Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN SETIAP MATERI HUKUM ACARA PTUN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Disusun oleh :
Mutiara Devika - 19010000081
Fakultas Hukum
Universitas Merdeka Malang

1. Materi Pertama (Putusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN)

Bedasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009


tentang Perubahan Kedua (Amandemen ke 2) Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: “Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individualm dan
final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”,
yang dimana pengertian KTUN ini mempunyai
beberapa unsur, yaitu:
1. Penetapan tertulis, karena dikeluarkan oleh pihak atau pejabat Tata usaha
negara dalam bentuk tulisan bukan lewat lisan
2. Pihak yang mengeluarkan adalah pihak yang berwenang yaitu badan
atau pejabat TUN, berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 bahwa badan atau pejabat yang mengeluarkan KTUN tersebut
harus bersifat eksekutif yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Berisi tindakan hukum, tindakan yang dimaksud faktual adalah hal-hal
yang merupakan pelaksanaan dari KTUN yang tujuan untuk melaksanakan
fungsi dari pemerintahan khususnya administrasi
4. Final, karena keputusan tersebut sudah definitive artinya tidak lagi
memerlukan persetujuan dari instansi lain karena keputusan tersebut dapat
menimbulkan akibat hukum.
5. Individual, karena tidak ditunjukkan untuk umum tetapi tertentu baik alamat
maupun pihak yang dituju
6. Konkret, karena adanya wujud tertentu dan dapat ditentukan
7. Menimbulkan akibat hukum, karena menjadikan sesuatu yang sebelumnya
tidak ada atau tidak dizinkan menjadi sesuatu yang ada dan atau diziinkan
maupun sebaliknya.

Maka dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Selanjutnya menengok pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang perubahan kesatu (amandemen ke 1) Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu; yang Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lai yang bersifar hukum pidana
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum

Kemudian pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang


perubahan kesatu (amandemen ke 1) Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
1. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
seuatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi
2. Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik
Maka dalam hal ini jika KTUN bertentangan dengan peraturan UU yang ada dan
bertentangan dengan asas-asas umum pemenrintahan yang baik maka perlu
diajukannya sebuah gugatan terhadap KTUN tersebut.

2. Materi Kedua (Penyelesaian sengketa TUN)

Sengketa TUN menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun


2009 tentang Perubahan Kedua (Amandemen ke 2) Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: “Sengketa Tata Usaha
Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dalam pengajuan gugatan sendiri diatur dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan kesatu (amandemen ke 1) Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara, yang
berbunyi:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh seuatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan
yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1
dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan gugatan dalam penyelesaian sengketa
TUN adalah permohonan secara tertulis dari seseorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN, yang ditujukan kepada
pengadilan di Lingkungan Peradilan TUN, yang berisi tuntutan agar KTUN tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan /
atau rehabilitasi.

Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara sendiri ada dua yaitu upaya
administratif dan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
1. Upaya Administratif ini diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara, Upaya administratif merupakan
suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur
tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua
bentuk:
a. Keberatan, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan sendiri
oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara.
b. Banding Administratif, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yang
berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan .

Berbeda dengan prosedur di Peradilan TUN, maka pada prosedur banding


administratif atau prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi
penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Dari
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
KTUN yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap suatu KTUN itu terbuka atau
tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.

2. Gugatan Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan baru berwenang


memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika
seluruh upaya administratif sudah digunakan hal ini sesuai dengan Pasal 48 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara.
Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa
pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan
diajukan kepada Pengadilan TUN. Namun, jika peraturan dasarnya menentukan
adanya upaya administatif berupa pengajuan surat keberatan dan/atau
mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap
KTUN yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung
kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tingkat pertama yang berwenang.

Ketentuan pengajuan gugatan pada pengadilan TUN


 Gugatan menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua (Amandemen ke 2) Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: “Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Sehingga yang
menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata dan hal ini sesuai
dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua (Amandemen ke 2) Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Perlu diketahui bahwa pada pasal Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengatur bahwa: “Gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh (90) hari terhitung sejak saat
diterimanya atau di umumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.

 Prosedur Dismissal, setelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan pemeriksaan


dismissal atau rapat permusyawaratan. Dalam Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: Dalam
rapat permusyawaratan ini, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam
hal:
a) pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan
b) syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu
dan diperingatkan
c) gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak
d) apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat
e) gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Terhadap penetapan ini dapat diajukan Perlawanan kepada Pengadilan dalam


tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan hal ini diatur dalam Pasal 62 ayat
3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian Pasal 62 ayat 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi : “Dalam hal perlawanan tersebut
dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa”. Terhadap putusan
mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum hal ini sesuai dengan
Pasal 62 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
 Pemeriksaan Persiapan, sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, pada
pasal Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, berbunyi: “Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas”.

Dalam pemeriksaan persiapan Hakim diatur dalam Pasal 63 ayat 2 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini:
a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan gugatan,


maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima hal ini
sesuai Pasal 63 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Terhadap putusan ini tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi
dapat diajukan gugatan baru, hal ini daitur dalam Pasal 63 ayat 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah dilakukan
pemeriksaan persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan perkara, dalam hal ini ada
pemeriksaan pertama yang dimana pemeriksaan dengan acara biasa, pemeriksaan
dengan acara cepat, kemudian adalah putusan pengadilan.

 Pemeriksaan dengan acara biasa, hal ini diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
1. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga
orang Hakim
2. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan
3. Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh
Hakim Ketua Sidang
4. Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap
ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik

 Pemeriksaan dengan acara cepat, diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
1. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
2. Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas ari setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut
3. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
upaya hukum.

3. Materi Ketiga (Putusan akhir Pengadilan)

Berdasarkan pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dapat berupa:
a. Gugatan ditolak, penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil
gugatannya, dalam hal ini penggugat kalah.
b. Gugatan dikabulkan, maka dalam hal putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini penggugat lah yang
menang. Kewajiban ini diatur dalam pasal 97 ayat 9 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berupa :
1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan atau
2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha yang Baru atau
3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada
putusan dalam musyawarah

Gugatan tidak diterima, dalam hal ini syarat-syarat gugatan tersebut tidak
terpenuhi, syarat yang dimaksud adalah syarat formil dan syarat materilnya, dalam hal
ini syarat formil diatur dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Gugatan harus memuat:
1) Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya
2) Nama, jabatan, dan tempat tinggal kedudukan tergugat
3) Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan

Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka
gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. Gugatan sedapat mungkin juga disertai
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat. Kemudian untuk
syarat materil diatur dalam pasal Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang perubahan kesatu (amandemen ke 1) Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini penggugat kalah.
4) Gugatan gugur, penggugat tidak pernah hadir atau tidak pula menyuruh kuasanya
untuk datang menghadiri persidangan tersebut, meskipun telah dipanggil secara
sah dan patut, dalam hal ini penggugat kalah.

Syarat-syarat putusan pengadilan diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
 Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
 Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan
 Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding


oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, hal ini
diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
Selanjutnya Bahkan jika penggugat tidak juga puas dengan putusan tersebut, dapat
dilakukan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum luar biasa peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung. Untuk pengaturan upaya hukum kasasi diatur dalam
pasal Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang berbunyi:
1. Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung
2. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai