Anda di halaman 1dari 40

Urgensi Konsep Omnibus Law Sebagai Solusi

Mengatasi Jumah Regulasi Yang Berlebihan


(Hyper Regulation)

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH SE - INDONESIA


DARMA CENDIKA LAW COMPETITION
2020

KEBIJAKAN OVERKRIMINALISASI HUKUM PIDANA DI UU CIPTA


KERJA TERHADAP USAHA MIKRO, USAHA KECIL, DAN USAHA
MENENGAH DI TINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM YANG IDEAL

Disusun oleh:
Mutiara Devika
Dinar Haris Pratama

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG


KOTA MALANG
2020
Halaman Pernyataan Orisinalitas

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Ketua : Mutiara Devika


Nama Anggota : Dinar Haris Pratama
Instansi : Universitas Merdeka Malang

Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul:

KEBIJAKAN OVERKRIMINALISASI HUKUM PIDANA DI UU CIPTA


KERJA TERHADAP USAHA MIKRO, USAHA KECIL, DAN USAHA
MENENGAH DI TINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM YANG IDEAL
adalah benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat atau saduran dari
naskah penulis lain, serta belum pernah dilombakan dan dipublikasikan dalam
bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir naskah ini. Apabila pada
kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
yang ditetapkan oleh Panitia DCLC 2020.

Malang, 9 Desember 2020

Mutiara Devika
ABSTRAK

Hukum sebagai alat untuk mengatur harus bersifat dinamis yaitu mengikuti
perkembangan masyarakat, berdasarkan kondisi masyarakat yang semakin maju
maka kebijakan hukum pidana sangat lah penting, mengingat Penggunaan hukum
pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana. Pemerintah mengatur
beberapa regulasi salah satunya terkait tindak pidana, dalam hal ini pemerintah
banyak membuat regulasi tentang tindak pidana yang ditujukan untuk satu pihak
namun di atur dalam regulasi berbeda, ini merupakan langkah baik pemerintah
untuk menanggulangi tindak pidana, namun di samping itu tanpa disadari ini juga
mengakibatkan tidak efisien nya peraturan tindak pidana yang mengakibatknya
overkriminalisasi. Upaya mengatasi overkriminalisasi pemerintah dengan cara
untuk meringkas regulasi tersebut supaya lebih efisien yaitu dengan metode
omnibus law. Omnibus law sebagai instrumen hukum yang mengatur dan
mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan
pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan
holistik haruslah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Peraturan
Perundang-undangan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan
omnibus law dilakukannya transparansi dan dibukanya keran aspirasi yang besar
bagi masyarakat. Hal ini ditujukan untuk membentuk karakter peraturan
perundang-undangan yang demokratis, aspiratif, partisipatif, dan berkarakter
responsif.

Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana; Overkriminalisasi; UU Cipta Kerja;


UMKM.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan global yang semakin mendunia, pemerintahan Indonesia
menganggap perlu adanya tanggapan yang cepat dan tepat. Hal ini dilakukan
tanpa adanya reformasi kebijakan yang dianggap dapat membuat pertumbuhan
ekonomi melambat.1 Ditilik dari kondisi Indonesia, dampak pandemi sangat
besar bagi kelompok muda Indonesia. Kondisi ini tak terelakan lagi dan
kelompok muda Indonesia menjadi golongan rentan secara ekonomi dan sosial
akibat dampak domino yang dihasilkan. Pemerintah Indonesia pun telah
memberikan warning, tentang dampak global yang akan menghunjam
perekonomian serta mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan.
Tantangan tersebut harus dijawab melalui inovasi dan pemanfaatan
teknologi digital dalam setiap proses bisnis agar lebih efektif dan efisien.
Dengan demikian, hal itu akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.
Produk dan layanan yang dihasilkan juga bisa lebih berkualitas dan dipasarkan
dengan harga lebih kompetitif dibanding perusahaan asing. Inovasi dan
pemanfaatan teknologi digital ini sudah dilakukan oleh para kompetitor asing
yang masuk ke Indonesia. Maka itu, pelaku usaha mau tak mau harus masuk ke
era digital dan tak boleh ketinggalan untuk memanfaatkan perkembangan
teknologi. Jika tetap bertahan dengan cara-cara yang konvensional, maka akan
kehilangan daya saing.
Pemanfaatan teknologi digital dalam proses bisnis tak hanya
menciptakan efisiensi biaya, tetapi juga efisiensi waktu dan energi. Bentuk
teknologi yang bisa digunakan misalnya aplikasi digital marketing untuk
memasarkan produk secara mudah tapi tetap tepat sasaran melalui media sosial,
website, atau iklan digital. Selain itu, pengusaha bisa menggunakan perangkat
untuk proses perencanaan produksi, proses produksi, pengemasan, hingga
branding yang berbasis teknologi. Inti perkembangan teknologi adalah hal-hal
yang sifatnya murah dan mengakibatkan efisiensi biaya sehingga harga produk
1
DSLA, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja Pengertian, Tujuan, dan Manfaat
https://www.dslalawfirm.com/omnibus-law/, (di akses pada 14 desember 2020).

1
menjadi lebih murah tanpa mengganggu kualitas. Alhasil, dapat meningkatkan
daya saing UMKM.
Menurut data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah
(KUKM) tahun 2018, jumlah pelaku UMKM sebanyak 63 juta unit UMKM di
Indonesia, meski 95% di antaranya masih berada di sektor usaha mikro.
Menurut persentase, pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun mencapai angka
10% hingga 15% terhadap total UMKM yang beroperasi. Dengan adanya
perkembangan digital, terutama di masa Pandemi Covid-19 saat ini, pelaku
UMKM diperkirakan meningkat dalam rentang 15%-26% selama beberapa
bulan terakhir. Dari data Bank Indonesia, UMKM menjadi penopang 64%
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2019 lalu. Tak hanya itu,
UMKM juga menyumbang 95% penyerapan tenaga kerja se-nusantara.2
berdasarkan data di atas, Indonesia mempunyai potensi basis ekonomi
nasional yang kuat karena jumlah UMKM terutama usaha mikro yang sangat
banyak dan daya serap tenaga kerja sangat besar. Pemerintah dan pelaku usaha
harus menaikkan ‘kelas’ usaha mikro menjadi usaha menengah. Basis usaha ini
juga terbukti kuat dalam menghadapi krisis ekonomi, usaha mikro juga
mempunyai perputaran transaksi yang cepat, menggunakan produksi domestik
dan bersentuhan dengan kebutuhan primer masyarakat. Pemerintah menyadari
akan potensi UMKM tersebut, oleh sebab itu, beberapa tahun terakhir ini,
Pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan kapasitas UMKM.
Proses pejalanan dan mengembangkan bisnis memang dapat dipastikan
akan mengalami beberapa hambatan internal dan eksternal,3 dalam hambatan
internal antaranya Keuangan, Keahlian manajemen, Lokasi dan Jaringan,
Ekonomi dan Teknologi, hambatan Eksternal antaranya Kompetisi, Kejahatan
dan Korupsi, Tenaga kerja, Infrastruktur. Sifat hukum salah satunya adalah
dinamis maka diperlukannya suatu inovasi untuk mengikuti perkembangan
zaman, agar hukum dapat berjalan sesuai keinginan. Salah satu cara nya adalah
membuat regualsi atau peraturan yang mengatur tindakan tersebut, namun pada

2
M Ikhsan Ingratubun, Opini UMKM, Tantangan Pasar dan Solusi Digital, 19 Agustus 2020,
https://www.jurnal.id/id/blog/opini-umkm-tantangan-pasar-dan-solusi-digital/, (di akses pada 14
desember 2020).
3
Musran Munizu, Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal Kinerja Usaha Mikro dan Kecil
(UMK) di Suawesi Selatan, (Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan) , hlm.12, 33-41.

2
kenyataanya banyak aturan yang mengatur satu sektor salah satunya dalam
sektor UMKM dimana sanksi pidana tersebut terlalu banyak yang
mengakibtakan overkriminalisai.
Menurut Anugerah Rizki Akbari menyatakan, kalau overkriminalisasi
berarti dia sudah punya kriminalisasi terlalu banyak. Bagaimana caranya
mengetahui hal ini? Itu bisa lihat dari undang-undangnya, seberapa banyak UU
mengatur perbuatan-perbuatan dan kalau itu dilakukan atau dilanggar bisa
dikenakan hukuman. Lantas, apa konsekuensinya kalau kita punya terlalu
banyak aturan pidana? Menurut Eki, ruang gerak dan kebebasan akan
terbelenggu.4 Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam undang-undang
di luar KUHP, memperlihatkan kecenderungan semakin kuatnya kontrol
negara terhadap aktifitas dan kebebasan sipil warga negara. Penelitian Barda
Nawawi Arief mengungkap, bahwa terdapat sebanyak 29 undang-undang yang
memuat ketentuan pidana dari 1985 hingga 1995.5
Data tentang banyaknya undang-undang yang memuat ketentuan pidana
terkait masalah di luar hukum pidana setidaknya berimplikasi kepada dua hal.
Pertama, ada perubahan cara pandang di dalam mengatasi problem sosial, dari
yang semula mendayagunakan instrumen hukum perdata/administrasi ke
instrumen hukum pidana. Hukum pidana tidak lagi ditempatkan sebagai sarana
terakhir (the last resort/ ultimum remedium) dalam menanggulangi kejahatan,
melainkan sebagai premum remedium. Kedua, proses kriminalisasi yang
berlangsung secara terus menerus tanpa didasarkan pada penilaian yang teruji
dan tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem
juga mengakibatkan timbulnya krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of
overcriminalization), yaitu banyak atau melimpahnya jumlah kejahatan dan
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi.6

4
Hukum Onlline, Ini Beda Kriminalisasi, Over Kriminalisasi, dan Dekriminalisasi, 12 januari
2018,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a5861c1c99e1/ini-beda-kriminalisasi--over-kriminal
isasi--dan-dekriminalisasi, (diakses 14 desember 2020)
5
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, (Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013), hlm. 11
6
Mahrus Ahli, Overcriminalization dalam Perundang-Undangan di Indonesia, (Jurnal Hukum ius
quia iustum faculty of law, Vol 25 Nomor 3, 3 september 2018), hlm. 452

3
Omnibus law adalah salah satu undang-undang yang mengatur ketentuan
pidana di luar hukum pidana, yang membuat terjadinya overkriminalisasi. Hal
tersebut juga bertentangan asas hukum dalam system peraturan
perundang-undangan yang dikemukakan Hals Kelsen piramida peraturan
perundangan. Oleh karena itu agar UU cita kerja dan prinsip Onimbus Law
tidak bertentangan dengan ajaran tersebut di perlukan kajian lebih mendalam,
dalam kasus penelitian ini berkaitan dengan overkriminalisasi. Karena dampak
dari overkriminaslisasi seperti dalam bukunya Barda Nawawi Arif yang
berjudul kebijakan legislatif dalam hukum pidana di Indonesia, penentuan
hukum pidana yang berlebihan di peraturan perundang-undangan
menyebabkan overload atau over kapasitas di Lembaga pemasyarakatan, oleh
kerena itu sesuai juga dalam Konvensi PBB ke 10 di Wina dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan, di perlukan upaya baik dari
legislatif dalam hal ini pembuat undang-undang agar tidak melakukan
overkriminalisasi sehingga menyebabkan terkendalanya system pembinaan
narapidana di Lembaga pemasyarakat, seperti yang diketahui bersama dampak
negative di pemasyarakatan lebih tinggi dibanding dengan upaya perbaikan
narapidana supaya menjadi masyarakat baik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah problematika pembentukan omnibus law terhadap jumlah
regulasi yang berlebihan yang ada pada sektor UMKM?
2. Bagaimana penerapan konsep omnibus law dalam menganalisa yuridis
pertanggungjawaban pidana yangg berkaitan dengan jumlah regulasi yang
berlebihan?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Hukum
Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato
ketika ia mengintrodusir konsep nomoi, sebagai karya ketiga di usia tuanya.
Dalam karyanya ini Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang
baik itu didasarkan pada hadirnya hukum yang baik. Gagasan ini kemudian
dipertegas Aristoteles, dalam bukunya Politica, yang mengatakan bahwa
negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan
berkedaulatan hukum. Terdapat tiga unsur dari pemerintahan yang
berkonstitusi, yaitu pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
pemerintahan dibuat menurut hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan umum, bukan dibuat oleh kesewenang-wenangan; dan
pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan atas paksaan
penguasa.7
Ditinjau dari perspektif sejarah hukum (historical law), peradaban awal
dunia hukum hanya mengenal dua tipe negara hukum, yaitu tipe Anglo Saxon
dengan rule of law dan tipe eropa kontinental dengan rechtsstaat. Terdapat
perbedaan antara konsep rechtsstaat dengan konsep rule of law, namun saat ini
sudah tidak dipermasalahkan lagi sebab secara substansi keduanya tidak
memiliki perbedaan, namun berdasarkan asal muasalnya, keduanya memiliki
perbedaan yang jelas. Terlihat bahwa konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem
hukum eropa kontinental (civil law) atau modern law yang berkarakter
administratif, kemudian konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum
common law yang berkarakter judicial. Laurence M. Friedman mengatakan
bahwa negara hukum lebih identik dengan rule of law. Sedangkan istilah
rechtsstaat mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.8
Negara hukum dan konstitusi adalah satu kesatuan yang tidak bisa di
lepas, Menurut Sri Soemantri M., tidak ada satu negara pun di dunia ini yang

7
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet kedua, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), hlm.2.
8
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah
Amandemen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 25-26.

5
tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi atau
undang-undang dasar adalah hukum tertinggi (supreme law) yang harus ditaati
baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan negara. Negara Indonesia
adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila, bertujuan mencapai
masyarakat yang adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spirituil.
Negara Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat saja,
akan tetapi lebih luas daripada itu. Negara berkewajiban turut serta dalam
hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Konsep negara hukum yang diadopsi oleh negara hukum Pancasila
(Indonesia) adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ajaran negara hukum
inilah yang kini dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Konsep
negara hukum muncul sebagai reaksi atas konsep negara legal state atau
konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaats). Konsep negara ini
memberikan batasan turut campurnya negara dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial, sehingga oleh karenanya pemerintah atau administrasi negara
menjadi pasif dalam menjalankan fungsi pemerintahannya (executive
functions). Ciri utama dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) adalah
kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi
warganya.9

B. Kebijakan Hukum Pidana


Berbagai macam bentuk perbuatan yang merugikan kepentingan umum,
dalam masyarakat dikenal sebagai perbuatan yang dilarang untuk dilakukan.
Sebuah langkah penetapan perbuatan menjadi perbuatan pidana menjadi bagian
penting dalam hukum pidana untuk menentukan dengan jelas perbuatan apa
yang dilarang untuk dilakukan dan dapat dikenakan sanksi pidana bagi
pelanggarnya. Penggunaan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum
pidana menurut Nawawi Arief10 selalu bertumpu pada 2 (dua) permasalahan
utama yaitu Pertama, Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan perbuatan

9
Lukman Santoso Az, Negara Hukum dan Demokrasi: Pasang Surut Negara Hukum Indonesia
Pasca Reformasi, (Ponorogo: IAIN Po PRESS, 2016), hlm. 9-10.
10
Barda Nawawi Arief, BungaRampai Kebijakan Hukum Pidana Cetakan ketiga, (Bandung: Cita
Aditya Bakti, 2005), hlm. 29.

6
pidana dan Kedua, sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada pelaku iika
terbukti melakukan perbuatan pidana tersebut. Upaya penentuan perbuatan dan
sanksi apa yang dilarang dapat dipahami sebagai upaya pencegahan sekaligus
penindakan atas perbuatan yang merugikan masyarakat. Mulyadi menegaskan
hakikat kebijakan hukum pidana merupakan "usaha untuk mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu
tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (lus constituendum).11
Sebagai sebuah upaya membuat ketentuan hukum yang berlaku di suatu
waktu, suatu tempat bahkan dapat diterima di masa yang akan datang maka
pertimbangan yang utuh terhadap kebijakan hukum tidak dapat dilepaskan pula
dari latar belakang masyarakat pada waktu itu, dalam hal ini kebijakan hukum
pasti diharapkan masyarakat demi menuju kesejahteraan. Terkait upaya menuju
kesejahteraan yang tidak lain juga merupakan tujuan hukum pidana maka
ketentuan hukum pun dibuat sebagai upaya menampung keinginan masyarakat,
terutama penanggulangan perbuatan pidana dalam penegakan hukum harus
sejalan dengan kebijakan hukum pidana agar berhasil.12 Sejalan dengan
penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan perbuatan yang
merugikan kepentingan masyarakat maka penentuan perbuatan yang dilarang
harus sejalan dengan perkembangan masyarakat.

11
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Paktik Pengadilan
Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan
serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, (Bandung, Mandar Maju, 2010),
hlm. 87.
12
Mardjono Reksodi putro, Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan, Sri Rahayu Oktoberina &
Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Atiel
Sidhana, S.H. (Bandung, Refika Aditama, 2008), hlm. 109.

7
BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan. Dengan


pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.13 Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi,
yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti
sesuai dengan metode atau cara tertentu.14 Sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan
dengan suatu kerangka tertentu. Penelitian dapat diartikan pula sebagai usaha
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,
gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan metode ilmiah.15
Beranjak dari uraian diatas, langkah yang digunakan agar mendapatkan data
dan informasi secara metodologis, sistematis dan konsisten, maka metode
penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian hukum dalam penulisan tesis ini adalah normatif
(doctrinal). Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum
yang dikonsepsikan dan dikembangkan atas unsur doktrin yang dianut sang
pengkonsep dan/atau sang pengembangnya.16 Sedangkan pengertian lain
mengenai penelitian normatif (doctrinal) adalah suatu prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatif.17
Menurut Soerjono, Soekanto, Salah satu jenis penelitian hukum adalah
penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum sebagai norma. Selanjutnya

13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), hlm.
133
14
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3., (Jakarta: UI Pers, 1986), hlm. 3.
15
Sutrisno Hadi, Metodelogi Penelitian Hukum, (Surakarta: UNS Pers, 1989), hlm.4.
16
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:
Elsam dan Huma, 2002), hlm. 147.
17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2010),
hlm. 57.

8
sebuah penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
atau konsep hukum sebagai preskripsi untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi. 18
Oleh karena itu, penelitian ini akan mencangkup analisis hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) yang telah terinventarisir dalam
hukum positif Indonesia.
Hasil kajian dari norma-norma hukum yang terinventarisir dalam hukum
positif membantu dalam menganalisis abstraksi dari norma hukum positif.19
Tujuan dilakukannya analisis tersebut untuk dapat memberikan pandangan
yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang diangkat dalam
penelitian ini yaitu kebijakan hukum pidana berkaitan penjatuhan hukuman
pemulihan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi dengan
pembebanan kewajiban pajak.

B. PENDEKATAN LINGKUNGAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode pendekatan,


metode pendekatan merupakan anak tangga untuk menentukan teori penelitian
yang akan dipakai. Pendekatan penelitian dipakai untuk menentukan dari sisi
mana obyek penelitian akan dikaji.20 Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum ini, antara lain:
a) Pendekatan Undang-Undang (Statute Aproach)
Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami
hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan
peraturan perundang-undangan merupakan legislasi dan regulasi yang
merupakan keputusan diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat
konkret dan khusus.21 Pendekatan undang-undang dilakukan dengan cara
menelaah semua peraturan-perundang-undangan dan regulasi yang

18
Soerjono, Soekanto, dan Sri Mamudji, Metode Penelitian Normatif, (Jakarta: Rajawali Press,
1995), hlm. 2.
19
Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum, (Surabaya: Pusat Studi Hukum dan
Pengembangan Fakultas Hukum Unair, 1974), hlm. 1,7, dan 8.
20
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 56.
21
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 96-97.

9
bersangkut paut dengan masalah hukum yang sedang ditangani. Dalam hal
ini segala peraturan perundang-undangan akan dikaji secara mendalam
nantinya. Pendekatan ini secara lebih spesifik akan melakukan kajian
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kebijakan
hukum pidana terhadap kebijakan overkriminalisasi hukum pidana di uu
cipta kerja terhadap usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah di tinjau
dari penegakan hukum yang ideal.
b) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual dilakukan manakala penelitian tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada. Pendekatan konseptual dilakukan dengan
menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan pengaturan mengenai
masalah yang dihadapi. Telaah demikian diperlukan peneliti ketika peneliti
ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan suatu yang
melahirkan suatu yang sedang dipelajari.
Pendekatan konseptual ini diperlukan kalau peneliti menganggap
memang pengungkapan filosifis dan pola pikir ketika sesuatu yang
dipelajari itu dilahirkan memang menpunyai relevansi dengan masa kini.
Selanjutnya dapat dihubungkan bahwa pendekatan konseptual digunakan
atas dasar penelitian ini mempunyai hubungan erat dengan doktrin-doktrin
dan pandangan-pandangan dalam ilmu hukum pidana. Dalam hal ini peneliti
dapat mengidentifikasi kebijakan overkriminalisasi hukum pidana di uu
cipta kerja terhadap usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah di tinjau
dari penegakan hukum yang ideal. kebijakan sistem pemidanaan yang
beorientasi pada proporsionalitas maupun kebijakan selektif dan limitatif.

C. JENIS DATA / BAHAN HUKUM


Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, difokuskan
pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini tidak
terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasan. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang
diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk
mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, ataupun

10
penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau data
tertulis, berupa bukti-bukti, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dokumen
resmi berkaitan dengan tema penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini
meliputi:
a) Bahan hukum primer yang berupa Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia;
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Republik Indonesia;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) , Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(JPH), dan Undang-Undang Cipta Kerja, serta peraturan
perundang-undangan yang mengatur berkaitan dengan kebijakan
overkriminalisasi hukum pidana di uu cipta kerja terhadap usaha mikro,
usaha kecil, dan usaha menengah di tinjau dari penegakan hukum yang
ideal.
b) Bahan hukum sekunder yang berupa bahan-bahan yang berhubungan sistem
pemasyarakatan berupa bahan-bahan kuliah dan ceramah, karya ilmiah para
sarjana ataupun hasil kajian ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini,
jurnal-jurnal hukum, skripsi, tesis, desertasi, kamus hukum, dan lain
sebagainya.
c) Bahan hukum tersier yang berupa kamus besar Bahasa Indonesia dan
hukum dari internet lainnya.

D. TEKNIK ANALISIS BAHAN HUKUM

Dalam penelitian ini yang bersifat normatif dengan mengenal data


sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier, maka mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut
tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu

11
hukum.22 Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik analisa kualitantif
yaitu analisa data non-statistik yang disesuaikan dengan data yang
dikumpulkan yaitu data yang deskriptif dan data tekstual berwujud keterangan
- keterangan atau penjelasan tertulis yang diperoleh dari bahan - bahan pustaka.
Selanjutnya, analisis kualitantif dilakukan dengan cara deskriptif dan
preskriptif.
Analisis deskriptif bermaksud untuk memberikan gambaran umum
terhadap terkait dengan kebijakan overkriminalisasi. Kemudian analisis
preskriptif terhadap terkait dengan kebijakan hukum pidana terhadap
overkriminalisasi di Undang-undang Cipta Kerja dimaksudkan untuk
mendapatkan untuk masukan-masukan mengenai obyek kajian dalam
penelitian sebagaimana yang diharapkan.

22
Amirudin dan Zainal Asikin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm.
163.

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Problematika Pertanggungjawaban Pidana Omnibus Law terhadap


Jumlah Regulasi yang Berlebihan yang Ada Pada Sektor UMKM

Omnibus law adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan,


perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),
peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi
Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Omnibus Law
sendiri diartikan sebagai metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau
mencabut ketentuan dalam undang – undang atau mengatur ulang beberapa
ketentuan dalam Undang – undang ke dalam satu Undang –undang (tematik).
Konsep omnibus law sejatinya dapat menjadi solusi untuk
menyederhanakan peraturan yang terlalu banyak, seperti yang dialami
Indonesia saat ini. Sebagaimana yang diungkap Bappenas, sepanjang 2000
hingga 2015, pemerintah pusat telah mengeluarkan 12.471 regulasi, dengan
kementerian menjadi produsen terbanyak dengan 8.311 peraturan. Jenis
regulasi terbanyak berikutnya adalah peraturan pemerintah sebanyak 2.446
peraturan. Sementara itu, produk peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah didominasi oleh perda kabupaten/kota sebanyak 25.575 peraturan,
disusul kemudian perda provinsi sebanyak 3.177 peraturan. Kemudian,
merujuk pada data Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia, dari 2014
sampai Oktober 2018, telah terbit 7621 Peraturan Menteri, 765 Peraturan
Presiden, 452 Peraturan Pemerintah, dan 107 Undang-Undang.
Data tersebut belum termasuk regulasi yang terbit dalam rentang waktu
setahun terakhir, yakni dari November 2018 s/d sekarang. Selain jumlahnya
yang terlalu banyak, regulasi tersebut juga tumpang tindih, sehingga untuk
memperbaiki satu persoalan tidak cukup hanya dengan merevisi satu
undang-undang saja. Dalam konsep hukum pidana, pengaturan berjenjang ini
berlandaskan asas subsidiaritas, yakni menempatkan sanksi pidana
sebagai ultimum remidium (obat terakhir) terhadap penanggulangan
pelanggaran. Sanksi pidana dikonstruksikan sebagai alat terakhir penegakan

13
hukum (criminal law as a measure of the last resort). Sanksi lainnya selain
pidana secara primum dikenakan terlebih dahulu dan sanksi pidana dikenakan
secara ultimum apabila sanksi-sanksi sebelumnya tidak dilaksanakan pelaku.
Pengaturan demikian wajar diterapkan pada pelanggaran berdimensi
norma administratif seperti perizinan dan perpajakan, berbeda dengan
norma-norma pidana murni seperti korupsi dan pencucian uang yang
meletakkan sanksi pidana sebagai primum remedium/upaya utama penegakan
hukum. Perubahan sanksi RUU Cipta Kerja sebagian besar memang menyasar
pelanggaran - pelanggaran berdimensi norma administratif yang sebelumnya
hanya dikenakan sanksi pidana khususnya perizinan. Di samping karena
memang pelanggaran berdimensi norma administratif, pilihan sanksi ini dinilai
pemerintah mampu membentuk iklim usaha yang lebih kondusif, nyaman dan
memiliki daya tarik bagi investor. Bisa jadi basis kriminal dianggap
menimbulkan ketakutan, stigma buruk serta menurunkan reputasi pelaku usaha.
Penegakan hukum terhadap sanksi administratif dinilai mengurangi over
criminalization, over penalization serta lebih efektif dijatuhkan karena sanksi
bersifat pemulihan (reparatoir) dapat segera dipenuhi tanpa harus melewati
peradilan layaknya pidana.
Selain pengaturan model ultimum remidium tersebut, tidak dapat
dibantah RUU Cipta Kerja juga menghapus beberapa sanksi pidana dan
menggantinya dengan sanksi administratif. Sebagai contoh, sanksi pidana pada
pelanggaran Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pelanggaran terhadap
ketentuan mempekerjakan tenaga kerja asing tersebut sebelumnya dikenakan
sanksi pidana, akan tetapi sanksi pidana ini dihapus dan diubah oleh RUU
Cipta Kerja hanya sebatas sanksi administratif menurut perubahan Pasal 190
UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.
Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja bahkan juga benar-benar menghapus
total pelanggaran-pelanggaran (tindak pidana) tertentu berikut sanksi
pidananya tanpa menggantinya dengan sanksi apapun. Sebagai contoh
pelanggaran dan sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 167 jo Pasal 184 serta
Pasal 90 jo. Pasal 185 UU Ketenagakerjaan. Pasal 167 berkaitan dengan

14
pelanggaran PHK karena usia pensiun, sedangkan Pasal 90 berkaitan dengan
pelanggaran pemberian upah minimum bagi pekerja.
Penghapusan ini dilakukan karena adanya reformulasi ketentuan
pasal-pasal lainnya, sehingga kriminalisasi terhadap pasal - pasal tersebut
dinilai tidak relevan. Dengan demikian, ada 3 model dekriminalisasi yang
diatur dalam RUU Cipta Kerja, yakni
1. Mengubah tindak pidana menjadi pelanggaran dengan sanksi administratif
dan sanksi pidana sebagai ultimum remidium.
2. Mengganti pelanggaran dengan sanksi pidana menjadi sanksi administratif
3. Menghapus total tindak pidana berikut sanksi pidananya.
Penentuan model-model dekriminalisasi tersebut tidak bisa hanya
didasarkan pada pertimbangan favoritisme pelaku usaha dan kepentingan
investasi semata. Pembentuk undang-undang hendaknya tidak abai dengan
pemahaman penting terkait hakikat kriminalisasi itu sendiri. Menurut Sudarto,
Barda Nawawi, terdapat kriteria konseptual mengapa suatu perbuatan atau
tingkah laku manusia dapat dikriminalisasi atau layak menjadi tindak pidana,
pun demikian jika perbuatan tersebut hendak didekriminalisasi atau diubah
menjadi bukan tindak pidana. Kriteria pertama berkaitan dengan kerugian dan
korban. Kebijakan kriminalisasi/dekriminalisasi ditentukan dengan
memperhatikan apakah perbuatan tersebut menyebabkan jatuhnya korban dan
menimbulkan kerugian (materill, imateriil) bagi masyarakat. Kriteria kedua
didasarkan pada penilaian keseimbangan beban dan hasil dari kriminalisasi.
Perlu diperhitungkan/ditimbang apakah ‘beban’ mengkriminalisasi
seimbang dengan ‘hasil’ mengkriminalisasi. Beban mengkriminalisasi di
antaranya terkait biaya pembentukan peraturan, proses penegakan hukum,
beban yang dirasakan korban dan yang dirasakan pelaku, termasuk efek
kriminogen yang terjadi, sedangkan hasil mengkriminalisasi meliputi tujuan
tertib hukum serta manfaat-manfaat lainnya bagi masyarakat. Kriteria bertiga
berkaitan dengan kemampuan perlengkapan peradilan pidana, termasuk aparat
penegak hukum. Kriminaliasi yang dilakukan jelas tidak boleh memperberat
beban kinerja aparat, yang akibatnya justru mengganggu fungsi dan wibawa

15
penegak hukum. Kriteria berikutnya dikaitkan dengan tujuan dan cita-cita
bangsa Indonesia sendiri.
Berpegang pada konstitusi, maka kriminalisasi harus berkorelasi positif
dengan kesejahteraan serta perlindungan segenap bangsa Indonesia.
Kriteria-kriteria tersebut yang semestinya menjadi acuan pokok dalam politik
hukum terkait kriminalisasi/dekriminalisasi, terlebih lagi RUU Cipta Kerja
sebagai omnibus law yang merubah signifikan berbagai pelanggaran dan sanksi.
Penolakan dan pertentangan atas RUU harus dikaji dengan bijak, sehingga
upaya dekriminalisasi dengan pertimbangan kalkulasi ekonomi dan
investasinya tetap dapat dirumuskan, tanpa mendegradasi perlindungan
kepentingan masyarakat.

2. Penerapan Konsep Omnibus Law dalam Menganalisa Yuridis


Pertanggungjawaban Pidana yang Berkaitan Dengan Jumlah Regulasi
yang Berlebihan

Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis


dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’
ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut dengan norma dasar atau
grundnorm.23
Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang ‘tatanan’ yang
hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara). Hans Kelsen
sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya katakan,
grundnorm merupakan syarat transendental-logis bagi berlakunya seluruh tata
hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hirarki pada
grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Hans Kelsen juga
sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis.
Dengan menggunakan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut
eselon), ia mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi
ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem
perundang-undangan mempunyai suatu struktur pyramidal (mulai dari yang

23
Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta: Kanisius., Hlm. 41

16
abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang,
peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.24 Jadi menurut Hans Kelsen, cara
mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui
logika Stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama. Sebagai sebuah
teori hukum, Teori Hukum Murni (The Pure Theorie of Law) adalah teori
hukum positif, tetapi bukan berbicara hukum positif pada suatu sistem hukum,
melainkan suatu teori hukum umum.
Paparan Hans Kelsen tentang Teori Hukum Murni bertujuan untuk
menjelaskan hakikat hukum dan bagaimana hukum dibuat, dan bukan untuk
memaparkan apakah hukum yang seharusnya (what the law ought to be)
maupun bagaimana seharusnya hukum dibuat. Teori Hukum Murni adalah ilmu
hukum (legal science) dan bukan soal kebijakan hukum (legal policy). Teori ini
mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan berusaha melepaskan
ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu pengetahuan asing seperti
psikologi dan etika.25
Kelsen memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan
dalam pembentukan hukum seperti unsur- unsur psikologi, sosiologi, sejarah,
politik, dan bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk ‘ide hukum’ atau ‘isi
hukum’. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, sosial budaya,
dan lain-lain. Bukan demikian halnya dengan pengertian hukum. Pengertian
hukum menyatakan hukum dalam arti formalnya, yaitu sebagai peraturan yang
berIaku secara yuridis.
Hans Nawiasky murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya
tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat
bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di
suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma
hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu
staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung &

24
Bernard L. Tanya, 2013: 115
25
Abdul Ghofur Anshori, 2006: 98-99

17
autonome satzung. 26
Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di
negara-negara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 1 angka 13 UU P3 menyebutkan bahwa materi muatan
peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan hirarki peraturan
perundang-undangan. Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan
merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui secara mendalam oleh
organ pembentuk peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap hal
dimaksud dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara jenis, hirarki dan materi
muatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu problematika lainnya ialah kerancuan yang terdapat pada
Pasal 170 yang menyatakan bahwa Undang-undang dapat diubah ketentuannya
melalui Peraturan Pemerintah. Sebelum meninjau polemik ini, mari kita lihat
terlebih dahulu ketentuan Perundang-undangan mengenai Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah sebagai berikut :
Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis dan
berisikan norma hukum yang bersifat mengikat untuk umum baik yang
ditetapkan oleh badan legislator maupun oleh regulator atau lembaga pelaksana
Undang-undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut
Peraturan yang berlaku. Produk legislatif dalam hal ini merupakan peraturan
yang berbentuk Undang-undang dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pembahasannya dilakukan bersama dengan Presiden/ pemerintah
untuk mendapatkan persetujuan bersama yang setelah mendapatkan persetujuan
bersama akan disahkan oleh Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana
mestinya atas perintah dari Presiden. Bagi undang-undang tertentu pembahasan
bersama dilakukan dengan melibatkan peran dari Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Disamping peraturan yang berbentuk Undang-undang ada pula
peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana
Undang-undang dimana lembaga eksekutif pelaksana diberi kewenangan
regulasi oleh Undang-undang dalam rangka menjalankan Undang-undang
terkait. Selain itu, pemerintah karena fungsinya juga diberi kewenangan untuk

26
Ibid,

18
menetapkan suatu peraturan yang regulasinya ditentukan oleh lembaga regulasi
tertentu pula.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia ialah sebagai berikut;
1. UUD Negara Republik Indonesia 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian, mari kita lihat pengertian dan isi dari masing-masing peraturan
khususnya mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai
berikut :

a. Undang-undang
Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya
setelah Undang-undang Dasar. Jika kita komparasikan dengan sistem hukum di
Belanda Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki
kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan
Act (Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum,
Undang-undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende
vioorschiften atau peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika
diundangkan. Bentuk administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan
dengan cara menerbitkan naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran
Negara Republik Indonesia (LN-RI). Sementara itu, untuk naskah
penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
(TLN-RI).27 Sederhananya, Undang - undang merupakan hanya salah satu
bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana
mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang

27
Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm.
166.

19
mengikat untuk umum. Dengan begitu, Undang-undang berbeda dengan
pengertian Peraturan Perundang-undangan pada umumnya.

Peraturan Perundang-undangan itu adalah segala bentuk peraturan negara dari


jenis yang tertinggi di bawah Undang-undang dasar hingga yang terendah, yang
dihasilkan dan ditetapkan secara atributif dari peraturan yang lebih tinggi atau
secara delegasi dari pemegang kekuasaan pembentuk Undang-undang
(Legislative Power, Wet gevende macht, atau gesetzgebende gewalt). Maka
artinya Undang-undang Dasar tidak terklasifikasikan ke dalam pengertian
Peraturan Perundang-undangan.

b. Peraturan Pemerintah

Menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Presiden


menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang
sebagaimana mestinya karena Peraturan Pemerintah diadakan untuk
melaksakan Undang-undang tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah sebelum ada Undang-undangnya. Dengan demikian,
Undang-undang selalu mendahului Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan
Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah Undang-undang dengan
kata lain Peraturan Pemerintah merupakan bentuk pendelegasi legislasi yaitu
kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator (Pembentuk
Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan
melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Jika
dikuatirkan terjadi penyimpangan dalam Peraturan Pemerintah maka terdapat
mekanisme untuk mengujinya ke Mahkamah Agung.

Pasal 24 A Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menentukan, “Mahkamah


Agung berwenang... menguji mengatur peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang,...”28 Materi muatan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang

28
Komparasikan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 10 UU
No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

20
diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan. Jika, sekiranya tidak
diperintahkan secara eksplisit pun oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah
tetap dapat dikeluarkan oleh Pemerintah sepanjang materinya tidak
bertentangan dengan Undang-undang, dan hal tersebut memang diperlukan
sesuai dengan kebutuhan yang timbul dalam praktik untuk maksud “...
menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya...”

Perihal kerancuan Pasal dalam RUU Ciptaker mulai meluap sebab dalam
bunyi Pasalnya terkandung kata yang seakan menyalahi ketentuan dalam
hierarki Konstitusi, yakni Pasal 170 Ayat (2) “Perubahan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Berdasarkan persfektif Hukum, pernyataan dalam Pasal 170 merupakan bentuk
penyimpangan yang menyalahi aturan Konstitusi Republik Indonesia,
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yakni Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945
“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang”. Pasal 20 Ayat (1) menunjukkan adanya norma yang
menginstruksikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat-lah yang memiliki peran
kekuasaan legislatif untuk dapat membentuk Undang-undang. Pernyataan pada
Pasal 170 RUU Ciptaker memproyeksikan adanya pengambil alihan wewenang
DPR oleh Presiden (Pemerintah Pusat) dengan jalan mengubah
Undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP). Pengambil alihan dalam
Pasal tersebut menjadi catatan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan tidak boleh menyalahi ketentuan yang diatur dalam UUD
yang menabrak muatan-muatan Konstitusi. Kerancuan Pasal 170 membuka
potensi pemerintah yang otoriter sebab rusaknya konstitusi akan mendobrak
sistem ketatanegaraan yang akan bersifat Sentralistik. Sedangkan, jika kita lihat
perubahan pasca Reformasi, melalui amandemen UUD 1945 kedudukan DPR
sebagai lembaga legislatif dititikberatkan sebagai lembaga yang berwenang
dalam pembentukan Undang-undang. Kemudian, disamping menyimpangi
Pasal 20 Ayat (1) di atas, pada Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”.

21
Konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat
tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang
merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar
bagi pengaturan negara lebih lanjut ada dalam butir-butir Pancasila yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945, staatsgrundgesetz yang tercermin
dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam UU, verordnung &
autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan otonom
tercermin dalam hierarki PP kebawah.
Dimanakah letak omnibus law? Dalam hal ini, omnibus law yang
dimaksud dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk undang-undang
yang mengatur berbagai macam objek dalam satu instrumen hukum. sehingga
pada dasarnya, kedudukan dari omnibus law yang diperbincangkan adalah
setara dengan undang-undang. Pembentukan omnibus law memiliki
mekanisme layaknya membentuk undang-undang seperti pada umumnya, yaitu
meliputi tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan
yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dikatakan oleh Crabbe
maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke
pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan
materi muatannya.29 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau
rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.30
Salah satu asas yang menjadi syarat dalam materi muatan
perundang-undangan yang baik adalah asas pengayoman dan kemanusiaan,
dimana asas ini memiliki definisi otentik yaitu bahwa setiap materi muatan
perundang-undangan harus memberikan perlindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat dan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional.

29
VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4
30
Maria Farida Indrati., op.cit hlm.252

22
Adanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
sedemikian rupa merupakan bentuk perwujudan dari digunakannya konsep
negara hukum kesejahteraan. Menurut Bagir Manan, konsep tersebut
menempatkan negara atau pemerintah tidak hanya menjadi sekedar penjaga
malam, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.31
Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan
yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan
yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas
material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental
negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara
berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.32
Yang mana hal tersebut secara langsung ada dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Partisipasi masyarakat menjadi suatu hal yang wajib ada dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk individu atau
kelompok yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan
perundang-undangan.33 Namun, Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan
omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi publik.34
Secara konsep, pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan
partisipatif yang dalam hal ini mengandung makna proses dan substansi. Proses
dalam pembentukan undang-undang haruslah transparan, sehingga aspirasi
masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan-masukan.
Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan bagi

31
Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2,
No. 01, Januari-April 2016., hlm. 20
32
Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331
33
Vide pasal 96 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
undangan
34
Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka
Kesempatan Pengaduan. Diakses dari
https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesemp
pada 14 desember 2020

23
kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang
demokratis, aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.35
Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu; 36

1. Membuka akses informasi seluruh kmponen masyarakat tentang proses


penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi
penyusunan danperumusan rancangan peraturan perundang-undangan
3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara
mengakomodi aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan
perundang-undangan
4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang
susunannya terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media
massa
5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini
sifatnya ad hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada
pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah
hukum.

Sejak debat calon presiden dan wakil presiden kelima, Presiden Joko
Widodo terus menggaris bawahi bahwa permasalahan terkait lesunya tingkat
investasi di Indonesia dikarenakan terlalu banyak peraturan yang mengekang
cara berinvestasi. Banyaknya peraturan tersebut juga tidak dibarengi dengan
upaya untuk menyelaraskan peraturan antara satu sama lain, sehingga
menyebabkan terjadinya tumpang tindih peraturan yang telah dibuat. Omnibus
law ditujukan sebagai kartu as Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih aturan, sehingga diharapkan pembentukan suatu
undang-undang yang menggunakan teknik omnibus akan mengurangi jumlah
peraturan terkait investasi. Bukannya malah mengurangi jumlah peraturan
perundang-undangan, justru terdapat fenomena dalam Draft RUU Cipta Kerja

35
Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160
36
Ibid.,

24
sebagai omnibus law pemerintahan Jokowi yang menimbulkan tanya mengenai
semangat untuk mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan di
Indonesia, fenomena tersebut adalah fenomena banyaknya pendelegasian
peraturan dari RUU Cipta Kerja ke Peraturan Pemerintah.

Bilamana mencermati Draft RUU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah,


terdapat 465 amanat dari RUU Cipta Kerja untuk membentuk peraturan
pemerintah yang akan menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai substansi
RUU Cipta Kerja. Dengan adanya amanat ini, tentu akan menambah jumlah
peraturan perundang - undangan di tingkat peraturan pemerintah. Salah satu
kritik menyasar ketentuan dalam RUU Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan
pengenaan sanksi dan pelanggaran bagi pelaku usaha dari yang sebelumnya
tindak pidana dan sanksi pidana, menjadi pelanggaran dan sanksi administratif
(dekriminalisasi). Upaya ini dianggap melemahkan penegakan hukum dan
berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan pelaku usaha. Berikut
beberapa undang - undang yang meliputi overkriminalisasi di dalam sektor
usaha UMKM :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang


Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), undang-undang ini mengatur
mengenai ketentuan pidana.
Pasal 40: Setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
mengaku atau memakai nama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga
mendapatkan kemudahan untuk memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan
kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yang
diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, tetapi
definisinya ternyata lebih luas dari itu. Menurut M. Kwartono Adi UMKM
adalah badan usaha dengan profit kurang dari 200 juta Rupiah, dihitung dari
laba tahunan. Prof. Ina Primiana mendeskripsikan UMKM sebagai aktivitas
usaha skala kecil yang mendukung pergerakan pembangunan serta
perekonomian Indonesia.

25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, dimana dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai ketentuan
tindak pidana.
Pasal 56: Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah
memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 hurrf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 133: Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga
Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 134: Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu
untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara
pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 135: Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi
Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 136: Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan
yang dengan sengaja menggunakan: (a) bahan tambahan Pangan melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan; atau (b) bahan yang dilarang
digunakan sebagai bahan tambahan Pangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 137: (1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan
Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang
melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan bahan
baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan
Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 138: Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan,
yang dengan sengaja menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan

26
yang dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Pasal 139: Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan
untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 140: Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan
yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Pasal 141 Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang
tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum
dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Dalam membicarakan tentang pangan pasti tidak jauh dari yang namanya
keamanan, dalam hal ini adalah keamanan pangan, tidak ada artinya berbicara
citarasa dan nilai gizi, atau pun sifat fungsional yang bagus, namun produk
tersebut tidak aman untuk dikonsumsi. Dalam undang-undang Pangan di atas
tadi terlihat jelas bahwasanya keamanan pangan sangatlah penting dikarenakan
pangan adalah salah satu hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(JPH), dalam undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan tindak pidana
yang terdapat pada pasal:
Pasal 56: Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah
memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 57: Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang
tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang
diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Halal artinya dibenarkan. Lawannya haram artinya dilarang, atau tidak


dibenarkan menurut syariat Islam. Pengertian halal dan haram ini
sesungguhnya bukan hanya menyangkut kepada masalah makanan dan
minuman saja, tetapi juga menyangkut perbuatan. Jadi ada perbuatan yang

27
dihalalkan, ada pula perbuatan yang diharamkan. pengertian makanan dan
minuman yang halal meliputi, halal secara zatnya; halal cara memprosesnya;
halal cara memperolehnya; dan minuman yang tidak halal.37 Undang-undang
Jaminan Produk Halal dan pengertian makanan dan minuman yang halal yang
tidak lain ini merupakan salah satu ajaran agama islam, mengingat banyaknya
penganut agama islam di indonesia, terkait dalam hal ini juga berkaitan
kesehatan manusia.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dalam undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan tindak pidana yang
terdapat pada pasal.
Pasal 62: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijadikan hukuman tambahan, berupa: perampasan barang tertentu;
pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian
kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.

Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau yang sering


disebut dengan UUPK dimaksudkan agar dapat menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyakakat (LPKSM) untuk dapat melakukan pemberdayaan konsumen
melalui pembinaan maupun pendidikan terhadap para konsumen. Upaya
pemberdayaan yang dilakukan melalui pembinaan dan pendidikan konsumen
ini sangat penting karena bukan hal yang mudah mengharapkan kesadaran dari
para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha mereka, yang pada

37
LPPOM MUI, Pengertian Halal dan Haram Menurut Ajaran Islam, 17 Juli 2010,
https://www.halalmuibali.or.id/pengertian-halal-dan-haram-menurut-ajaran-islam/, (diakses pada
14 Desember 2020).

28
dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.38
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja, dalam undang-undang ini mengatur tentang ketentuan tindak
pidana yang terdapat dalam pasal.
Pasal 133: Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga
Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).

Pasal 134: (1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu
untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara
pengolahan Pangan, yang dapat menghambat penurunan atau kehilangan
kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1) dan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.O00,00 (dua miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha danlatau kegiatan
berisiko rendah atau sedang.

Pasal 135: (1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak
memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l
ayat (21 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana pada dimaksud ayat (1) dikecualikan dari
pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap
orang yang melakukan usaha danlatau kegiatan berisiko rendah atau sedang.

Pasal 139: (1) Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir
Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan
kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap
orang yang melakukan usaha danlatau kegiatan berisiko rendah atau sedang.

38
Eli Wuria Dewi, S.H., Hukum Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta, GRAHA ILMU, 2015),
hlm. 2.

29
Pasal 140: Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan
yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban
gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling larna 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap
orang yang melakukan usaha danlatau kegiatan berisiko rendah atau sedang.

Pasal 141: Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang
tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum
dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 yang
mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan manusia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan berisiko rendah atau menengah.

Pasal 142: (1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki
Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau
yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9l ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap
orang yang melakukan usaha danlatau kegiatan berisiko rendah atau menengah.

Omnibus Law atau UU Cipta kerja ini mengatur dan meringkas berbagai sanksi
pidana, salah satu nya sanksi terhadap UMKM dimana omnibus law ini telah
meringkas beberapa ketentuan pidana di dalam UU lainnya, yaitu UU
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Sebagaimana diketahui, RUU Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja terbagi dalam 11 klaster yaitu 1) Penyederhanaan Perizinan,
2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan
Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi,
7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10)
Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.

30
Penyusunan Omnibus Law menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pakar
hukum. Setidaknya hal ini memberikan gambaran bahwa Omnibus Law ini bukan
sesuatu yang mudah untuk disetujui oleh seluruh para pihak terkait. Para pakar
hukum menyatakan bahwa penyusunan Omnibus Law membutuhkan cost politik
yang tidak sederhana, mengingat Omnibus Law terdiri dari isu yang sangat
multisektor dan superpower. Apalagi, Omnibus Law, Omnibus Law adalah tradisi
di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon sehingga belum tentu bisa
diterapkan di negara dengan tradisi sistem hukum Civil Law seperti Indonesia.
Dengan demikian adanya omnibus law dan ringkasnya regulasi overkriminalisasi
hukum pidana terhadap UMKM, ini bisa menjadi peluang bagi UMKM untuk bisa
memajukan usaha serta ekonomi indonesia di saat masa pandemi seperti sekarang
ini.
Kedudukan Omnibus Law di struktur peraturan perundang-undangan Indonesia
belum diatur. Namun, Omnibus Law bukan sesuatu yang baru di Indonesia.
Pemerintah sudah pernah membuat undang-undang yang berbentuk Omnibus Law
dan berdasarkan teori jenjang hukum, atau idealnya berada pada level
undang-undang (UU) atau Perpu. Dua bentuk Omnibus Law yang pernah ada di
Indonesia, yaitu: Perpu tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan No.1 Tahun 2017, dan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
No.23 Tahun 2014.Ide yang kemudian memasukan UU Naker ke dalam Omnibus
Law didasari atas pemikiran bahwa harapannya isu lembaga pelatihan kerja ini
nanti bisa menjadi agenda penguatan sumber daya manusia yang dapat terserah ke
dalam dunia usaha, termasuk memberdayakan sektor UMKM. Namun, terkait
dengan Pasal 178 UU Naker soal pengawasan ketenagakerjaan, ini akan diubah
dengan menarik kewenangan Pemda ke Presiden yang nantinya dapat
didelegasikan kepada lembaga yang ditunjuk melalui Peraturan Pemerintah.
Isu pengawasan ini menjadi sangat penting dalam isu ketenagakerjaan. Apalagi
dengan ditariknya soal pengawasan ke pemerintah pusat, apakah nantinya tidak
akan membuat UU Naker yang masih berlaku menjadi timpang pelaksanannya.
Hal ini mengingat, Omnibus Law ini dibuat untuk memberikan perlindungan dan
fasilitas kepada investor dari pada perlindungan kepada buruh. Hal ini mengingat,
dari investasi asing yang akan masuk ke Indonesia nantinya apakah investor akan

31
betul-betul menaati peraturan perundang-undangan nasional. Dalam prakteknya
banyak sekali investor nakal dan melanggar hukum.
Namun, melihat konstruksi pasal 178 UU Naker yang masih berlaku, soal
pengawasan, saat ini masih dipegang oleh instansi daerah yang kita tahu
prakteknya di lapangan sangat buruk. Oleh karena itu, ide dari Omnibus Law ini
adalah untuk menarik segala pengawasan ke Pemerintah Pusat. Bisa jadi nantinya
pengawasan ini akan semakin ketat dari pada mekanisme yang berlaku saat ini.

32
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Omnibus law adalah konsep hukum yang menitikberatkan pada
penyederhanaan jumlah regulasi karena sifatnya yang merevisi dan mencabut
banyak undang-undang sekaligus. Namun demikian, permasalahan regulasi
adalah masalah yang komplit, bukan sekedar dari jumlah yang terlalu banyak,
tapi juga ada masalah disharmonis, partisipasi publik, ego sektoral, dan isi yang
tidak sesuai materi muatan. Oleh sebab itu, sebelum konsep omnibus law
benar-benar diterapkan dalam membentuk regulasi, terlebih dahulu yang perlu
dikedepankan adalah prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan perlu direvisi kembali. Kemudian, penerapan omnibus
law jangan hanya semata-mata untuk mendukung ekonomi dan memudahkan
investasi saja. Perlu memperhatikan sektor lain, terutama masalah
pemberantasan korupsi dan hak asasi manusia, sebab permasalahan ekonomi
dan investasi adalah sektor yang paling rentan terjadinya korupsi dan paling
banyak bersinggungan dengan kepentingan masyarakat.
B. Saran
Sebelum konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan diterapkan, pemerintah dan DPR perlu mengkaji lebih
jauh terlebih dahulu terkait peraturan apa saja yang akan direvisi. Kemudian,
dalam proses legislasi, DPR dan pemerintah harus membahasnya secara
terbuka dan membuka ruang partisipasi publik yang seluas-luasnya, apalagi
regulasi yang menjadi fokus utama adalah sektor ekonomi dan investasi, sektor
yang paling banyak bersinggungan dengan masyarakat.

33
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2020
Amirudin & Zainal Asikin, Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2020
Barbara Sinclair, Unortodhox Law making: New Legislative Processes in the
U.S Congress. Los Angeles: Sage, 2012
Barda Nawawi Arief, BungaRampai Kebijakan Hukum Pidana. Cetakan ketiga,
Cita Aditya Bakti, Bandung, 2005
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen. GRAHA ILMU,
Yogyakarta, 2015
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Normatif. Bayumedia Publishing,
Malang, 2010
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan
Paktik Pengadilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem
Peradilan dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya
Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan. Mandar Maju,
Bandung, 2010
Lukman Santoso Az, Negara Hukum dan Demokrasi: Pasang Surut Negara
Hukum Indonesia Pasca Reformasi. IAIN Po PRESS, Ponorogo. 2016
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan
Sesudah Amandemen. Nusa Media, Bandung, 2010
Mardjono Reksodi Putro, Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan, Sri Rahayu
Oktoberina & Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum.
Memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Atiel Sidhana, S.H., Refika
Aditama, Bandung, 2008
Mardjono Reksodi putro, Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan, Sri Rahayu
Oktoberina & Niken Savitri Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum.
Memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Atiel Sidhana, S.H., Refika Aditama,
Bandung, 2008

34
Maria, Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta: Kanisius, 2011
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta,
2014
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Cet kedua, FH-UII Press,
Yogyakarta, 2003
Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji, Metode Penelitian Normatif. Rajawali
Press, Jakarta, 1995
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Elsam dan Huma, Jakarta, 2002
VCRAC Crabbe, Legislative Drafting. London: Carendish Publishing
Limited, 1994

MAKALAH/ARTIKEL/PROSIDING/HASIL PENELITIAN
Musran, Munizu, Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal Kinerja Usaha
Mikro dan Kecil (UMK) di Suawesi Selatan, Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan.
Soerjono, Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta.
Sutrisno Hadi, 1989, Metodelogi Penelitian Hukum, UNS Pers, Surakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, 1974, Penelitian Hukum, Pusat Studi Hukum dan
Pengembangan Fakultas Hukum Unair Surabaya
Mahrus Ahli, 3 september 2018, Overcriminalization dalam Perundang-Undangan
di Indonesia, Jurnal Hukum ius quia iustum faculty of law, Vol 25
Nomor 3.

INTERNET
Databox, Berapa Sumbangan UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/05/20/berapa-sumbanga
n-umkm-Terhadap-perek onomian-indonesia.
DSLA, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja Pengertian, Tujuan, dan
Manfaat https://www.dslalawfirm.com/omnibus-law/.

35
Edward UP Nainggolan, UMKM Bangkit, Ekonomi Indonesia
Terungkit,https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13317/UMKM
-Bangkit-Ekonomi-Indonesia-Terungkit.html.
Elsa Catriana, UU Cipta kerja diyakini bisa menggerakkan UMKM di Tengah
Pandemi,
https://money.kompas.com/read/2020/11/04/113300926/uu-cipta-kerja-di
yakini-bisa-menggerakkan-umkm-di-tengah-pandemi?page=all.

Laksana Tri Handoko, Membangkitkan UMKM di Masa Pandemi dengan


Inovasi dan Teknologi,
http://lipi.go.id/siaranpress/membangkitkan-umkm-di-masa-pandemi-den
gan-inovasi-dan-teknologi/22212.
LPPOM MUI, Pengertian Halal dan Haram Menurut Ajaran Islam,
https://www.halalmuibali.or.id/pengertian-halal-dan-haram-menurut-ajar
an-islam/.

M Ikhsan Ingratubun, Opini UMKM, Tantangan Pasar dan Solusi Digital,


https://www.jurnal.id/id/blog/opini-umkm-tantangan-pasar-dan-solusi-di
gital/.
Rahmat Maulana Sidik, Menakar Isi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja &
UMKM,https://igj.or.id/menakar-isi-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-u
mkm/.

UNDANG - UNDANG
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM).

36

Anda mungkin juga menyukai