Oleh :
D1A019553
G1
Sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa (perselisihan)
hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional. Sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang timbul
antara:
a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;
b. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon; dan
c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik
dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkan keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa tata
usaha diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang
berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Dasar hukum dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat
didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU
5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 51/2009”). Oleh karena itu berikut alur penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara :
1. Upaya administrasi
Suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk :
Yang tidak termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU 5/1986 berserta
perubahannya adalah:
Prosedur Dismissal
Setelah diajukan gugatan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dismissal atau rapat
permusyawaratan. Dalam rapat permusyawaratan ini, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat tidak menerima gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan ini tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru. Setelah dilakukan pemeriksaan
persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan perkara untuk mendapatkan putusan. Terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat
atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Bahkan jika penggugat tidak juga
puas dengan putusan tersebut, maka dapat mengajukan banding melalui pengadilan Mahkamah
Konstitusi tetapi hanya dapat melakukan pengajuan beberapa kasus saja seperti Pemilu.
a. Pengajuan Permohonan
e. Penjadwalan Sidang
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada
papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Pemanggilan
sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling
lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
Kewenangan Bawaslu dan PTUN dalam Sengketa Proses Pemilu untuk sengketa proses
pemilu, lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian
sengketa proses tersebut adalah Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”) dan Pengadilan Tata Usaha
Negara (“PTUN”). Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang mengawasi
penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu,
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian
sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi,
dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses
pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa
proses pemilu yang berkaitan dengan:
a. Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu
b. Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
c. Penetapan pasangan calon
Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud di atas (huruf a, b,
dan c) yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan
upaya hukum kepada PTUN.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu.
Putusan Mahkamah Konsitusinal yang bersifat final yaitu putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup
pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Misalnya ada perkara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, setelah adanya putusan dari pihak penggugat tidak menerima maka putusan tersebut
bisa dialihkan Mahkamah Konstitusi.