Anda di halaman 1dari 9

Penyelesaian Sengketa antara Peradilan Mahkmah Konstitusi dengan Peradilan

Tata Usaha Negara

Oleh :

Talika Putri Wigati

D1A019553

G1

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Mataram
2021
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (“UU Pemilu”) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa (perselisihan)
hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional. Sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang timbul
antara:

a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;
b. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon; dan
c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.

Dalam sengketa hasil perselisahan pemilu maka Lembaga yang berwenang


menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi, akan tetapi untuk sengketa proses pemilu, yang
berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses tersebut
adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pengadilan Tata Usaha Negara.

Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik
dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkan keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa tata
usaha diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang
berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Dasar hukum dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat
didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU
5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 51/2009”). Oleh karena itu berikut alur penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara :

1. Upaya administrasi

Suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk :

a. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan langsung oleh


Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
Negara.
b. Banding Administratif
Penyelesaiann sengketa Tata Usaha Negara dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara, yang berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan.
2. Gugatan Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan baru bisa berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa


apabila seluruh upaya administrative sudah digunakan. Apabila peraturan dasarnya hanya
menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan
terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara. Namun, jika peraturan dasarnya menentukan adanya upaya
administatif berupa pengajuan surat keberatan dan/atau mewajibkan pengajuan surat
banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.

Ketentuan Pengajuan Gugatan Pada Pengadilan Tata Usaha Negara


Gugatan
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Sehingga yang menjadi tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata. Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang menjadi objek
sengketa, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Yang tidak termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU 5/1986 berserta
perubahannya adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.
Gugatan hanya dapat diajukan dalam waktu 90 hari terhitung sejak saat terimanya atau
diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Prosedur Dismissal
Setelah diajukan gugatan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dismissal atau rapat
permusyawaratan. Dalam rapat permusyawaratan ini, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :

a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;


b. Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperingatkan;
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat;
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan dapat diajukan apabila perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14
hari setelah diucapkan, setelah itu perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan maka
penetapan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
acara biasa terhadap suatu putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan Persiapan
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Dalam pemeriksaan persiapan Hakim:

a. Wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat tidak menerima gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan ini tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru. Setelah dilakukan pemeriksaan
persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan perkara untuk mendapatkan putusan. Terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat
atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Bahkan jika penggugat tidak juga
puas dengan putusan tersebut, maka dapat mengajukan banding melalui pengadilan Mahkamah
Konstitusi tetapi hanya dapat melakukan pengajuan beberapa kasus saja seperti Pemilu.

Alur Penyelesaian Sengketa Mahkamah Konstitusi


Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan
permohonan uji materil meliputi:

a. Pengajuan Permohonan

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan


ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada
panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan
secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian
formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini
harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan.

b. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan


atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat
administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam
waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima
oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan
permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak
diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.

c. Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK)


Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak
permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR
dan Presiden. Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan
pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.

d. Pembentukan Panel Hakim

Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK


untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-
undang tersebut.

e. Penjadwalan Sidang

Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada
papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Pemanggilan
sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling
lambat tiga hari sebelum hari persidangan.

f. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan


pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan.
Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya
untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu selama 14
(empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat
yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tertib persidangan. Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap
dan jelas, dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut
kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
g. Putusan

Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat


Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak
menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim
berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan
secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua
sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat
mengambil putusan.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa (Perselisihan) Hasil


Pemilu
MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU 8/2011”) dan kemudian diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) dan kemudian ditetapkan
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang mengatur mengenai
kewenangan MK, yakni berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan Bawaslu dan PTUN dalam Sengketa Proses Pemilu untuk sengketa proses
pemilu, lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian
sengketa proses tersebut adalah Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”) dan Pengadilan Tata Usaha
Negara (“PTUN”). Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang mengawasi
penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu,
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian
sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi,
dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses
pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa
proses pemilu yang berkaitan dengan:
a. Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu
b. Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
c. Penetapan pasangan calon
Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud di atas (huruf a, b,
dan c) yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan
upaya hukum kepada PTUN.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu.
Putusan Mahkamah Konsitusinal yang bersifat final yaitu putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup
pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Misalnya ada perkara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, setelah adanya putusan dari pihak penggugat tidak menerima maka putusan tersebut
bisa dialihkan Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai