dimaknai berikut (Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan.) :
a. Penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual;
• Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi dan bukan pada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
pemerintahan. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang diisyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti surat
keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan pembuktian.
• Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut (Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU Peratun.). Dalam prakter
peradilan TUN, objek sengketa di ptun dapat berupa “surat” “memo” dan “nota”, asal memenuhi syarat: tertulis, konkret, individual
dan final serta berakibat hukum (Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 219 K/TUN/2001 tanggal 28 Februari 2002).
• Sehubungan dengan berlakunya uu administrasi pemerintahan memperluas penetapan tertulis dengan tindakan faktual. Tindakan
faktual dapat dimaknai tindakan administrasi pemerintahan. Hal tersebut, dinyatakan dalam pasal 3 perma nomor 8 tahun 2017, yang
menyebutkan bahwa objek permohonan dan/atau tindakan guna mendapatkan keputusan badan dan/ atau pejabat pemerintahan
adalah kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukantindakan administrasi
pemerintahan yang dimohonkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Definisi tindakan administrasi
pemeritahan tersebut, dimaknai sebagai perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.(Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan).
b. Keputusan badan/pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan
penyelenggara negara lainnya;
• Pada dasarnya uu peratun hanya membatasi objek sengketa hanya diterbitkan oleh badan atau pejabat baik di
pusat maupun di daerah yang menyelenggarakan urusan eksekutif. Namun demikian, UU Administrasi
Pemerintahan memperluas definisi badan/atau pejabat pemerintahan di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif
dan penyelenggara negara lainnya. Pada perkembangannya, keputusan yang diterbitkan oleh badan/lembaga
swasta yang melaksanakan urusan pemerintahan yang kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-
undangan dapat dijadikan objek sengketa di PTUN seperti pada yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 61
k/tun/1999 tanggal 22 november 2001
c. Berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (aaupb);
• Dalam penerbitan suatu keputusan dan/atau tindakan faktual, maka badan atau pejabat pemerintahan harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan aaupb. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara,
majelis hakim dapat mencari dan menggunakan aaupb yang dituangkan dalam putusan hakim dan menjadi
yurisprudensi. Secara formal, aaupb telah tertuang dalam pasal 10 uu administrasi pemerintahan, meliputi:
 Kepastian hukum;
 Kemanfaatan;
 Ketidakberpihakan;
 Kecermatan;
 Tidak menyalahgunakan kewenangan;
 Keterbukaan;
 Kepentingan umum; dan
 Pelayanan yang baik.
d. Bersifat final dalam arti luas;
Pada dasarnya sesuai UU Peratun, keputusan tata usaha negara bersifat final adalah keputusan
tersebut telah definitif atau karenanya dapat menimbulkan akibat hukum Dalam penjelasan uu
administrasi pemerintahan dijelaskan bahwa final dalam arti luas mencakup keputusan yang
diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang. SEMA nomor 4 tahun 2016, mendefinisikan
bahwa keputusan final dalam arti luas yaitu keputusan tata usaha negara yang sudah
menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau
instansi lain (contoh : perizinan tentang fasilitas penanaman modal oleh badan koordinasi
penanaman modal (bkpm), izin lingkungan, dsb).
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum.
Pada dasarnya uu peratun mengatur telah ada akibat hukum atas suatu keputusan badan atau
pejabat pemerintahan. Selanjutnya, dalam pasal 87 UU Administrasi pemerintahan memperluas
definisi menjadi keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian,
parameter gugatan suatu keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan dapat
didasarkan pada kerugian potensial atau kemungkinan dapat merugikan bagi orang atau badan
hukum perdata. Dengan berlakunya UU Administrasi pemerintahan telah menentukan bahwa
salah satu objek sengketa di ptun meliputi keputusan dan/atau tindakan faktual yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum misalnya keputusan lembaga aparat pengawasan intern pemerintah
(APIP) menjadi objek permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang (LHK BPK dan lain-lain).
(Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan)
f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Pengertian warga masyarakat sebagaimana dimaksud pasal 87 uuap merujuk pada
pasal 1 angka 15 uuap, yang mendefinisikan bahwa warga masyarakat adalah
seseorang atau badan hukum perdata terkait dengan keputusan dan/atau tindakan.
Dengan demikian, definisi warga masyarakat dalam pasal 87 uu administrasi
pemerintahan telah sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 3 uu peratun.
3. Tindakan fiktif-positif oleh badan dan/ atau pejabat tata usaha negara.
Pada dasarnya uu peratun mengatur objek sengketa berupa keputusan fiktif negatif
yaitu sikap diam badan atau pejabat pemerintah yang tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal tersebut menjadi kewajiban atau
kewenangannya. Pada perkembangannya, dengan adanya pasal 53 uu administrasi
pemerintahan yang mengatur mengenai permohon fiktif positif, maka ketentuan
pasal 3 uu peratun yang mengenai gugatan fiktif negatif tidak dapat diberlakukan
lagi, karena menimbulkan ketidakpastian hukum tentang tata cara penyelesaian
permasalahan hukum yang harus diterapkan oleh ptun. (Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun
2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan)
• Lebih lanjut lagi keputusan fiktif positif badan atau pejabat pemerintahan,
diatur sebagai berikut (Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan.) :
a) Apabila ditentukan jangka waktu untuk memproses permohonan,
dianggap dikabulkan secara hukum jika jangka waktu yang ditentukan
tersebut telah lewat, sedangkan badan dan/atau pejabat pemerintahan
tidak mengeluarkan keputusan atau tindakan faktual.
b) Apabila jangka waktu tidak ditentukan untuk memproses permohonan,
dianggap dikabulkan secara hukum setelah lewat jangka waktu 10
(sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
c) Pengadilan harus membuktikan sikap diam badan atau pejabat
pemerintahan telah sesuai atau melanggar ketentuan perundang-
undangan atau aaupb. Objek permohonan dan/atau tindakan guna
mendapatkan keputusan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah
kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan
keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan yang
dimohonkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kriteria permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan dan/ atau
pejabat pemerintahan, yaitu:
a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan.
b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi
pemeritahan.
c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
d. Permohonan untuk kepentingan pemohon secara langsung.
4. Keputusan tata usaha negara yang sudah diperiksa dan diputus melalui upaya banding
administrasi:
a. Bahwa setiap orang yang dirugikan dengan adanya suatu keputusan dan/atau tindakan
administrasi pemerintahan, dapat mengajukan upaya administratif berupa keberatan
dan banding. (Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan)
b. Selanjutnya, ptun baru berwenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa
administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya adminis(Pasal 48 ayat (2) UU Peratun
dan Pasal 2 ayat (1) PERMA Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administrasi)
5. Pada hukum acara ptun, terdapat keputusan-keputusan yang bukan
merupakan objek sengketa tata usaha negara, sebagai berikut:
a. Pasal 2 UU Peratun, mengatur pengecualian keputusan, yaitu:
 Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
 Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
 Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
 Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana atau
kita undang-undang hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana.
 Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha tentara nasional indonesia.
 Keputusan komisi pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
b. Selain keputusan di atas, tidak termasuk objek permohonan yang dapat diajukan ke
pengadilan, sebagai berikut:
 Permohonan merupakan pelaksanaan dari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
atau
 Permohonan terhadap permasalahan hukum yang sudah pernah diajukan gugatan. (Pasal 3 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan
Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan)
SUBYEK HUKUM BERPEKARA PTUN
A. Subjek hukum
1. Penggugat:
Pihak yang berkedudukan sebagai penggugat diketahui dalam pasal 53 ayat (1) uu peratun, yang pada pokoknya
mengatur bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang.
a. Orang atau badan hukum perdata
b. Badan dan/atau pejabat pemerintahan.(Pasal 53 ayat 1 UU Peratun)
Berdasarkan praktek di peratun, badan hukum publik dapat bertindak sebagai penggugat manakala ia bertindak untuk
mempertahankan hak keperdataannya. Dalam rakernas peratun tahun 2007 disepakati manakala badan publik
mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertifikat tanah milik instansi pemerintah dan sebagainya. Dengan
pemahaman seperti ini badan hukum publik dikonsepsikan dapat bertindak sesuai ketentuan pasal 53 ayat (1) UU
Peratun, artinya badan hukum publik dilihat bukan dalam kapasitasnya sebagai badan hukum publik melainkan sebagai
badan hukum perdata dan sebagai wakil dari badan hukum publik tersebut di persidangan adalah pimpinan (sebagai
personifikasi) badan hukum publik tersebut.
Hal tersebut, ditegaskan pada buku II teknis administrasi dan teknis peradilan tata usaha negara edisi 2007, yang
menyebutkan bahwa pejabat tata usaha negara dapat menjadi penggugat bertindak mewakili instansi pejabat tata usaha
negara tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan keputusan yang ditujukan kepada instansi pemerintah
yang bersangkutan. Lebih lanjut, UU Administrasi Pemerintahan memberikan legalitas bagi badan atau pejabat
pemerintahan untuk untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/ atau tindakan.
2. Tergugat:
a. Badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada pada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat
oleh orang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 6 UU Peratun), kecuali terdapat
intervensi.
b. Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (Pasal 1
angka 2 UU Peratun)
c. Makna badan atau pejabat tata usaha negara oleh uu administrasi pemerintahan
diperluas menjadi badan/atau pejabat pemerintahan di bidang eksekutif, legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
d. Pengertian “berdasarkan peraturan perundang-undangan” yaitu semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan badan perwakilan rakyat bersama
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan
badan/pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang juga
mengikat secara umum.
3. Intervensi
Pasal 83 uu peratun mengatur bahwa “selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang
yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan,
baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa
hakim dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara dan bertindak sebagai pihak
yang membela haknya atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa. Permohonan tersebut dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan
dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang”. Mengenai permohonan
intervensi, sangat bergantung pada kepentingan mana yang akan dibela
(dipertahankan) oleh pemohon. Kalau kebetulan pemohon intervensi, pada
kenyataannya, mempunyai kepentingan yang sama dengan penggugat atau sama-sama
menghendaki agar KTUN yang digugat (objek sengketa), ingin dibatalkan, maka ia akan
ditempatkan di bagian (pihak) penggugat, dengan sebutan “penggugat II intervensi”.
Kalau sebaliknya, pemohon ingin mempertahankan KTUN yang digugat (objek
sengketa), agar tidak dibatalkan, maka ia berada di bagian tergugat, dengan sebutan
“tergugat ii intervensi”. Masuknya pihak ketiga dalam suatu sengketa di samping untuk
memperkokoh atau menguatkan dalil-dalil pihak yang bersengketa juga menyangkut
jaminan pengajuan upaya hukum.
B. Tenggang waktu pengajuan gugatan
a. Ketentuan tenggang waktu atau batas waktu pengajuan gugatan
terhadap keputusan badan atau pejabat pemerintahan ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari sejak diterima atau diumumkannya KTUN yang
disengketakan.(Pasal 55 UU Peratun)
b. Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan
bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 uu peratun, yang semula
dihitung “sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan
oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya
keputusan tata usaha negara tersebut” diubah menjadi dihitung “sejak
yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha
negara yang merugikan kepentingannya”. (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan)

Anda mungkin juga menyukai